[55] TIGA HARI
Hei, yang punya Tiktok, mutualan nyoook.
Gimana sih cara nih epep bisa viral? Konon katanyaaaaaa~~~sakitnya karena diguna-gunaaaa~~~~
~Guna dari promosi laaah!
Yeeeuuuu malah nyanyi dangdut. Stop ngebadut deh. Haha.
Bikin konten promosi di Tiktok malah pening ngedit video gatot mulu. Padahal gemes pengen bikin movie trailer nih CoC, berjam-jam edit video malah susah ngaplod. Kalo gak, pict ketinggalan, salah di edit efek. Salah di subtitle. Pusyeeeeng!!!
*Aku haus 🍸🍸vote, sini💉💉 sedot bintang ⭐⭐dulu yaaa *
Dengan kawalan yang sangat ketat, aku dan dua vampir lainnya memasuki kamp perkemahan kecil. Sunghoon ada di pinggir pohon. Duduk dengan gelang besi mengikat tangannya. Gelang pemberat itu memiliki banyak cabang rantai yang dipasak ke berbagai arah, untuk menahan kekuatan sang vampir.
Namun, pasak itu agak tidak berguna selagi Sunghoon hanya duduk tenang, terutama karena dia tidak memiliki luka apapun selain goresan kecil yang sudah mengering. Dia tidak mencoba untuk melarikan diri.
Omong-omong, apa dia mau mati setelah tahu aku bakalan mati?
Dasar gila!
"Hei, sedang apa kau di sini?" tegurku, sengaja melipat tangan di pinggang.
"Kau baik-baik saja, Yuri-ya?" Sunghoon berdiri, tetapi jatuh tersandung salah satu pasak.
"Ya, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
"Yeah, kepalaku sudah dijual mahal dan diburu dua kubu. Namun, itu urusan nanti. Ketua tercintamu sedang mencarimu. Mungkin akan ada pertempuran akbar antara dua kubu selagi kau terperangkap di sini. Ayo pergi mencari Tukang Onar yang mengacaukan hidupku itu."
"Mwo?"
"Lepaskan dia," perintahku, sengaja membelakangi Sunghoon. Aku menatap galak ke Appa yang mengekor di belakang, antisipasi kami bakalan mengacau.
Appa mengangkat tangan, diikuti beberapa anggotanya yang membuka rantai besi di lengan vampir. Kulihat puluhan pasukan dari mereka memiliki tatapan penuh kebencian. Dari kejauhan, di atas pepohonan, anak buah Appa siap membidik kami dengan suntik bius bahaya lewat panah. Aku tidak peduli pada wajah intimidatif mereka selagi Sunghoon mengibaskan tangan.
"Seperti kataku, tunggu saja hal yang kujanjikan. Tiga hari lagi!"
"Hei, Tukang Onar sudah tiga tahun dicari Sunghoon masih belum ditemukan. Bagaimana dengan tiga hari itu?" Sarang penuh kesangsian.
"Itu karena dia mengenaliku. Dia akan datang mencariku," kataku penuh kebanggaan.
"Hei! Apa maksudmu?"
"KAU!" Aku berteriak tiba-tiba. Jari telunjukku mengarah ke hidung Sunghoon. "BALIK TEMUI ANGGOTAMU DAN CEGAH PERTEMPURAN GILA INI!"
"Kau mau ke mana?"
Kekhawatiran Sunghoon memang tanpa alasan. Namun, Seokjin benar. Aku harus melakukan sesuatu tanpa bantuan siapapun, termasuk Sunghoon.
Sekarang Sunghoon punya arti besar atas eksistensiku. Dia terlalu banyak melindungiku. Bukankah aku harus membalasnya?
"Seokjin Oppa, Sarang Eonni, sudah saatnya kita berpisah. Bawa Ksatria Gyeonghui kembali ke asalnya."
Aku menyeringai sinting, tetapi Seokjin dan Sarang menurut, meski keterkejutan di wajah mereka sulit untuk disembunyikan.
"Apa rencanamu?" tanya Sunghoon. Dia sangat kalut, terutama karena aku marah besar beberapa waktu lalu dan sekarang balas menyelamatkannya.
"Tidak usah tahu apa yang kulakukan."
"Kau tidak...."
"Mwo?" Aku menyela ucapannya. Reaksi tenangku tentunya membuat Sunghoon menggelengkan kepala tidak percaya. "Kka! Kkarago!"
"Ini tidak benar, Yuri-ya. Kita harus pergi bersama." Sunghoon berusaha memegang tanganku, tetapi kutepis tangannya dengan dingin.
"Bagaimana bisa kau bunuh teman sekelas kita?"
Aku tahu, berpisah sangat menyakitkan. Ternyata mati tidak semudah yang kupikirkan. Ada banyak pihak bersinggungan. Balas dendam satu sama lain selama ratusan tahun. Tapi, tidak kusangka bahwa masa remajaku berakhir dengan pelik. Terutama karena aku tahu ayahku terlibat dalam sekte. Tidak tanggung-tanggung sebagai pemimpinnya.
"Bukan aku. Aku melacak Tukang Onar begitu mendengar keberadaannya. Dia yang membunuh Jung-A, tapi aku terjebak di waktu dan tempat yang salah."
"Itu cukup bagiku. Sekarang, pergilah."
"Tidak bisa."
"Kau harus pergi. Ada ayahku yang harus tahu tentang klan Gyeonghui."
"Jangan, Yoo Yuri!" Sunghoon benar-benar ketakutan sekarang. Bagaimana tidak takut jika rahasia klan diekspos dengan mudah olehku. Jika pertahanan bawah tanah diketahui, akan sangat rawan diserang.
"Aku tidak cerita yang aneh. Hanya tentang cara hidup kita. Mereka harus mengenal agar tahu kita sesungguhnya seperti apa."
Aku ikut berjalan sampai tepi perkemahan. Puluhan orang masih mengikuti dengan waspada. Sunghoon berusaha berbalik dan membawaku pergi, tetapi Sarang dan Seokjin menggelengkan kepala, paham bahwa mereka sama tidak teganya meninggalkan aku sendirian di tengah musuh.
"LEPASKAN AKU!" bentak Sunghoon. Tatapannya berapi-api pada Seokjin.
Mata merah yang sempat kutakuti di dalam bus dulu, telah kembali dalam kegelapan malam. Sangat menakutkan di tengah kegelapan. Purnama sudah tenggelam jauh di balik awan-awan tebal. Sumber cahaya diandalkan pada senter-senter modern dan obor.
Ketiga vampir yang kusayangi itu saling tarik menarik, tetapi aku malah melambaikan tangan perpisahan.
"Senja datang lagi." Aku menatap ke langit. "Kuharap senja berakhir dalam damai besok."
Aku menghela napas pendek. Masih menunggu punggung ketiga vampir menghilang, tetapi mereka tidak kunjung berbalik sampai aku sendiri yang berbalik menemui Appa.
Seandainya aku bukan keluarga pendeta, tentu saja kepalaku sudah hancur kena geprek palu. Jantungku copot kena meriam besi. Namun, Yoo Youngjae sudah menginstruksikan bahwa aku berguna bagi gereja. Aku sumber informasi berharga.
"Untuk sementara, lepaskan kenyataan bahwa Anda seorang Pendeta Agung Gereja Sowon dan aku vampir gila dari Gyeonghui. Hanya ada aku dan Appa. Ini hanya reuni keluarga tanpa urusan permusuhan. Kau bisa membunuhku lewat anak-anak buahmu jika aku kelewat batas. Bawa saja beberapa orang sebagai penjagamu." Aku berkata tanpa ekspresi.
Namun, jujur saja perasaanku aneh. Aku merasa kembali jadi anak yang manja dan butuh dibela setiap Eomma mengamuk. Sekali ini saja, aku ingin perasaan itu muncul. Sebab Appa adalah sumber perlindunganku.
Appa memanggil beberapa orang, berikut dengan senjata yang menyasar jantungku.
Aku mengedikkan bahu tidak acuh. Kutatap wajah tua Appa. Ternyata aku tidak mengenal pria yang menjadi teman tidur Eomma selama bertahun-tahun. Kujelaskan awal bagaimana aku digigit, proses perubahanku, hingga gaya minumku yang berbeda. Bagaimana klan vampir terpecah menjadi tiga bagian karena perbedaan pandangan. Lantas saat aku menceritakan satu vampir yang membuatku selalu terpojok karena salah paham, wajah Appa mengeras.
"Menjadi vampir bukan salahku karena aku tidak meminta hidup seperti itu. Begitu pula vampir lain yang enggan membunuh manusia. Kami tidak punya pilihan selain bertahan hidup. Hanya saja, kau harus membunuh mereka yang tidak pantas. Mereka yang benar-benar membunuh dengan alasan haus darah."
Aku tersenyum kecil, senang bersikap diplomatis.
"Kita buru saja Tukang Onar itu. Sudah dua kali aku terlibat dengannya. Kalau Appa membunuhku, ya, baiklah. Gyeonghui tidak rugi. Tapi .... apakah kematianku membawa perbedaan? Tentu saja pembunuhan pada manusia tetap akan ada. Semakin merajalela karena kalian bertikai satu sama lain tanpa menyelesaikan masalah. Selagi kita saling merencanakan perang, dia di luar sana sedang membunuh satu manusia lagi."
Aku berhenti bicara. Merasakan luapan emosi. Sejenak aku ingin memeluk Appa. Namun, aku tidak mau kena tombak jika bergerak mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya, aku tertegun dengan sendirinya.
Kukira, habis sudah sebagai vampir yang kabur dari keluarga. Ditinggal tanpa kabar jelas menyakitkan. Tapi meninggalkan tanpa bisa memberi kabar, sakitnya tidak tertahankan.
Aku berada di posisi yang pergi. Namun, dengan keberadaan Appa sebagai pendengar, entah apakah ucapanku bisa dicerna olehnya, sudah cukup bagiku.
Setidaknya ada satu anggota keluarga yang tahu tentang aku secara apa adanya.
"Baiklah. Kita buru Tukang Onar itu. Jika tidak bisa, perang tetap akan terjadi. Vampir tidak seharusnya hidup."
"Ya, terserah kalian. Namun, aku mau mencekik Tukang Onar itu. Dia yang membuatku susah."
"Tidak. Gyeonghui harus membayar karena telah mencuri putriku."
"Appa!"
Aku tersentak setelah mendengar kata terakhir. Tangisku pecah.
"Pergilah. Waktumu tiga hari lagi."
12 Oktober 2021
Tratak tratak dungdung......
Lima bab lagi tamat. Siap pisah, kawan?
Revisi, 23 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro