Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[47] SAKIT HATI

Annyeong!!! Siapa kangen Choose or Chosen?

Terima kasih untuk 17k viewnya ya. Sebagai apresiasi satu ini, ganti cover dong (lagi dan lagi kek gak ada bosennya).

Kayak biasanya, VOTE DULU YAAAAA~~~~

***

"Kau serius?" tanya Sunghoon.

Wajahnya yang berbinar, menampakkan secercah ketampanan yang selalu kulihat di awal pertemuan di sekolah.

Aku tahu alasanku jatuh cinta karena wajahnya. Sifatnya yang selalu bersahabat, punya selera humor bagus dan interaksi pertemuan yang cukup sering. Memang benar jika sering bersama, baik sengaja atau tidak, mampu menumbuhkan bongkahan rasa yang asing. Getaran di dalam jantung muncul tanpa permisi. Aku tak mampu melawannya. Jatuh cinta itu sangat menyenangkan, terutama kalau dipendam sendirian.

Lagi pula, aku bukan orang yang suka menunjukkan perasaan. Sejak awal, aku menolak keberadaannya dengan kata-kata yang tajam dan kejam. Namun, magnet yang terlalu kuat telah menarik Sunghoon datang padaku.

Tanpa sepengetahuanku, dia juga menyukaiku.

Akan tetapi, kenapa aku masih sulit menggulung lidahku agar tidak bicara sembarangan? Mata Sunghoon penuh cahaya dan aku tidak tega menyakitinya. Tak ada alasan bagiku untuk kabur saat ini. Dia sudah berulang kali menyelamatkanku.

Dan yang paling penting, perhatian Sunghoon teralihkan oleh ucapan saktiku soal hubungan paling absurd. Sekarang Sunghoon resmi menjadi pacarku.

Ups.... aku masih geli. Desiran aneh itu membuatku ingin menghilang lagi. Setidaknya, aku bisa menahan obrolan soal kenanganku tentang mayat biru. Aku sangat lelah membicarakan hal-hal yang serius.

Kehadiran Appa tidak pernah kusangka. Seandainya aku masih manusia, tidak tahu seluk-beluk makhluk penghisap darah atau sejenisnya, tentu saja aku akan menertawakan jabatan Appa. Dia pastilah manusia aneh dengan jubah cosplay. Aku akan pura-pura tidak kenal jika ada yang tahu.

Pantas saja Appa sering kena marah Eomma. Appa sering tiba-tiba pergi begitu saja dengan dalih bakti sosial. Eomma tidak punya pilihan selain menghormati keyakinan yang dianut Appa dan kembali sibuk dengan restoran yang dikelola.

Hidungku kembang-kempis. Stres masih melanda diriku. Saat menatap jendela rumah, aku menyadari keadaanku yang sangat kotor. Aku segera masuk kamar mandi dan mengguyur sekujur tubuh dengan air dingin.

Cukup lama aku berada di dalam pancuran, mengurut kenangan sebuah kaki.

Sehari usai digigit Sunghoon, aku terlibat perkelahian dengan anggota iljin. Saat itu pertama kalinya penglihatanku merah semua. Lalu aku berkeliaran di luar sekolah dan melihat kaki.

Namun, aku tidak minum apapun. Aku masih ingat dengan jelas. Itu bukan .... atau itu memang aku? Mungkin ingatanku salah.

Siapa tahu, akulah yang menyeret mayat manusia setelah menghabisi darahnya.

Tidak. Itu gagasan paling melenceng. Aku bersumpah bahwa aku melihat dalam beberapa meter. Namun, aku juga ingat bahwa aku membunuh dua manusia tanpa kusadari.

Padahal aku sudah membuat keputusan untuk mengakui di depan tetua klan Gyeonghui. Namun, melihat cahaya di Sunghoon, aku tidak tega memberitahu kebenaran paling utama.

Jika aku membunuh, jelas bahwa aku memang berulah. Maka, Sunghoon ikut mati. Itu aturannya.

Bolehkah hukum dilanggar bila tidak ketahuan?

Selama aku bisa menggulung lidahku selamanya, membungkam kenyataan demi kebaikan bersama, tentu saja semuanya akan baik-baik saja.

Akan tetapi, ini salah. Ini bukan aku yang sesungguhnya. Ayolah, aku ini blak-blakan. Masa sudah pengecut?

Lemah karena demi cinta, serius, ini menjijikkan.

Aku tidak siap bertemu Sunghoon di luar pintu, apalagi tatapannya tadi. Persis tatapan Sarang dan Seokjin.

Aku tidak pandai mengungkap cinta. Tidak tahu bagaimana memperlakukan lawan jenis. Tekanan demi tekanan membuatku membenturkan kepala ke dinding keramik. Dasar bodoh, rutukku dalam hati. Kepalaku bocor dan darah biru mengucur deras bersama aliran darah. Salah tingkah begini membuatku gila.

Ugh....

Apakah aku harus mengurung diri di kamar mandi?

Saat diancam ayahku sendiri saja, aku cuma marah. Masa di depan pemuda yang menyukaiku, serba salah?

Tidak ada pilihan. Keluar dari kamar mandi adalah pilihan terbaik. Tidak boleh gentar semata masalah status. Lagi pula, perasaan bisa berjalan dengan sendirinya. Entah aku akan menyukai sepenuh hati atau masih diliputi gengsi, masalah satu ini cuma remeh. Aku cuma terlalu banyak pikiran. Tidak ada salahnya menyenangkan Sunghoon sesaat.

Untungnya Sunghoon sedang beralih ke tempat lain. Dia memberi privasi untukku yang berbalut satu handuk. Sebelumnya aku tidak peduli nyaris tidak berpakaian. Sekarang sudah sangat berbeda. Aku merasa harus lebih hati-hati di dekatnya agar tidak kecolongan. Trauma yang kualami masih terasa. Dia tidak minta izin padaku soal ciuman yang terjadi di tepi pantai. Tentu saja itu akan berbeda.

Aku mengambil pakaian teratas di lemari dan memakai secepat kilat. Usai mandi, tubuhku semakin lelah. Diculik dan dikepung jamaat yang memburu vampir sangat melelahkan. Bukannya cepat tidur, aku malah terjaga. Aku meringkuk di balik selimut dan berbaring miring dengan posisi menghadap pintu. Pikiranku kembali penuh dengan ayahku sendiri. Aku penasaran bagaimana gentingnya pendeta yang dituakan di sana menghadapi Min Sehyung.

Semakin kubayangkan, aku tidak percaya ayahku sekejam itu. Ingatan tentang Appa yang selalu melindungiku tiap bertengkar dengan Eomma menyebabkan aku tidak percaya pada kejadian beberapa jam lalu. Tapi si gandalf berambut pendek itu memang ayahku. Wajah dinginnya, perintah eksekusi dan tatapan marah itu masih membekas dalam ingatanku.

Bahuku terguncang menghadapi aliran emosi yang terlalu kuat. Isakanku pasti terdengar sampai Sunghoon mengetuk pintu.

"Masuk saja," perintahku. Suaraku terlalu parau dan lemah.

Sunghoon membuka pintu. Dia yang duduk di sisiku. Aku mengusap air mata dan duduk meski malas bergerak.

"Gwanchanayo?" Pertanyaan itu terlalu menohok bagiku.

Masih ada yang peduli padaku. Namun, yang kuinginkan saat ini pelukan Eomma. Memang benar bahwa sakit apapun bisa reda dengan pelukan seorang ibu. Sentuhannya adalah obat. Aku membutuhkan ibuku sendiri.

"Nae maeum jeongmal appayo (Hatiku sangat sakit)." Aku merengek. Air mata kembali meleleh, tidak bisa dikendalikan lagi.

Bagaimana cara mengatasi tekanan yang sesak di dada? Rindu pada Eomma, menyadari pelanggaran yang fatal gara-gara membunuh manusia dan diancam mati oleh Appa.

"Mianhae," jawab Sunghoon sama lirihnya. Tangannya menarik bahuku dengan pelan. Aku ambruk di pundaknya. Menangis lebih keras karena takut.

Jujur saja, mengakui sebuah kesalahan jauh lebih menakutkan. Beban itu terlalu berat dipikul karena takut pada penghakiman orang lain.

Aku takut Sunghoon kecewa. Dari tatapannya itu, aku tahu jika tiga tahun terakhirnya didedikasikan demi pencarian jejakku yang hilang. Dia yakin aku tidak salah.

Namun, keyakinannya sudah salah karena akulah sudah melakukan hal terlarang. Aku hanya perlu kuat untuk menahan rahasiaku sendiri.

"Aku janji akan membawamu bertemu ibumu. Tunggu sebentar lagi sampai suasana kondusif, Yuri-ya. Ini salahku yang memilih kau sebagai teman eksistensiku. Seandainya sejak awal kau tahu aku memilihmu, kau tak akan mau dipilih. Kau tidak akan menyukaiku atau berteman denganku. Aku benci kau menjauh."

Tepukan lembutnya di pundakku membuat seluruh tubuhku berat. Kelopak mataku terkatup rapat dengan sendirinya. Aku tidur dalam pelukan Sunghoon. Tidak sadar sudah berapa lama Sunghoon membiarkan dadanya sebagai sandaran. Detak jantung Sunghoon yang seirama dengan tepukan tangannya. Detak itu menjadi lagu pengantar tidur. Menyenangkan sekaligus menenangkan. Nyeri di dadaku berangsur. Tepukan yang pelan, lembut dan konsisten seampuh pelukan Eomma. Aku merasa berada di rumah. Dia sudah menjadi rumah baruku.

Aku tidak perlu meratapi nasib selama Sunghoon ada di sisiku. Mungkin aku sudah ditakdirkan untuk hidup seperti ini. Dia yang memilihku, pasti tidak akan meninggalkanku.

Aku percaya padanya.

Detak jantung itu menyenandungkan irama paling indah.

Aku tertidur dalam buaian mimpi penuh warna. Mendengar kekeh tawa yang paling indah, serta embusan angin sejuk pegunungan. Semuanya agak samar karena itu sebuah mimpi. Ada tangan yang merangkul bahuku. Panggilan itu bergemerisik bersama langkah kaki yang maju menuju arahku.

Wajah itu, wajah terhangat yang paling kusukai. Wajah pertama kalinya aku sadar bahwa dia sumber debaran jantungku menggila.

Dia, Jay.

Mwooooo?!

Maaf ye, perasaan gagal ending mulu deh. Hampir dan hampir end—padahal ya bosen juga mau menulis—masih aja di part satu ini. Hype banget beneran sama Sunghoon, tapi susah mupon.

See you next part.

17.11 Waktu Indonesia Berbahagia
Banyuwangi, 20 Maret 2021
Revisi, 22 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro