[14] PENGGODA
Sepertinya yang ngevote lesu deh. Jangan siders yaaa~~~~ 😙
************
Aku menghela napas lesu. Eomma melarangku berkeliaran di luar rumah. Dia khawatir terjadi pembunuhan selagi pelakunya belum ditangkap. Aku bisa mendengar Eomma dan Appa terjaga amat larut, memastikan keamanan anak-anaknya. Besok, Appa bakal menjemput kami berdua usai pulang sekolah.
Rasa hausku masih belum terobati. Aku harus berkeliling melacak restoran penyedia patbingsu. Selama Sunghoon masih tutup mulut soal lokasinya, aku tak akan diam. Kepalaku makin pusing. Mungkin efek kehujanan, sehingga rasanya seperti mau pecah. Aku tidak bisa tidur lagi. Akibatnya lingkaran hitam menandai waktu yang terlalu panjang untuk memikirkan banyak hal.
Aku diantar Appa naik mobil. Walau enggan ke sekolah, aku harus menjalankan tugasku sebagai siswa. Tatapan kebencian tidak bisa kuhindari. Minji dan kroninya sedang menyindir di belakang soal tampilanku yang buruk.
Aku terus melangkah, pura-pura tidak mendengar, tetapi tanganku gatal. Aku harus menggaruk mulut para gadis pecundang macam Minji. Sangat seru berkelahi jika dia tidak jera menjelekkan usaha keluargaku. Aku menghela napas, bersikap seolah tak terjadi apa-apa sampai akhirnya Sunghoon menarik lenganku.
Langkah cepatnya menyeretku sampai ke belakang sekolah. Tatapan tajamnya terlalu menancap hatiku. Aku menyipitkan mata bingung. Lagi-lagi tatapan tidak tertebak. Penuh kesiagaan.
"Kau melakukannya?" tanya Sunghoon. Aku bisa mengendus kepanikan menjalari tubuh kurusnya.
"Melakukan apa?" tanyaku balik. Terang-terangan aku menguap.
"Malam itu."
"Malam yang mana?"
Aku sangat lelah. Bokongku merindukan kursi. Duduk bersandar di bangku jauh lebih menyenangkan dibandingkan meladeni pertanyaan nyeleneh Sunghoon.
"Kau tidak sungguh-sungguh ...." Sunghoon mengumpat berang. Tangannya masih mencengkeram pundakku. "Tenggorokanmu masih terbakar atau sudah dingin?"
Alisku mengerut bingung. Bagaimana dia tahu tenggorokanku masih panas? Apa dia tahu aku punya masalah tenggorokan, atau mungkin psikolog yang kutemui membocorkan rahasia pasien?
"Kapan kau mengajakku jajan patbingsu?" tembakku langsung.
"Tidak hari ini. Terlalu bahaya. Sabtu nanti bagaimana?"
"Terlalu lama!" Aku memprotes.
"Situasinya tidak tepat." Sunghoon menggelengkan kepala.
"Huh, hanya terjadi pembunuhan semalam, kau sudah ketakutan. Payah," ejekku.
"Pikirmu itu lelucon?" balas Sunghoon tidak terima.
"Ya, apa terjadi sesuatu, Sunghoon-ah?"
Aku berfirasat Sunghoon tahu kejadian persisnya. Dia mencurigaiku sebagai pelakunya. Aku memang bertemu Kim Baebong dan preman lainnya. Namun, ayolah. Usiaku 17 tahun. Bagaimana bisa membunuh orang sampai semengerikan itu?
Kucoba mengingat, tetapi tidak ada kepingan yang terdistorsi. Aku lari kabur, naik bus lalu kembali dengan taksi dan aku gagal tidur karena masih ketakutan. Lantas, apa yang kulakukan jika tidak bersikap menjadi pecundang?
Sunghoon mengacak rambutnya. Dia berpikir keras. Sepertinya sulit menentukan kapan bisa jajan patbingsu kalau sikapnya begini.
"Kita akan pergi malam ini," ucapnya dengan nada kalah.
Aku seharusnya bersorak kegirangan. Akhirnya yang kutunggu tiba. Namun, tuduhan tersirat dari manik hitam Sunghoon membuatku kesal. Baru beberapa detik lalu dia bilang akhir pekan, tetapi berubah nanti malam.
"Tidak bisa. Aku dijemput ayahku. Mana bisa pergi."
"Katakan saja pada ayahmu, ada rapat klub drama."
Aku terbahak-bahak. Aku memang pandai berbohong di depan orang tuaku. Namun, Appa selalu memegang kata-katanya. Meski jadwalku jelas—seperti menit terakhir rapat klub drama pada sembilan malam—Appa bakal menungguku sejak pukul 8.45 malam. Kalau malam ini aku balik ke sekolah—setelah pergi bersama Sunghoon—tidak bisa kujanjikan bahwa bisa saja kami pulang tengah malam.
Aku cuma punya 15 menit paling sedikit berada di luar sekolah tanpa pengawasan Appa.
Aku mulai takut pada Sunghoon. Di balik wajah sempurna, bisa saja dia berperilaku buruk. Bagaimana kalau dia merecoki aku dengan minuman berisi obat? Sudah banyak kejadian kriminal yang melibatkan remaja perempuan. Aku hanya tidak mau kena sial. Apalagi ucapan Eomma menancap terlalu dalam di hatiku. Aku tidak boleh bertingkah.
"Tidak mau."
"Kuberikan patbingsu malam ini."
Aku tertawa meremehkan. Patbingsu dijual murah dengan kebohongan kecil. Aku tidak mau.
Namun, tenggorokan mengkhianati kepalaku yang jernih. Aku malah menganggukkan kepala.
"Oke."
Sunghoon tersenyum simpul. Dia mengacak puncak kepalaku, lalu pergi mendorong bahuku bertepatan dengan bel sekolah.
Menunggu sepuluh jam untuk belajar adalah siksaan yang paling berat. Aku kesulitan berkonsentrasi. Tutup spidol sempat melayang ke dahiku sewaktu aku mengetukkan kakiku. Aku tidak sadar bahwa suara sepatuku bisa mengusik penjelasan guru yang sedang serius. Akibatnya aku dihukum berdiri di luar kelas. Betapa senangnya aku saat jam istirahat tiba, artinya separuh penantianku terbayar. Namun, kebahagiaan berlangsung singkat.
Minji masih belum jera. Balas dendamnya semakin bertambah. Dia membawa banyak orang lagi. Aku diseret pergi oleh dua gadis tak dikenal. Mereka pasti dari kelas lain. Semakin aku menolak, cengkeraman mereka semakin kuat, bahkan bisa kurasakan paha kananku dicubit sangat keras.
"Kau mau dikeluarkan, heh?" bisik salah satu gadis itu. Hidungku mengernyit tidak nyaman. Aku terganggu oleh bau parfum salah satu dari tukang perisak.
Aku tidak keberatan jika harus pindah sekolah, tetapi pertahananku goyah sewaktu nama Jung-A disebut.
"Kau pergi, temanmu berikutnya yang menanggung bebanmu."
Jung-A, si innocent itu memang teman sekelas Sunghoon di SMP, tetapi mereka tidak cukup dekat untuk dibilang sebagai teman. Gadis-gadis yang membawaku pergi ke belakang gedung itu sudah gila semua. Dua kali aku berada di tempat yang sama dalam satu hari. Tentu saja aku harus melakukan sesuatu pada gadis pengikut Sunghoon. Obsesi mereka pada Park Sunghoon terlalu mengerikan!
"Cepat jalan, Lamban!" sentak Minji dari belakang. Bahuku didorong.
Aku terkekeh seperti orang gila. Seharusnya aku menangis ketakutan, memohon ampun untuk tidak disakiti, tetapi yang kulakukan adalah menunjukkan kejengkelanku.
Aku tetaplah seorang pemenang, menghadapi tukang perisak sendirian.
Beberapa gadis mengeluarkan asap dari mulut mereka. Aroma rokok jelas mengusikku.
Dua hal yang kubenci. Park Sunghoon dan rokok. Aku harus melaporkan gadis-gadis bebal itu karena ketahuan merokok. Mungkin Sunghoon juga menyuplai rokok-rokok ke pengikutnya. Atau sebalikny. Argh. Entahlah. Aku pusing menghirup aroma tembakau terbakar.
"Tidak kusangka Yoo Yuri berani masuk sekolah, masih mendekati Sunghoon juga," sindir Minji, duduk di sebuah bangku. Dia adalah pusat dari anggota perisak di sekolah.
"Tidak kusangka kau masih hidup, Sunbaenim (senior)," balasku menyindir.
Seringai sinisku sudah pasti mirip tokoh antagonis dalam drama mingguan. Mungkin kalau aku gagal di bidang akademis, aku mau mendaftar jadi aktor saja. Beruntungnya aku bisa menguasai sedikit akting.
"Bagaimana rasanya hampir mati?" Aku memancing macan keluar kandang.
"HEI!"
Minji tersulut emosinya. Dia menarik kerahku, tatapan kebencian akibat dipermalukan oleh pecundang sepertiku belum bisa mengikis hatinya. Dia ingin membalasku lebih banyak, tetapi aku tidak gentar.
Tamparan mendarat di pipiku. Aku kebas sesaat, tetapi aku masih bergeming dengan seringai yang semakin lebar.
"Pikirmu siapa berani menggangguku, Kim Minji?" tanyaku, tidak berkurang ketenanganku. Aku merasakan sensasi yang sangat dingin mengalir di seluruh pembuluh darah. Adrenalin berpacu. Jemariku mengepal, siap membalasnya. Namun, ini di area sekolah. Aku tidak mau terlibat perkelahian jika nanti masuk konseling, lalu pulang terlambat dan rencana makan patbingsu menjadi batal.
"Kau, penggoda Sunghoon!"
"Ah." Aku tertawa pelan, bertingkah seperti penggoda seperti yang dia katakan. Kali ini aku menjiwai tokoh drama paling antagonis, berimprovisasi sesuka hati, "tapi bagaimana, Sunbaenim? Sunghoon mengajakku kencan akhir pekan ini. Kami baru bicara lagi dan dia mempercepatnya pulang sekolah nanti. Apa aku menggoda dia?"
"Jangan pergi!" bentak Minji. Kecemburuan menjilati sekujur tubuhnya. Dia tidak terima aku bertingkah, tetapi aku senang melihat api dalam bola matanya.
Minji melayangkan bogem, tetapi tanganku lebih cepat bergerak. Aku berputar sekaligus memuntir lengannya ke belakang. Sedikit tarikan lagi, tangannya bakal patah. Minji sudah berteriak kesakitan, selagi gadis-gadis lainnya hendak memisahkan kami lagi.
"Ya, lepas! Lepas!" rengek Minji.
"Siapa kau melarang Sunghoon pergi denganku? Siapa kau berani ikut campur urusan orang? Pacar bukan, teman bukan, disapa olehnya saja tidak," ucapku penuh ejekan.
Aku melepaskan tangannya, lalu menarik seragam bagian pinggang, memastikan tidak lucek. Tidak ada satu pun gadis yang berani mendekatiku. Kulihat ekspresi kaget dan siap berpaling dari bosnya yang dua kali menghadapi kekalahan telak di tanganku.
"Berani sentuh Jung-A, aku akan mematahkan lehermu." Peringatanku tidak main-main. Aku berbalik menuju kelas sambil menguncir rambutku yang tergerai.
Anehnya aku benar-benar lega usai mengatakannya. Namun, aku sama terkejutnya dengan mereka. Bagaimana aku bisa segesit itu mengelak tinju Minji?
Apakah sebaiknya aku masuk klub taekwondo saja? Mungkin ini bakat terpendamku. Pandai berkelahi.
******
17 November 2020
Revisi, 17 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro