[52] PENYERAHAN DIRI
Karena animo reader tinggi, kali ini aku update bab baru. Jangan lupa, kaya biasa, votenya dipencet dulu.
Terima kasih yang setia menunggu sampai berjamur, meski separuh ilang, tapi yang newcomer reader baru-baru ini ngevote bab 1, ahaiiii. Asyik!!!
Puas nggak sama bab kemarin yang lovey dovey?
Banyak pasang mata mengawasi kedatangan kami. Vampir-vampir yang tidak pernah kulihat keluar dari setiap pintu rumah untuk mengintip. Terang-terangan menelanjangiku dengan tatapan penuh arti.
Aku kena palu godam tak kasat menyadari bahwa tatapan penuh kritik itu terjadi karena kabar pertempuran dengan Sowon datang lebih cepat. Mereka benar-benar penasaran dengan jati diriku yang luar biasa. Dua hal yang membuat citraku sangat buruk. Satu, kandidat pelaku pembunuhan manusia yang mengekspos jejak vampir keseluruhan. Dua, Anak musuh menjadi bagian klan, pasti menarik perhatian. Aku benci menjadi sorotan. Semuanya pasti mengolokku sebagai mata-mata gereja.
Keinginan untuk sembunyi harus disingkirkan lebih dahulu. Memanfaatkan bakat aktris yang kupunya, aku memperbaiki postur tubuh dan ekspresi wajah agar terlihat kasual. Aku menjadi tak acuh dengan suasana yang serba baru.
"Park Sunghoon, dari mana saja kau? Tiga hari yang kau janjikan itu tidak terwujud," sambut Ketua Park. Anehnya terdengar palsu saat memeluk Sunghoon sebentar. Dia menoleh padaku dengan tatapan yang sekali lagi, dipaksakan untuk menerimaku. "Ini gadis yang kita tunggu."
"Senang berjumpa dengan Anda lagi, Ketua Park."
"Ya. Katamu, kau punya kisah menarik."
"Tentu saja." Aku tersenyum, sama piciknya.
Baiklah, aku tidak akan berkelahi dengan siapapun. Aku kuat kalau lawanku kuat.
Ketua Park pasti jantungan jika Sunghoon nanti terpenggal karena sikapku. Dia tidak akan membiarkan Sunghoon mati. Karena itu aku harus mengambil hatinya dengan cepat.
"Aku sangat lelah banyak berjalan. Tempat sebelumnya sangat bagus. Sekarang malah jadi tempat horor baru karena gosong," selorohku.
Sunghoon melirikku aneh. Vampir sangat lelah? Omong kosong untuk diriku yang baru berburu darah kambing.
"Aku mau pacarku dapat minumannya lebih dahulu. Dia cukup lama menolak minum."
Ucapanku mungkin kurang ajar. Akan tetapi, lebih baik memanjakan diri dengan kemewahan yang pantas diterima. Aku tidak mau akhir kehidupanku dalam keadaan menderita. Setidaknya, harus ada limpahan minuman tanpa batas untuk menyadari bahwa hidup sebagai vampir dan manusia sama saja.
"Yuri-ya!" tegur Sunghoon.
Aku mengedikkan bahu tidak acuh, malah tersenyum dengan pongah. Sunghoon boleh saja tunduk patuh pada ketuanya, tetapi sebagai vampir muda yang baru saja digigit, aku belum pernah merasakan dibina kalangan Gyeonghyui agar tahan darah dan tidak berulah layaknya Jonghwi.
Secara hidup, aku terbiasa dengan kebebasan. Bersikap santun pada Ketua Park tidak ada dalam kamusku.
"Ah.... ya. Baiklah. Pelayanku akan mengantar kalian ke kamar yang hangat."
Aku menyeringai puas karena sambutan yang baik tersebut. Ketua Park memanggil salah satu pengawal untuk mengantarku ke salah satu ruangan. Udara sangat dingin di luar, tetapi lantainya sangat hangat. Aku segera merebahkan diri di dalam, selagi Sunghoon pindah ke bagian rumah lain yang bangunannya terpisah.
Tak ada lagi sepasang mata mengawasi. Di ruang berukuran 4x4 meter per segi, dengan satu matras tidur tebal dan setumpuk buku terbitan lama, aku duduk bersimpuh. Energi ceria itu menguap begitu saja. Aku tertelan dalam kekalutan.
Bagaimana cara memulai pembicaraan nanti? Tekanan itu membuatku jungkir balik. Secara harfiah, kepalaku sedang terbalik. Aku mempraktikkan headstand—gerakan yoga—selama beberapa jam berikutnya. Aku tidak bisa tidur dan mau mati rasanya karena bosan.
Begitu pula saat ketukan pintu terdengar tanpa diketahui siapa pemilik suara. Aku enggan menyapa tamu tidak diundang di luar, kecuali orang yang kukenal. Malah aku lebih berharap untuk bertemu dengan dua vampir yang merawatku tiga tahun terakhir.
Ketertarikan orang lain yang tidak berpentingan cukup berbahaya. Sebagaimana kisah dalam film-film, jabatan penting di kalangan vampir cukup berbahaya. Jadi aku tidak boleh berurusan dengan siapapun. Memangnya tidak bosan mengulang jawaban untuk pertanyaan yang sama?
Siapa namamu? Kenapa jadi vampir? Siapa yang menggigitmu? Apa aku yang melaporkan tempat persembunyian Gyeonghui? Bagaimana lolos dari perkelahian tersebut? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Kalau begini, aku bisa membuat novel paling epik soal haru biru, ayahku membunuhku karena calon suamiku menggigitku.
Hah, menjijikkan.
Suami?
Tidak.
Bukan.
Aduh, kenapa telingaku makin panas sekarang? Aku salah bicara, oke?
Suara gigi geraham itu membuat Sunghoon menoleh ke arahku. Dia kembali dalam keadaan lebih bersih, bugar dan wangi. Jejak kering kerontang kurang darah akhirnya menguap begitu saja. Aku malah minder karena belum melakukan apapun. Mungkin lebih baik bertemu dengan Ketua Park apa adanya.
Ah .... Sebelum mati, mandi dulu yang bersih. Namun, nanti saja. Aku ingin menenangkan pikiran.
Selama berjam-jam itu pula, Sunghoon menghitung durasi kepalaku menjadi tumpuan seluruh badan. Dia memang tidak punya pekerjaan selain menatapku.
"Kau kenapa diam?" tegur Sunghoon.
"Apa?" tanyaku.
"Tidak bisakah kau duduk dengan benar sekarang? Atau jaga sikap di depan ketua klan?"
"Sudahlah. Biarkan aku melakukan yang kusuka lebih dulu."
"Yuri-ya."
Aku menendang udara dan berguling dengan posisi sempurna. Lantas kutatap wajah Sunghoon sekali lagi. Dia kembali mengaturku. Aku tidak suka seperti itu.
"Apa tujuanmu kembali ke klan ini, Sunghoon-ah?" Aku melontarkan pertanyaan itu. Nada suaraku yang serius membuat Sunghoon menaikkan salah satu alisnya.
"Tentu saja ini tempat perlindungan kita," jawabnya dengan tenang. Dia merasa sangat damai berada di klannya sendiri.
"Menurutmu, kenapa manusia bisa berbahaya jika kita jauh lebih kuat? Untuk apa sembunyi ketakutan di tempat terpencil dan gelap? Aku tidak suka bersembunyi atau menutupi kekuatan baru. Aku tidak mau pura-pura mati. Lihat wajah ibuku? Aku tidak kuat untuk pura-pura senang atau menyukaimu. Sudah cukup bagiku. Aku tidak akan bersembunyi. Aku punya kesaksian penting sekarang. Pengakuan yang kau cari tentang apa saja yang kulihat dan kurasakan saat itu. Aku tidak suka hidupku yang kacau."
"Mwo?"
"Kau adalah kekacauan terbesarku. Aku tidak mau melanjutkan hubungan ini denganmu. Jangan mengaturku lagi soal aku harus bagaimana pada orang lain, terutama pada orang yang tidak kukenal di sini." Aku membentak dengan keras. Air mataku mau jatuh, tetapi kutahan sekuat tenaga. Dia tidak boleh melihatku lemah.
Aku berdiri dengan cepat. Sunghoon sama cepatnya denganku. Dia mencekal lenganku sangat kuat, menuntut penjelasan lebih banyak soal kata-kataku yang tidak bisa dia pahami. Aku segera menyentak cengkeraman Sunghoon.
"Aku tidak mau dipilih kau sebagai vampir. Semuanya sangat menjijikkan sekarang karena aku menghisap darah. Seharusnya aku tidak menertawakan ayahku yang memburu vampir. Kalau klan ini ingin hidup dengan cara kalian, lanjutkan. Kau juga hiduplah dengan cara moderatmu. Akan tetapi, aku tidak mau hidup seperti vampir lagi. Segera tangkap pelaku yang kau kejar. Jangan dilema lagi."
Kata-kata yang menyembur dari mulutku adalah penuh dusta. Air mata yang mengalir di mataku bukanlah hasil improvisasi atau lakon drama. Hatiku sakit sekali melihat reaksi Sunghoon yang membeku kaget.
"Aku harus apa?" tanyanya kehilangan akal. "Kau tidak semudah ini berubah. Apa yang terjadi padamu?"
"Tidak ada," jawabku ketus. "Sejak dulu aku sudah menolakmu."
Aku berbalik menghadap pintu berlapis kertas hanji. Pintu itu terdorong keras, lalu aku menghambur keluar untuk bertemu pimpinan klan. Kuseka air mata dengan cepat. Di seberang bangunan yang kutinggali beberapa jam terakhir, aku memanggil Ketua Park dengan lantang.
"KETUA PARK!"
Udara semakin dingin. Lampu kertas yang digantung di antara pohon persik bergoyang diterpa angin. Panggilanku telah mengundang puluhan pasang mata mendekat.
Aku si tukang onar yang gemar mencari keributan. Tanganku terkepal sangat kuat. Jujur saja, sistem mendapatkan makanan sangat bagus. Vampir tidak mencuri uang manusia. Mereka mencari segala cara dengan bersih dan rapi agar sumber keuangan terlihat normal di mata manusia. Sistem keamanan juga terjamin dan tidak bocor selama beberapa tahun. Satu yang tidak kusukai.
Vampir menggigit manusia tanpa izin untuk hidup abadi dalam penderitaan lainnya.
"Ada apa ini?" tanya Woonyoung. Langkahnya sempoyongan dengan sepasang kruk menahan ketiaknya. Jake hendak membantu, tetapi segera ditepis. Tatapan sinisnya belum lekang. Aura permusuhan masih terpancar dari terakhir kali kami bertemu di sebuah rumah dengan satu mayat terkapar kehabisan darah.
"Bukan urusanmu, Jang Wonyoung," aku menampik kesal. Aku tidak butuh sosok bermulut licin.
"Kawan, tidak pantas mengganggu ketenangan di sini. Cepat kembali ke kamarmu," pesan Jake semakin gugup. Kedua bola matanya melirik gugup, pasti sedang mencari Sunghoon.
Aku sudah lepas kontrol menghadapi tekanan amarahku, tapi auk tidak akan mundur jika puluhan pasang mata berkumpul di sekelilingku dengan waspada.
Jake berdecak karena Ketua Park sudah muncul dengan satu lentera menerangi wajahnya. Dia tersenyum ramah dan menyarankan aku masuk ke ruangannya untuk bicara secara personal.
Namun, aku malah mengangkat dagu dan berkacak pinggang.
"Aku menyerahkan diri."
Gemuruh vampir semakin keras. Tuduhan demi tuduhan diarahkan padaku.
"Penggal sekarang."
"Hebat sekali bersembunyi tiga tahun."
"Vampir gila. Bagaimana seberani itu menyerahkan diri di depan Ketua Park?"
Beragam komentar masuk ke dalam pendengaranku. Namun, aku tidak memedulikan semuanya. Kutatap intens ketua yang berdiri tanpa ekspresi. Dia penuh pertimbangan, lantas kusadari tatapan Ketua Park mengarah jauh menatap langit.
"Aku membunuh Baebong! Penggal—"
Ucapanku terpotong oleh suara langkah kaki dari samping bangunan. Kontan semua pihak menoleh ke asal suara itu. Kukira itu Sunghoon yang berupaya keras melindungiku dari aksi pemenggalan kepala. Ternyata Byeomgyu.
Wajahnya yang tegang, napas tersenggal, serta suara tinggi penuh tekanan mengacaukan rencanaku. Pengumuman itu mengejutkan semua pihak. Aku tidak pernah semalu ini di depan umum. Rencanaku gagal total untuk bersikap heroik dan jujur.
"Ketua! Seorang vampir membunuh manusia lagi!"
"Kapan?"
"Semalam."
"Tidak penting siapa korbannya. Yoo Yuri, apa itu kau?" tembak Ketua Park langsung.
"Tidak. Bukan aku." Aku membela diri. Kalau semalam, aku memang berburu, tetapi dikawal Sunghoon. Mana mungkin lepas kendali membunuh manusia.
"Siapa lagi kalau bukan kau? Pembantaian manusia bermula dari kematian Baebong."
"BUKAN AKU!" Aku berteriak marah, merasa disudutkan. Padahal lebih mudah aku mati jika dipenggal sekalian, tetapi kejahatanku cuma satu.
"Lalu siapa lagi kalau bukan? Siapa tahu Sunghoon berkonspirasi melindungimu, Yuri-ssi?" tekan Woonyoung.
"Kenapa kalau dia terus melindungiku? Kau iri karena tidak dicintai olehnya?" balas aku yang mencibir, tidak terima pada sindirannya. Oh yeah, kepalaku punya sumbu pendek. Temperamentalku buruk. Berkelahi dengan Woonyoung pasti menjadi kenangan menyenangkan, terutama karena dia pincang sekarang. Aku bisa menang melawannya.
"GADIS GILA!" Woonyoung mengamuk dan melempar kruknya. Dengan satu tangan, dia memegang sebilah pedang yang mirip Sunghoon. Dendam kesumatnya luar biasa untuk menggorok leherku.
Aku tidak gentar. Malah kupamerkan leherku dengan tenang.
"HENTIKAN KALIAN BERDUA! INI BUKAN WAKTUNYA MEMPEREBUTKAN PARK SUNGHOON!" teriak Byeomgyu.
Aku tersentak kaget karena baru kali ini sosok sekalem Byeomgyu bisa tegas.
Byeomgyu menoleh ke Ketua Park. Intonasi suaranya dilambatkan sebaik mungkin untuk menunjukkan rasa hormatnya pada ketua klan.
"Kali ini jauh lebih serius. Korbannya adalah Jung-A, salah satu anggota jemaat Sowon."
Dingin. Ciut. Beku.
Semuanya menjadi hening total dalam keterkejutan. Sunghoon pernah cerita jika vampir dari klan Gyeonghyui tidak pernah menyerang manusia lebih dahulu, terutama anggota jemaat. Jika sudah terjadi penyerangan seerti ini, Sowon tidak akan diam. Mereka pasti akan memburu semua vampir tanpa kenal ampun.
Kepalaku berputar. Pusing bukan main membayangkan ayahku bakalan membacok semua vampir dengan baju Gandalf-nya. Tidak. Aku tidak mau ayahku terluka. Aku ingin mati cepat, tetapi tidak mau terjadi perkelahian di luar kendaliku.
Gyeonghui juga tidak akan duduk saja menunggu jejak persembunyian ditemukan, terutama karena para vampir siaga dengan senjata masing-masing di balik mantel. Bukankah ini terasa seperti adu domba seseorang? Lalu siapa si tukang onar yang menyebabkan dua kelompok gencatan senjata puluhan tahun ini kembali perang?
Dia pasti sangat hebat dan punya pengaruh kuat. Tanpa nama atau fisik. Dia bagai angin. Dikejar malah hilang, tetapi sensasi dinginnya masih terasa.
"Mereka menyandera Park Sunghoon sekarang."
APA?
Mustahil Sunghoon melakukan pembunuhan terhadap Jung-A. Dia bersamaku sejak masuk ke bawah terowongan dan area rumah Hanok. Bagaimana bisa dalam lima menit terakhir menyelinap keluar, selagi aku mengamuk tidak jelas di depan Ketua Park!
Kepalaku berdenging. Aku roboh sekaligus ketakutan membayangkan Sunghoon ditangkap. Aku menyuruhnya diam di kamarku agar dia aman dan tidak melihatku mati. Namun, nyawanya yang terancam. Apakah sebesar itu rasa bersalahnya setelah aku mengatakan kata-kata terjahatku?
Seseorang menangkap kepalaku agar tidak menghantam permukaan tanah berbatu.
"Chensu!" panggil Seokjin panik. Aku tersenyum sekilas, senang melihat Sarang dan Seokjin baik-baik saja. Namun, aku tidak senang Sunghoon tertangkap Sowon. Aku pun menghilang dalam kegelapan sesaat akibat sikap impulsifku sendiri.
Kyaaaaaa, ige mwoyaaaaa......!
Sunghoon gimana nih?
Malah ketangkep beneran.
Sabar yee. To be continued!
Kali ini aku nggak nguber vote. Tapi biar aku semangat, yuk klik FOLLOW buat akun Ravenura. Kalau follower terhitung jumlahnya masih 530 pagi ini, kutantang cepet update bab 53 kalo tembus 550.
Yuk support akunku~~~
Banyuwangi, 12 September 2021
R
evisi, 23 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro