3. PERTEMUAN
Bagi sebagian orang, hari baru saja dimulai ketika terbangun di pagi hari. Dengan segala macam suasana hati tergantung kondisi seseorang saat itu pula. Namun bagiku, hari tak pernah usai— jika terbangun dalam kondisi fisik yang sangat mengerikan. Seluruh tubuh mengalami nyeri yang tak pernah mampu manusia bayangkan. Kala berkedip melihat sekelebat cahaya hitam, rasa panas menyengatku. Aku meronta tanpa mampu berteriak. Hanya bisa menggeliat di tempat dan berharap segera mati agar sakitnya berhenti. Selama beberapa jam sendirian di ruang beraroma hangus, aku menyaksikan mayat membiru di suatu rumah. Setelahnya aku hanya menatap atap rumah. Suara-suara asing penuh pertengkaran mulai masuk. Mereka sibuk menginginkan aku mati. Dengan senang hati kusambut kematian daripada merasakan sakit aneh ini. Namun, mereka tidak peduli, terutama Park Sunghoon. Kepalaku ditudungi kain dan dibawa pergi ke suatu tempat oleh perempuan berparas cantik dengan rambut gelombang hitam kelam.
Seperti hewan, aku dilempar di ruang serba pekat. Aku tidak pernah tahu bagaimana bisa tidur. Darah terus menetes tanpa kenal waktu di lubang kecil sebagai sumber kehidupan. Kebrutalan itu, aku tak akan bisa menepisnya. Kuyakin, siapapun yang mendengar cerita ini akan bosan karena aku akan terus mengulang kisah yang sama. Hidup seperti itu tak akan mampu bisa dilupakan, terutama bagi yang menjalani kehidupan yang ekstrem.
Pagi ini adalah rangkaian hari yang sangat panjang sejak aku tergigit dan kesulitan tidur. Mau dipaksa tidur pun, tak akan pernah bisa. Ketika orang lain melihatku, aku hanya akan memejamkan mata. Seandainya mampu memejamkan mata selamanya, aku akan menyambutnya secara lapang dada.
Hidup sudah sulit tanpa harus dicaci maki vampir lain.
Padahal klan Gyeonghui konon membela siapapun yang terintegrasi dengan sesama anggotanya. Namun, kenapa aku berbeda?
Pemikiran seperti itu terus mengusikku. Aku menarik napas selagi pintu menjeblak terbuka. Pemuda yang semalam memintaku untuk menutup jendela akhirnya datang. Lengkap dengan pakaian hiking dan peralatannya.
"Bangun!"
Dia tampaknya gusar karena aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong.
"Ya, sebentar lagi." Aku pura-pura menguap, tepatnya meniru adegan yang sering ditampilkan pelatih agar aku terlihat alami.
"Tak ada sebentar lagi! Ada orang hilang. Cepat kemasi barangmu!" Dia mendelik gusar.
Aku berdiri dan mengambil tas hiking. Jungwon membantuku mengambil peralatan yang sama sekali tidak kuketahui fungsinya untuk apa saja. Kuakui, dia sangat cepat tanggap dalam misi penyelamatan. Tanpa sempat kutanya untuk apa saja benda-benda berat yang dijejalkan di dalam saku tas hiking, Jungwon meninggalkanku dari ruang penyimpanan. Aku hanya mengikuti jejaknya saja saat dirinya masuk ke dalam mobil putih.
"Kita mau ke mana?" tanyaku penasaran.
Jungwon tidak menjawab. Dia terlalu fokus untuk mengemudi. Satu hal yang pasti dari seluruh tugas jagawana di pondok sekitar gunung Jiri. Pegawai dilarang minum terlalu banyak soju dan minuman keras lainnya. Jika satu tim kecil, tak mengapa. Bukan sekantor sambil berkata besok hari yang indah.
Ucapan itu bak kutukan.
Hari indah yang artinya tak ada masalah, malah menjadi masalah. Buktinya orang hilang ini.
Entah Jungwon kuat minum atau memang tidak minum sama sekali. Mobil yang ditumpangi olehku adalah yang pertama menembus jalanan terjal. Hanya berdua untuk mencapai jalan sulit dan penuh semak lebat. Jungwon membanting pintu mobil setelah turun dari jok sopir. Dia meraih peralatannya di jok belakang. Aku meneladani tindakannya. Kuambil tas ransel dan mengikuti dirinya.
"Ayolah, cepat!" Dia membentakku.
Walau aku vampir, tetapi aneh saja bahwa manusia yang lebih lambat bisa lebih cepat dibandingkan aku.
Barangkali karena sekarang jam emas. Waktu tidak boleh ditunda lebih lama. Ada yang sekarat di hutan. Jungwoon lebih berpengalaman dibandingkan vampir kikuk sepertiku.
Aku berlari di belakang Jungwon, menjaga jarak agar tidak terlalu cepat untuk mendahuluinya. Jalan setapak itu perlahan menghilang. Tidak ada petunjuk apapun, selain hanya pepohonan yang rapat. Udara di tempat itu penuh udara lembab dan kabut.
Jungwon sangat lincah. Dia hafal rute-rute yang berada di jalur luar pendakian. Pita-pita warna kuning di sekelilingnya adalah satu-satunya petunjuk agar tidak salah jalur. Dia mengikuti jalur berdasarkan petunjuk wilayahnya aman disusuri meski tanpa jalan setapak.
Tidak ada suara yang terdengar. Hutan sedang menciut di tengah kegelapan. Udara dingin. Terlalu pekat dipayungi oleh awan tebal. Aku mengedarkan pandangan. Mata menjelajahi seluruh penjuru yang bisa kutangkap. Tak ada apa-apa di tempat itu, selain desah napas lelah Jungwoon dan langkah berat dari sepatu sepatu botnya.
"Bagaimana dengan penelusuran Pondok Bidam?" tanya Jungwon lewat suara walki talk. Suara kemerosok di seberang sama tegangnya dengan posisi kami di lapangan.
"Belum ada petunjuk. Kau sudah sampai?"
"Ya. Kami sudah berada di jalur terakhir korban." Jungwon menatap tajam arah pepohonan. Aku ikut menoleh ke arah yang sama. Rupanya terdapat kamera pengawas. "Dia pergi ke arah mana?" tanya Jungwon lagi.
"Lurus, setelah itu tidak tahu lagi. Jejaknya tidak terdeteksi kamera!" Suara di seberang berhenti.
Jungwon mematikan saluran utama dan melangkah ke depan. Langkahnya terlatih, menjejak mantap ke bebatuan. Kontras dengan langkahku yang kikuk. Aku banyak berlatih secara tidak langsung agar gerakannya lebih manusiawi. Di hutan ini, langkahku tertatih. Canggung sekali dan nyaris tergelincir beberapa kali. Meski sudah melakukan simulasi dengan alat canggih, tetapi sangat berbeda.
Aku harus berhati-hati menjaga kecepatan. Kepalaku sudah tertanam pikiran kuat untuk tidak gegabah melakukan sesuatu secara sembarangan. Jika dunia bawah ini terekspos oleh kesalahan, sekecil apapun itu, tentu saja hidupku berakhir begitu saja.
Meski aku sering dilecehkan vampir lain, tidak adil jika aku mati sia-sia. Karena itu aku harus bekerja dengan benar dan tanpa mencolok perhatian.
"Kau mau mati?" Jungwoon berteriak. Tangannya tanggap mencengkeram leher jaketku. Wajahnya mengeras sambil menahan lajuku yang lurus.
Aku tidak tahu jika di depanku terdapat tebing yang cukup dalam. Masih untung refleks Jungwoon bagus, sehingga aku urung tergelincir. Masalahnya, Jungwon bukan pria yang ramah saat kata-katanya sepedas samyang meluncur di telinga.
"Aku tidak mau direpotkan rekan menyusahkan yang berjalan saja tidak benar. Fokus cari korban, jadi perhatikan jalanmu!"
Aku mengerjapkan mata linglung. Melompat ke tebing bukan masalah. Namun, tidak ada pilihan selain bersikap pasif. Jatuh bukan masalah bagi vampir. Tubuh vampir lebih gesit dan tahan luka. Aku pernah melukai diri, tetapi luka fisik lebih cepat sembuh. Kalau aku jatuh dan berdarah dimana-mana, manusia akan curiga kenapa aku baik-baik saja.
Aku melambatkan langkah sesuai kecepatan manusia. Kususuri sepetak jalan bersama Yang Jungwon. Habitat tanaman mulai berganti. Pepohonan semakin rapat dan tebal. Semak-semak semakin tinggi dan memiliki dahan yang tajam. Bebatuan semakin licin. Rute pencarian semakin dalam. Gunung Jiri terlalu luas untuk didaki. Jungwon bahkan duduk sambil menghabiskan separuh botol minuman. Dia sangat kelelahan.
Suara walki talk terus bersahutan, melaporkan titik lokasi para jagawana.
"Dua kilometer lagi, kami sampai ke Batu Baektogol. Tolong telusuri sepanjang sungai," ucap Jungwon.
Dia menarik napas sejenak, lantas menyimpan air botolnya ke dalam tas ransel. Matanya yang dalam telah menghunusku.
"Kita tidak akan pulang sampai korban ditemukan. Apapun kondisinya. Jadi jangan jatuh atau kutinggalkan kau di sini. Cari jalan pulangmu sendiri. Paham?"
Peringatan itu tidak main-main. Aku menganggukkan kepala seperti orang bodoh. Dia tidak akan peduli bagaimana kondisiku. Namun, kenapa Jungwon sangat berkarisma sebagai jagawana.
Aku ingin seperti dirinya. Menjadi orang yang lebih baik dan menolong siapapun sesuai kecepatanku sendiri. Masalahnya aku tidak tahu apa-apa dan perlu banyak belajar. Gunung Jiri dan seisinya itu, aku tidak tahu apa-apa. Pilihanku satu-satunya adalah mengikuti perintahnya. Aku tidak boleh pulang dan tersesat secara konyol di hutan. Tak apa kalau aku ditinggal sendirian, asal aku mengenal wilayah ini untuk tahu jalan pulang.
Yang Jungwon, aku tidak akan kalah.
Meski aku vampir, aku bisa lebih baik dalam mencari, tapi aku sadar diri, bukan hari ini aku bisa melacak manusia dengan caraku sendiri.
Banyuwangi, 30 September 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro