[ii-12] SAMAR (Last)
Byeomgyu melompat di antara kami, menarik paksa gadis yang kerasukan. Aku terbatuk-batuk kehabisan oksigen. Jake masih terpana sambil mendekap erat sarung pedang.
"Kenapa kau biarkan dia, Bodoh!" amuk Byeomgyu. Dia menatap sarat khawatir ke arahku, seraya berjuang menahan pemberontakan Chensu. "Tuan Park baik-baik saja?" tanyanya.
Aku menyeringai bodoh, lantas menatap heran ketua vampir nomaden di belakang. Kedua vampir peminum darah hewan itu tidak dalam kondisi terikat oleh kami. Aku menelengkan kepala, menuntut jawaban ke Byeomgyu.
"Kenalan lama, Tuan." Byeomgyu menjawab pertanyaan yang sama sekali tidak kusuarakan, tetapi pemuda itu bisa menebak kepalaku. "Ini Kim Seokjin, Lee Sarang, dan yang ini Chensu, adik Seokjin," beber Byeomgyu, semakin kesulitan karena kaki Chensu menendang udara.
Seokjin mendekat. Tangannya membungkus kedua pipi Chensu penuh sayang. Tatapannya yang lembut disertai senyum hangat. "Kita baik-baik saja, tenanglah, hm?"
Chensu menggeram, kehilangan kesabaran. Dia menggelengkan kepala keras.
"Mereka orang baik," tunjuk Seokjin.
"Tapi kenapa mereka menculik yang lain, berusaha menangkapi kita?" tuntut Chensu.
"Karena memang seharusnya bersekutu."
"Aku tidak percaya mereka."
"Kau percaya padaku, Chensu?" pancing Seokjin.
Chensu hendak mendebat, tetapi ucapannya tertelan selagi ekspresi wajahnya aneh kala menatapku. Seakan dia memang ketakutan.
Aneh. Apakah vampir bisa mengidap Multiple Personality Disorder? Baru tadi dia tertawa mengejek, lalu menyerangku secara brutal dan kali ini ketakutan tidak jelas.
Wajah Chensu semakin ketakutan. Dia melelehkan air mata, tampak kesakitan. Namun, semua anggota Polaris tidak terpengaruh. Mungkin ini metode aktingnya setelah Seokjin setuju ikut dengan kami pergi ke camp. Seharusnya sejak awal aku membawa Beomgyu, mengejar ketua klannya. Otomatis anggota kelompoknya ikut serta. Bukan duel bodoh seperti ini. Aku merasa tolol. Bukankah dari duel ini aku bisa menemukan aroma yang tiga tahun kucari? Pantas saja dia tidak bisa terlacak. Baunya sudah tercampur dengan kambing.
"Siapa sebenarnya gadis gila ini?" Aku menatap galak Seokjin.
"Dia adikku."
"Kenapa dia menangis?"
"Tinjumu menyakitkan!" Chensu menyalak. Seokjin tersenyum kaku. Sikap mereka semakin mencurigakan. Ditambah Sarang yang mendengkus keras-keras.
Mereka jelas menyembunyikan sesuatu. Aku tidak berkomentar. Perhatianku teralihkan ke pedang di dekapan Jake. Chensu berhenti memberontak selagi Byeomgyu melepaskan borgol tangannya. Aku berdiri di depan, memimpin perjalanan menuju pinggiran desa. Begitu menemukan jalan, mobil minibus sudah siaga membawa rombongan ke Gangneung.
Aku duduk di depan, menatap kosong pemandangan yang berlari di belakang. Perspektif relatif membuat apapun yang kulihat berpindah tempat, berlari sukacita. Langit tampak sempurna tanpa awan, seakan ikut bahagia dengan penemuan besar ini. Akan tetapi, aku tidak berani menyuarakan isi pikiranku di dalan minibus yang melaju cepat. Bibirku terus berkedut, ingin tertawa bahagia. Masalahnya situasinya tidak tepat.
Tugasku sebagai ketua Polaris belum berakhir. Banyak vampir nomaden yang harus dibawa ke camp. Mereka masih berkeliaran di berbagai sudut hutan, gua dan pegunungan. Aku harus menangkapi semua tanpa terkecuali. Masalahnya, hanya gadis di jok tengah pemarah inilah yang menjadi kunciku. Dia alasanku bertahan.
Aku melirik ke belakang, mendapati semua vampir hanyut dalam pikirannya masing-masing. Chensu memainkan kepang rambutnya. Bibirnya terus mengerucut, tidak suka naik kendaraan beroda.
Matanya yang tajam menusukku. Dia menatap penuh dengki, lantas membuang muka. Agaknya tidak suka duel berujung tanpa hasil. Seandainya Byeomgyu tidak menarik Chensu, aku sudah tidak ada di dunia ini.
"Mwo?" bentaknya. Raut kecut campur muram itu tidak asing bagiku.
Otot pipi tertarik menyamping kala tersenyum. Aku tidak perlu menjawab. Kutatap lurus jalanan di depan.
Apakah dia marah hingga pura-pura mengenalku? Setelah mencekikku terakhir kali, tatapan mengejeknya sirna digantikan ekspresi kebingungan. Dia menaruh curiga, tidak mau berada di dekatku. Aneh sekali. Padahal aku tidak menyerang Chensu sama sekali. Aku menangkis semua hantaman gadis itu dan membiarkan beberapa bagian dalam tulang dan ototku hancur. Chensu sengaja berjarak seolah aku pelaku kejahatan berat dan patut dijauhi. Seolah dia trauma karena kupukul.
Beberapa jam kemudian mobil tiba di pusat perlindungan. Kelompok Seokjin dibawa ke bangsal utama atas permintaanku. Polaris masuk ke ruang lain untuk merancang strategi lain. Aku memercayakan strategi mereka untuk penyergapan lain. Namun, jati diri Chen Su yang utama.
Seokjin duduk membaca sebuah buku di sofa. Aku mendaratkan tubuh ke sofa lain, dan mengamati dua vampir perempuan yang mengagumi kotak kardus berisi pakaian-pakaian usang.
"Sebelum kau mendaftarkan diri, aku ingin tahu asal usul kalian, Seokjin-ssi," kataku penuh minat.
"Kami berasal dari Jinju," jawab Seokjin tanpa menoleh. Dia masih berkutat dengan buku setebal bantal.
"Asal kalian digigit dan bersekutu," ralatku. Tidak puas dengan jawaban asal kota. Aku lebih suka kisah mereka sampai berkeliaran di pendalaman Gunung Jiri yang misterius.
"Aku dan Sarang sama-sama digigit vampir tidak dikenal. Kami masing-masing berkeliaran sendirian, sebelum akhirnya aku diselamatkan dari bahaya oleh Sarang. Dari situ kami saling melindungi satu sama lain." Penjelasan ringkas Seokjin merupakan jawaban yang lumayan sejauh ini. Ringkas. Aku ingin yang lebih spesifik mengenai Chen Su.
"Lalu adikmu?"
"Dia adikku."
"Tidak mirip." Komentar tajamku merubah raut wajah ketua kelompok itu.
"Orang tua kami saja beda rupa, masa mengharapkan semuanya 100% mirip?"
"Oke." Aku tertawa canggung. Bukan itu masalahnya. Kulihat bagaimana keakraban adik kakak itu. Tatapan manja Chensu pada Seokjin atau pun kecemburuan Sarang.
Jawaban Seokjin tidak relevan. Dia menyendiri saat bertemu Sarang.
Aku mencondongkan tubuh penuh minat ke tengah meja.
"Chensu terakhir yang bergabung, kan?" tanyaku.
Seokjin mengangkat wajahnya dari buku. Kelopak matanya bergetar sewaktu menatapku. Dia agak gugup menghadapi pertanyaanku.
"Katamu, kau dan Sarang sendirian. Jadi Chen Su awalnya bukan bagianmu, kan?" serangku lagi.
"Tentu saja dia ada. Kami jarang bersama karena Chensu suka berkeliaran lama di luar, sementara aku suka menetap di suatu tempat," papar Seokjin kalem.
Aku menganggukkan kepala pura-pura setuju.
"Lalu kenapa aku sangat mengenal wajah yang kucari? Kenapa dia ketakutan setiap menatap wajahku?" Aku menaikkan salah satu alis, menuntut keanehan yang harus terjawab, terutama perilaku Chensu yang suka berubah sesuka hatinya.
"Maksudmu? Kalian pernah bertemu?" Seokjin sangat terkejut. Aku bisa mendeteksi emosinya yang terguncang. Emosi itu berupa gairah sekaligus antisipasi. Tatapannya semakin menilai karena pertanyaanku.
"Ya." Aku menjawab enggan.
"Mustahil. Chensu suka berkeliaran, tapi tidak pernah terlibat dengan vampir lain. Barangkali dia tidak peduli dengan Anda, Tuan." Seokjin berkelit.
"Benarkah begitu? Tapi dia langsung menghajar kepalaku dengan dahinya." Aku menunjuk dahi. Aku bisa meraba tulang di pelipis sedikit penyok ke belakang.
"Itu karena kau memang layak dipukul, Tuan Park." Chensu menimpali, ditambah dengan nada penuh hinaan saat memanggil nama belakangku. "Kau menghina bauku yang mirip kambing."
"Ah, tidak. Aku cuma ingat bau sundae." Lagi-lagi aku meralat. Tatapanku masih terkunci di wajah Seokjin. Mengamati sosoknya yang diam penuh kecanggungan.
"Aduh!" Chensu memegang kepalanya. Raut panik itu sangat jelas.
"Sakit kepala lagi?" tanya Sarang penuh perhatian. Dia menahan punggung Chensu agar tidak roboh.
Semakin aku mengamati, sikap Sarang sangat tidak alami, seperti terpaksa menyamarkan kedekatan kakak ipar pada adik yang sakit. Sudah jelas mereka tidak saling menyukai satu sama lain. Sikap itu mengusikku.
"Chensu," panggil Seokjin. Pria itu beranjak cepat, menangkup kedua pipi Chensu dengan penuh kehangatan. Tatapan penuh perlindungan Seokjin membuat Chensu tersenyum lemah, tetapi dia mengerjapkan mata. Air matanya bergulir deras.
"Aku takut."
Jawaban itu terlontar, sangat mengejutkan hatiku. Dia tidak akan bisa berbohong di depan Seokjin soal emosinya. Mengingat bagaimana sikap Chensu tadi, bebas dan suka berkeliaran, aneh saja dia bisa lemah di depan kakaknya. Seharusnya jika punya jiwa petualang, dia takkan peduli urusan kakaknya, apalagi dengan kehadiran Sarang.
Seokjin sangat menyayangi gadis itu. Begitu pula Chensu yang menumpahkan semua isi kepalanya secara apa adanya.
"Kenapa dia?"
"Ingatan terakhirnya sebagai manusia terbawa sampai sekarang saat dia berubah. Dia masih trauma melihat kematian."
"Kapan persisnya ingatan buruk terjadi?"
"Dia tidak pernah cerita," balas Sarang.
Seokjin dan Sarang diam-diam bertukar pandang gelisah. Aku semakin curiga, lantas kudekati Chensu, membaui aromanya lebih dekat. Sangat disesalkan aroma yang membuatku hilang kewarasan itu menghilang. Di depanku, hanya aroma kambing sisa perburuan yang membuatku tidak nyaman.
"Kau," panggilku penuh selidik, "ingat aku, Yoo Yuri?"
"Siapa kau? Kenapa aku harus mengingatmu?" Chensu berpikir, seakan dia pernah mendengar nama itu di suatu tempat dan berusaha mengingatnya. "Siapa dia?"
Aku berjengit. Kaget karena ketidakacuhan Chensu kala menanyakan Yuri. Mungkin pendapatku salah. Aku sedang menipu diriku sendiri bahwa dia adalah gadis yang sama.
Apakah pantas aku berharap bahwa Yuri mengingatku sebagai temannya? Dia tidak pernah tertarik padaku. Seharusnya aku merelakan Yuri pergi. Biar aku yang pergi bahkan dalam keadaan haus luar biasa, asal dia baik-baik saja. Menghilang tanpa kabar ini sangat menyakitkan.
Aku menjauh, tersenyum rikuh dan berhenti menggali kehidupan kelompok Seokjin. Terus mengharapkan sesuatu yang tidak pasti harus kuakhiri.
"Benarkah kita tidak pernah bertemu?" tanyaku, sedikit memohon bahwa jawabannya sesuai keinginanku.
"Lantas kau bakal bilang pertemuan kita adalah permainan takdir? Bah!" Chensu mengernyit jijik.
"Mwo?" Aku tercengang. "Kau mirip dengan temanku. Kukira kau adalah dia. Maaf jika salah mengenalmu." Aku berbalik meninggalkan kelompok itu ketika ketukan dari luar pintu terdengar.
Petugas sensus pemilik mata indah si Taehyung menyapaku sekilas. Aku mengintip formulir pendaftaran sensus yang baru. Kali ini formulirnya menggunakan format baru. Tak ada kolom penjamin. Aku lega permintaanku agar ada perubahan formulir bisa teratasi. Akan merepotkan kalau aku menanggung biaya hidup tiga vampir pemuja kambing. Aku segera keluar dari bangsal utama untuk meminta jatah minum. Tenggorokanku terlalu kering. Mungkin aku harus mendinginkan isi pikiranku dengan darah. Siapa tahu rencana atau harapan baru memulihkan suasana hati yang menyerupai tornado.
Hiruk pikuk di bawah gudang yang penuh vampir menyebabkan aku sesak. Namun, utusan ketua klan menjemputku. Aku menghela napas kesal. Keinginanku untuk minum tidak terkabul. Pasti ada pembicaraan serius.
Benar saja. Dengan terlukanya Woonyoung, terjadi perubahan rencana. Polaris akan tetap melacak para vampir nomaden untuk direkrut, sementara aku yang mengambil alih pekerjaan Woonyoung. Artinya, aku harus menghadapi sekte pengusir makhluk kegelapan.
Ketua Park mendengar bocoran bahwa para penganut Sowon gempar dengan perselisihan di Pocheon. Dia marah besar mendapati salah satu lengan kepercayaannya terluka dan aku tidak melapor. Aku sibuk dengan tugasku sendiri sebagai anggota Polaris.
"Lupakan Yuri-mu! Kembalikan kepalamu, Sunghoon-ah! Kita pantas hidup karena tidak membunuh manusia!" Ketua Park menggeram kesal.
"Malam ini, kita blokade semua jalan masuk selain ke pintu bangsal utama. Arahkan semua vampir nomaden di sana. Tidak ada penolakan!"
Tidak. kuharap ini tidak terjadi. Di sana, Yuriku sedang mendata dirinya. Bagaimana bisa aku merelakan dirinya menjadi tumbal pembunuhan?
Tidak. Tidak. Tidak!
Dia cuma mirip. Aku punya harapan lain.
Namun, bagaimana kalau Yuri dan Chen Su orang yang sama? Bodoh kalau aku membiarkan dirinya diserang.
Banyuwangi, 17 Januari 2020
Revisi, 19 September 2022
Bagaimana alur ceritanya menurutmu?
Berapa banyak kejutan di kisah ini? Ini part terakhir buat Hoon ya.
Terima kasih untuk 5,8k view 1,3k vote pada hari ke-84 sejak pertama posting work, atas antutiasnya kalian membaca cerita ini. Nggak sabar menunggu jadi 6k, 10k dan entah berapa k lagi. Pokoknya seneng kalo notif jebol.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro