Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[19] MIMPI KELEWAT NYATA

Happy weekend, gaes.

Vote dulu yesss.

*******************

Aku bisa tidur nyenyak malam itu. Perjalanan pulang dengan lari dari Gapyeong benar-benar membuatku lelah. Begitu bangun, keadaan tubuhku sangat prima. Aku merenggangkan badan penuh rileks. Senang memulai hari dengan napas yang teratur.

Tenggorokanku tidak lagi kering. Aku bangun lebih awal dibandingkan Eomma atau Jiho. Dengan santai, aku membuka pintu lemari, mengeluarkan kotak kimchi dan menuangkan sedikitnya tiga jenis. Kimchi daun bawang, kimchi lobak, dan kimchi mentimun menjadi lauk sarapanku. Aku menggoreng satu telur mata sapi dan makan nasi sisa semalam. Lidahku masih hambar, tetapi setidaknya aku harus isi perut lebih dahulu. Lalu aku memanggang dua lembar roti tawar yang dicelupkan ke telur kocok lebih dahulu. Tanganku cukup terampil membuat sandwich sederhana berlapis selembar keju dan sosis yang kuiris tipis-tipis.  Sandwich itu diiris menjadi dua potong berbentuk segitiga untuk bekal makan siang nanti.

Suara kesibukan di dapur menyebabkan Eomma terbangun. Wanita itu menguap lebar-lebar, kontras denganku yang senang. Wajah lelahnya sangat terlihat. Appa tidak akan berubah. Masih mendengkur keras seperti biasa. Hari-hari mereka masih berjalan tetap. Saling membenci, tetapi saling mengandalkan satu sama lain.

"Pagi, Eomma," sapaku dengan pipi menggelembung. Aku menyuap satu telur mata sapi utuh. Tekstur kuning telur yang mentah seharusnya membuatku mual. Aku termasuk orang yang tidak suka telur mentah. Anehnya hari ini aku baik-baik saja berkat lidah mati rasa.  Jadi aku sering kehilangan nafsu makan. Namun, aku harus terlihat makan.

Kini aku berempati dengan Sunghoon. Dia banyak makan supaya terlihat sangat manusia.

"Seharusnya kau siapkan makan untuk orang rumah sekalian." Eomma duduk di depanku, sengaja mencuri seteguk kopi instan yang kubuat untuk diriku sendiri. "Kenapa harus makan sendiri?"

"Kukira kalian akan bangun pukul delapan nanti." Aku sulit menyembunyikan cibiranku.

"Eomma harus ke pasar pagi ini. Namun, masih saja terlambat."

Eomma merenggangkan badan, lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi. Aku kembali dengan aktivitasku sendiri. Usai cuci piring, aku bersiap-siap untuk ke sekolah. Waktuku masih panjang. Aku menunggu yang lain terbangun. Selagi suara ribut muncul, dimulai dari omelan Eomma ke Appa yang malas bangun, berteriak kesal karena Jiho memanggil minta dicarikan kaos kaki warna hitam bergaris putih satu. Eomma makin mengamuk atas ketidakbecusan para laki-laki di rumah. Saat aku menenteng sepatu diam-diam keluar dari kamar, gerutuan Eomma belum usai.

Di bawah cahaya matahari yang terbit sepenggal di atas kepala, aku menatap telapak tanganku. Aku membolak-balikkan mimpi. Kukira semalam cuma mimpi. Es serut lezat, terowongan gelap, donor darah, dan memanjat gedung. Lintasan kenangan tidak urut itu masih sangat jelas. Kemudian aku teringat mata merah yang sangat dekat dalam bus. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan mimpi aneh itu. Lalu aku sadar semuanya bukan mimpi. Aku sungguh naik punggung Sunghoon dan nyaris ketahuan Eomma, menilik sepatu di kolong ranjang.

Aku menatap kembali gedung apartemenku.

Rasanya tidak nyata. Aku mencubit pipiku keras, lalu mengaduh atas ketololanku.

Aku belum percaya soal hantu. Patbingsu yang kumakan rasa manis dan kental berasal dari susu krim yang banyak sekali. Mata merah di bus cuma halusinasi. Perjalanan singkat saat pulang cuma pengaruh mimpi. Aku pasti ketiduran lagi waktu perjalanan pulang naik bus.

Langkahku ringan menuju sekolah. Hari normalku berjalan dengan biasa. Tidak ada yang menggangguku. Tidak ada pula yang mau bicara denganku. Aku mengeluarkan buku pelajaran, sengaja mengerjakan beberapa soal matematika. Kepalaku mau pecah saking sulitnya menemukan rumus. Bosan mengerjakan soal, aku beralih dengan memainkan permainan di ponsel. Begitu bel berdering, aku lega karena bisa mendengar penjelasan guru.

Aku mencatat dengan rajin semua penjelasan guru. Begitu jam makan siang tiba, kebiasaan berdiam diri di kelas masih ada. Aku tidak mau menjadi bahan gunjingan secara kontinyu. Malah aku membuka kotak bekalku sendiri. Hanya sandwich sederhana, tapi aku senang bisa makan siang di dalam kelas. Baru segigit sandwich potongan pertama, tangan lain dengan seenaknya mencuri sandwich milikku. Aku mendelik kesal karena Sunghoon adalah pelakunya. Namun, dia mengganti sepotong sandwich dengan banyak snack lainnya, termasuk Chocky-mong.

Cengiran Sunghoon pasti bakal membius semua anak sekelas jika dia tersenyum semanis itu. Namun, pesonanya sehambar sandwich di lidah. Ekspresi wajahku surut. Usai sudah hari baikku saat melihat mulut Sunghoon bergerak cepat dalam menandaskan bekalku.

"Enak sekali sandwich-mu. Besok bawakan bekal yang sama untukku," perintah Sunghoon. Kali ini dengan cepat dia membuka snack pengganjal perut lain dan memakannya.

"Tidak akan!"

"Sebelas mangkok tidak sepadan dengan sepotong sandwich. Terbilang 1.842.500 Won, belum termasuk pajak layanan meja dan ongkos bus. Sandwich cuma 2000 Won. Apalagi aku merasakan cangkang telur barusan. Sungguh ketimpangan yang besar."

"Tutup mulutmu, Park Sunghoon." Aku menggeram. Malu karena masakanku dikomentari olehnya.

Sunghoon menyeringai lagi. Dia menusukkan sedotan ke susu kotak, lalu menyodorkan kepadaku. Pemuda itu berdiri dan membungkukkan tubuh. Mulutnya berada di telingaku. Aku terusik. Banyak tatapan tertarik teman sekelas melihat keakraban yang muncul tiba-tiba. Akhirnya si pangeran sekolah bisa bergaul dengan siswi pembuat onar.

Aku mengeluh karena masih menjadi pusat perhatian dan gosip yang panas. Nasibku buruk sekali gara-gara Sunghoon.

"Banyak yang bilang, kau menggodaku, Yoo Yuri. Kutunjukkan seperti apa menggodamu. Nah, pacar vampirmu masih kangen. Temui aku sepulang sekolah nanti."

Lagi-lagi rambutku diacak lembut olehnya sebelum pergi. Aku mengernyit tidak senang melihat punggungnya yang berlalu. Jemariku dengan cepat merapikan poni yang berantakan. Kenapa dia tidak berhenti atas perannya sebagai Jaebum? Aku menyeruput susu kotak dan kesal karena rasanya bukan rasa favoritku.

Aku tidak akan datang. Siapa yang akhirnya bakal membongkar rahasia? Bukankah pemuda itu mengatakannya cukup keras untuk didengar yang lain? Vampir? Haaaaa. Awas saja dia.

Aku tidak percaya leherku bakal dipenggal.

Aturan ada karena pelanggaran. Selama belum tahu ada aturan, aku tidak akan kena hukuman apapun atas ketidaktahuanku. Aku yakin aku bakal bebas karena statusku adalah korban. Aku digigit tanpa izin. Aku berhak membela diri jika suatu saat dituntut. Lagi pula dunia immortal berikut aturannya pun aku buta total. Seandainya Sunghoon menjelaskan semuanya secara gamblang dari awal, tentu aku bisa berhati-hati. Masalahnya aku memang nol besar dalam hal supranatural. Sunghoon memiliki banyak tindakan dan ucapan ambigu.

Jadi aku cukup menjauh untuk sementara waktu.

Anehnya aku kembali stres. Aku teringat akan kematian mayat-mayat bertubuh biru. Belum lagi luka fisikku saat nyaris tertabrak mobil waktu itu. Aku ingat dengan jelas bagaimana lebam dan sulur biru kehitaman di telapak tanganku benar-benar menakutkan. Apakah sosok pemilik kaki telanjang biru itu akan menjadi masa depanku? Mati dalam keadaan biru?

Entahlah. Aku tidak mau memikirkan hal-hal aneh lagi. Aku masih ingin menikmati masa-masa remajaku yang abnormal ini sebisa mungkin menjadi normal.

Seperti yang Sunghoon janjikan, dia masih punya banyak waktu untuk menjelaskan satu per satu soal dunianya yang penuh kegelapan dan rahasia. Kami makhluk abadi. Namun, aku sangat penasaran dengan sejarah vampir. Bagaimana asal mulanya makhluk-makhluk tanpa indera pencecap ini memulainya.

Aku akan menjadi teman yang baik, mendengar satu dua aspek penting, lalu hidup dengan urusanku sendiri dan cukup uang untuk menanggung 'gangguan makanku'.

Aku seharusnya baik-baik saja tanpa dirinya. Kuharap ada sesuatu yang baru, memggebrak duniaku dan aku bisa melupakan cinta sebelah tanganku. Sunghoon sudah menghancurkan hidupku secara perlahan. Untuk apa aku lanjutkan? Aku harus menyerah.

Revisi, 17 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro