[43] TUDUHAN
Always thank you untuk pembaca baru yang mampir baca dan konsisten vote tiap babnya. Salam kenal ya.
Baik reader yang lama atau baru, jangan lupa buat terus klik ⭐⭐⭐⭐ biar otak sang author bersinar. Lagi mode batu ini. Alias padam karena energinya terkuras sama RLnya.
Part kali ini agak panjang, memuaskan hasrat penasaran kalian yang kering kerontang seminggu menunggu bab terbaru. Semoga dahaganya terobati sedikit ya.
🙏🙏🙏🙏
Kalau kau ingat pertama kalinya bingung pada namamu sendiri, sekarang pun aku mengalaminya lagi. Bedanya, aku kesulitan menerima lingkungan baru yang serba asing. Apalagi tangan dan kakiku diikat rantai besi yang sangat kuat. Ujung rantai itu tersambung pada dinding beton. Berulang kali aku menarik salah satu dari rantai itu, tetapi tanganku yang koyak. Rembesan darah biru mengucur dari kedua tangan yang luka. Hanya perih yang terasa dan berulang kali. Sembuh dengan cepat, perih pun semakin menjadi.
Aku terus berusaha melepaskan diri, tetapi itu hanya buang-buang energi. Rantai itu cuma bisa dilepas dengan kunci.
Menjengkelkan sekali. Aku lebih suka menjadi vampir lupa ingatan dan bisa bebas berkeliaran di hutan dibandingkan terikat di ruang gelap dengan bau busuk segumpal daging di ujung ruang.
Aku tidak tahu siapa yang menangkapku. Tetap saja aku harus kabur dari ruang ini. Situasinya tidak bisa kukendalikan karena aku tidak bisa membela diri. Ck. Pengecut sekali. Bisa-bisanya merantai orang yang tidak salah.
Aku tidak pernah melakukan kejahatan. Membunuh manusia saja tidak. Akan tetapi, kalau membunuh hewan sudah sering kulakukan. Posisiku juga tidak salah karena sebagai predator, memangsa hewan demi bertahan hidup dan terutama, aku tidak membunuh hewan yang dilindungi dan hewan piaran. Kecuali kambing dan rusa demi darah.
Namun, kenapa aku harus ditangkap? Apa masalahnya?
Siapa mereka yang merantaiku? Obat apa yang mereka berikan padaku, sehingga aku tidak berdaya, juga tidak sadar dibawa pergi ke ruang tidak dikenal?
Ingatan yang kubawa terasa semakin menyakitkan mana kala aku sadar bahwa sikapku selama ini selalu bodoh. Aku dikuasai oleh emosi yang mudah meledak. Sikap temperamentalku seharusnya bisa kukendalikan. Ternyata malah kubiarkan sehingga aku terus berkeliaran tanpa tujuan.
Tangisku kembali pecah. Berharap bisa melihat cahaya luar. Di tempat yang berdinding tinggi, bau busuk, gelap dan langit-langitnya terlalu tinggi ini menyiksaku. Aku terkurung di tempat itu dan makin putus asa.
Kalau benar Gyeonghyui melindungiku, sebagai vampir klan yang telah digigit Sunghoon, mestinya mereka datang menyelamatkanku. Untuk apa pendaftaran diriku saat itu di bawah gudang, jika akhirnya diculikm Mereka hanya peduli pada diriku sendiri dan percaya pada rumor, bahwa aku adalah seorang pembunuh manusia di Seoul.
Itu jelas bukan aku!
Kegelapan itu terus menyerangku. Kepalaku semakin sakit kala ingat bagaimana pertemuanku dengan Sunghoon malam-malam. Aku tersesat usai berkeliaran, panik karena ada yang membuntutiku. Karena itu, aku memejamkan mata ngeri dan mendengar seruputan penuh haus darah. Sial! Pelakunya sangat dekat denganku. Saat mataku terbuka, hanya ada Sunghoon yang menyapaku.
Namun, apakah benar jika itu Sunghoon? Benar kalau Sunghoon minum darah manusia, mustahil juga kalau membunuhnya. Dia konsisten beli darah donor.
Kaki mayat biru terkulai layu dan diseret masuk gang. Aku tidak melihat dengan benar siapa pelakunya. Seharusnya aku bisa tahu, tetapi ketakutan yang teramat sangat telah memberi pengaruh besar.
Ada mayat-mayat lain di video dan berita TV. Jumlahnya dua mayat.
Oh, apakah ini? Mayat siapa lagi yang kulihat?
Aku mengernyitkan dahi. Seluruh otak kuperas paksa demi menggali gambaran aneh. Apakah ini kenangan yang kulupakan sebelumnya?
Sunghoon-lah orang yang kubutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlintas saat ini.
Aku menarik lenganku dan mengerang kesakitan. Tetesan darah itu sudah mengenai ketiak, artinya aku sudah berupaya keras untuk meloloskan diri dari jeratan besi itu. Aku menghela napas kepayahan sewaktu mendengar ruangan berderit memekakkan telinga. Engsel pintu mengering tanpa minyak, tanda ruangan yang lama tidak pernah digunakan. Langkah yang lebih tegap itu datang membawa satu timba dan gelas beraroma yang lebih kuat.
Udara baru yang dibawa sosok pembawa timba itu menjadi oksigen yang jauh lebih menyegarkan. Aroma wangi dari tubuh manusia bertopeng serba gelap ini lebih memikat. Dalam gelap, aku bisa menilai bahwa dia adalah perempuan. Pengamanan tubuhnya hebat sekali. Dia tahu cara melindungi tubuhnya dari gigitan vampir buas. Baju zirahnya pasti akan merontokkan gigi vampir yang haus darah.
"Minum!" bentaknya sambil mencengkeram rahangku.
Erangan protes memenuhi rongga mulutku. Aku menolak minum, kendati memang haus. Rasanya deja vu, atau ini memang nyata dengan versi yang lebih kejam.
Aku kali ini menolak minum. Kucabut kata-kataku soal keinginan membunuh manusia bukanlah pelanggaran jika dilakukan diam-diam. Aku mempercayai insting bahwa di tempat yang asing ini, aku pantang terperdaya.
"Tidak!" Aku menjawab dengan suara serak. Geraman keluar dari kerongkongan. Aku tersenyum sinting untuk menakuti perempuan kecil itu.
Sayangnya perempuan itu jauh lebih berani dari yang kupikirkan. Dia terus menjejalkan gelas berisi cairan pekat kemerahan. Aku menyundul gelas itu hingga jatuh berkeping-keping di bawah.
Ini bukan aku yang bisa menolak minum darah. Aku tidak percaya siapapun kecuali Seokjin dan Sarang. Walau di awal bergabung dengan pasangan itu dipenuhi kecanggungan dan kemarahan, mereka benar-benar menjagaku. Namun, kalau sampai dirantai dan diberi minuman asing, wah, jelas aku tidak akan terima.
"Kubilang minum!" Bentakan gadis itu sangat keras. Gelas kedua disorongkan ke mulutku, tetapi aku memberontak. "Ayah! Bantu aku!" Dia berteriak sangat keras, berupaya memberi darah di mulutku.
Aku menggeliat semakin waspada dengan sosok lain yang dipanggil ayah. Kukira dia sendirian saat masuk.
Tak lama kemudian, pintu berderit lagi. Ternyata perempuan itu memang sendirian sejak awal masuk. Muncul langkah pelan dan pincang dari sosok kedua, kali ini pria. Hanya saja dia sama rapuhnya dengan si anak perempuan. Dia bermasker kendati matanya yang terekspos. Legam matanya sangat tajam kala memandangku. Aku berfirasat pernah berjumpa dengannya, tetapi tidak ingat di mana.
Siapa pria pincang itu?
ENTAHLAH. AKU TIDAK PEDULI. POKOKNYA AKU MAU KABUR SEKARANG!
"Terus beri minum, Nak." Manusia berjubah itu menelengkan kepala, sedang memindai gerakan buasku.
"Mana bisa beri minum. Bantu aku pegangi dia!" Perempuan itu menggerutu.
Si perempuan kali ini mengeruk timba berisi darah. Dia memenuhi gelas plastik sampai tetes darahnya menciprati baju zirah, sementara sang ayah menjambak kepalaku ke bawah. Pasangan ayah anak itu terus menjejalkan darah kental. Aku tersedak selagi memuntahkan darah yang mengenai seluruh wajahku.
Darahnya tidak begitu manis dan cenderung basi. Tentu saja aku menolak minum.
"Siapa namamu, makhluk gelap?" tanya si ayah.
"Tak bernama!" jawabku cepat.
"Yoo Yuri." Anak perempuan itu menimpali.
Aku terperangah dia mengenal namaku dengan benar. Kutatap sekali lagi sosok perempuan itu. Wajahnya benar-benar tertutup topeng. Baju zirahnya sedikit menyamarkan fisiknya yang berperawakan mungil dan kurus. Baik ayah dan anak itu memiliki fisik yang sama, cenderung membungkuk. Seakan hidup mereka tidak terlalu dimanusiakan. Alias kasta sosial mereka rendah.
"Siapa kau?" Aku meludahkan sisa darah, memaksa ingatan menyembur deras dari syaraf-syarafku. Namun, bisikan di dalam kepala mendesakku untuk membunuh pasangan ayah anak.
Anak itu tidak menjawab. Malah dia menjejalkan darah ke sekian kalinya ke mulutku.
"Cukup, Nak." Ayahnya menepuk lembut bahu putrinya. Si ayah melepas topengnya, sehingga tampaklah seraut wajah tirus tidak asing. Bahkan dalam gelap ruang yang membawaku ke kenangan mengejutkan, aku melihat restoran yang porak poranda. Pria itu pria yang sama, merangkak di antara kaki para debt collector saat hujan deras. Pemilik restoran yang terlibat hutang dengan lintah darat sialan itu.
Amarahku mendidih, ingat bagaimana para pecundang bertubuh besar datang mengeroyok pria yang tidak berdaya. Pantas saja matanya tidak asing. Namun, kenapa pria itu ada di Pocheon?
"Kau ingat aku?" tanyanya.
"Min Sehyung," jawabku otomatis.
Aku tidak pernah memikirkan apapun. Kenal saja tidak, tetapi kenapa aku bisa menyebut namanya dengan benar?
"Seperti yang kudengar, ingatan vampir memang abadi," komentar Sehyung, tersenyum kebapakan. Namun, maaf saja, itu kuanggap bukan pujian jika tahu siapa penculiknya. Aku tertawa mengejek. Dia tidak tahu bahwa aku vampir abnormal yang lupa ingatan tiga tahun.
Kurasa sejarah vampir harus direvisi ulang. Kehidupan vampir pun dinamis juga.
"Cukup, ayah. Kenapa kau pamerkan wajahmu. Ini berbahaya! Balas dendam vampir sangat mengerikan untuk membantai semua manusia yang terlibat dengannya," cicit putrinya semakin panik.
"Terima kasih informasimu, chingu-ya. Kalau aku lolos, yang pertama kucari adalah leher ayahmu," kataku. Perubahan suasana hati yang kualami memang ekstrem.
Namun, terpujilah pada bakatku berakting. Dalam menghadapi tekanan, aku masih bisa berimprovisasi menjadi vampir yang menakutkan. Setidaknya aku mencoba agar tidak terkesan sebagai orang yang gampang diremehkan. Aku hanya perlu mendalami peranku.
"Ksatria Gyeonghyui tidak akan diam atas kematianku."
"Kami tidak takut padamu, makhluk hina!"
Gadis itu menyiram wajahku dengan darah. Aku mendengkus. Manusia di depanku memang tidak perlu ditakuti. Dia tidak berbeda dengan kambing yang sering kukejar. Mereka adalah objek makanan yang sangat lezat, manis, bergizi dan melimpah. Racun di antara gigiku tumpah ruah, menyembur keluar selagi aku tertawa mengejek.
"Kau jelas takut, manusia." Aku berkata.
Aliran darah di dalam tubuhku berdesir. Sesuatu yang panas mengalir dari bawah ke atas. Aku berteriak kencang, bersama kesadaran yang timpang tindih. Mataku sudah buram. Aku tidak bisa melihat apapun, selain dua bayangan yang jauh lebih merah di depanku. Tenggorokanku kembali terbakar. Aku sangat haus dan ingin merobek setiap potongan tubuh mereka.
"Tidak!"
"Jung-A, biarkan ayah yang bicara. Kau mundur saja."
"Bae Jung-A. Kau Jung-A yang kukenal, kan?" tebakku.
Pantas saja dia tidak asing. Perawakannya sangat mirip dengan teman sekolah yang mengkhianatiku semata pengecut. Tidak kuduga bahwa orang yang kuselamatkan adalah ayahnya, meski aku janggal atas nama marga mereka yang tidak sama.
"Bukan!"
"Jung-A yang selalu datang minta bantuan diantar ke toilet atau kantin. Selalu merepotkan orang lain, tetapi menusukku di belakang semata pengecut. Diam melihat perundungan juga termasuk kejahatan, chingu-ya."
"Tapi kau lebih jahat. Kau vampir!" tandas Jung-A.
"Apakah monster selalu jahat semata dia kuat dan berpenampilan menakutkan?"
"Ya. Seharusnya kau mati saja!"
Jung-A mengeluarkan pisau perak dari sakunya. Namun, tangannya terlalu gemetar memegang belati bergerigi iyang tajam berkilau.
"Ah, kau langsung keluarkan senjata. Artinya kau takut."
"KUBILANG AKU TIDAK TAKUT."
"Ha .... langsung berteriak juga. Kau sedikit lebih berani dibandingkan yang kuingat, Jung-A-ya. Tuan Min, putrimu hebat sekali. Siapa kalian? Apa jemaat gereja pemburu setan?" Sindiranku semakin gencar. "Kalian datang jauh-jauh dari Jongno cuma mengejar vampir?"
Jung-A hendak menancapkan belati itu ke jantungku. Namun, Sehyung menahan putrinya.
"Kita laporkan gerakan vampir ini ke Pendeta Agung. Ayo, Jung A-ya," Sehyung mendorong putrinya mundur. Suara gemerincing rantai mengikuti langkah kedua manusia itu. Aku berteriak marah, masih ingin melihat wajah asli Jung-A dan bicara lebih banyak untuk menyindirnya.
"Kenapa aku ditangkap, Tuan Min Sehyung?" tanyaku lembut tetapi penuh perhitungan.
"Kau seorang vampir," jawab Sehyung sama lembutnya.
"Apakah aku akan mati?"
"Itu yang akan kami harapkan."
"Tapi aku bukan siapa-siapa."
"Katamu, kematianmu membuat Ksatria Gyeonghyui tidak akan tinggal diam. Artinya perananmu penting."
Sial. Aku tidak bisa mengelak. Seharusnya aku tutup mulut saja jika ada pertanyaan yang merujuk kerahasiaan vampir.
"Penting untuk satu orang, tetapi tidak penting bagi yang lain. Sama halnya dengan kau dan ibunya Jung-A. Kami berteman dalam keabadian atas bosannya menyongsong kematian yang tak pernah datang. Seistimewa itu pasanganku memilihku sebagai vampir pendampingnya."
Aku bersumpah tidak akan membiarkan Sunghoon mendengar omong kosong satu ini. Dia pasti akan senang meledekku selagi aku terang-terangan menolaknya sekarang dan juga, jujur saja. Aku kesal menghadapi kematian yang tidak pernah datang. Klan Gyeonghui belum datang menyelamatkanku. Begitu pula Sunghoon. Namun, Sunghoon yang paling berjuang keras membersihkan rumor soal aku.
Baik Sowon dan Gyeonghui, mereka berniat membunuhku. Entah leher digorok atau ditusuk senjata perak di jantung. Kedua proses kematian yang terlalu sadis.
Aku kecewa kalau matiku sebagai sosok bukan siapa-siapa. Aku ingin hidup sebagai Yoo Yuri yang dicintai keluargaku. Namun, aku belum melakukan apapun untuk mereka. Aku hanya ingin memberikan sesuatu yang pantas mereka syukuri setelah merawatku sampai cukup usia.
"Kau keliru dan tidak tahu apa-apa tentang vampir sepertiku, Tuan Min Sehyung."
Kedua orang itu menghilang dari balik pintu. Aku semakin beringas ingin melepaskan diri.
KLIK.
Suara itu terdengar bersamaan dengan longgarnya gelang besi yang mengikat lenganku. Aku segera mengolesi darah—yang menempel di rambut dan leher— ke gelang besi di lengan satunya. Aku berjuang melepaskan diri, tetapi secara perlahan suara gelang besi yang terdengar. Aku tak perlu berpikir lebih lama lagi.
Walau kaki dan tangan perih bukan main, aku mengambil posisi siaga. Setelah mundur tiga langkah, aku menaiki dinding tembok dengan mudah. Dan itu mengingatkan pada Sunghoon yang menggendongku dulu.
Aku semakin merindukan Sunghoon.
Arghhh... tidak! Itu tidak boleh!
27 Februari 2021
Happy saturday night, all.
See you next part. Bab berikutnya bakalan lebih gila lagi.
Menurut teori klean, cerita ini bakalan gimana? Yok bertebak ria siapa penjahat cintanya?
Revisi, 20 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro