[10] SHADOW
Legam manik berkilau itu balas berkedip. Dia diam bergeming, penuh minat menatapku dalam waktu yang lama. Aku tidak berani bernapas. Lagi-lagi semua tubuhku mati rasa, tersihir oleh pesona agungnya. Di balik tubuhnya, tersimpan jutaan kekuatan yang tak terkalahkan. Dia adalah predator tercantik yang menguasai seluruh dunia.
Rambut tebalnya sepanjang bahu, dikuncir oleh karet tipis. Rona wajah itu tetap putih pucat, tidak begitu tampan karena kurang darah, tetapi fisiknya sangat cekatan dalam bergerak. Kaki panjang nan ramping itu beranjak menghampiriku. Hanya ada suara-suara angin terperangkap dalam kebisuan panjang lewat gesekan udara.
Aroma wangi dari tubuh sang predator penuh pikatan, membuatku jatuh dalam surga tanpa nama. Di sekelilingnya—yang kusebut pancaran aura—penuh kombinasi merah, magenta dan hitam. Di tempat itulah dia tinggal selama ini. Cahaya obor menggantung di setiap sisi, memberi sedikit kehangatan di tempat dingin berangin. Tak ada tempat tidur ataupun ruang santai lainnya.
Hanya meja panjang dan kursi kecil di sisi luarnya. Kurasa tempat ini adalah kafe yang belum dibuka. Sebab tidak ada siapapun selain aku. Apakah kami sedang kencan buta? Kenapa aku sangat tertarik padanya pada pandangan pertama. Oh, oh, oh. Ini kesan yang bagus. Aku mengerti akhirnya bagaimana orang dewasa sangat antusias cerita tentang bertemu seseorang. Akan tetapi, ini lain!
Suasana semakin misterius dengan lemari dua meter, berisi botol bening dan gelas-gelas aneka bentuk mengisi setiap rak lemari. Aku belum pernah mencium aroma terlalu manis berbaur dengan amis menyengat, tetapi aku menyukainya.
Pemuda gondrong itu melewatiku. Yah, standarku jongkok. Kenapa aku lebih suka orang berambut pendek? Bukankah dia terlihat rapi? Ah, sudahlah. Aku masih tersihir saat dia masuk ke dalam bar mini. Dengan santai, dia menuangkan cairan merah ke dalam gelas bersih. Caranya menuangkan terlalu mirip dengan bartender bersertifikat. Namun, pandanganku keliru. Tatapannya penuh pemujaan pada isi gelas, goyangan lembut sebelum menghirup aroma minuman itu—anggur fermentasi berabad-abad kurasa. Dia pasti bakal mabuk walau satu teguk.
Aku duduk canggung. Kutatap lebih banyak lagi detail kafe dengan gugup. Hanya ada kami berdua, mustahil kalau tidak saling bertegur sapa. Aku menunggu dan berharap dia menyapaku, tetapi pemuda itu terus menggoyangkan isi gelasnya. Aku kesal. Jika memang ada butiran gula yang belum meleleh, kenapa tidak mengaduknya dengan sendok? Apa yang dia inginkan? Mau anggurnya berbuih lalu jadi kopi dalgolna?
Sebelum aku ikut campur, angin gunung menerobos tanpa permisi dari lubang jendela. Tenggorokanku terbakar selagi angin membawa aroma minuman kepadaku. Seluruh tubuhku tegang, lalu mengering parah akibat dehidrasi. Tanganku berkeropeng biru kehitaman. Pembuluh darah menonjol sekaligus mengeras. Aku bergidik menyadari perubahan tubuhku yang terkesan mau pecah berkeping-keping. Udara semakin kering di sekelilingku, terpengaruh suhu badan yang tinggi.
Haus menyengat tubuhku. Cairan dalam gelas itu tak ubahnya oase dalam gurun. Aku benci alkohol, tetapi lebih baik cairan api itu merasuk dalan tubuhku yang kering.
Flu menyerangku habis-habisan. Suaraku serak sewaktu menahan sengatan tidak wajar di seluruh tubuh. Aku jatuh berlutut, tidak kuasa menahan nyeri pada mulut dan tenggorokan.
"Beri saya minuman, Tuan." Suaraku serak, tetapi aku mati-matian mengumpulkan kalimat sempurna untuk meminta pertolongan.
Kalau ini kencan, kenapa aku harus memanggil Tuan? Entahlah. Dia terlihat beberapa tahun lebih tua dariku. Akan tetapi, auranya yang sangat karismatik membuatku terpaksa harus menuakan dirinya. Seolah dia sudah berabad-abad tinggal di tempat serba jenis botol tidak kukenal.
Dia akhirnya menoleh padaku. Seringai piciknya menyimpan banyak kekejaman, lalu terbahak-bahak seraya menuangkan cairan pekat ke sepatunya.
Akal sehat sirna. Naluri membutakan seluruh indera tubuhku. Kedua tanganku melengkung berbentuk cakar. Aku menjilati sepatunya yang berkilau. Lidahku basah akan darah yang lebih pekat dan kental.
"Lagi, Tuan. TOLONG!" Aku berteriak tidak terkendali, putus asa ingin menyesap banyak darah. Aku semakin kehausan menjilati jejak darah. Sementara tanganku mencengkeram kakinya.
"Di mana harga dirimu, makhluk hina?" tanyanya, sengaja mempermainkan aku.
Aku mendongak putus asa. Lalu berdecak kecewa saat pemuda itu menghabiskan isi gelasnya lewat mulut tipis.
Aku menyadari cairan itu bukan alkohol, tetapi daya tariknya luar biasa.
"Darah. Beri aku darah." Aku memohon.
"Tidak akan."
Aku menangis. Semakin terbakar oleh dahaga. Sebentar lagi tanganku pecah akibat dehidrasi luar biasa.
"Tuan! Akan kulakukan apa saja."
"Aku tidak butuh apapun," ujarnya.
Aku tahu dia sempurna dan memiliki tempat ini. Memangnya siapa aku, sehingga dia butuh bantuanku? Tidak ada. Aku tidak layak menjadi orangnya.
"Tapi....." Dia menggantungkan kalimat, tampak berpikir. "Kesempurnaan membuatku selalu sendirian. Aku tidak salah memilihmu."
Aku tidak bisa mendengarnya. Aku tersedak oleh rasa nyeri yang membakar. Aku menangis kesakitan.
"Kesepian menciptakan keheningan sebelum badai. Kaulah sang badai, temanku."
Wah.... sikapnya membuatku minder kalau aku tidak dibutuhkan. Namun, sekarang dia bilang kalau aku temannya. Dasar sinting. Apa yang dia inginkan sekarang?
Mendengar kata teman, aku tidak peduli pada apapun. Semesta bergulir mengikat kami dalam hubungan aneh. Matanya yang merah membara, dua belati tajam dari balik bibir indah serta rona pucat itu membuatku sadar siapa dirinya.
Vampir.
"Kalau begitu, aku akan menjadi temanmu." Aku bicara tanpa berpikir.
Akalku rusak. Aku butuh minuman yang bisa mendinginkan tenggorokanku. Aku bersumpah dia punya obat untuk menenangkan siklus fisikku yang terbakar. Aku butuh obat. Bukan masalah, kan, mengikuti kemauannya?
Belum sempat mendengar jawabannya, pemuda itu menghilang dalam kegelapan, menyisakan kepingan gelas yang jatuh berserak. Suara robekan angin meredakan perih di tenggorokan. Aku terkesiap, menyadari sebuah tombak panjang menembus jatungku dari belakang. Mata pisaunya berwarna putih keperakan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku telah diserang orang tidak dikenal dan tinggal menghitung waktu bahwa aku mati. Aku bertahan agar tetap berdiri, kendati darah biru mengalir deras dari dada. Aku benar-benar takut jatuh ke bumi, karena itu adalah akhir dari hidupku.
*******
Aku berteriak sangat keras karena ketakutan. Peluh menetes deras, bercampur dengan isak tangis. Orang tuaku menerobos masuk kamar dan mendapati aku terus berteriak. Walau Eomma memelukku dan berusaha menenangkan kondisiku yang labil, aku masih menangis sesenggukan. Mimpi tadi terlalu menjijikkan sekaligus menakutkan.
Telapak tanganku mencengkeram dada, memastikan bahwa jantungku tidak berlubang. Mimpi tadi terlalu nyata. Bahkan aku bisa merasakan darah yang mengalir di darahku.
"Bibirmu berdarah, Yoo Yuri," ujar Eomma makin khawatir. "Apa kau sariawan parah?"
Pantas saja. Bagian pipi dalamku terluka sampai berdarah. Aku menelan apapun yang ada di mulutku, tetapi tenggorokan masih pedih.
"Tidak apa-apa, Eomma."
"Kau mimpi apa sampai ketakutan begini?" tanya Appa seraya menyodorkan segelas air putih. Sama halnya dengan mimpi barusan, aku meneguknya tanpa berpikir.
"Tentu saja film horor." Jiho kembali mencuri jawaban.
Eomma memukul punggungku keras, kesal menyadari sumber masalahnya. Eomma selalu mendengarkan ucapan orang lain daripada aku.
"Sudah kubilang jangan lihat adegan menakutkan. Lihat jadinya," dengkus Eomma. "Kau malah mimpi buruk karena tontonan aneh."
"Eomma, temani aku tidur," pintaku.
"Kasurmu cuma muat satu orang. Mana bisa Eomma tidur di sampingmu." Eomma memprotes permintaanku.
"Kalau begitu, aku tidur bertiga bersama Appa juga." Aku merengek manja. Kebetulan ranjang di kamar utama terlalu luas. Dengkuran Appa terdengar lebih baik daripada di kamar. Walau mengganggu, setidaknya ada kehidupan normal.
"Ya, kau tidak malu pada adikmu?" tanya Eomma. Jiho bahkan terbahak-bahak atas tingkah lakuku yang mirip anak lima tahun. Aku tidak peduli dipermalukan. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku sadar bahwa aku tidak sendirian dan tidak terjebak mimpi mengerikan itu.
Hah. Sekalinya bisa tidur, aku malah dihantui mimpi buruk. Menyebalkan sekali.
Eomma tidak peka pada perasaanku sendiri. Aku sangat ketakutan sendirian saat ini. Air mata bergulir dengan sendirinya sewaktu kusaksikan punggung Eomma yang menjauh. Begitu orang tuaku kembali ke kamar mereka, aku menyusul diam-diam. Kubawa bantalku dan bersandar di pintu kamar utama. Tak lama kemudian muncul suara Appa mendengkur lagi. Aku tidak bisa tidur. Aku trauma mimpi tadi terhubung kembali.
Sampai fajar itu pula aku terjaga, sambil mengingat-ingat alasanku minum darah binatang dua hari terakhir.
Pasti gara-gara flu ini, berikut tindakan anehku mencoba darah yang memicu alam bawah sadarku bekerja. Ingatan lama berkolaborasi dengan sisi imajinatifku, lalu aku merasakan adrenalin luar biasa.
Aku kesepian dan tidak ada siapapun yang mau mengetahui cerita yang dianggap konyol. Padahal aku ingin bersandar kepada seseorang. Aku ingin setidaknya ditanya 'apakah kau baik-baik saja' atau 'kau kenapa'.
Seharusnya ada yang peduli. Di antara miliaran manusia, kenapa tidak ada yang selalu mendengarkanku atau mendukungku? Aku yakin pasti ada. Aku butuh bicara, meluapkan semua yang bisa membuatku melupakan masalah belakangan ini.
Akan tetapi, siapa?
Siapapun, tolong kirim aku teman yang mau meneleponku!
Hidupku sudah berat, masa tidak ada teman dan kalau aku kesepian begini, apakah tidak akan terlalu menyakitkan kalau sampai kapanpun tetap berada di titik yang sama? Kesepian itu akan menjadi biasa kalau memang sengaja dibentuk terbiasa. Yah, mana ada yang paham omonganku. Aku juga malas mengingatnya. Jadi, kuharap aku punya teman agar aku tahu bahwa aku berhak bahagia dan masa remajaku juga indah.
*****************
05 November 2020
Revisi, 17 September 2022
Siapa nih yang mau telepon Yuri biar tidak kesepian?
Sekali lagi, thank you buat kalian yang mampir baca cerita ini.
Lagi asyik ngetik gak sengaja kepencet publish bab 13. Wkwkwk. Ya udah lempar bab ini aja deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro