Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Mafia AU! 6]


≪•◦ ❈ ◦•≫

"Aku tak mengingat apapun."


Hawks menarik senjata api, mengarahkan tepat ke arah jidat professor botak di sebelahnya yang tengah berdiri gugup.


"A-aku tidak berbohong! Mesin itu berfungsi 99,9% Hawks-sama!"


"Aku tak mengingat apapun. Kau harusnya bersyukur masih diberikan hidup sampai saat ini. Tapi ucapkan selamat tinggal pada nyawamu sekarang."


"Tahan tembakanmu, dude."Dabi berjalan mendekat, "Mesin itu bekerja, hanya saja harus ada pemicunya."


Hawks menurunkan senjata apinya, menoleh heran ke arah Dabi yang mengangkat tangan berusaha menetralkan suasana tegang."Pemicu apa maksudmu?"


"Sama seperti saat aku menjadi subyek pertama lah. Ingatannya terpicu muncul kembali setelah aku melihat Shoto. Artinya, kau harus melihat orang yang dulu menjadi bagian dari masa lalumu agar kau bisa mengingat semuanya."


"Hahahaha...,"Hawks tertawa pelan, terdengar bergetar hebat tanda ia sedang terpukul, "Sia-sia kalau begitu, semuanya sudah mati."


Mata itu kembali berkilat, menatap professor yang tengah terduduk gemetar. "Katakan wasiatmu sekarang, Dokter. Mesin ini tak berguna sama sekali."


"Tolong Hawks-sama. Saya akan berusaha memperbaikinya! Saya aka-"


"Hawks-san."


Hawks menoleh. Melihat Yaoyorozu yang tengah menuruni tangga, berlari mendekatinya.


"Ada panggilan dari Todoroki dan Bakugo."


≪•◦ ❈ ◦•≫

Salahku sih, tapi ya mau gimana lagi.


Rada tolol emang anaknya, maklumi ya kawan-kawan.


"Sebenarnya aku tidak suka mengotori tanganku sendiri."Todoroki mengangkat bahu, "Tapi kurasa dipercaya menghabisi seorang Sanna Avicenna merupakan kehormatan tersendiri."


Mereka menggunakan strategi yang benar-benar tak terduga. Aku berdecih, masih berusaha tetap tenang. Ketidaksengajaan semua ini, menggiringku masuk ke dalam jebakan. Benar-benar di luar dugaan.


Aku memejamkan mata, berusaha berpikir jernih.


Ini gudang tidak terpakai. Penuh dengan debu, dan alat-alat terbengkalai. Sepertinya jika dilihat dari arah aku dibawa, gudang ini terletak cukup terpencil, sedikit memasuki gang-gang kumuh kota. Tidak strategis, dan tentu saja tidak akan terlalu menarik perhatian jika mereka membakarnya, akan butuh waktu untuk polisi, pemadam kebakaran menemukan lokasinya. Disini banyak barang yang mudah terbakar, mungkin akan ditetapkan sebagai kasus kebakaran tidak sengaja biasa.


Ada dua orang, tidak tiga orang yang bekerja. Satu yang membackup seluruh strategi mereka, kemungkinan didalam café itu juga terdapat rekan mereka mengingat bagaimana desain bir dan milkshake benar-benar dibuat persis agar aku salah meminumnya. Todoroki juga mengambil langkah meletakkan bir lebih dekat dibandingkan gelas milkshakeku, membuatku tanpa berpikir panjang mengambilnya reflek. Dalam bir itu terdapat obat pelumpuh, itulah kenapa Bakugo tidak menyentuh birnya sama sekali. Bekerja efektif setelah sepuluh menit, agar Aca tak mencurigai apapun. Aku sendiri menahan tindakan saat tahu kalau orang-orang didepan kami merupakan oknum yang bisa menghabisi nyawa manusia tanpa pikir panjang. Membuatku terpaksa tidak bertindak karna ada Aca persis disebelahku.


"Kasian sekali."Bakugo yang telah selesai mengikat tangan dan kakiku berdiri, menatapku dengan pandangan yang menyedihkan. Seakan aku telah melakukan kesalahan besar.


Masalahnya misi mereka jelas-jelas untuk menghabisiku. Tidak ada sama sekali toleransi seperti hanya untuk menyandera, atau menculikku, atau mengambil informasi sebanyak-banyaknya.


"Aku lupa, ini gelangmu kusita dulu ya, kasian jika ikut terkena darah."Bakugo mengangkat gelang dengan manik putih berukir bunga lily itu. "Bahaya sekali, soalnya rawan meledak sih."


"Sialan."


Nafasku terpicu, tubuhku panas dingin tanda tingkat kecemasan benar-benar sudah di ambang batas. Sementara aku sendiri terus berusaha memperbaiki ritme pernafasan tuk bisa kontrol diri dan mencari jalan keluar yang terbaik.


"Aku akan menghubungi Hawks dulu,"Todoroki mengambil ponselnya. Mukanya datar dingin berbeda sekali dengan yang tadi pagi.


"Ada kalimat terakhir?"Bakugo menoleh, "Karirmu berakhir mengenaskan di gudang tua. Indah sekali jika dijadikan sebuah novel."


"Sesuai etika, harusnya aku tau kenapa aku dibunuh oleh pihak yang bahkan belum pernah aku rugikan pada faktanya bukan?"


Aku menatap datar mereka berdua, kakiku perlahan bisa digerakkan. Efektivitas obat pelumpuhnya menurun.


Yang jelas, harus mengulur waktu.


Belum sempat Bakugo menjawab, Todoroki terlebih dahulu memotong.


"Diangkat."


≪•◦ ❈ ◦•≫


"Mana woy? Anaknya kok gada?"


"Berisik."Shirabu masih mengernyitkan dahi, menoleh sana-sini. Padahal ini titik koordinasi yang sudah mereka setujui. Sudah pusing apalagi dengan bacotan ria Futakuchi yang membuatnya tambah pusing.


"Kageyama bilang dia tidak menjemputnya."Konoha berjalan mendekat. Menunjukkan room chatnya dengan Kageyama. "Kalau si kembar kayaknya tidak mungkin deh, mereka kan dilarang keras menunjukkan identitas di depan umum. Suna juga begitu."


"Menurutmu ini angka apa?"Shirabu menunjukkan salah satu kolom chat dengan gadis itu.


"Kau bodoh ya?"Bukan Konoha yang menjawab, melainkan Futakuchi yang sudah turun dari motor dan melongok. "Itu plat kendaraan bego."


"Oh,"Shirabu kembali melihat kode itu, "Kukira sandi angka yang rumit."Ia baru saja berpikir bahwa itu adalah kode khusus. Ternyata memang tak semua hal harus dirumitkan. Ini memang plat kendaraan biasa.


"Nih, pelacakan GPS nya handphonenya dari dalam café itu."Futakuchi menunjuk ke dalam café tersebut, menyesuaikan dengan posisi yang ada di handphonenya. "Artinya memang tadi dia disini."


Astaga .


"Ah kesso."Konoha mengumpat, reflek menepuk bahu Futakuchi dan Shirabu, berlari ke arah motor. Langsung menyadari ada yang salah.


"Hubungi Kenma. Lacak koordinat pemilik plat kendaraan itu."Konoha memberi aba-aba. Cepat melempar helm ke Futakuchi sebelum akhirnya memakai helmnya sendiri, memanaskan motor dengan cepat,"Kalau dilihat dari waktu pengirimannya, Sanna menghapus sepihak pesan yang berisi plat kendaraan sebelum ada oknum yang mengirimkan pesan 'aku pulang sendiri' ke kau."


"Aku paham."Shirabu mengangguk, menyambungkan bluetooth dengan panggilan. Kenma Kozume tak bisa dihubungi dengan cara biasa. Seluruh divisi tahu bahwa Kenma hanya bisa ditemui langsung di basement bawah tanahnya atau lewat anggota divisi Neko.


"Moshi-moshi, Shirabu-desu, Yaku-san bisa tolon-"


"Oi Shirabu, sudah bertemu Sanna?"


Gigi Shirabu bergemeretak, "Yaku-san, maaf merepotkanmu, tapi keadaan sedikit gawat sekarang. Tolong sambungkan aku dengan Kenma."


≪•◦ ❈ ◦•≫


"Kerja bagus."


Persetan dengan dokter sialan tidak bergunanya itu, Hawks terkekeh mendengar kabar baik ini. personil mereka memang tak pernah mengecewakan. Ia mungkin akan membuat sebuah rekor baru setelah ini.


"Kami akan melakukan eksekusiny-"


"Ganti ke panggilan video. Aku ingin mengucapkan beberapa kalimat selamat ke Sanna Avicenna karna sudah bersedia menerima kalian sebagai malaikat mautnya."


"Ah- oke siap."


"Keren juga mereka."Mirko bergumam pelan, "Kenapa tidak dibawa kesini saja? Kita bisa menyambutnya meriah."


"Untuk apa? Semakin lama hanya akan membuat rekannya tau ada yang salah."Hawks mengangkat bahu, "Selesaikan sekarang, setelah ini aku akan cepat membuat bendera perang antar dua grup."


"Kau benar-benar tak bisa ditebak."Aizawa menghela napas panjang, "Padahal baru saja kemarin kau menandatangani petisi gencatan senjata dari HiQu saat Oikawa Tooru datang."


"Oh ya? Mungkin kertasnya sudah dibakar."


"Ini Hawks-san."


Layar Ipad itu menunjukkan sosok perempuan berambut biru mengernyit kesakitan, wajahnya dipaksa mendongak akibat tarikan di rambutnya oleh Bakugo. Mata turqoisenya terlihat jelas. Sekian lama dengan tahta dan nama besarnya, wajah bertopeng kitsune itu akhirnya terungkap.


"Lumayan juga, sebenarnya kita masih bisa memanipulasi pikirannya,"Dabi bergumam pelan. "Bagaimana Ha- bro?"


DEG.


Hawks membeku. Sekilas, saat ia menatap benik bening turqoise, tubuhnya menegang tanpa sebab. Seperti tersengat oleh aliran listrik bertegangan rendah, sepersekian detik melewati saraf. Seakan memutar paksa kenangan yang sudah lama terpendam ditelan waktu.


Lelaki tersebut reflek mengernyit kesakitan sebelum dentuman-dentuman ringan menekan kepalanya. Bayangan-bayangan yang berkeliaran terlihat semakin jelas, suara-suara menggema nyaring nyaris memekakkan kedua telinganya.


"Mulai sekarang, kau adalah anak kami ya Keigo!"

"Okaa-san! Lihat dia sudah bisa berjalan!"

"Tidak usah pedulikan apa yang tetangga bilang, kau dan adikmu mirip kok. Apa pentingnya warna rambut?"

"LARI! BAWA KELUAR SEBELUM APINYA MEMBESAR!"

"KEIGO, JAGA ADIKMU!"


BRUK!


"Oi!"Aizawa reflek berlari kecil. Melihat Hawks yang reflek mundur satu dua langkah. nyaris terjatuh andaikata tidak tertahan oleh dinding putih di belakangnya. Memegangi pelipisnya dengan nafas menderu.


"Apa yang terjadi?!"


"Hawks-san?"


Hawks masih mengatur nafas saat ia menoleh ke Dabi. "Apa yang kau rasakan saat bertemu Shoto pasca memakai mesin ini?!"


"Hah?"Dabi mengangkat alis tak paham, "Seperti tersengat listrik, lantas ak-"Lelaki itu menghentikan ucapannya sebelum kemudian menggeleng-geleng tak percaya, berhasil menebak keadaan dengan tepat "Chotto matte- don't tell me that-"


Jelas sekali ada sebuah plot hole besar di antara semua skenario ini.


Hawks tak perlu berpikir panjang. Ia langsung bisa menemukan kesimpulan emasnya. Lelaki itu memperbaiki posisinya, kembali berdiri tegap. Menatap layar dengan pandangan serius.


"Jangan apa-apakan dia, aku kesana sekarang."


≪•◦ ❈ ◦•≫


"Oke siap."


Todoroki memutus sambungan. Menatapku dengan pandangan angkuh,"Kau beruntung. Ketua sendiri yang akan datang kesini."


Beruntung palamu.


Tapi itu cukup.


Tanganku terikat ke belakang, artinya pergerakanku akan terbatasi sekali, berbeda jika mereka mengikat di depan.


Ikatan di kaki longgar, sepertinya ada yang mengira kalau aku masih lumpuh.


Aku ingin sekali menarik jarum pentul hadiah Teru lantas menusukkannya ke mereka berdua tapi tanganku terikat kebelakang sial.


Mari mulai dari kaki.


"Sepertinya ada yang berusaha menenangkan diri."Bakugo melirikku yang tengah memejamkan mata.


"Siapa yang tidak panik, Hawks lebih kejam dibandingkan kita. Kau tidak ingat ketua lama?"


Ebangst malah ngobrol. Tapi tidak apa-apa, kacangkan saja saya.


Jika ini adalah tali bukan borgol, maka seribu kali lebih mudah. Di posisi ini mereka terlena akan obat diawal. Aku hanya perlu menerapkan pelajaran 'cara melepaskan diri'level pertama dari Mai. Kemungkinan besar ini terdiri dari beberapa simpul rumit, tapi seerat apapun simpul tersebut, akan tetap renggang jika dipaksa perlahan. Itulah yang kulakukan, dua kakiku yang diikat saling menjauh perlahan. Memaksa ikatan tersebut memberikan celah.


Kedua, dari dulu aku tak pernah memakai sepatu bertali, untuk sekarang saja aku memakai loafer casual. Itu memudahkan cara kedua. Ikatan berfungsi untuk menahan kedua kaki agar tidak kemana-mana, tapi penahannya tersebut tak lain tak bukan adalah sepatu. Kaki kiriku menahan sepatu kaki kanan sementara kaki kananku berusaha untuk melepaskan diri dari sepatu tersebut.


Ini akan sedikit menyakitkan, aku meringis pelan. Gesekan kulit dengan tali tambang kasar yang benar-benar tidak ramah itu menyakitkan. Aku meluruskan kaki kanan sebagai kaki dominan lantas sedikit memaksanya memasuki celah dari simpul ikatan tersebut.


Kaki bebas maka akan membuka peluang, setidaknya aku bisa berlari kencang, jendela arah jam dua sepertinya bagus untuk keluar.


"Kenapa kau pendiam sekali, membuatku semakin ragu apakah kau benar-benar Sanna atau kami yang salah sasaran?"


"Anggap saja kalian salah sasaran,"Aku menggerutu, "Beritahu ke siapapun yang menyuruh kalian, aku bukan ancaman. Membunuhku sama sekali tak membuat efek apa-apa."


"Menurutmu, iya. Menurutku tidak."Todoroki di sana menjawab dingin, "Tapi berdoa saja ketua kami memiliki pikiran lain, mungkin untuk mengambil informasi, atau menghapus ingatan, atau apalah eksperimen yang cocok selain membunuhmu."


C'mon dikit lagi!


"Tapi jujur saja, jika bukan persoalan masalah internal grup kita, mungkin kita bisa berteman baik."Todoroki meletakkan senjata apinya. Mengecek handphonenya sekali lagi. "Oh, cepat sekali, sepertinya Touya-nii mengebut ugal-ugalan lagi."


Aku meringis, sekali lagi. Usaha ke sekian melepaskan satu kaki. Praktik lapangan lebih susah, aku mengeluh.


"Aku penasaran apa yang dari tadi kau lakukan,"Bakugo menarik lengan kiriku paksa, membuatku reflek mengaduh. "Ternyata oh ternyata."Bergerak cepat hendak membenarkan ikatan.


"Nice timing."Aku mendesis.


Percobaan ke sekian. Sukses. Kaki kananku bebas dari jeratan tali. Kaki kiriku reflek mengambil pijakan terbaik, sementara kaki kananku mengambil ancang-ancang. Bergerak melesat dari bawah.


Bakugo reflek melepas lengan, melangkah mundur, tapi sayang itu malah menjadi titik serang yang tepat.


Targetku melenceng dari [ekhem]nya menjadi rahang lelaki tersebut.


DBUG!


"UGH!"


"BAKUGO!"


Kaki kananku telak menendang rahangnya, sampai aku berhasil membuat kepala lelaki itu mendongak paksa ke atas. Todoroki menarik senjatanya cepat, berlari hendak menerjangku. Begitu pula Bakugo yang menyeka darah akibat lidahnya yang tadi tergigit akibat tendangan rahang.


Tanganku yang terikat di belakang, menarik pipa besi sebagai pegangan mengingat tubuhku masih perlu waktu untuk pulih dari obat tersebut, langsung menjatuhkan diri, merunduk cepat menghindari letusan tembakan Todoroki, kaki kananku sebagai kaki dominan mengayun di lantai, kaki kiri membantu dorongan kaki kanan, menendang telak kedua kaki Bakugo. Di sudut ini dengan serangan tadi, pasti keseimbangannya goyah.

"Rasakan itu."Aku mendesis, melihat Bakugo terjatuh, lucky role, ia terjatuh membuat Todoroki yang tengah berlari ikut terjatuh tersandung.

Aku bergegas berdiri. Tanpa babibu, dengan latihan yang sudah kuterapkan berkali-kali di rumah. Kaki kiriku keluar dari dalam area ikatan tangan, meski susah tapi karna sudah terbiasa, ini menjadi dua ribu kali lebih cepat dari yang seharusnya, begitu pula kaki kanan yang langsung membuat kedua tanganku yang terikat menjadi di depan sekarang.


Aku berdecih, dengan cepat berlari sedikit tertatih karna luka gesek di kaki kananku.


Jendela arah jam du-


DOR!


"AKH-"


"Kesabaranku habis."Bakugo menurunkan senjata apinya yang masih mengepul tanda baru saja memuntahkan amunisi.


Amunisi yang baru saja mengenai samping betis kananku. Membuka sebuah luka gores yang cukup dalam. Membuat aku langsung terjatuh disertai rintihan sakit. Darah menyembur cepat. Rasa perih disertai panas yang mendalam langsung terasa menyerbu saraf yang dialirkan ke otak.


"Apa sih yang aku harapkan?"Todoroki membersihkan bajunya. "Apakah kita perlu menembak kedua kakimu dulu? Sabarlah, tokoh utamanya akan segera datang."


Persetan dengan kabur, mau digerakkan saja kakiku sudah amat sakit. Aku meringis kesakitan. Berdenyut perih.


"Ah akhirnya."Bakugo mendengus kesal, menyeka darah dari lidahnya dengan lengan bajunya. Membuat bercak merah khas di kaos nya itu. Aku menoleh syok, mendengar suara kendaraan di luar. Menderung kencang.


"Kau yang menyambutnya, aku akan mempersiapkan Sanna."Todoroki menghela napas, mengacak rambutnya perlahan, Bakugo berjalan mendekat ke arah pintu gudang sementara Todoroki memperbaiki sarung tangan latexnya menuju ke arahku yang tengah panik.


Panik. Asli. No. hoax.


"Semoga saja hukumanmu diperingan."Todoroki mengangkat bahu.


"Awas saja ka-"


Suara dentuman terdengar kencang sekali. Membuat gerakan Todoroki berhenti. Kami menoleh bersamaan ke arah pintu masuk. Kurasa pintu gudang baru saja dirubuhkan.


"P FOR PUNTEN!"


Oke, kali ini Konoha, Futakuchi ganteng banget kalo udah mode menyelamatkan uuuuu tikung aku mas.


Aku dengan cepat memahami situasi, berusaha berdiri, apalagi setelah Bakugo sigap melepas tembakan, Konoha membelokkan motornya kencang, sementara Futakuchi di belakangnya membalas tembakan tersebut.


Todoroki berdecih, reflek berlari ke arahku, menarik klip di pistolnya. Aku merintih tertahan, berusaha memaksa kakiku yang terluka parah bergerak karna dari gerak-geriknya dipastikan Todoroki mengambil langkah menyandera. Membuatku harus segera kabur, setidaknya berusaha tidak menjadi beban.


BAM!


"UGH!"Todoroki reflek berputar cepat, merunduk berguling menghindari tembakan beruntun, mengambil salah satu besi pipih sebagai tameng. Konoha dan Futakuchi menggila.


"SANNA!"


Aku menoleh. melihat Shirabu menjulurkan tangan, memegang kendali motor yang melaju sangat cepat hanya dengan tangan kiri dengan tangan kanannya menjulur. Aku tersenyum tipis, dengan cepat ikut menjulurkan tangan membiarkan Shirabu menarikku paksa ke belakang- sempat terseret laju motor tapi aku berhasil duduk di belakang Shirabu.


"DUDE, KITA KEMBALI SEKARANG!"Shirabu berteriak kencang.


"ADUH TANGGUNG NIH."


"GOBLOK!"


Konoha usai mengumpat langsung mengangkat tangannya, menarik pelatuk. Amunisi melayang cepat menghantam pintu belakang gudang, langsung kena gerendelnya yang tergembok. Membuat pintu itu terbanting terbuka lebar. Membuka jalan keluar.


Futakuchi menembakkan amunisi ke langit-langit. Membuat kayu-kayu rapuh dari gudang bekas tersebut runtuh. Menimpa apapun yang ada di bawahnya. Siap meremukkannya.


Shirabu menarik gas moge yang aku yakini milik Futakuchi itu. Menambah kecepatannya, membuat aku yang tak memakai pengaman kepala serasa ditampar angin.


"Sorry terlambat."


"Gini aja aku sudah bersyukur. Thanks Shirabu."


"Aku penasaran apa reaksi Suga-san kalau tau ini."


"Tolong jangan."


Konoha menambah kecepatan hingga motor mereka berdua sejajar di gang sempit ini. Futakuchi terkekeh menertawai kondisiku. "Aduh aduh aduh, ada yang nyaris disapa malaikat maut."


Aku berdecih, kesal.


Konoha menoleh memastikan keadaanku sebelum akhirnya berkata mantap.


"Kita kembali ke gedung utama sekarang."


≪•◦ ❈ ◦•≫


"Seharusnya aku mengemudi lebih cepat."Dabi bersiul pelan. Menyaksikan kekacauan dengan santai. Menendang balok kayu didepannya. "Oi Shoto, kau baik-baik saja."


"Mereka baru saja pergi. Maaf."Todoroki menunduk, meminta maaf. Sebelahnya Bakugo juga. Siap menerima hukuman kegagalan.


"Santai saja, ini salahku yang tiba-tiba menyuruh kalian menunda."Hawks melambaikan tangan. "Aku paham, jika sesuai rencana pasti akan berhasil. maafkan aku. Obati cepat luka kalian."


"Terimakasih Hawks-san!"


Dabi berjalan mendekat ketika adiknya dan temannya tersebut menepi, luka-luka ringan akibat runtuhan balok-balok tersebut harus segera diobati.


"Apa yang akan kau lakukan?"


Hawks mengangkat bahu. Terkekeh perlahan.


"Kurasa sekarang aku punya alasan tidak menghancurkan HiQu untuk saat ini."


≪•◦ ❈ ◦•≫


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro