Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[37] KOMPENSASI

Hari gini enaknya makan chocolava.
Eh please ya budayakan vote dulu sebelum baca.

⭐⭐⭐⭐⭐

Aku berbaring di ranjang busa. Aroma lembap tempat itu mengingatkan pada suasana di bawah gudang. Begitu pula dengan pendar cahaya lampu duduk di sisi ranjang. Biru kemerahan yang mengingatkan pada petugas sensus bernama Taehyung. Suasana asing itu membuatku rindu pada kehadiran Seokjin. Untuk pertama kalinya aku berjauhan dengan saudara yang merawatku sejak bangkit sebagai vampir sesungguhnya. Sarang dan Seokjin, keduanya yang mengawalku secara hati-hati agar aku tidak berulah. Mereka sumber kenyamananku.

Ranjang yang kutiduri tidak senyaman yang biasanya kutiduri. Aku terbiasa tinggal di hutan. Baik di atas bebatuan atau dahan keras, dengan selimut angin terus menderu. Gemerisik suara dari kejauhan mirip gema dari belahan dunia lainnya, tetapi menjadi musik pengantar tidur. Di motel berukuran 3x3 meter persegi sangatlah sempit. Aku lebih suka memeluk dahan pohon dan mendengkur keras di atasnya. Berada di kamar hunian manusia seperti ini tidak layak untuk kuterima, kendati aku tahu persis motel ini sangat biasa, bukan bintang tiga seperti yang biasa kusinggahi tiap liburan di Jeju bersama keluarga.

Aku berguling menyamping, mencari posisi terenak. Namun, bayangan dari mimpi buruk terlalu menakutkan. Teriakanku berhasil mengundang Sunghoon masuk kamarku. Sekarang dia duduk bersandar di nakas, mengawasiku dengan tenang.

Dan dialah sumber ketidaknyamanan terbesarku saat ini. Ayolah, mana bisa aku tidur tenang kalau dua matanya terus tertuju padaku? Meskipun seluruh tubuhku terbungkus sehelai selimut putih, tetap saja aku masih risih.

"Ya, kau bisa kembali ke kamarmu," usirku tanpa segan. Tak tahan untuk tidak menyuruhnya keluar.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Menurutmu aku baik-baik saja kalau kau awasi? Kau lebih menakutkan berada di sini, kau tahu?"

Aku teringat akan situasi drama-drama TV saat dua orang berlawanan jenis berada di ruang sempit. Pasti melakukan sesuatu yang luar biasa. Tengkukku merinding membayangkannya, karena suasananya sangat persis. Aku tidak mau melampau batas.

"Tapi...."

"Keluar sana."

"Apa yang membuatmu ketakutan, Yuri-ya?"

"Bukan apa-apa," sahutku ketus.

"Kalau itu ingatanmu...."

"BUKAN!"

Sunghoon terdiam. Aku memejamkan mata, tetapi pemuda berambut gondrong di dalam mimpi itu masih menghantuiku. Aku ingat latarnya berada di kafe Bibi Mija. Di belakang pemuda itu, penuh dengan botol-botol tua. Tombak perak tertanam di dadaku dan yang kulakukan cuma menggelepar bodoh di sana, tak sanggup bersuara. Aku ditinggalkan sekarat dan sendirian kala beberapa orang mengarakku ke suatu tempat. Api melalapku, tetapi aku juga mendengar tangisan dari salah satu musuh. Aku bergidik bukan karena kedinginan. Dengan cepat aku membuka mata. Anehnya posisi Sunghoon yang belum bergerak sedikit menenangkanku.

Dia masih di sana.

Ayolah. Kenapa pikiranku tidak jelas? Aku ketakutan berada di dekatnya karena mungkin kami—arghhh—lupakan saja. Di sisi lain, aku terlalu senang dia tidak pergi. Dia menemaniku tanpa bersuara. Setidaknya melihat orang lain di depanku membuatku sadar bahwa tombak perak tadi tidak nyata. Cuma mimpi yang lewat karena aku kelelahan banyak bertarung. Omong-omong, bagaimana mengenyahkan mimpi sialan ini?

Aku mengerutkan dahi, malu karena pikiranku yang melantur. Sunghoon tidak sekeji itu untuk menyentuhku.

Seperti yang sudah kuamati, Sunghoon selalu datang membawa perlindungan. Hampir setiap dia muncul di depanku—minus candaan konyolnya—dia akan mendatangiku. Hm, coba kuurut lagi. Ah, saat aku berkeliaran tidak jelas di gang tidak dikenal, Sunghoon datang membawa roti keju. Aku masih marah padanya saat itu.

Entahlah. Aku hanya bersikap kasar padanya. Aku jatuh cinta padanya, tetapi berusaha untuk berjarak. Sekarang pun, saat Sunghoon menunjukkan perasaannya, aku tetap menjauh. Mungkin sakit hatiku terlampau besar untuk sekadar menerima perasaannya. Kuingat lagi saat bersama Jay, Sunghoon mengklaimku sebagai pacarnya. Apakah sejak itu dia menyukaiku?

Sudahlah. Kuharap Sunghoon cepat pergi. Terus memikirkan dia yang tepat di depan mataku sangat menyusahkan.

"Aku akan berada di kamar sebelah." Akhirnya Sunghoon berdiri.

"Menurutmu, mimpi bisa menjadi kenyataan tidak?" tanyaku hati-hati. Tanpa sadar tanganku menjangkau bagian bawah jaketnya.

"Mimpi soal apa?"

"Aku pernah mimpi tentang pria tidak dikenal. Aku sangat kehausan sampai memohon padanya. Dia arogan sekali dan tiba-tiba main pergi begitu saja. Namun, suasana di mimpiku tidak asing saat kita pergi makan patbingsu untuk pertama kalinya. Dia bilang, dia tidak salah memilihku karena kesempurnaan membuatnya sendirian."

"Mungkin kau memimpikanku. Maaf, Yuri-ya, tapi aku memang tidak salah memilihmu sebagai temanku," balasnya sungguh-sungguh.

"Tapi bukan kau yang bicara di sana. Pemuda itu berambut pirang dan panjang. Diikat juga."

Aku bersumpah melihat sesuatu yang lebih merah di pipi Sunghoon. Itu bukan efek dari lampu kamar, apalagi matanya gemetar panik menyadari pengakuan tidak berguna itu.

"Ya, apa kau menggigitku karena itu? Kau kesepian?" pancingku. Dengan cepat Sunghoon menarik jaketnya, tetapi aku sudah mencengkeram lebih dahulu. Syukur pada Dewa-dewi Penjaga Gunung Jiri. Kalian memberkatiku. Baru saja aku ingin tahu, Sunghoon sudah membuka diri tanpa aku kerepotan bertanya.

"Kau menyukaiku? Hah?" kejarku tak percaya.

"Tidak."

"Lalu untuk apa kau menciumku tadi?"

"Supaya kau diam!"

"Pembohong!" Aku mengejek.

Sunghoon menarik jaketnya lagi, meninggalkan aku yang terbahak-bahak. Baiklah. Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan tiga tahun lalu, tetapi tidak satu pun di antara kami yang mau membuka diri. Seandainya jalinan takdir terurai sempurna, mungkin tiga tahun lalu kami sudah jadian.

Namun, Sunghoon yang paling bodoh. Jika sudah menggigitku, seharusnya menunjukkan ketertarikannya sejak awal.

Lihatlah sekarang. Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku sudah kerepotan dengan serangan yang datang bertubi-tubi dari banyak musuh. Aku tidak percaya pada Sunghoon semenjak ajakan perlindungannya ternyata jebakan. Aku hanya percaya pada kelompokku sendiri. Kalau aku terlena pada pesona Sunghoon, siap-siap saja aku bunuh diri.

Ketiadaan Sunghoon kembali mengingatkan pada mimpiku yang jauh lebih menakutkan. Efek menjadi vampir, visualisasi di mimpi sangat detail dan nyata. Aku jijik pada aliran darah biru yang mengalir di dadaku. Biru pekat dan berbau busuk.

Sisa malam itu berlalu sangat panjang. Aku kelelahan seraya membuka tirai jendela. Sudah menjelang pagi lagi. Mendapat asupan cahaya matahari cukup menyegarkan tubuhku. Lantas aku menuju kamar mandi untuk membilas muka. Mungkin aku akan melihat langit di balik jendela dalam kurun waktu yang lama sampai akhirnya Sunghoon mengetuk pintu kamar, mengajakku pergi ke suatu tempat tanpa komentar.

Tenggorokanku panas. Aku harus minum sesuatu sebelum menggila lagi.

"Hoon-ah, aku ingin berburu di hutan," kataku.

"Hutan berbahaya," sanggah Sunghoon.

"Tapi aku haus sekali."

"Mau mencuri di peternakan kambing saja?" usul Sunghoon.

"Tidak enak. Baunya penuh obat pembesar hewan," kilahku.

Sunghoon menatap aneh padaku. Wajahku merah padam menahan malu. Baiklah, soal makanan manusia, aku tidak tebang pilih. Namun, semenjak minum darah kambing, aku lebih suka rasa alami tanpa campuran obat-obatan untuk hewan.

Aku menggosok tenggorokan yang kering. Suaraku serak dan aku mulai pusing.

"Hutan terlalu berbahaya." Sunghoon mengingatkan lagi.

"Aku pandai bersembunyi. Mereka kan, mencari vampir Gyeonghyui. Jadi kita sebaiknya berpencar. Kau juga harus minum darah donor agar semakin kuat." Aku mengingatkan.

"Sudah kubilang terowongan ditutup dari dalam. Kita harus bertahan."

"Aku bisa saja mudah mencari darah hewan, tapi kau bagaimana, Sunghoon-ah? Apa kau bisa beli darah di kantor PMI dengan surat rekomendasi klinik kesehatan?" tanyaku penasaran.

"Mungkin."

"Ah, syukurlah. Kukira kau bakalan kelaparan kalau tidak bisa beli darah."

"Mau makan steik, Yuri-ya?" usul Sunghoon tiba-tiba.

"Mwo?"

"Kompensasi darah kambing. Tekstur dagingnya memiliki sedikit darah. Kita makan daging setengah matang."

"Tapi kau tidak suka, kan?" tebakku sangsi. Aku tahu Sunghoon menggilai sundae, tetapi steik kambing terasa aneh jika Sunghoon yang menyantapnya.

"Sekalian kita kencan. Bukankah kita juga perlu pakaian dan tempat tinggal baru?"

Untuk pertama kalinya aku tidak suka gagasan tempat tinggal baru. Apakah kami akan menetap di Gangneung berduaan?

Aku menelan ludah gugup. Tidak berani menatap wajah Sunghoon lagi.

Dan apa? KENCAN?!

Apakah Park Sunghoon gila mengajakku kencan? Seandainya kembali ke masa tiga tahun yang lalu, tentu saja aku akan senang hati menerimanya. Itu pun kalau tidak ada yang merundungku. Perasaanku akan terbalas. Masalahnya, tiga tahun berlalu tanpa apapun. Waktuku melebur dalam kehampaan ingatan. Perasaanku mengikis bersama kehidupanku yang baru.

Aku sudah nyaman dengan nama Chen su, adiknya Seokjin. Aku minum darah kambing. Rumah termewahku adalah hutan luas yang selalu berubah warna sepanjang empat musim.

Yoo Yuri telah asing dalam diriku, terutama soal perasaanku untuk Sunghoon.

Ironis sekali. Namun, aku memicingkan mata. Apakah ini penilaian pribadiku saja, kalau Sunghoon mulai menunjukkan sisi menyebalkannya lagi? Dia narsis kurasa. Dapat dari mana kepercayaan diri dengan bicara soal kencan?

Bahkan aku tidak pernah mengatakan ya untuk menanggapi perasaan Sunghoon.

Bocah malang.

Haduh.... kalo Yuri dingin, siapa mau angetin perasaan Sunghoon?

Banyuwangi, 03 Februari 2021
Pas ujan petir gledek.

Lagi iseng bikin cover simpel nih di apk Colour.

⭐⭐⭐⭐⭐⭐Vote bosss⭐⭐⭐⭐⭐⭐

Halo ganteng....

Halo vector.....
(Lagi belajar)


Revisi, 20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro