Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[23] GESEKAN

Sunghoon kembali hari Sabtu. Lima hari berlalu begitu saja dengan menghilangnya anak itu. Tanpa dia, aku tidak kehilangan apa-apa kecuali satu hal.

Jay menyita waktuku selama di sekolah. Dia tidak pernah kehilangan topik pembicaraan, dan aku punya banyak topik balasan. Kami lengket ke mana-mana bersama.

Saat pulang sekolah, aku disergap perasaan tidak enak. Pesan-pesanku tidak dibalas oleh Sunghoon. Teleponku tidak pernah diangkat. Dia tidak bisa dihubungi dan aku tidak tahu rumahnya. Tenggorokanku mulai kering menjelang akhir pekan. Belasan mangkok patbingsu Sabtu malam lalu yang mengandung darah tidak bisa merendam haus yang semakin menguat. Aku cemas jika tidak bisa minum darah lagi.

Sunghoon penjaminku, tetapi tidak bertanggungjawab. Aku semakin takut jika akalku hilang dan melakukan sesuatu yang terlalu riskan. Kalau aku menyesap darah semua anggota keluargaku, saat itulah aku menghadapi akhir. Aku benar-benar bergidik membayangkannya. Aku tidak boleh mati, selagi masa mudaku yang berwarna dimulai dengan hadirnya Jay.

Namun, aku bersyukur karena Sunghoon kembali pada hari Sabtu. Lima hari dia menghilang. Aku tercengang melihat rona wajahnya yang tidak biasa. Wajahnya semakin putih, tidak ada rona menyenangkan seperti biasa. Dia dingin dan kelelahan, sama sekali tidak menggubris sapaan orang lain. Perilaku tidak lazim Sunghoon membuat banyak orang bertanya-tanya.

Sunghoon duduk di bangku. Tatapan kosongnya mengarah ke jendela luar. Dia termenung seakan tertimpa jutaan musibah yang datang beruntun dan sulit dia selesaikan.

"Hebat sekali dia. Dapat mainan baru, yang lama ditinggalkan."

"Apa dia menduakan Sunghoon?"

"Tak akan kubiarkan Sunghoon patah hati karena dicampakkan Yoo Yuri."

"Dia menjijikkan!"

"Apa sih yang dilihat Sunghoon dan Jay? Kenapa keduanya harus ditempeli oleh gadis jelek seperti Yuri?"

Rentetan sindiran singgah di telingaku. Aku melirik malas ke kerumunan gadis-gadis penggosip itu. Salah satu yang terlibat di sana adalah Bae Jung-A, tetapi aku sangat mengenal suara Jung-A. Tentu saja dia tidak akan bicara seperti itu. Dia cuma terjebak dalam kerumunan yang kebetulan membicarakan aku. Jung-A menjauh dariku, tidak berani minta tolong ditemani di toilet atau kantin. Namun, dia sama buruknya dengan yang lain. Mendiamiku seperti barang rongsokan. Aku mulai hilang kesabaran.

Tidak adakah yang bisa menyumpal mulut bocor mereka?

Tenggorokanku tercekat. Aku menggertakkan gigi. Semakin besar emosiku, energiku cepat terkuras habis. Artinya aku semakin haus akan darah.

Aku harus tenang, tetapi kenapa tinjuku tegang? Aku butuh pelepasan atas tekanan batin yang menghimpitku. Aku lelah diinjak orang lain. Kim Minji memang berhenti mengusikku, masalahnya mulut orang lain semakin bertambah lebar dalam hal menyebar gosip tanpa dasar.

"Hei, pinjam buku Sastra Korea!" Tanpa sungkan, Jay mengambil buku tugasku yang masih tersimpan di tas. Jay membuka lembar esai dan mendapati lembar halaman terakhirku yang kosong. "Kau belum mengerjakan PR-mu?"

"Lupa," kilahku.

Ya sudahlah. Bel pergantian jam pelajaran sudah berganti. Terlambat untuk mengerjakan esai sebanyak tiga halaman. Mengarang adalah sesuatu yang memusingkan. Aku tidak pandai menulis sesuatu yang fiktif. Belum lagi malam-malamku melaju lambat karena pikiranku tertuju pada Park Sunghoon. Bagaimana bisa tenang jika orang yang menggigit leherku tidak bertanggung jawab?

"Yah, kalau begitu...."

"CEPAT KUMPULKAN PR KALIAN!"

Lee Seongsangnim hadir secara mengejutkan dengan tongkat panjang. Wajah galaknya membuatku meringis pasrah. Aku tidak bisa menyelesaikan kalimat saking takutnya pada wali kelas.

Bodoh! Aku dan Jay menyengir bersamaan. Tidak terlalu buruk jika dihukum bersama teman. Bebanku seperti diangkat. Hanya aku dan Jay yang tidak mengerjakan PR. Kami disuruh strap dua puluh putaran selagi Lee Seongsangnim menyuruh siswa yang duduk di deret kanan menukar buku PR dengan deret kiri. Sungguh tidak adil murid yang harus mengoreksi tugas temannya. Tidak ada standar penilaian yang sesuai. Banyak siswa menilai secara subyektif. Siapa yang dikenal dengan baik bakal mendapat nilai baik. Bahkan banyak yang menjahili satu sama lain dengan skor 50.

Akan adil jika soal-soalnya memiliki pilihan ganda. Pasti ada dua jawaban yang mutlak. Benar dan salah. Jika esai? Akan lain ceritanya. Tidak adil.

Lebih baik kena strap!

Aku dan Jay pergi ke lapangan dengan hati suka cita. Dua jam pelajaran berada di luar jauh lebih melegakan. Bisa melihat langit, menghirup udara dan saling melempar lelucon dengan Jay. Sangat beda berada di kelas, bersama guru sastra Korea yang terus berceramah soal etika. Sesak sekali!

"Hei, sepulang sekolah nanti, ayo temani aku mencari barang keperluan rumah tangga," ajak Jay.

"Oke." Aku menyahut. Sulit sekali mengejar larinya Jay. Dia sangat atletis.

"Kau mau cari apa?"

"Banyak. TV, baju, lampu dan tisu toilet."

"Astaga, kau banyak uang, Jongseong-ie?" tanyaku.

"Ya begitulah."

Aku menyenggol bahuku ke bahunya. Terkesan dengan kepercayaan diri Jay. Dia pasti kesulitan mengurus dirinya sendiri. Usianya masih 17 tahun, tetapi harus mengurus semua hal sendirian. Bukan perkara yang mudah.

"Kenapa beli TV?"

"Buat lihat berita." Jay terus melontarkan jawaban tidak terduga. Wajah premannya tidak cocok untuk menonton siaran berita.

Mulutku komat-kamit, kesulitan menemukan jawaban balasan. Aku menggaruk puncak kepalaku.

"Bukannya lebih mudah lihat di ponsel."

"Tidak suka. Layarnya kekecilan."

"TV tidak bisa diseret ke mana-mana karena kebesaran," tanggapku akhirnya.

"Enak TV."

"Ah, terserah kau!" sahutku malas berdebat. Aku mempercepat jalan jongkok, sengaja meninggalkan bocah cuek, tapi keras kepala itu.

Jay tertawa atas reaksiku yang mudah kalah dalam hal berdebat. Beruntung dia punya fisik atletis sehingga bisa menyalipku dengan mudah. Aku menggerutu tidak terima kalah. Aku bangkit dan mendorong tubuh Jay ke samping, lalu berlari secepatnya. Peluh sebesar biji jagung menetes di seluruh wajahku. Napasku memburu. Berada di bawah matahari, kami bersenang-senang sendirian.

Bel kembali berdering. Pintu-pintu memuntahkan puluhan anak-anak yang semburat riang menuju lapangan sepak bola. Aku dan Jay melipir ke arah kantin. Aku masih membutuhkan makanan manusia untuk mengganjal lapar dan haus. Akan sangat aneh kalau aku berlarian di lapangan, berkeringat dan kelelahan, tapi tidak butuh minum.

"Tidak makan siang, Jay?" Aku setengah berharap Jay mau makan siang bersamaku di kantin sekolah. Kebetulan menu hari ini lumayan enak. Tumisan babi pedas menjadi menu utama minggu ini, mumpung harga daging sedang murah.

"Nanti saja kita makannya. Sepulang sekolah."

"Kalau begitu aku beli roti dulu," ucapku sambil lalu.

"Hei, Jay, mau main sepak bola?" ajak salah satu siswa menarik bahu Jay..

Aku tidak mengenalnya, tetapi Jay pernah bilang jika anak itu tetangga satu apartemen, hanya beda lantai.

"Oke!"

Jay tidak pernah kehabisan energi. Dia meneguk minumannya dengan cepat, lalu meninggalkanku di kantin begitu saja. Aku kembali ke ke kelas, menyadari bahwa aku meninggalkan ponsel di dalam tas. Sudah menjadi kebiasaan jika tidak ada Jay, aku kerap mengecek notifikasi balasan. Aku menjadi berharap akan sebuah jawaban. Bodohnya aku lupa bahwa Sunghoon hari ini masuk sekolah.

Aku kembali kecewa. Sunghoon tidak ada di bangkunya. Dengan cepat aku mengirim pesan, menanyakan posisinya. Namun, ponsel Sunghoon tidak aktif. Bagus! Dia mengabaikanku!

Kepalang marah, aku membuka buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Tenggelam dalam rumus jauh lebih menyenangkan daripada pikiranku kacau balau. Aku semakin mudah emosi mendengar kasak-kusuk tentangku.

Ayolah, mau sampai kapan aku digunjingkan terus? Apa tidak bisa mereka tutup mulut?

Aku menggertakkan gigi. Tenggorokanku sudah panas bersama saliva yang melimpah dam mulutku. Aku haus dan lapar. Permukaan buku, meja, dinding, papan tulis dan wajah siswa yang berkerumun di kelas 10-2 menjadi merah. Aku menyeringai lebar.

Aku akan membunuh mereka.

Suara kursi digeser ke belakang. Aku menoleh ke sumber suara. Rupanya Jay.

Penampilan Jay berantakan. Kancing seragamnya lepas dari lubang kancing, tetapi pemuda itu melapisi tubuhnya dengan kaos putih. Rambutnya basah disiram air. Dia cukup lama main sepak bola dan akhirnya mengambil botol minumanku.

Sisa hari itu seperti biasa. Membosankan karena guru lebih banyak mendongeng. Tepat pada pukul delapan malam, kelas bubar. Ini akhir pekan. Aku punya jam bebas sampai 10.00 malam. Pergi menemani Jay belanja TV tidak ada salahnya. Aku sudah lama tidak mengunjungi plaza. Meski tidak ikut membeli, jalan-jalan mengecek label harga di plaza menjadi hiburan tersendiri.

"Ayo pergi!"

Sepasang sepatu mewah itu meredupkan senyuman riangku. Aku mendongak dan mendapati wajah tidak ramah Sunghoon. Iris matanya merah kelam. Wajahnya seputih tembok kelas yang tiga tahun belum dicat ulang. Dia terlihat lelah.

Aku menggeram. Akhirnya Sunghoon mendatangi mejaku. Dia tetap menyebalkan.

Aku menoleh ke arah Jay. Namun, Jay melipat kedua tangannya, tampak menilai siapa lawan bicaranya. Jay masih belum mengenal satu-satunya teman sekelas yang baru muncul hari ini.

"Maaf, tapi Yuri mau pergi menemaniku," ucap Jay.

Aku mau menenggelamkan diri. Risih terjebak dalam situasi paling aneh di antara dua anak laki-laki ini. Aku akan senang hati menemani Jay belanja. Namun, pergi ke Gapyeong adalah sesuatu yang tidak bisa aku tunda. Mengingat Gapyeong, tenggorokanku semakin nyeri. Aku jadi ingat pandangan memerah tadi. Jika aku tidak pergi, lantas bagaimana hari-hariku berikutnya? Mungkin aku bakal menggigit Jay karena khilaf.

Itu tidak boleh terjadi.

"Maaf, Jay. Bisa kita tunda beli kebutuhanmu besok siang? Aku lupa sudah janji menemani Sunghoon pergi sejak minggu lalu." Aku bersalah sekali mengucapkan pembatalan acara sepihak.

Jay sahabatku, tetapi menyesakkan karena aku menyimpan masalahku sendiri.

"Aku boleh ikut?" tanya Jay, tetapi matanya bersinggungan dengan mata Sunghoon.

Astaga Jay, berapa kali aku terkejut dengan jawaban tidak terdugamu?

Mulutku terkunci. Aku tidak berada dalam posisi menjawab pertanyaan itu. Apalagi kedua pasang mata itu saling membidikkan laser aneh. Tidak mungkin kan, mereka merebutkan sosok sepertiku?

Apa sih yang dilihat Sunghoon dan Jay? Kenapa keduanya harus ditempeli oleh gadis jelek seperti aku?

Kurasa, bukan aku yang menempel ke mereka. Kedua pemuda itu yang datang ke padaku. Aduh, aku mau tenggelam saja saking tidak tahannya melihat persaingan di antara mereka.

Seandainya aku bisa memilih, aku sedang tidak ingin pergi ke mana pun! Aku akan menonton drama thriller di OCN sampai ketiduran. Itu adalah masa paling menyenangkan. Romansa picisan yang terjadi barusan, kuharap cuma bagian mimpi. Tidak boleh terjadi.

"Apa kau harus mengganggu acara orang pacaran akhir pekan ini?"

Walau sudah sering digenggam, tangan kananku seperti kena sengat listrik. Terang-terangan Sunghoon menggenggam tanganku. Aku terkejut bukan main mendengar ucapan Sunghoon. Telingaku tidak salah dengar, kan?

Ini drama thriller paling aneh yang kualami dibandingkan drama di saluran kesayanganku. Terpaksa aku harus menutup wajah dengan tangan kiri saking ngerinya.

Sialan kau, Park Sunghoon!

**********

Kapalmu yang mana? Jay or Sunghoon?

2 Desember 2020
Revisi, 18 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro