Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17] PERTANYAAN

Aku berterima kasih atas patbingsu yang diantar ke meja kami. Sebuah wafer roll cokelat menghiasi puncak patbingsu. Di atasnya sendiri terdapat es krim merah rasa stroberi. Aku mencicipi es krimnya lebih dahulu. Enak dan kentalnya sekali. Teksturnya mengandung banyak susu dan aku sangat menyukainya. Lalu aku menghabiskan wafer roll dan tidak merasakan cokelatnya. Sepertinya indera pencecapku terlalu terpengaruh oleh es krim dan sensasi dinginnya.

"Hei, tempat ini sangat menakutkan untuk sekadar dikunjungi. Sangat dingin juga. Apa tidak akan bangkrut kalau yang dijajakan hanya patbingsu?" tanyaku penasaran.

Sunghoon mendongakkan kepala. Salah satu alisnya naik. Pertanyaanku pasti sangat aneh masuk ke dalam telinganya. Dia bahkan berhenti mengaduk semua bagian esnya sampai sebagian encer.

Tidak ada pajangan menu tambahan di sekeliling kafe. Semuanya tampak polos. Jika mau memesan harus membuka buku menu. Padahal Sunghoon sudah mengembalikan bukunya ke meja bar tadi. Aku kembali menatap isi mangkok sebesar wajahku. Tenggorokanku kembali perih terbakar.

Aku membelah gundukan satunya yang berisi es serut. Di tengahnya, tersimpan lelehan dan gumpalan pekat kental warna merah. Aku jadi teringat pelajaran ilmu bumi, terutama tentang gunung berapi. Gumpalan-gumpalan kecil agak padat seperti batu api yang siap ditumpahkan ke udara sebelum menggelinding ke pemukiman akibat erupsi. Sebelum otakku ke mana-mana, aku mengendus aroma manis patbingsu. Tidak seperti Sunghoon yang menjadikan isi mangkoknya seperti danau alias seencer kuah sup ayam, aku membiarkan patbingsu punyaku sesuai apa adanya. Setengah sendok es serut putih bersih, setengah lagi selai kacang merah. Keduanya masuk ke dalam lidahku.

Aku gemetar menyukai patbingsu di kafe yang belum kuketahui namanya. Gunung es merah dalam sekejap sudah tandas. Mangkokku sudah bersih. Kini aku paham alasan Sunghoon tidak berisik saat meminum isinya. Seenak itu rasanya sampai aku harus memesan lagi.

"Imo (Bibi), satu mangkok patbingsu lagi," pesanku.

Pesanan datang lebih cepat dari yang kukira. Semangkok, dua mangkok, tiga mangkok, akhirnya menjadi sebelas mangkok. Aku tidak tahu perutku bisa menampung banyak es serut berkapasitas 5,5 liter sekaligus. Sebelum aku mengangkat tangan untuk pemesanan kedua belas, Sunghoon menahan lenganku.

"Ya, tidak dengar tadi, pesananmu barusan adalah yang terakhir?" tegur Sunghoon. "Sudah cukup!"

"Wae? Ini enak sekali!" Aku protes.

"Stoknya sudah habis. Kita juga harus kembali ke Seoul sekarang."

Mendengar kota itu disebut, aku tertampar oleh kenyataan. Kami sudah terlalu lama berada di Gapyeong. Aku mulai khawatir, tetapi masih ingin berada di sini lagi.

"Kita naik apa ke sana? Bukankah bus sudah tidak beroperasi jika selarut ini?" tanyaku.

"Itu urusan nanti. Sekarang, kau tahu patbingsu yang kau habiskan barusan itu patbingsu apa?" tanya Sunghoon.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran. "Entahlah. Enak sekali."

"Kau bisa merasakan manisnya, tetapi untuk makanan lain tidak terasa sama sekali, kan?" Sunghoon masih melipat tangan di meja.

"Ya, wafernya cuma diberi warna saja, ya? Aslinya cuma tepung saja?"

"Bukan." Sunghoon membalas.

"Lalu apa?"

"Indera pencecap kita kehilangan perannya, selain satu hal."

Mata Sunghoon menggelap. Iris matanya yang cokelat menyedotku jauh dalam labirin panjang. Cekungan hitam di bawah matanya begitu jelas. Aku melihat bahwa ada banyak kulit mati yang menempel permanen di sana. Kulit-kulit itu tidak bisa lepas selama Sunghoon masih hidup. Aku bisa menatap segalanya lebih jernih sekarang.

"Mwo?"

"Darah."

Aku menggigil akibat embusan angin yang datang tiba-tiba. Secara naluriah aku menggosok tengkuk.

"Darah?" Aku mengulang ucapan Sunghoon tidak yakin. Ada banyak pertanyaan mengapa harus darah yang dia pilih? Hanya karena dia gemar makan sundae dengan kuah bercampur darah, bukan berarti semua makanan dilibatkan dengan darah. Patbingsu yang kusantap baru saja memang merah, tetapi yang kurasakan sebatas manis.

"Ya." Sunghoon mengangguk takzim.

"Serius, kau?" tanyaku tidak percaya. Kuambil mangkok sisa, lantas hidungku mengendus baunya.

Frasa ucapan memberi pengaruh pada indera memang ada benarnya. Aku mencium aroma amis, garam dan besi berkarat. Itu memang darah sungguhan, tetapi berapa banyak yang kuminum barusan?!

"Hei!" Aku ketakutan sekarang. Kuambil satu-satunya mangkok bekas Sunghoon. Aku mencium bau yang sama.

Aku menggelengkan kepala tidak percaya. Sunghoon pasti mengerjaiku. Aku tidak akan percaya padanya. Titik!

Ini adalah lelucon. Aku terbahak-bahak mendengar ucapan teraneh pemuda itu.

"Ya! Tidak mungkin, kan?" tanyaku sambil melotot, sedetik kemudian mengkerut ketakutan.

Aku mual, tetapi apa yang sudah tertelan tidak bisa dikembalikan ke atas. Aku ingin memuntahkan semuanya.

Ekspresi Sunghoon serius. Dia tenang seraya mengelap tangannya dengan serbet.

"Mari kita jujur, Yoo Yuri."

"Jujur? Ya, jangan mempermainkanku!"

Sunghoon tetap bergeming. "Semalam, apa kau yang membunuh dua rentenir di dekat Bukhansan?" selidik Sunghoon.

Seperti pagi tadi, perasaanku campur aduk. Marah, kesal dan ngeri mendapat tuduhan tanpa dasar. Jelas bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Bagaimana bisa tuduhan tanpa dasar itu diberikan ke siswi SMA yang tidak tahu cara membunuh—kecuali sebatas menonton film?

Mayat naas itu nyaris tidak teridentifikasi kalau bukan karena postur tubuh dan kalung emasnya yang khas. Polisi harus menemuiku untuk menjadi saksi keterangan.

Aku menciut ngeri. Psikopat gila itu bakal mengejarku kalau tahu statusku adalah saksi. Aku menelan ludah, kehausan lagi. Bisa saja aku yang terbunuh, kan?

Lalu, apa alasan Sunghoon menanyaiku seperti itu kalau bukan untuk main-main?

Aku berdehem canggung dan berusaha menguasai diri. Lebih baik aku bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kau mau main detektif-detektifan, ya?" tuduhku, sengaja mengalihkan topik.

"Ya. Sekarang aku menanyaimu untuk pertanggungjawaban di istana."

Sunghoon melantur. Dia benar-benar tidak tertebak. Aku tidak tahu siapa yang gila di sini. Untuk apa pertanggungjawaban? Lantas, istana mana yang akan dia kunjungi? Jongno punya banyak istana. Changdeokgung, Changyeonggung, Deoksugung, Gyeongbokgeung, dan Gyeonghuigung tentunya bakal dikunjungi Sunghoon. Yang mana yang dia sebutkan?

"Tidak. Aku bertemu mereka, tetapi aku kabur."

Wajah Sunghoon kelihatan sangat lelah. "Apa yang terjadi?"

"Kenapa juga aku harus memberitahumu?" Aku keras kepala. Lagi pula dikejar preman bukan cerita yang patut dibagi kepada Sunghoon. Kami memang teman sekelas, sempat main drama sebagai pasangan, tetapi hubungan kami tidak sedekat itu.

"Ini penting, Yoo Yuri. Kau tanggung jawabku."

Aku sakit perut kebanyakan tertawa. Lelucon Sunghoon sangat luar biasa. Dia yang harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Aku tahu aku aneh belakangan ini, tetapi Sunghoon jauh lebih aneh lagi. Untuk apa dia mengurusku? Bukankah dia sudah menolakku? Kenapa sekarang dia main tarik ulur? Aku bingung dan tidak suka atas ketidakjelasan Sunghoon.

"Memangnya kau ayahku, harus tanggung jawab segala?" tanyaku.

"Aku menyesal!" selorohnya putus asa.

"Yah, kalau begitu aku mau pulang." Aku berdiri, tetapi Sunghoon menahan lenganku. Tidak ada yang perlu dibicarakan dengan pemuda pemilik tahi lalat di hidung itu.

"Tunggu sebentar," ucapnya sengaja. "Kau tidak melakukannya sama sekali, kan?"

"Ya ampun berapa kali kubilang, aku tidak tahu!" Aku memutar mata malas.

"Kau mau aku menyerahkan diri dan bilang, 'halo Detektif, saya membunuh lintah darah sampai habis. Tolong penjara saya,' begitu, Sunghoon-ah?" Tawaku berderai kencang.

Mulut Sunghoon terkatup rapat. Dia masih mencengkeram lenganku, terlalu khawatir mendengar candaanku.

"Tidak. Aku tidak membunuh siapapun. Dan sekarang, kenapa kau menjebakku minum banyak darah? Ini sungguh darah, Park Sunghoon?" tuntutku penasaran.

"Ya, darah yang kau minum adalah darah manusia." Sunghoon tersenyum penuh penyesalan.

"MWO? MWOHANINGGEOYA? NEO, NUGUYA?!"*

* (APA? BILANG APAAN? KAU, SIAPA?

"Kubilang aku menyesal menjadikanmu salah satu dari kami."

"KAMI APA?!"

Suaraku pecah, terlalu kaget menyadari bahwa yang kuminum adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

************

Sebenernya part ini sudah ditulis sebelum tanggal 18 November. Tapi merinding aja pas tracklist mini album Enhypen rilis tanggal 19 November.

Suasana yang merah kayak pas banget lah sama latar kafe. Bedanya gambarnya pake piring dan garpu, sementara narasi di punyaku mangkok dan sendok. Iyalah es serut masa ditaruh di piring. Banjir dong esnya pas meleleh. Wkwkwkwk.

Given or Taken

Eaaaaa~~~~~

Jay, Sunghoon, kenapa kalian menghipnotisku. Apa kabar woi, si Niki. Di Iland, dia pict utamaku. Lapak sebelahku terbengkalai karena keasyikan sama pesona Sunghoon.

Banyuwangi, 23 November 2020
REVISI, 17 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro