Chapter 48
Dua hari berikutnya.
Dua hari terakhir festival yang diperuntukkan bagi umum, khususnya para orang tua dari siswa sekolah yang diundang untuk ikut memeriahkan suasana sambil melihat kegiatan apa saja yang sudah dilakukan oleh para putra dan putri mereka selama bersekolah di sini—tentu termasuk [Name] dan dia agak gugup sejujurnya.
Meskipun pada dasarnya orang tuanya tidak terlalu mempermasalahkan hobinya untuk melukis, tetapi dia tetap harus menunjukkan bahwa hobinya bukan sekadar hobi biasa. Dengan kata lain dia harus membuktikan bahwa apa yang dilakukannya juga bermanfaat untuknya, karena itulah gadis itu berusaha keras untuk selalu mengikuti setiap pameran dan kontes yang diadakan.
Namun rasanya sangat berbeda ketika harus menunjukkannya kepada orang tuanya.
"Apa kau baik-baik saja, [Name]? Wajahmu agak pucat," ucap Albedo yang berdiri di sampingnya.
"Aku… tidak yakin…."
Sungguh, dia bahkan bisa merasakan tangannya yang mulai berkeringat.
Albedo menatapnya sejenak, wajah tenangnya seperti biasa sulit ditebak. Mata abu-abu terang itu menyapu wajah [Name] dengan cara yang hampir seperti ilmiah, mengamati setiap detail, hingga gadis itu merasa semakin canggung di bawah tatapan tajamnya.
"Tarik napas dalam-dalam," katanya akhirnya, suaranya lembut namun tetap mengandung nada tegas khas dirinya. "Lalu hitung sampai lima. Fokus pada detak jantungmu."
[Name] menurutinya dengan perlahan, meskipun jantungnya terasa berdebar lebih kencang daripada yang ia inginkan. Dia mencoba memejamkan mata dan menarik napas panjang. Hiruk-pikuk Festival Tahunan di aula utama sekolah seolah membanjiri setiap panca inderanya—gelak tawa anak-anak, derai obrolan orang tua, hingga aroma manis dari kios makanan yang berjajar di luar ruangan. Tapi di antara semua itu, suara Albedo yang tenang menjadi jangkar kecil yang menahannya tetap berdiri di tempat.
"Sudah lebih baik?" tanya Albedo lagi, kali ini suaranya sedikit lebih lembut. Gadis itu membalasnya dengan anggukkan.
[Name] memandang layar digital besar di sisi ruangan yang menampilkan daftar karya yang sedang dipamerkan. "Aku hanya takut mereka tidak mengerti… atau malah merasa lukisanku ini sia-sia."
Albedo menghela napas kecil, hampir tidak terdengar, lalu menyandarkan bahunya pada tembok di dekat mereka. Tangan kanannya memegang cangkir kertas kopi, sementara tangan kirinya dengan santai terselip di saku celana seragamnya. Pose santai itu seolah menandakan bahwa ia tak terbebani sedikit pun oleh hiruk-pikuk di sekitarnya.
"Kau tidak melukis untuk mereka, bukan?" tanyanya sambil menatap lurus ke depan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. "Setiap goresan itu lahir dari hatimu. Mereka hanya perlu melihatnya. Sisanya, terserah mereka. Kau hanya harus menunjukkan apa yang ingin kau tunjukkan, bukan apa yang ingin mereka lihat. Jangan merasa terbebani dengan itu, [Name]."
Kata-kata Albedo memang sederhana, tetapi ada sesuatu dalam cara dia menyampaikannya yang membuat [Name] merasa sedikit lebih ringan. [Name] tahu dengan bakat alami pemuda itu dalam seni dan ilmu pengetahuan, Albedo tidak pernah merasa harus membuktikan apa pun kepada orang lain. Dia hanya melakukan apa yang ia yakini, dan itu sudah cukup baginya.
Sebuah suara riuh dari sisi aula menarik perhatian mereka berdua. Seorang gadis berambut kecoklatan melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah mereka. "Hei, kalian di sana! Lomba fotografi di luar hampir mulai! Kalian tidak ingin melewatkan ini, 'kan?" Teriak Amber padanya.
[Name] hanya bisa tersenyum tipis sementara Albedo melirik sekilas ke arahnya, memberikan sedikit anggukan sebelum kembali kepada Amber dan berkata, "kami akan menyusul sebentar lagi."
"Baiklah!"
"Ingin pergi sekarang?" Tanya Albedo memastikan.
"Aku akan menunggu sebentar lagi," jawab [Name] sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil. "Kau pergilah lebih dulu, kau sudah berjanji dengan Klee untuk menikmatinya bersama."
"Ya, dia pasti sudah bertemu dengan Kaeya dan Jean," sambil bilang begitu, Albedo meremas cangkir kertas kopinya. "Kalau begitu aku akan pergi dulu untuk melihat mereka."
"Baiklah. Selamat menikmati festival, Albedo."
"Kau juga, [Name]."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, memandikan halaman sekolah dengan cahaya hangat yang lembut. Festival tahunan sudah dimulai kembali, dan suara riuh rendah anak-anak serta orang tua memenuhi udara. [Name] berjalan santai di antara stan-stan dengan Ayaka dan Yoimiya di sisinya.
"Kau tidak pergi dengan Tartaglia pagi ini?" tanya Yoimiya sambil menyesap minuman soda dari gelas plastik di tangannya. Matanya yang ceria menyipit karena sinar matahari, tapi senyumnya penuh arti.
[Name] sedikit mengernyit, tidak menyangka dengan pertanyaan itu. "Tidak, dia sedang bertugas di kelasnya. Lagi pula hari ini semua saudaranya datang," jawab [Name] ringan. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?"
Yoimiya memutar matanya, ekspresi jenaka bermain di wajahnya. "Aku hanya penasaran karena biasanya kalian selalu terlihat sedang berdua. Rasanya aneh kalau hari ini kau malah tidak bersamanya."
Ayaka yang berjalan di sisi lain [Name] menoleh dengan anggun. Rambut panjangnya yang perak tergerai rapi di bawah sinar matahari. "Itu benar. Aku sampai berpikir kalau kalian bertengkar lagi," kata Ayaka.
[Name] merasakan pipinya mulai memanas. Dia mengalihkan pandangan ke kios yang menjual boneka rajut di dekatnya, mencoba menyembunyikan rona merah yang mulai menjalari wajahnya. "Itu… hanya karena dia sering memintaku untuk menemaninya," katanya akhirnya, dengan nada setengah defensif. "Dan… yah, kalian tahu bukan kalau aku tidak bisa menolaknya, bukan?"
Yoimiya tertawa kecil, suaranya seperti lonceng yang berdering ringan di tengah keramaian festival. Dia berhenti berjalan, membalikkan badan dan berdiri di hadapan [Name] dengan tangan terlipat di dada. Matanya berbinar penuh dengan rasa ingin tahu yang jahil. "Oh, tentu kami tahu. Bagaimana pun Tartaglia memang sangat memesona, dia pasti berhasil meyakinkanmu, 'kan? Entah bagaimana caranya, kau selalu terjebak dengannya."
Ayaka yang lebih tenang dan lembut, menyentuh lengan [Name] dengan senyum menenangkan. "Tapi sepertinya kau tidak keberatan? Kalau tidak, kau pasti sudah menolaknya sejak awal."
[Name] merasakan panas di wajahnya semakin menjadi-jadi. Dia membuka mulut untuk membantah, tapi hanya udara yang keluar. Ayaka dan Yoimiya memang terlalu jeli menangkap setiap reaksi kecilnya. Dia menarik napas panjang dan berusaha meredakan rasa gugup yang melilit perutnya.
"Bukan begitu…," [Name] akhirnya menjawab, suaranya sedikit lebih pelan. Dia melirik ke arah kelompok siswa yang berlalu-lalang, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Kalian tahu bagaimana semuanya dimulai. Aku… tidak punya pilihan. Dia menerima surat itu, dan aku tidak bisa menolak saat dia… membuat pengumuman itu di depan semua orang."
Yoimiya menatapnya dengan ekspresi setengah simpatik, setengah geli. "Tapi sekarang sudah berjalan hampir enam bulan, benar? Kau benar-benar sudah bertahan sejauh ini."
Ya, [Name] sangat menyadari hal itu. Sudah enam bulan berlalu sejak kebodohannya kala itu dan sejujurnya ia cukup kagum dengan dirinya sendiri mengingat dia masih bisa bertahan sampai saat ini.
"Kau tidak lupa dengan yang ingin kau lakukan bukan, [Name]?" Tanya Ayaka begitu menyadari keheningan yang terjadi pada [Name].
"Tentang apa… lebih tepatnya?"
"Kalau kau akan mengakhiri hubunganmu dengan Tartaglia begitu berjalan selama enam bulan," kata Ayaka mengingatkannya. "Kau tidak lupa, bukan?"
"…." [Name] terdiam.
Benar, itulah rencananya. Ini sudah enam bulan, jelas waktu yang tepat untuk mengakhiri sandiwara bodoh dan konyol ini sekarang. Sudah terlalu lama dan mungkin terlalu nyaman dirinya membohongi Tartaglia tentang hubungan dan perasaannya, dia tidak bisa membohongi pemuda itu lebih dari ini lagi.
Namun, ada sesuatu yang membuat [Name] menahan napas sejenak. Ia melirik ke arah keramaian festival, matanya mencari-cari sosok yang terlalu familiar.
Tartaglia.
Pemuda itu pasti sibuk melayani saudara-saudara di kelasnya, seperti yang ia sebutkan sebelumnya. Gambaran Tartaglia yang selalu tersenyum lebar, dengan tawa khasnya yang hangat dan caranya mengatasi segalanya dengan begitu percaya diri, muncul dalam benaknya.
[Name] menggigit bibir bawahnya. Ia tahu ia harus menyelesaikan semuanya hari ini, seperti yang sudah direncanakannya selama berbulan-bulan.
Tapi kenapa hatinya terasa berat sekarang?
"Tapi jika kau—"
"Aku tidak lupa, Ayaka," kata [Name] memotong ucapan gadis berambut perak itu, dia tersenyum samar. "Tentu saja aku tidak lupa."
"…."
Ya, dia tidak lupa. Tidak sedikit pun melupakan perasaan bersalahnya itu. Namun… kenapa rasanya sekarang begitu mengusiknya? Kenapa tiba-tiba ia merasa sangat takut? Dia hanya harus mengakhirinya, hanya itu saja.
Selama ini, semua yang dilakukannya dengan Tartaglia, hanyalah sandiwara. Tetapi kenapa sekarang rasanya begitu—begitu—begitu membingungkan?
Benarkah itu hanyalah sebuah sandiwara atas kecerobohannya selama ini?
"Aku akan mengakhirinya sekarang," kata [Name] akhirnya.
"Kau yakin, [Name]?" Tanya Yoimiya lebih, dahinya berkerut tipis. "Karena entah kenapa, aku merasa—"
"Aku yakin, Yoimiya," ucap [Name] tegas. Seakan sedang meyakinkan kedua temannya atas apa yang hendak dilakukannya. "Kalian tidak perlu khawatir. Kali ini aku akan mengakhirinya."
Ayaka dan Yoimiya saling melirik satu sama lain, lantas sambil tersenyum kecil Ayaka berkata, "karena kau sudah memutuskannya seperti itu, tidak masalah."
"Kau tidak boleh menyesalinya, [Name]."
Untuk banyak alasan, [Name] merasa kedua temannya ini menyadari sesuatu yang berusaha untuk [Name] sangkal saat ini. Meski begitu, gadis yang tidak berniat menyangkal pemikiran mereka akhirnya berkata, "tidak akan."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
"… aku sudah duga ini, tapi memang rasanya jadi sangat ramai seperti ini, ya."
Tartaglia tergelak hingga menunjukkan deretan giginya yang putih. "Walaupun belum semuanya lengkap, tapi memang rasanya jadi ramai," katanya.
Sama seperti dirinya, Tartaglia juga kedatangan saudara-saudaranya untuk menikmati festival.
Disaat Irina dan Axel sedang berkeliling berdua, ketiga saudara termuda mereka—Tonia, Anthon dan Teucer—ditinggalkan bersama Tartaglia. Melihat bagaimana ketiga anak-anak itu sangat menempel dengan Kakak laki-laki ketiganya yang satu ini, sudah bisa dipastikan kalau mereka memang memilih untuk ikut dengan Tartaglia daripada dengan kedua saudaranya yang lain.
"Apa kau keberatan dengan ini, [Name]?" Tanya Tartaglia lebih. [Name] bisa melihat kerutan samar di dahi pemuda itu. "Padahal aku sudah berjanji akan berkencan denganmu, tapi aku tidak bisa meninggalkan mereka."
[Name] tersenyum kecil. Matanya melirik ke arah Teucer dan Anthon yang tampak sibuk mengagumi salah satu stand kerajinan di dekat mereka. Keduanya begitu riang, suara gelak tawa mereka menyatu dengan keramaian festival, seperti simfoni kecil yang hangat.
Sementara Tonia tetap berdiri di samping Tartaglia sambil menggamit lengan kakak laki-lakinya itu dengan kuat, sesekali [Name] bisa melihat lirikan tajam kepadanya dari arah gadis itu. Seperti yang ia duga, sepertinya Tonia masih belum bisa menerimanya meski Tartagilia berkata dia sudah mencoba membujuk Tonia agar lebih memahaminya dan tak terlalu memusuhi dirinya.
[Name] sangat berterima kasih, tapi dia tidak terlalu keberatan dengan itu dan meminta Tartaglia tidak perlu lagi membujuk adik perempuannya yang termuda.
"Jangan khawatir," ujar [Name] akhirnya, suaranya lembut dan penuh pengertian. Dia meremas ringan tangan Tartaglia yang tergantung di sisinya, sentuhan itu cukup untuk menarik perhatian pria berambut jingga tersebut. "Aku tidak keberatan sama sekali. Lagipula, ini adalah bagian dari dirimu, 'kan? Mereka itu keluargamu."
Tartaglia menatapnya dalam-dalam, mata biru safirnya bersinar di bawah cahaya lampu-lampu dekorasi yang tergantung di seluruh aula. Senyum kecil yang sebelumnya hanya bermain di bibirnya berubah menjadi lebih tulus, seperti seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang benar-benar membuat hatinya tenang.
"Terima kasih untuk pengertianmu," gumamnya, hampir seperti bisikan.
Tonia, yang sejak tadi diam sambil memeluk lengan Tartaglia, mendengus pelan, cukup keras untuk didengar oleh [Name]. Gadis kecil itu mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak memperhatikan. Namun [Name] menangkap sekilas perubahan di wajahnya—campuran rasa kesal dan cemburu yang tak bisa disembunyikan.
"Bagaimana kalau kita pergi ke stand makanan setelah ini?" Tartaglia mencoba mencairkan suasana, mengarahkan senyumnya yang hangat kepada semua orang. "Ada yang bilang churros di festival ini enak sekali. Teucer, Anthon, bagaimana dengan kalian?"
Mendengar nama mereka disebut, kedua bocah laki-laki itu segera menghampiri Tartaglia, wajah mereka penuh antusias. "Churros? Aku mau, aku mau!" seru Teucer sambil menarik lengan kakaknya. Anthon hanya mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat.
Tartaglia tertawa, lalu mengalihkan pandangannya ke Tonia. "Bagaimana denganmu, Tonia?"
Gadis kecil itu tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk kecil tanpa melepaskan genggamannya pada lengan Tartaglia. "Tapi aku ingin kau yang membelikannya untukku, Kak," katanya dengan nada yang sedikit manja, sambil melirik sekilas ke arah [Name].
[Name] tidak menanggapi. Sebaliknya, dia hanya tersenyum kecil sambil melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba menahan diri agar tidak mengganggu dinamika kakak-adik itu. Dia tahu Tonia masih belum sepenuhnya menyukainya, tapi dia juga tahu, butuh waktu untuk anak kecil sepertinya menerima keberadaan seseorang baru di dalam lingkaran keluarga mereka.
Ketika pada akhirnya Tonia melepaskan diri dari Tartaglia, dan mereka bertiga berjalan menuju stand makanan, Tartaglia menggenggam tangan [Name] dengan lembut, memberi sedikit tekanan seolah ingin meyakinkan bahwa dia tidak melupakan keberadaannya di antara semua kesibukan ini.
"Kau terlalu baik, kau tahu?" Katanya pelan, hanya untuk didengar oleh [Name].
"Aku hanya mencoba untuk mengerti," balas [Name] dengan nada ringan. "Bukankah kau yang bilang kalau keluarga adalah yang terpenting untukmu?"
Tartaglia terkekeh. "Ya, dan kau kekasihku."
"Cepatlah! Ini enak sekali!" Seru Teucer sambil melompat-lompat kecil.
Tartaglia tertawa sambil menggeleng. "Sepertinya kita harus menyusul," katanya seraya menarik [Name] dengan lembut.
[Name] mendengus geli. "Iya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro