Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[21] PUSAT KEGELAPAN

Vote jangan sampe ketinggalan.

************

Sunghoon mengalungkan lengan panjangnya ke leherku, sengaja memastikan aku tidak kabur. Dia menggiringku naik bus hijau yang datang tepat waktu setiap pukul delapan malam. Walau aku bersikeras melepaskan diri, kekuatannya melampau di atasku. Dia lebih kuat. Aku terpaksa ikut naik akibat dorongan kuatnya. Begitu mendapatkan tempat duduk di barisan tengah, dia melepaskan rangkulannya.

Aku cemberut. Pemuda itu menculikku semaunya. Lantas Sunghoon mengeluarkan ponsel untuk main game simulasi. Dengan situasi yang ramai penumpang, mustahil membicarakan masalah pribadi. Jadi aku mengeluarkan earphone nirkabel. Aku mendengarkan musik favoritku, tetapi salah satu earphone dicuri oleh Sunghoon. Dia ikut mendengar musik lagu tanpa mengomentari selera musikku.

Arah bus masih sama saat menuju Gapyeong kemarin. Perlahan jumlah penumpang mulai berkurang, hingga hanya ada kami berdua. Sunghoon tidak menggubris kerusakan otot okulisnya kala main game, padahal cahaya sudah meredup total.

Tepat pada terowongan gelap itu, aku menyadari jalanan yang turun ke bawah. Apakah ini perasaanku saja jika kami menembus bawah tanah? Entahlah. Namun, suasana di sini jauh lebih ramai dibandingkan akhir pekan. Lebih ramai dari jalan Hongdae.

Banyak orang menukar darah dengan segepok uang. Mereka tertidur di ranjang dengan mesin menyedot berkapasitas 500 milimeter per kantong.

Kami terus melaju jauh. Rupanya terowongan itu memiliki banyak jalan cabang. Aku tidak ingat arah ke Gapyeong, tetapi bus sepertinya berbelok ke kiri dan perjalanan lebih singkat, hanya sepuluh menit.

"Kenapa kita harus masuk naik kendaraan? Bukankah lebih cepat berlari?" tanyaku.

"Bus adalah pintu akses termudah menuju komunitas kegelapan. Penjaga tidak akan murah hati membukakan pintu jika kita tidak naik bus. Ada jam tetapnya. Namun, kalau kita keluar, dengan senang hati diizinkan. Asal punya surat keterangan jaga rahasia."

"Sukar dimengerti!"

"Kau akan tahu sebentar lagi." Sunghoon tersenyum miring.

"Lalu, mereka yang menjual darah tadi, kenapa tidak ada bilik sterilisasi? Amankah darah mereka bila kita minum?"

"Dulu orang tidak berpikir darah manusia mengandung penyakit apa saja. Haus tinggal minum."

"Dan bagaimana kalian mendapatkan uang jika darah saja mahal dijual?"

Ganjalan di hatiku masih besar. Ada banyak rumah sakit kesulitan mencari darah di PMI. Namun, betapa mudah menemukan puluhan orang berbaring menjual darah di sini.

"Aigo, humanis sekali dirimu." Komentar Sunghoon penuh pujian, tetapi aku menganggapnya sebagai ejekan berkat senyuman miring Sunghoon.

"Kau tidak akan berpikir seperti itu lagi jika haus, Yuri-ya."

"Jawab pertanyaanku. Bagaimana kalian mendapatkan uang?"

"Saham."

"Saham?"

"Usaha keluargaku ada di mana-mana, Yoo Yuri. Kami butuh cukup uang untuk menutup mulut pendonor. Jika mereka buka suara soal perjanjian rahasia, hukumannya setimpal. Rahasia itu akan selalu terkubur di bawah bumi. Jika tidak, kekacauan akan terjadi lebih banyak lagi."

Kilat merah itu sangat jelas meskipun dalam terowongan. Aku berjengit ngeri melihat mata Sunghoon yang merah menyala. Aku mengeluarkan ponsel untuk menyalakan fitur kamera. Jika aku memang vampir, aku penasaran seperti apa bentuk mataku. Aku langsung terkejut dan melempar ponsel saat sepasang mata merah balas menatapku secara horor di dalam ponsel.

"Siapa dia?" teriakku heboh.

Aneh sekali. Di cermin sekolah, mataku baik-baik saja. Cokelat normal. Namun, kenapa di sini beda jauh?

"Itu kau," balas Sunghoon.

"Merah sekali matanya. Jelek!"

"Terowongan ini punya lapisan penyaring. Apa yang tidak terlihat oleh mata manusia, bisa terdeteksi semua." Penjelasan Sunghoon sulit diterima nalar.

"Tapi taringmu kenapa tidak panjang?" tuduhku makin tidak percaya.

Sunghoon terbahak-bahak mendengar pertanyaanku. Aku bingung soal pilihan kalimatku. Apakah aku lelucon baginya? Situasi saat ini tidak lucu. Aku takut pada mataku sendiri. Bagaimana kalau bentuk mataku berubah merah selamanya, lalu orang tuaku dan Jiho bakal mengusirku karena ketakutan.

"Kau memang korban drama. Tidak semua vampir punya gigi taring seperti macan. Gigi kita akan tetap seperti apa adanya."

"Oh. Kukira kita punya taring seperti itu," aku menyahut malu. Pipiku merah padam. Sebagian dariku senang tidak punya taring. Bakal repot jika ketahuan orang lain kalau punya taring mencuat di luar bibir. Bukannya mencabik orang lain, bibir sendiri yang malah terluka.

"Imajinasimu payah."

"Hei, referensiku dari berbagai sumber. Banyak menggambarkan para vampir dan drakula di film-film yang begitu. Giginya mencuat ke bawah."

"Itu tidak benar!" Sunghoon menggelengkan kepala, tidak menyangka bahwa pertanyaanku bisa membuatnya merosot dari sandaran kursi karen tertawa.

Bus melambat dan berhenti tepat di suatu tempat yang sangat sepi. Aku mengikuti Sunghoon turun di halte kecil. Hampir seluruhnya lenggang tanpa bangunan apapun. Kanan kiri halte adalah area pertanian. Tanaman padi tumbuh subur dan tinggi, tetapi masih belum masa panen. Di seberang halte terdapat sungai panjang dengan arus lambat. Riak keperakan memantulkan cahaya bulan yang bulat sempurna.

Bus melaju cepat meninggalkan kami. Satu-satunya cahaya lemah dari lampu sein bus mengecil bersama lebarnya jarak di antara kami sebelum menghilang. Dalam gelap pun, aku bisa melihat wajah datar Sunghoon. Dia menghela napas pendek, sadar bahwa menggigit manusia lain pun sama besarnya menghadapi kematian. Pasti bakal merepotkan karena harus mengurus banyak hal. Dia pasti menyesal telah menancapkan bisanya di aliran darahku.

Itu pelajaran berharga bagiku bahwa aku tidak akan menggigit orang lain. Aku tidak mau menyusahkan diri seperti yang dialami olehnya.

"Kajja (ayo)," ajak Sunghoon.

"Kita di mana?" tanyaku penasaran.

Sunghoon tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan cepat lalu memasuki seruas jalan setapak menuju tengah tanaman padi. Rupanya dia menempuh jalan pintas masuk ke pedesaan dan berhasil menemukan kantor kepala desa yang sudah tutup. Di halaman yang luas itu, Sunghoon menggelengkan kepala.

"Sepertinya kita salah arah."

"Hei!"

"Dulu kantornya bukan di sini. Lalu di mana, ya?" tanya Sunghoon pada dirinya sendiri.

Sopir bus mustahil menurunkan penumpang seenaknya, salah jalur pula. Ingatan Sunghoon terdistorsi berkat sudah lama dia tidak mengunjungi kantor dinas kevampiran.

"Mana aku tahu," sahutku ketus.

"Ah, di sana!" tunjuk Sunghoon, seraya menarik tanganku.

Belakangan ini, semenjak pengungkapan jati diriku menjadi sosok abnormal, Sunghoon selalu menyentuhku. Dia menggenggam tanganku tanpa sadar. Jantungku jumpalitan, sulit memahami batas mana yang harus kami patuhi sebagai teman. Sentuhan fisik ini masih memberatkan bagiku.

Aku ingin melupakannya dan berharap kedekatan di antara kami bisa berakhir secepat mungkin, tanpa harus ada genggaman tangan.

Kami beriringan menuju gedung sebelah ruang kantor desa. Di gedung terpisah seukuran 3x4 meter, adalah sebuah gudang terbengkalai. Ada banyak deretan meja komputer lama dan alat kebersihan. Sunghoon menarik pintu tingkap bawah tanah, yang notabene adalah bungker rahasia. Aku ragu-ragu, tetapi ikut masuk ke dalam ruang bawah tanah.

Aku keliru.

Kukira tempat itu bakal gelap dan penuh sarang laba-laba.

Ternyata jauh lebih atraktif dari yang kukira. Aku menaikkan salah satu alisku, menuntut penjelasan atas dunia vampir yang Sunghoon sembunyikan selama ini.

Hampir semua dinding memajang ratusan tutup botol aneka minuman sepanjang masa. Puluhan warna, bentuk dan merek, disusun rapi sebagai lapisan kedap suara. Iringan lagu Beatles mengentak, menggetarkan lapisan meja dan lantai. Di sudut ruangan, terdapat gantungan pakaian. Salah satunya berlabel 'Petugas Kebersihan Kantor Desa Cheonghwi.'

"Selamat datang di kantor Dinas Kevampiran," sambutannya terdengar sebagai olokan.

Aku melangkah masuk. Aroma hutan pinus mendominasi seluruh ruangan. Di sana ada satu petugas administrasi, berwajah pusat penuh kebosanan. Sudah pasti dia duduk di sana berjam-jam lalu. Dia menyeruput minuman merah pekat. Aku membaui darah dan kopi. Mungkinkah kedua bahan itu dicampur menjadi satu?

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas itu. Tubuhnya langsung sigap mengenali Sunghoon.

"Vampir baru," jawab Sunghoon langsung. Dia menyuruhku duduk di satu-satunya kursi pengunjung.

"Ah, baiklah, Tuan Park." Petugas itu menjawab gugup.

Menggelikan sekali melihat teman sekelasku, yang berusia 17 tahun dan awet muda ini dipanggil tuan. Sangat tidak cocok!

"Bisa tunjukkan kartu identitas Anda?"

Aku membaca pin nama di dada kiri petugas. Kim Taehyung tersemat indah di namanya. Pemuda rupawan itu sangat tidak cocok berada di bawah gudang kantor desa, memunguti sampah dan digaji murah oleh manusia.

Namun, makhluk kegelapan bisa menjadi apa saja, membaur tanpa harus mencolok perhatian. Menjadi orang paling diremehkan karena pekerjaan jauh lebih menyenangkan dibandingkan seperti Sunghoon. Kesempurnaannya menjadi pusat perhatian sekolah. Mudah terekspos rahasianya.

Sunghoon memang sempurna. Perjalanannya terlalu rapi dan cepat. Dia menemukan kebohongan putih secara mudah. Sehingga banyak anak-anak sekolah yang belum tahu secara persis tempat tinggalnya, termasuk aku.

Aku bertukar pandang ke Sunghoon, tetapi Sunghoon menganggukkan kepala. Isyarat kecilnya membuatku yakin. Aku menyerahkan kartu pelajar. Dengan cepat Taehyung mendata identitasku dan mewawancarai proses perubahanku. Ketika Taehyung menanyai apalah orang tuaku tahu soal statusku sebagai vampir baru, aku bergidik.

Tatapan kelam nan tajam tersimpan di balik mata Taehyung. Jika aku keseleo menjawab, kehidupan keluargaku dipertaruhkan.

"Tidak," jawabku cepat.

"Pernahkah Anda memberitahu soal hal aneh yang Anda alami?"

"TIDAK."

Aku menggaruk lutut dengan gugup. Padahal aku ngotot minta ditemani ke psikiater karena siklus makanku yang aneh, serta flu tidak wajar. Eomma bersikukuh tidak mau mengantarku ke akhir.

"Dan Anda menyadari penuh jika Anda digigit vampir?"

"Sunghoon sendiri yang bilang dirinya vampir. Aku juga digigit di sini," sahutku memamerkan bekas tipis luka di leher.

"Benar begitu, Tuan Park?"

"Ya."

"Baiklah, Nona Yoo, silakan tandatangani dokumennya dulu."

Taehyung menyerahkan selembar dokumen untukku. Tanda tanganku agak kacau dari biasanya. Aku terlalu gugup membubuhkan tanda tangan di kertas. Kemudian Taehyung menoleh ke Sunghoon dengan tatapan yang hangat dan penuh takzim. Aku berfirasat jika status Sunghoon ada di atasnya.

"Sebagai penjamin, Anda harus tanda tangan. Silakan, Tuan Park."

Tanda tangan Sunghoon sangat tegas dan indah. Tipikal yang penuh percaya diri.

Petugas itu mengambil kembali dokumennya. Dia melakukan scan pada dokumenku dan mengetikkan sesuatu di komputer. Kemudian aku disuruh mendekat di atas komputer. Sidik jari dan retina di-scan. Tidak lama kemudian terdengar suara printer memuntahkan sesuatu yang mungil. Aku diminta tanda tangan lagi. Rupanya kartu identitas yang baru.

"Tuan Park, Anda tahu apa yang harus dilakukan. Tolong kerja samanya menjaga integritas kaum bawah bumi." Taehyung mengangguk sopan, lalu tersenyum.

Tengkukku merinding karena ketakutan sekaligus menggigil kedinginan. Tatapan Taehyung tadi seperti bilang, 'aku akan mencincangmu kalau buka suara. Hati-hatilah!'

Aku menghela napas saat naik ke atas, menembus gudang dan kembali ke halte tadi. Suara serangga malam masih kencang. Aku senang akhirnya bisa pulang ke rumah.

**************

Karena ini akhir November, karena goals dan me time berakhir, sebelum dirundung siblings soal nikah melulu, nah, lagi seneng abis potong rambut super pendek. Plus Enhypen akhirnya debut dan rilis MV yang oke, jadilah double update hari ini.

Ketemu part baru besok malam. Dan.....

Welcome new readers yang rajin vote.

19:28 — 30 November 2020.
Revisi, 17 September 2022

Bonus, pegawai bawah gudang, alias Petugas Dinas Kevampiran, baru bangun tidur langsung nyari bawang buat sarapan, oi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro