[36] JAWABAN
Sudah vote? Klik ⭐ dulu dong.
Aku betah berada di dalam restoran meskipun makanan sudah tersapu bersih oleh mulut kami. Sunghoon duduk melipat kedua tangan, menatap kosong jendela, tetapi aku tahu dia sering mengawasi gerakanku.
Aku menjadi gugup, siapa tahu Sunghoon tahu apa yang sedang kurencanakan.
"Hei," panggilku, memecah kekakuan yang menyesakkan.
Kuakui, Sunghoon agak pendiam. Sangat berbeda dengan dahulu. Dia banyak menggodaku, tidak peduli bahwa aku dirundung orang lain. Seandainya aku masih berada di Seoul dan tidak amnesia, barangkali mereka sudah menciut ketakutan. Aku membayangkan mereka sembunyi selagi aku datang dengan senyum lebar, hendak mencabik leher mereka. Balas dendam yang penuh berdarah pasti menarik.
Arghhh .... Aku tidak mau menjadi psikopat. Aku segera menggelengkan kepala, menolak gagasan buruk itu, tetapi tetap saja aku penasaran dengan Kim Minji dan Bae Jung-A.
Astaganaga! Jay!
Bagaimana sahabatku satu ini?
Aku menepuk meja tidak sabaran, meminta perhatian dari Sunghoon. Dia masih menatapku tenang, tidak peduli dengan keributan yang kutimbulkan. Sungguh, ini memalukan. Tidak seharusnya aku bertingkah seperti ini. Kudengar sesuatu yang berderak di meja. Pasti patah, tetapi retakannya tidak tampak dari atas.
"Ceritakan padaku, apa yang terjadi selama ini, jebal." Aku memohon.
"Kau, ceritakan dulu, apa yang terjadi selama kau menghilang."
"Hm.... Aku ditemukan Seokjin Oppa dan pingsan di hutan. Kami berkelahi hebat. Entahlah, aku tidak paham kenapa menghajarnya saat terbangun. Lalu aku menjadi Chensu dan minum darah kambing. Sekian." Aku bertepuk tangan dengan senyum canggung. Sunghoon sama sekali tidak terkesan mendengar penuturan singkatku.
"Itu saja?" tanyanya.
Pertanyaan itu membuatku bodoh.
"Eoh. Sekarang jawab pertanyaanmu."
"Tiga tahun terlalu panjang untuk kau lakukan."
"Cepat." Aku menyela, lantas cekikikan canggung karena raut wajah Sunghoon tidak dalam mode bercanda. "Baiklah, akan kudengarkan."
"Kami pindah dari Seoul, membakar jejak kami dari kejaran Sowon dan pindah ke Gangneung baru beberapa hari, tetapi malah ketahuan. Aku belum dengar tempat baru lainnya, tetapi banyak anggota tinggal di terowongan untuk sementara. Bersembunyi lagi setelah pertempuran kali ini."
"Lalu kita bagaimana?" Alis Sunghoon berkerut tidak senang sewaktu aku menyela, buru-buru aku berkata, "Oke, aku diam!"
"Karena akses bawah tanah ditutup, kita akan membaur dengan manusia sementara waktu."
"Tanpa uang dan tempat tinggal?" Aku lupa pada ucapanku sendiri. Ingin sekali aku menempelkan plester tebal hijau di mulut agar tidak membeo terus menerus. Mendengarkan cerita Sunghoon jauh lebih menarik dibandingkan menceritakan hidupku mengejar kambing.
"Jangan khawatir soal itu," jawab Sunghoon tenang.
"Lalu? Istana Gyeonghyui bagaimana? Orang tuaku juga? Terutama apa yang terjadi padamu saat ini? Kau tampak aneh."
Aku menghela napas malu. Tidak bisakah aku mengerem pertanyaan terus terlontar? Kenapa semua pertanyaan itu terus terucap dari lidah tidak bertulangku. Ayolah. Untuk apa aku menanyakan sikap pendiam Sunghoon? Bahkan aku tidak nyaman setiap memergoki tatapan Sunghoon yang tampak berbeda.
Aku memang blak-blakan, tetapi aku cukup peka menyadari perubahan seseorang. Sunghoon tidak akan sependiam itu. Dia tidak seseceria yang kuingat. Tatapannya jauh lebih waspada dan penuh perhitungan. Caranya menatap sejak melompat dari pohon dan pergulatan kami jelas menandakan dia mencariku,
Argh! Menggelikan.
Untuk apa dia mencariku? Mustahil perasaanku terbalas karena dia menemukanku. Tatapannya bukanlah jawaban. Pasti ada masalah lain yang melibatkanku. Bodoh! Tentu saja dia mencariku. Untuk apa ciuman tadi? Ugh, aku menggigit bibir bawahku, rikuh menyadari sensasinya tadi.
"Kau salah satu alasan kami pindah tempat."
Mulutku terbuka lebar, tetapi aku senang tidak bicara. Sunghoon menurunkan bahunya, tampak rileks karena bicara santai denganku.
"Bisa kau jelaskan kenapa soal terakhir kali, kenapa kau memintaku membawamu pergi?"
"Soal itu kau tahu, kan? Menjadi vampir sangat menakutkan. Aku takut menghancurkan orang lain, tapi siapa yang menduga aku menemukan alternatif lain dengan berburu hewan?"
"Aku sangat terkejut karena pilihan minummu," komentar Sunghoon berhasil membuatku terkekeh.
"Aku ingat pertama kali minum darah untuk kuah sundae di belakang restoran ibuku. Itu darah babi. Mungkin karena itu aku terbiasa dengan memakan darah hewan, Awalnya sulit karena aku sangat kehausan sewaktu ditemukan Seokjin Oppa, katanya aku liar dan serakah di awal. Aku bahkan membantai banyak hewan di peternakan lokal. Semenjak itu aku membiasakan diri puasa darah, HYA, KENAPA AKU YANG CERITA?" Aku meninggikan suaraku, tersadar bahwa mestinya Sunghoon yang harus menjelaskan situasinya sendiri. Dia memang pandai membelokkan cerita.
"Itu sudah cukup," katanya.
Aku menyipitkan mata, menilai tatapannya yang semakin riang.
"Kau kabur karena takut menjadi monster. Terima kasih atas kejujuranmu, Yoo Yuri."
"Hei, kau belum jawab pertanyaanku," protesku.
"Nanti saja, Masih banyak waktu."
"Nanti, nanti, nanti. Tak ada nanti!"
Ini bukan pertama kalinya Sunghoon menunda pembicaraan lebih lanjut. Situasi saat ini jelas genting. Aku harus punya banyak informasi untuk keselamatanku sendiri.
"Soal kau takut menjadi vampir, apa itu artinya kau membunuh manusia sebelum menghilang?"
"Membunuh apa?"
Aku bingung. Aku hanya mengingat satu hal. Kaki mayat biru pada malam Sunghoon mengagetkanku. Selebihnya tidak ada.
"Rentenir terkenal bernama Kim Baebong."
"Entahlah, Aku tidak ingat."
"Baiklah."
"Apa ada masalah?"
"Jangan khawatir. Tolong beri tahu aku kalau kau ingat sesuatu," sahut Sunghoon sambil lalu. Dia memanggil pemilik untuk memesan tambahan lagi.
Aku menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi. Apa yang dikatakan Sunghoon soal rentenir barusan sangat mengusik. Ayolah, aku tidak akan tenang jika diberi banyak teka-teki lagi. Dunia vampir terlihat lebih rumit dari yang kukira. Aku jadi rindu menjadi anak manusia yang tak tahu apa-apa, persisnya sebelum Sunghoon datang sebagai lawan mainku di drama.
"Kau memikirkan apa?"
"Tidak ada," balasku.
"Kenapa kau menggigit bibir bawahmu?" tuduhnya Sunghoon.
"Memangnya kenapa kalau aku menggigit bibir bawahku?"
"Apa kau ingat kejadian rentenir? Jadi benar kau membunuhnya?"
"ITU KARENA AKU INGIN MENGHAPUS JEJAKMU DI SINI, BODOH!"
Tanganku menunjuk ke bibir dengan cepat. Mata kami saling berpandangan, terkejut satu sama lain usai aku bicara histeris. Aku tersenyum kikuk, tetapi rona wajah Sunghoon tampak berbeda. Dia menunjukkan kepala. Seandainya aku berada di posisinya, aku akan bangkit dari kursi dan meninggalkan dirinya begitu saja. Aku tak tahan pada penolakan yang menyakitkan bahkan sebelum berjuang.
Namun, Sunghoon tidak pergi. Dia kembali menegakkan kepalanya dan menatapku. Anehnya aku yang kepanasan.
"Jujur saja, Sunghoon-ah, aku tidak tahu soal rentenir itu. Jadi jangan bahas sesuatu yang tidak penting padaku, oke?"
"Tapi ini penting, Yuri-ya," desaknya.
"Kenapa penting?"
"Kita harus menemukan pelakunya."
"Wae?"
Sunghoon mendelik. Agak jengkel karena aku gagal masuk dalam percakapan. Dia pasti penuh pikiran dan pertimbangan, sehingga yang terucap darinya malah membuatku semakin penasaran, "lupakan saja."
"Ya, ceritalah!"
"Ada vampir yang membuat keributan, tetapi semua orang menganggap kau pelakunya."
"NAEGA WAE (KENAPA AKU)?"
"Aku tetap yakin kau tidak membunuh siapapun, begitu pula ucapanmu tadi cukup sebagai jawabanmu. Nanti akan ada pemeriksaan. Kami belum berhasil menangkap pelakunya. Sampai sekarang, orang itu terus membunuh manusia dalam jumlah banyak, sehingga penganut Sowon memburu kami. Bagaimana pun juga, vampir adalah musuh manusia. Kami terpaksa harus pindah, membakar rumah kami dan berpencar."
"Tapi aku tak sudi namaku dijadikan tumbal!"
"Karena itu aku mencarimu ke mana-mana untuk membuktikan kau tak salah. Jadi kumohon kalau kau ingat, segera bilang padaku."
Aku menganggukkan kepala. Menjadi vampir memang jauh lebih kompleks. Aku menelungkupkan wajah ke permukaan meja yang dingin, kesal karena hidupku sudah buruk sebagai manusia. Menjadi mati jauh lebih baik saat ini.
Namun, aku benci menjadi seorang pengecut. Aku harus menghadapi situasi yang terus memojokkanku.
"Jadi aku tidak bisa pulang ke Jongno?"
"Belum. Nanti saja kalau situasinya membaik."
"Nanti itu kapan?"
"Kalau kau ingat."
"Uh... kalau tidak ingat?"
Telapak tangan Sunghoon menepuk puncak kepalaku. Dia menghibur hatiku yang penuh kerisauan. Aku merasa nyaman menerima tepukan itu.
"Kau harus mengingatnya."
Aku mengerang kesal. Air mataku menggenang. Rencana pulang secara diam-diam mungkin kutunda dulu. Aku harus menemukan momen yang pas agar bisa pulang ke rumah. Agak lama aku bersandar di atas meja. Lalu Sunghoon memanggilku untuk pergi meninggalkan restoran. Dengan langkah terseok, aku mengikuti jejaknya pergi ke penginapan kecil. Beruntung Sunghoon memesankan kamar terpisah, sehingga aku punya privasi, tetapi aku memutuskan tidak akan kabur.
Aku justru tertidur, tetapi mimpiku buruk sekali.
Btw nyicil nulis bab 40 (soon), bisa makan dua minggu ya? Padahal awal-awal nulis, sehari bisa kelar 2 part. Hiksss... Kesibukan makin menjadi, sampai menulis aja waktunya gak kebagi.
Banyuwangi, 01 Februari 2021
Revisi, 20 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro