[13] MAYAT BIRU
#제이크의_열아홉생일_찌저노차 for Jake.
Akhirnya nemu idol yang hampir mirip tanggal ultahnya. Biasanya hype november, like as my siblings is Dongwoo Infinite. Abang gesrekku yang demen lawak. Akhirnya doi pulang wamil. (Tinggal si Nam dan Jong. Meong masih lama ikut comeback karena belum wamil).
Tapi sekarang ada Jake yang kalem-kalem manis, cocoklogi sama karakter aing. #pret Tim belasan november berlayar maju.
Uri Jake with Sunghoon.
Vote dulu bozque.
Nyiders temennya Baebong.
Tunjukin taring eh jejak lo ke gue.
Baca jangan boong.
Noh, Jake pun semangat baca Choose or Chosen.
(Halu ini mah)
🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️🧟♂️
Siang itu, penduduk Jongno dibuat gempar. Banyak foto penemuan mayat beredar di kalangan masyarakat. Kepolisian kalang kabut menghadapi kebocoran video dan foto bentuk mayat paling ganjil.
Dua mayat ditemukan tidak jauh. Salah satu mayat dalam kondisi pisau menancap di perutnya. Tak ada jejak atau sidik jari siapa pelakunya. Mayat korban begitu mudah terekspos di tepi jalan. Yang paling mencengangkan dari kedua korban adalah bentuk fisiknya yang serupa. Kulit mereka sudah membiru tanpa darah. Terbujur kaku dengan mata membeliak ngeri. Jelas bahwa korbannya dibunuh tanpa sempat melawan.
Penyelidikan masih berlanjut, tetapi spekulasi tidak mendasar terus dilontarkan banyak pihak. Sebagian besar masyarakat Jongno mengenali korban yang tertusuk pisau. Mereka banyak mengutuk alih-alih bersimpati. Mendiang semasa hidup berperilaku buruk. Pantas mati mengenaskan menjadi anggapan yang disetujui banyak pihak. Paling aneh, tidak ada jejak kamera yang merekam proses kematian mayat-mayat itu.
Jam makan siang di restoran Sundae 1979 penuh seperti biasa. Percakapan tidak lagi menjadi sekelompok satu meja. Hampir seruangan terlibat percakapan serupa, berbicara dengan meja sebelahnya. Informasi saling bersambung mengenai mayat-mayat itu. Eomma juga sengaja menyalakan TV keras, menyampaikan berita baik itu. Matinya korban seumpama merdekanya orang-orang yang terhisap darahnya, alias hutang berbunga tinggi.
Aku sedang bolos kelas terakhir, semata lapar dan ingin sundae. Tak lupa, aku mendekati Eomma untuk minta maaf. Eomma mendiamiku sejak pagi karena pulang terlalu larut semalam. Diabaikan seperti ini membuatku kelabakan.
Akan tetapi, alasan aku pergi ke restoran bukan semata itu juga. Minta maaf ke Eomma adalah kewajiban. Darah adalah alasan terselubung. Aku ingin mencicipi sedikit kuah sup darah di restoran guna menetralisir panas dalam yang kualami. Walau semangkuk sup menghangatkan perut, bukan berarti panas di tenggorokanku reda. Aku tidak punya pilihan selain bertahan sampai malam.
Demi mengambil hati Eomma, aku membantu ruang utama. Mengambil pesanan dari pegawai lain dan menyerahkan ke meja-meja penuh pelanggan. Kulirik di balik pintu, antrian masih mengular panjang.
"Apa mereka terkontaminasi limbah pabrik di dekat kantor mereka," tebak pelanggan penuh penasaran. Gaya bicaranya mencolok. Ingin berbisik-bisik, tetapi nada suaranya terlalu keras.
"Limbah apa?" timbrung pelanggan meja sebelah.
"Kudengar pabrik kimia, mereka sedang mengembangkan obat jenis baru. Ini mengerikan."
"Dewan kota harus memantau pabrik itu jika benar. Tapi, tidak masalah. Dewa Langit pasti mendengar doa orang malang yang terjebak pinjaman. Rasakan saja si Kim Baebong tercekik neraka sekarang!"
"Tapi kematiannya terlalu tragis. Entah kalau dia sungguh dibunuh, pelakunya sadis."
"Mungkin pelakunya dendam karena membayar tagihan besar."
"Siapa memangnya? Hampir sedistrik pernah terjerat pinjaman sial kepadanya. Semuanya takut ke dia. Kalau aku, senang Baebong mati."
Suara tawa renyah bersahutan. Aku tidak punya banyak waktu untuk menguping. Dering bel berfrekuensi tinggi sedang ditekan dari arah dapur. Aku bergegas mengambil pesanan meja delapan. Hanya ada satu porsi mangkok. Aku tercengang karena Park Sunghoonlah pelanggan yang memonopoli meja untuk empat orang. Padahal di luar antriannya banyak.
"Hei, cepat habiskan makananmu, lalu pergi." Tanpa segan, aku mengusir teman satu klubku di sekolah.
"Kenapa?"
"Pelanggan bisa kabur karena mejanya tidak cukup!" kataku. Aku meletakkan semangkok sundae, nasi putih, acar lobak, kimchi mentimun dan asinan cumi-cumi di depan Sunghoon.
"Tidak masalah. Aku pelanggan istimewa di sini," balas Sunghoon pongah.
Aku hendak balik arah, tetapi Sunghoon mencengkeram pergelangan tanganku.
"Omong-omong, di mana kau semalam?" tanyanya penasaran.
"Tentu saja mencari patbingsu!" Aku tidak bisa mengendalikan emosi. Kesal karena seharian aku lupa soal keinginan minum es, sekarang diingatkan lagi.
"Ah...." Mulut Sunghoon terbuka. "Kau tidak lewat di jalan..."
Ucapan Sunghoon terputus begitu panggilan dapur menarikku. Aku tidak perlu meladeni satu-satunya pelanggan yang makan sendirian. Aku sudah banyak berkeringat menghadapi pesanan yang datang menumpuk. Saat ada meja kosong, aku segera membereskan sisa piring kotor. Baru kusadari Sunghoon sudah pergi.
Aku segera memanggil pelanggan berikutnya, tetapi wajah Sunghoon masih terbayang-bayang dalam kepalaku.
Dia tadi membahas apa, ya? Seingatku soal lewat jalan, eh, jalan apa? Entahlah. Pikiranku sedang sibuk melayani pelanggan.
Pelanggan mulai menyusut cepat karena stok makanan sudah habis. Beberapa pegawai melucuti celemek kerja dan ganti pakaian, tanda jam kerja usai. Aku pun duduk berselonjor di lantai yang baru dipel kering, tenagaku sudah habis. Sementara itu Eomma sedang menghitung uang di meja kasir. Otomatis dapur kosong. Aku segera mengambil kesempatan untuk mencari apa yang kuincar. Sekantong darah di freezer sudah tidak ada. Walau minum semangkok kuah sup tadi, aku belum puas.
Dengan raut kecewa, aku menutup pintu freezer. Bagaimana aku harus mendapatkan darah jika besok harus pergi ke sekolah?
Ini sangat menyiksaku!
"Hei, apa yang kau lakukan di situ?" tegur Eomma.
Aku terkesiap. Lalu menyengir bodoh.
"Eomma, aku lapar," kataku.
"Ayo keluar. Kau mau apa?"
Aku pura-pura antusias. Aku menggandeng lengan Eomma.
"Aigo. Lihatlah kelakuanmu sepanjang hari. Kau ada maunya," sindir Eomma dengan wajah kesal sekaligus melunak. Aku tahu kemarahan Eomma menyusut cepat karena aku menyelimuti Eomma semalam, juga membantu di restoran hari ini.
"Eomma," panggilku. Ucapanku selanjutnya tertahan karena bimbang. Mustahil aku meminta sekantong darah untuk diminum. Alasan terlogis apa yang aku punya, agar Eomma tidak merasa aneh pada permintaanku?
"Eoh?"
"Saranghae."
"Tidak usah bertele-tele. Kau mau apa? Makan apa?"
Darah.
"Apa saja, Eomma," gumamku.
"Mau nasi goreng kimchi?"
"Bosan."
"Ramen saja kalau begitu."
Eomma ingin masak masakan yang termudah. Dia pasti kelelahan sepanjang hari. Melayani puluhan pelanggan tentu saja berat.
"Yuri-ya, tahu tidak? Eomma sangat khawatir terjadi sesuatu padamu. Ingat semalam? Terjadi pembunuhan sadis. Bagaimana kalau kau yang terbunuh?" tanya Eomma.
Aku menunduk. Aku memang nyaris terbunuh, apalagi diancam oleh pisau yang diarahkan Kim Baebong. Aku masih bersyukur bisa menyelamatkan diri dengan cara kabur.
"Eomma mohon. Usai sekolah dan les, langsung pulang ke rumah. Jangan berkeliaran tidak jelas," pinta Eomma.
"Eomma lihat, hari ini aku membantu Eomma. Di rumah, aku bosan sendirian."
"Aigo, habis kena skor, kau langsung banyak membantu Eomma." Eomma tersenyum lebar, senang karena aku sering menghbiskan waktu di restoran. Tidak perlu banyak tingkah adalah keinginan Eomma. Wanita itu pasti diliputi banyak penyesalan karena kurang memperhatikan anak-anaknya, tetapi aku tahu tujuan Eomma dan Appa hanyalah ingin memberi kenyamanan.
"Pastikan kau tidak keluyuran lagi, Yuri-ya," pesan Eomma.
Aku menganggukkan kepala dan dihantui penyesalan yang besar. Hari ini aku membolos, juga kemarin. Aku membuat banyak masalah dan sekarang mataku sudah panas. Aku bukan anak yang baik. Aku tidak cerdas, juga bertingkah aneh. Eomma pasti bakal kena serangan jantung mendapati aku doyan darah.
Kedua lenganku melingkar ke pinggang wanita yang melahirkanku 17 tahun lalu. Daguku bersandar di lehernya. Bibirku yang melengkung penuh kepiluan di bawah perlahan terangkat. Produksi liurku meningkat. Aroma hangat beserta denyutan nadi membangunkanku dari leher Eomma. Aku membuka mulut secara naluriah, tetapi Eomma mendorongku lebih cepat.
"Aigo, memalukan sekali. Jangan peluk Eomma. Ayo cepat masuk!" kata Eomma seraya meluncur ke arah minmarket 24 jam.
Seperti yang diinginkan Eomma, menu makan malam hanyalah ramen panas. Kami santap malam di sana, sambil menikmati lalu lalang kendaraan.
Pikiranku tidak serileks Eomma yang senang hari telah berakhir. Tidak mungkin kan, aku hendak membunuh ibuku sendiri?
Suara seruputan yang dilakukan Eomma tidak asing. Aku memicingkan mata. Mayat biru yang digunjingkan orang lain bukan pertama kalinya kulihat. Mungkin waktu itu ada mayat lainnya. Bocoran video mayat Baebong dan teman preman satunya sangat kukenal. Mereka mengejarku semalam. Namun, mayat lainnya yang kulihat terseret masuk lorong gelap siapa? Dia tidak mengenakan alas kaki sama sekali, sedangkan kedua preman bersepatu.
Apa yang terjadi soal mayat itu? Lalu kenapa aku ingin menghisap Eomma? Dunia pasti sudah miring selagi aku menyeruput mie yang panas, tetapi hambar rasanya.
To be continued
Revisi, 17 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro