[46] PEMBELAAN
Annyeong, balik lagi pas Malem Mingguan, kencan sama Mas Hoon dulu yuk.
VOTE SELALU DITUNGGU. Makaciwwww ^_^
***
"Apa maksudmu?"
Appa terlihat murka. Tidak menduga dipermalukan oleh anggota jemaatnya sendiri. Alisnya mengerut tidak, suaranya gemetar oleh kekecewaan yang mendalam.
Ayah Jung-A ditangkap oleh dua orang. Nasibnya sudah di ujung tanduk usai pengakuan paling tidak masuk akal. Sikapnya yang lemah terhadap kebaikan di masa lalu tentunya menyebabkan lolosnya sandera begitu saja. Memang benar jika sikap terlalu baik adalah kebodohan manusia yang sangat besar. Min Sehyung salah satunya.
Aku tidak berani menatap wajah ayahku sendiri. Aku menundukkan kepala sedalam mungkin, masih terhanyut oleh kenangan yang menyakitkan. Kurasa itu ilusi yang mengerikan, tetapi suara yang mengguncang di dalam otakku sedang pesta pora membenarkan aksi pembunuhan yang tidak pernah kusadari.
Aku bisa mendengar seruputan yang sangat jelas. Berisik, haus darah dan penuh hasrat pembunuhan. Namun, itu suara bukan saat aku menghabisi Baebong dan salah satu korbannya. Bukan.
Dua ingatan buruk silih ganti, terutama saat kaki biru menghilang waktu itu. Aku akhirnya melirik ke wajah Sunghoon, tetapi pandangan pemuda itu terkunci ke lawan bicaranya.
"Tuan Yoo, akankah perjanjian tahun 1974 itu berlanjut?" tanya Sunghoon.
Tidak ada jawaban. Sunghoon pun melanjutkan dengan senyum penuh arti, "Selama Gyeonghui tidak membunuh manusia, Sowon tidak akan menyerang kami. Orangmu sudah memberikan kesaksiannya bahwa anggota Gyeonghyui tidak membunuh siapapun. Artinya, kalian tidak berhak menyerang kami. Masihkah kita sudahi gencatan senjata yang dimulai oleh pimpinan kalian yang sudah menjadi abu itu, atau kita saling menghabisi sampai tidak bersisa sekarang?"
Aku membeliak ngeri. Sejahat-jahatnya Appa menyerangku, aku tidak senang membayangkan Appa bergelimang darah dan meregang nyawa. Tidak. Aku tidak akan membiarkan situasinya semakin tidak terkendali.
Namun, bagaimana? Aku tidak bisa pura-pura sebagai sosok suci. Aku benci kebohongan. Aku tidak sebaik yang dikira banyak orang. Aku tetap seorang pembunuh! Kalau aku mengaku, leherku dipenggal. Sunghoon kena imbas.
Di sisi lain, Gyeonghui tidak akan tinggal diam jika Sunghoon mati di tangan pihak gereja. Akan ada pertempuran tidak terelakkan dengan risiko ayahku sendiri terbunuh, tetapi kalau aku mengaku di kalangan Gyeonghyui sendiri, Sunghoon tetap akan mati. Appa bisa selamat. Baiklah, aku mengaku saja di depan Gyeonghyui. Keamanan keluarga nomor satu, meski harus mengorbankan nyawaku sendiri.
Kepalaku makin berdenyut. Aku benci menyeret siapa pun terlibat dalam masalah. Paling baik memang tutup mulut saja.
"Manusia tetap terbunuh di mana saja setiap hari. Tidak jelas asal usul pelakunya, apakah itu berasal dari kalian atau tidak," ujar Appa.
ITU AKU, APPA!
Aku ingin berteriak sekeras mungkin. Sayangnya histeria yang kualami cuma bergaung di dalam kepalaku.
"Gyeonghyui punya aturannya dan hukumnya sendiri. Kami juga melacak pelakunya dan kujamin bukan Yoo Yuri," ucap Sunghoon.
SINTING! ITU AKU, BABO-YA!
Diam! Cabik saja semuanya!
Arrghhh .... kau yang diam! Siapa kau yang bicara?
Kepalaku berdenyut makin keras. Beban pikiran yang kualami terlalu berat sehingga aku tidak ingin berpikir. Aku mau jatuh pingsan, terkubur lama sekalian di bawah bumi.
Pemuda yang terus menyatakan perasaan ini berseteru dengan ayahku si pendeta pemburu hantu. Siapa yang tidak malu jika terjebak situasi ini? Tentu saja aku! Aku ingin enyah dari mimpi buruk sialan ini.
"Atas dasar apa?" Appa menantang.
"Aku Ksatria Gyeonghui, salah satu rombongan vampir saat perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu terjalin karena Pendeta Yoo Yeonseok—ayahmu— tahu bahwa kami tidak membunuh manusia. Seperti yang Yuri katakan, kami beli darah dan menyeleksi pendonor dalam keadaan yang baik."
Tampaknya Appa tahu isi perjanjiannya. Wajahnya putih karena murka. Dia tidak suka gagasan gencatan senjata, tapi mengangkat tangan dan menyuruh pasukannya mundur.
"Appa, boleh aku pulang?" tanyaku tiba-tiba.
Aneh sekali aku minta izin ke ayahku sendiri. Aku harap bisa baikan dengan Appa dan bisa memastikan Eomma dalam keadaan sehat. Jika gencatan senjata berlanjut, bukankah keadaan Seoul sudah aman untuk dikunjungi lagi? Namun, bagaimana dengan tempat tinggal vampir jika kastil utama sudah dibakar?
"Jangan lewati batas, makhluk penyedot darah!"
Cahaya jingga dari obor-obor yang dipegang para manusia itu menghilang. Aku kehilangan semua kekuatanku. Duduk dengan mulut terbuka. Tubuhku berguncang semakin keras atas penghinaan Appa tadi. Terlebih lagi, ingatan tentang menghisap darah dua manusia rentenir di dekat restoran Sehyung tiga tahun yang lalu sejelas beberapa detik yang baru saja.
"Semua sudah berakhir. Kita tinggal tunggu waktu saat terowongan kembali dibuka, Yuri-ya," ucap Sunghoon semakin bahagia. "Sudah tidak apa-apa. Ayo kembali ke vila."
Aku terus menundukkan kepala. Semua sel tubuhku seperti punya daya magnet sangat kuat. Aku tidak mau bergerak ke mana pun. Mati rasa tepatnya.
Kemudian, sesuatu yang kuinginkan sejak tadi telah datang. Kegelapan pekat menyeretku, tapi aku tidak suka datangnya terlambat. Aku pingsan dalam pelukan Sunghoon.
Aku sangat merindukan Eomma.
****
****
Saat terbangun, aku mengenali interior kamar yang kutiduri di vila. Rasanya aku seperti tertidur sangat lama dan aku paham alasanku sangat kelelahan. Aku tidak segar. Aku masih berpakaian lengkap seperti saat disandera dan bertarung dengan sepasukan manusia pemburu vampir. Kurasakan wajah dan tanganku lebih bersih dibandingkan badan lain. Pantas saja aku merasa lengket di dalam tubuhku.
Aroma kuat dari luar kamar jelas menarik perhatianku. Aku keluar dengan langkah limbung. Bekas luka gelang besi di pergelangan tangan dan kakiku masih ada. Aku mengabaikan pegal sekujur tubuh demi mengikuti sumber bau enak. Begitu tiba di dapur, Sunghoon sedang menghadap dinding. Dia mengaduk sesuatu yang menyemburkan uap tebal.
"Sudah bangun kau?" Sunghoon bertanya tanpa berbalik ke arahku.
Kukira aku yang bakal mengejutkannya dengan duduk diam-diam di belakangnya, tetapi malah aku yang terkejut dan nyari terjengkang. Untungnya dua tanganku bertopang di meja bar.
Apakah dia punya mata di belakang kepalanya sampai tahu posisiku?
"Ah, sudah," jawabku pelan.
Aku baru sadar dia seorang vampir veteran. Pendengarannya pasti tajam. Tentu saja setiap desah napas dan langkahku bisa terdengar. Semakin tua tingkat kevampirannya, semakin tinggi kepekaannya.
Aku bertopang dagu tak acuh dan menatap tangannya yang sibuk mengaduk.
Sesudahnya tidak ada yang bertanya. Sunghoon sendiri menungguku bicara, tapi aku malah enggan berkata apapun. Diam seperti ini jauh lebih menyenangkan. Aku merasa nyaman cuma mengawasi kesibukan Sunghoon. Sunghoon pun berbalik. Dia cekatan menuangkan bubur kacang merah ke dalam dua mangkok.
"Ini kacang merah terakhir. Maaf aku tidak bisa buat patbingsu karena terlalu sedikit, jadi kubuat bubur dengan campuran gandum," ucapnya sengaja memberi penjelasan tidak perlu.
"Terserah kau saja." Aku menjawab enggan. "Kenapa kau pilih bubur? Apa kau sudah berburu? Wajahmu tidak terlihat sehat."
Sunghoon memang berpakaian sangat nyaman. Kaos longgar hijau itu dari sudut belakang membuatnya seperti anak rumahan. Parasnya akan setampan yang kuingat. Jelmaan dewa Yunani yang dikejar seantearo sekolah. Namun, kalau melihat wajahnya langsung, dia beberapa tahun lebih tua dan lelah. Sama sekali tidak ada tampannya. Dia mengerikan, semakin parah dari hari ke hari tanpa berburu. Aku tidak tahu berapa lama dia puasa darah dan tidak semaput.
"Nanti saja."
"Nanti itu kapan?" tanyaku minta kepastian. Aku merasa dejavu tiap dia berkata seperti itu. Seolah ucapannya tidak pernah terjadi.
"Saat terowongan kita dibuka."
Aku tidak percaya mendengarnya. Lagi pula Gyeonghyui punya pasukan yang kekuatannya sekaliber Sunghoon. Masa disenggol Sowon sudah menciut di dalam terowongan dan memanfaatkan vampir penghisap darah hewan. Hal yang tidak kusukai dari vampir sendiri adalah mereka saling tertutup dan mencari keuntungannya sendiri.
"Oh. Kita masih terisolasi di luar?" Kesinisan yang terpancar di wajahku tidak bisa kusembunyikan.
"Ya. Kuharap semuanya berakhir, meski belum bisa menangkap si pembuat onar," jawab Sunghoon. Dia menyendok bubur panas itu dan menjejalkannya ke dalam mulut. Aku bergidik ngeri mengira Sunghoon bakal kepanasan. Kepulan uap di mangkok seharusnya membakar lidahnya, tetapi Sunghoon menyendok bubur lagi.
Aku meneladaninya sikapnya, tetapi benar perkiraanku. Lidahku yang terbakar. Tidak semua yang dilakukan Sunghoon bisa kulakukan.
"Bagaimana caramu makan enak jika buburnya terlalu panas!" keluhku seraya mengambil es batu di lemari pendingin.
"Itu masalah rasa saja. Kalau otakmu bilang panas, tentu saja makananmu panas. Kalau dingin, bubur panas bisa dingin."
"Kau gila, ya?" tanyaku tidak percaya.
"Coba saja lagi."
Aku menggelengkan kepala. Kuremukkan dua keping balok es batu dalam satu kali gigitan. Tampaknya energiku mulai pulih, mengingat hasratku untuk mencekik lehernya. Aku kembali duduk ke kursiku. Dalam sekejap Sunghoon sudah menghabiskan buburnya. Dia menuangkan sisa bubur di panci ke dalam mangkok lagi.
"Kalau kau menangkap tukang onar, apa yang akan kau lakukan?" tanyaku, kembali ke topik yang terpotong tadi.
"Tentu saja penggal kepalanya."
Jawaban Sunghoon membuatku takut. Kepercayaan diriku runtuh seketika. Aku tersenyum kecut mendengarnya.
"Baiklah. Semoga berhasil." Suaraku tidak terdengar tulus.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Tidak apa-apa. Namun, Hoon-ah, kau ingat saat malam aku disiram kuah sundae di sekolah. Waktu itu aku berkeliaran tidak jelas karena sedang sedih. Kau membagi roti keju di halte sebagai upeti damai, ingat tidak?"
"Ya. Kenapa?"
Aku menelan ludah. Pertama kalinya aku gugup membuat pengakuan. Mau tidak mau, Sunghoon harus tahu apa yang selama ini kupendam sendirian. Sesuatu yang sangat remeh, ternyata memicu konflik besar di antara banyak pihak. Aku tidak mau ada banyak nyawa hilang sia-sia.
"Sebelum kau datang, aku sangat takut karena merasa dikuntit seseorang. Aku mendengar suara seseorang minum dengan berisik, lalu melihat kaki yang membiru diseret seseorang di gang lain."
"Apa maksudmu?" Sunghoon meletakkan sendoknya. Tatapan matanya sangat serius.
"Kurasa vampir yang kau cari saat itu ada di dekatku."
Bukannya merasa lega usai membuat pengakuan, aku seperti dijejali banyak berton-ton batu tersangkut pada kedua pundakku.
"Kenapa aku tidak tahu? Aku selalu ada di sekitarmu saat itu," tanya Sunghoon. Yakin bahwa aku sedang mengada-ada. Dia agaknya tidak percaya pada apa yang kukatakan.
"Mana aku tahu kalau itu vampir," balasku sewot.
"Apa ingatanmu semuanya kembali?"
"Tidak sepenuhnya." Aku berbohong.
"Persisnya hanya saat kau usai mencekik Minji?"
"Betul. Beberapa hari sebelum ditemukan jasad rentenir itu. Artinya memang ada vampir, kan?"
"Sungguh kau bukan yang menggigit?"
"Hei, aku yang melihat saja ketakutan. Kukira aku gila, mengira karena mentalku salah. Namun, itu gara-gara gigitan bodohmu!"
"Kenapa kau tidak pernah cerita?"
Aduh, aku membuat pengakuan. Kenapa Sunghoon menyalahkanku jika pertanyaannya terus menyudutkan? Buat susah hati saja meladeni pertanyaannya.
"Karena kukira itu tidak penting."
"Mwo?"
Ya ampun. Lihatlah anak itu. Dia yang tersinggung. Namun, lucu saja bisa menggoda ketenangan emosinya.
"Jangan bercanda, Yoo Yuri. Lidahmu adalah nyawamu. Kau harus hati-hati dengan apa yang kau katakan."
"Sudahlah. Jadi apa tindakanmu?" tanyaku tidak mau ambil pusing.
"Minta pengampunan pada Ketua Park. Namamu bersih pada akhirnya. Aku lega kau tidak berulah, jadi aku masih bisa hidup lama."
"Kau sinting, ya?"
"Sepertimu juga, tentu saja aku sinting." Sunghoon tertawa bodoh.
"HEI!"
"Karena itu aku memilihmu sebagai vampir. Sesuka itu sampai hilang akal."
Ah. Sial. Aku mati kutu terjebak dalam situasi yang canggung ini. Aku ingin kembali pingsan, tetapi pandangan Sunghoon telah membiusku ke dalam banyak pesonanya. Aku yang hilang akal dan menyesali ucapanku berikutnya.
"Baiklah. Ini hari pertama kita, puas kau?"
****
Kemarin banyak yang komen, alhamdulillah terima kasih sudah aktif. Walau nggak semua kubales, tapi aku selalu baca ulang-ulang, lho. Nggak tahu, komen kalian jadi moodbuster buat aku segera balik nulis, meski suka senewen sehari nggak bisa menulis minimal 100 kata.
Part ini mayan panjang. Cukup ya buat ngobati kangen kisah vampir muda yang gagal mutasi, malah makin gila ngamuknya.
Btw maaf cerita ini boring, gagal romantis ala-ala anak ABG. Maklum, usia yang udah emak-emak tapi ya masih embak-embak doyan ngambek karena benci embek (ngelantur woi), ini bukan ahli cerita romantis.
Nggak sabar nunggu bab 47?
Sama. Udah pundung belum lanjut. Semoga kita sehat selalu mengawal Park Sunghoon dan Yuri sampai ending nanti.
Salam sayang, Ravenura.
Banyuwangi, 13 Maret 2021
Revisi, 22 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro