No matter what, it still "YOU"
❝ 𝘚𝘦𝘫𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢. ❞
Mencintai sosok Michael Kaiser tidak pernah mudah untukmu ataupun ucapan bibir orang lain yang mau tak mau harus terpoleskan keburukan darinya--kecongkakan yang tak pernah hilang dari seringainya, kau tau jelas itu ciri khasnya.
Michael Kaiser, anak yang ditinggalkan oleh seorang wanita idaman banyak orang--seorang bintang yang terpajang di setiap papan iklan film romantik panas setiap bulannya.
Primadona layar kaca... yang tega menelantarkan permata hatinya untuk mengejar permata lain yang nampak mengkilap di matanya.
Bunga mawar yang nyaris layu dan tak ingin lagi mekar itu, bertemu denganmu dengan sebuah bola sepak yang terlempar dari suatu gang kecil di Jerman.
Saat itu, kau yang berjalan kabur dari perhatian orang tua mu yang tengah berbelanja di toko terdekat tiba-tiba saja mendapat nasib naas terpukul tendangan bola dengan cukup keras.
Mulutmu mengaduh, di kala sosok anak kecil sepantaranmu yang bertudung hoodie menghampiri untuk mengambil bola miliknya.
"E-entschuldigung!" sahutnya memintamaaf padamu.
(M-maaf!)
"Geht es dir gut?" Rautnya khawatir melihatmu yang mengusap-usap kepalamu sendiri.
(Kau baik-baik saja?)
"Mir geht es gut," balasmu.
(Aku baik-baik saja.)
....Meski jatinya kau cukup kesal,hanya saja kau bukan sosok pendendam--hatimu terlalu baik untuk itu.
Sosok baru itu menarik perhatianmu. Kau mendongak dikala tangannya agak canggung memberikan pertolongan padamu. Tampaknya dia bingung apa yang sebenarnya harus dia lakukan padamu setelah apa yang dia lakukan.
Tapi hatinya menggerakkan tangannya untuk berlaku demikian, hatinya gundah melihatmu kesakitan olehnya.
Dan dari sanalah, awal mula kalian bertemu dan bertukar dengan cepatnya. Khalayak anak kecil yang polos, yang hanya ingin mencari teman agar rasa kesepian tak menelan tubuh dengan mengerikan.
"Mein Name ist Michael Kaiser," ujarnya.
(Namaku Michael Kaiser.)
...Kala dirimu menarik obrolan agar dia ingin memperkenalkan nama dikala sedang digelut dengan rasa takut dengan orang baru.
Senyum hangat mu muncul dengan uap yang mengepul dari mulut karena hari itu suhu udara sedang berada di titik rendahnya.
"Ich bin (name) (F/n)." Kau memperkenalkan dirimu.
(Namaku (name) (F/n).)
Dua nama yang saling bertukar lantas mengikat tali pertemanan di awal mula pertemuan.
"Können wir freunde sein, Kaiser?"
(Boleh aku berteman denganmu, Kaiser?)
Jatinya kau hanya ingin memiliki teman. Sosok teman yang menjadi bentuk dirinya.
"E-entschuldige, (name)."
(M-maaf, (name).)
Namun sekali lagi permintaan maaf terutarakan dari bibirnya. Permintaanmu tertolak. Dia kalah dengan ketakutan yang tersangkut di lehernya, menjerat hati kecilnya.
"Ich... ich glaube nicht, dass ich der richtige mensch bin um dein freund zu sein."
(Aku... aku rasa, aku tak cukup baik untuk menjadi temanmu.)
Sedari dulu, sedari masa mudanya, dia tak percaya dengan dirinya yang telah tertampar segala bentuk kekerasan dan kekasaran dalam hidupnya layak mendapatkan sosok selembut dan sebaik dirimu.
"Aber ich glaube, Sie sind ein guter Mensch, Kaiser. Sie sind gut. Sie helfen mir!"
(Tapi aku rasa kau orang yang tepat, Kaiser. Kau orang yang baik. Kau bahkan menolongku!)
Dan kau menentang rasa takut itu. Kau yakinkan kepadanya bagaimana sosok terluka yang hanya mengetahui gelapnya kehidupan itu juga mampu memunculkan kebaikan dari dirinya.
"Wenn du mich nicht akzeptieren kannst, bin ich trotzdem dein freund!"
(Walau kau menolakku, aku masih ingin tetap menjadi temanmu!)
Agaknya kau harus kepala untuk membuatnya percaya, bahwa dia layak mendapatkan... merasakan kebaikan orang lain dan dunia. Dia layak mendapatkan seorang teman.
Dan meski Kaiser belum bisa mempercayai ucapanmu atau mempercayai dirinya, kau membuatnya percaya, setidaknya dengan dirimu--dengan "adanya" dirimu. Bentuk nyata dari keyakinannya yang bernafas dan berdegub nyata di hadapannya.
Kenangan masa lalu yang hangat ditengah udara dingin yang kejam menguji setiap orang dari manapun mereka berasal... dan dari siapapun mereka terlahir.
Namun, waktu kian berubah, hati pun ikut merubah dirinya... mengikuti kemana alur takdir memimpin, dan keputusan-keputusan yang mempersempit pilihan.
"Ich mag dich, (name)."
(Aku menyukaimu, (name).)
Jantungnya berdegub dikala dia hantam sulitnya kehidupan untuk mengejar impiannya menjadi seorang striker terkenal. Kegelapan dengan kejam merenggut cahaya yang menyala dalam hatinya. Di matanya, hanya kau lah satu-satunya cahaya di usianya yang menginjak masa remaja itu. Dan hanya kau lah sekuncup mawar yang mampu menghiasi hidupnya dengan indah, dikala duri-duri kehidupan menjeratnya begitu menyakitkan.
Hati mu terenyuh. Rasa mu tak tega melihatnya yang berjuang dengan cara yang benar masih saja mendapat ketidakadilan dalam kehidupannya.
Tanganmu memeluk raganya yang terasa ringkih, meski otot-otot tubuhnya terbentuk sebagaimana seorang atlet mendapati bentuk ideal mereka.
Tepi wajahnya, pipi yang selalu menjadi landasan air mata... dimana hanya kau yang menjadi saksi dari kepedihannya--kau usap perlahan.
"Ich bin immer für dich da, Michael. Und ich mag dich auch, ich bin immer."
(Aku selalu ada disini untukmu, Michael. Aku selalu menyukaimu, dan akan selalu seperti itu.)
Kau tak akan pergi kemanapun, itu sudah menjadi janjimu.
Deguban yang menduplikasi dalam jantungnya, beresonansi sama juga dengan dirimu.
Kau menerimanya dan kau akan selalu ada untuknya. Sebagaimana sosok itu membutuhkan seseorang untuk mendukung punggungnya menuju cahaya.... di kala sosok yang seharusnya ada disana, justru tiada di sisinya.
Halaman demi halaman kehidupan terus kau balik. Seiring berjalannya waktu, dia mendapatkan panggilan untuk pergi menuju tempat jauh. Tempat dimana dia mampu mengejar mimpinya.
Kau merasa senang. Sungguh, kau merasa senang. Namun, cubitan kecil yang terus menerus menyakiti dirimu setiap malam, dan setiap seusai bertemu dengannya... semakin lama semakin sering bermunculan.
Kau tak mengerti. Dan kau tak mengerti pula bagaimana menyatakan itu padanya, di kala kini dua manik kebiruan itu sudah mampu menatap cahaya yang baru dan mulai melupakan lilin kecil yang sedari dulu menemaninya melawan ancaman bayangan mengerikan.
Semenjak surai nya berubah warna dan terpotong. Dan setelah kulitnya dililiti tato mawar biru yang menampakkan kekecewaannya kepada dirinya. Kau semakin yakin, sesuatu darinya telah jauh berubah.
"Ich werde nach Japan gehen, (name). Du kannst mich nicht aufhalten."
(Aku akan pergi ke Jepang, (name). Kau tak bisa menghentikanku.)
Semakin lama pundaknya semakin dingin teralih darimu. Seakan-akan kau bukan apa-apa selain sosok manekin yang harus menerima semua keputusannya, bahkan kau belum mendengar kabar tentang keputusan itu akan datang sebelumnya. Namun, dia sudah lebih dahulu mengambil pilihannya dan memilih untuk berpisah negara denganmu. Negeri yang jauh, tempatnya mengejar mimpi, dan kau tak bisa--tak boleh menghentikannya.
"Es ist mir egal, wohin du willst, aber sag es mir wenigstens vorher. Bin ich dir nichts wert?!"
(Aku tak peduli kau akan pergi kemana, tapi setidaknya kabari aku. Apa aku bukan siapa-siapa di matamu?)
Tentu, kekecewaan tumbuh dalam dirimu. Mekar dan melilit hatimu hingga kau mengalirkan darah yang tak tampak--mengucur sebagai airmata sukma yang lara.
Ucapan selanjutnya yang melantang darinya sungguh diluar dugaanmu. Jika secara sentimental dijelaskan, sungguh... hanya kalimat yang saat itu dikeluarkan darinya adalah benda tertajam yang pernah kau rasakan sakitnya.
"Genug, (Name)! Du hast mich nur gestresst. Deine existenz steht mir nur im weg. Verschwinde einfach aus meinem leben!"
(Cukup, (Name)! Kau hanya membuatku lelah. Kau disini hanya menghalangiku. Pergilah dari hidupku!)
Jarinya menuding pintu keluar setelah menunjuk dirimu. Darahnya mendidih dan kau mampu melihat bagaimana kerutan di wajahnya, gertakan giginya, juga nada suaranya yang meninggi mengusirmu pergi dari hidupnya.
Tak ada yang lebih perih dari itu. Hatimu hancur seperti gelas pecah yang tersampar pecah dari meja yang membatasi kalian berdua kala itu.
"Hörst du mich, tauber?! Raus hier!!"
(Kau dengar, tidak?! Keluar kau dari sini!!)
Menyatakan dirimu tak memiliki telinga yang tak mampu mendengar, padahal kau bahkan mampu mendengar hingga bisikan isi hatinya.
Selama ini kau berusaha memahami dirinya.
Selama ini kau bertahan dengannya, kau berjuang bersama dengannya.
"Na gut, wie sie wollen, Kaiser. Mach, was du willst. Du musst nicht mehr auf mich hören."
(Baik, jika itu mau mu, Kaiser. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kau tak perlu mendengarkanku lagi.)
Sengitmu sambil mengangguk-angguk, menahan air mata yang terus mengalir dari netramu. Pahit, kau biarkan dia pergi. Kau sungguh membiarkannya melalukan apa yang dia percaya. Meski itu berarti harus meninggalkanmu sendiri disini.
Jatinya kau lelah, tapi kau tak ingin menyerah--jauh dalam hatimu yang terdalam, kau tak pernah ingin menyerah padanya. Meski ujung bibir yang kau gigit kencang selepas raganya bergerak pergi dan berpapasan denganmu menyatakan seberapa besar retakan yang membelah hatimu.
Langit malam lantas menghilang bersama hubungan yang memudar. Dia yang membuatmu jatuh hati kepadanya dan dia juga yang membuatmu kecewa atas dirinya.
Namun, apakah hanya "kesalahan" yang mampu kau lihat?
Itukah yang akan menggiring mu kembali kepadanya, sosok yang masih kau harapkan, meski mungkin... mungkin saja dia akan segera melupakanmu?
Tidak. Kau ingat bagaimana manik kebiruan lelaki muda itu dahulunya mengkilap indah kepada sesuatu yang dianggapnya "impian".
Bola yang tak pernah pandai kau tendang, itulah alasan kenapa dia pergi sekarang.
Pergi memang berarti "meninggalkan", tapi belum tentu "menghilangkan".
Meski hatimu hancur olehnya, sosok yang bersinar di masalalu itu selalu datang kembali dalam memori kepala mu, berkunjung di tiap buah mimpi malam mu sambil menendang bola yang menjadi benda favoritnya.
Tangis lantas kau usap dari wajah. Jiwamu kembali berdiri tegap dengan mantap, dikala kecewa dan kesedihan berusaha menjatuhkanmu lebih jauh lagi.
Kau perlahan menerima kenyataan, bahwa dirimu dengannya terpisahkan antar daratan dan lautan, bahkan putaran mentari yang menjadi waktu pun ikut membedakan kalian berdua. Walau begitu, hatimu terus terpompa, hidup dengan namanya yang ingin sekali kau lambungkan ke langit angkasa--mengepakkan sayap dan terbang, lantas berkedip diantara banyaknya bintang diatas sana.
Kau mulai bekerja keras. Berpeluh keringat mengasah dirimu menjadi "seseorang" yang membawakan mimpi-mimpi... yang bukan hanya untukmu, tapi juga untuknya.
Di kala usia terus bertambah, angka terus berubah. Dunia seakan menjawab perjuangan tanpa pamrih mu. Suatu ketika pertandingan sepak bola eksklusif tergelar di Jerman, tepatnya di kota tempat dahulu kalian awal bertemu.
Kau saat itu berhasil menjadi staff suatu agensi aktor, bahkan ikut bergelut juga di dunia panggung besar. Beralih dari kursi staff mu, kau seketika memalingkan wajah dari tumpukan kertas-kertas proyek kerja menuju layar televisi yang menayangkan berita besar itu tak habis-habisnya. Seakan dunia ingin kau tau, dia akan datang kembali.
Bastard München.
Powered by Blue Lock.
Dua nama itu begitu familiar di pikiranmu, segar dalam ingatanmu.
Beranjak dari mejamu, kau berlari mengejar sesuatu. Sesuatu yang telah lama tiada dan kau ingin itu kembali ada setelah sekian lama.
Rasa yang berdenyut hangat dalam dirimu berkata....
"Ich werde alles für Sie tun, Kaiser, für uns... für unser nächstes treffen!"
(Aku akan melakukan apapun demi dirimu, Kaiser, dan untuk kita... untuk pertemuan kita selanjutnya!)
Kau akan melakukan apapun untuknya. Untukmu dan dirinya. Juga untuk pertemuan kembali kalian.
Singkat cerita, dibawah malam yang ramai dengan sorak-sorai penonton yang mencapai puluhan ribu di suatu stadion, Kaiser berdiri di tengah lapangan dengan sorotan lampu terang yang akan menjadi arena perebutan mimpinya.
Dia ada disana, secara nyata, bernafas dengan pundaknya yang bergerak naik-turun mengamati sekelilingnya yang menyebut nama tim dan dirinya.
Disaat itu juga dia mengerahkan segala yang dia miliki, apa yang dia percayai, dan apa yang dia kejar selama ini.
Keringat, degub jantung, harga diri, dan mimpi... dia membuat lapangan membuatnya bersinar bersama bola sepak yang menjadi teman setianya. Seperti bintang yang mengkilap terang di luar angkasa.
Dia sama sekali tak berubah. Sejauh kamera menyorot dirinya, menampakkan sosoknya, kau tau... dia tetaplah dirinya. Punggung yang ringkih itu semakin kuat. Suaranya yang lemah, kini melantang. Dan dia tak lagi sendirian, dia memiliki banyak orang di sekelilingnya.
"Er sieht jetzt glücklicher aus. Ich bin froh. Ich bin froh, dass er es geschafft hat..."
(Dia tampak lebih bahagia sekarang. Syukurlah. Syukurlah dia berhasil menggapainya...)
Hatimu berbisik. Air matamu hampir tak terbendung saat kau mengutarakan seberapa besar rasa syukurmu saat melihat dirinya yang sekarang.
Rupanya perpisahannya denganmu adalah jawaban. Dirinya sekarang sudah jauh berkembang. Dia yang sekarang bersinar lebih indah daripada dahulu kala.
Dan entah, entah apa yang jatinya kau rasakan sekarang. Kebahagiaan.... atau kesedihan sebenarnya?
"Weinst du, (Name)?"
(Kau menangis, (Name)?)
Suara solid dari seorang wanita dewasa disampingmu mempertanyakan suara isakan yang sekelabat terdengar olehnya.
"Nein, nichts, gnädige Frau."
(Tidak, bukan apa-apa, nyonya.)
Balasmu yang menganggap dirimu baik-baik saja.
Namun sosok wanita rupawan yang berpoles warna-warna mewah ini, sosok yang disegani banyak orang, justru nampak sedikit peduli kepada dirimu.
Nafasnya terhela samar, seraya dia memberikan sapu tangannya kepada dirimu yang saat itu berseragam staff dan hanya menggunakan kalung kartu nama seorang "Penggiring bintang tamu" denganmu.
"Dir scheint es in letzter zeit nicht gut zu gehen. Ist dir gerade das Herz gebrochen worden?"
(Kau tampak tak baik-baik saja akhir-akhir ini. Apa kau patah hati?)
Agaknya kekhawatirannya tentang dirimu yang tampak lesu karena "patah hati" akhir-akhir ini menohok dirimu.
"N-nein, gnädige Frau, das bin ich nicht. Es ist... es ist nichts, ich..."
(Tidak, nyonya, aku tidak patah hati. Sungguh... bukan apa-apa, aku...)
--GOAAALL!!!
Suara lantang dari seluruh penjuru lapangan meriuhkan suasana. Bersama tiupan panjang peluit, kau menyadari bahwa permainan telah lama berjalan dan akhirnya skor terakhir dimunculkan.
[ 2 - 3 ]
Dan kemenangan tesorak dari tim nya.
Kaiser... dan teman-teman barunya merayakan kemenangan mereka di atas lapangan dengan begitu gembira. Dan seakan kau ada disana juga, kau melompat dalam lonjakan kebahagiaan.
"Also ist er jetzt als Mensch gewachsen, nicht wahr?"
(Jadi dia sekarang dia tumbuh menjadi seseorang, ya?)
Ujar sang wanita yang tampak sedikit bangga hanya untuk sekilas dari dua manik kebiruannya. Garis bibir berlipsitik birunya melengkung dan dia memejam untuk sesaat setelah puas menonton acara lapangan yang ramai itu.
"Ruf meinen manager an, ich möchte meinen bevorstehenden zeitplan ändern, (name)."
(Panggil manajer-ku, aku ingin mengganti jadwalku, (name).)
Lantas dia mengutusmu untuk memanggilkan manajer nya, dia ingin merubah jadwalnya setelah acara ini usai.
Tanpa perlu menunggu, kau pergi begitu saja untuk pergi memanggil. Sebesit firasat mu berkata, sesuatu yang baik akan segera tiba meski kau tak tau itu apa.
Seusai pertandingan, para pemain diarahkan ke ruangan mereka setelah wawancara dan sebelum mereka diantar kembali ke tempat menginap mereka.
Di waktu senggang itu, nama Kaiser terpanggil.
"Katanya ada yang mau ketemuan sama Kaiser, cewek gitu deh," ujar lelaki muda bersurai hitam-kuning yang menekuk tangannya dibelakang kepala.
"Cewek? Emang Kaiser punya pacar?" sahut teman timnya yang lain.
Kaiser yang mendengar kalimat itu seketika teringat dengan sesuatu yang pernah bersemayam di masalalu.
"J-jangan bilang..." Ness pun ikut tak percaya.
Jatinya Ness juga tau masalalu Kaiser. Dia jelas tau siapa kemungkinan "cewek" yang mengharapkan kedatangan Kaiser saat ini.
Kaiser mengepalkan tangannya sebelum pergi keluar ruangan dengan mimiknya yang kesal. Sumpah serapah sempat terbesit diantara bibirnya.
Ness bergerak mengikuti, dia berjalan agak berlari tepat di belakang punggung Kaiser, keluar dari ruang pemain yang tiba-tiba menjadi senyap sebelum sempat mereka mengerjai Kaiser yang mendapati tamu spesial itu.
Di suatu lorong yang tak jauh dari ruang pemain, ada banyak orang menunggu dan seperti berjaga agar keramaian tak sampai ke titik temu.
Kaiser yang baru saja muncul di titik temu seketika menurunkan pundaknya yang tegang dengan amarah, berubah menjadi ketidakpercayaan dengan apa yang dua matanya kini temukan.
"Lange nicht gesehen, kind."
(Lama tak bertemu, nak.)
Wanita dewasa yang memendarkan aura elegan dengan senyum berpoles lipstik merah. Sosok penakluk pria yang selalu muncul di layar kaca, ada disini.
"..Mama?"
(..Ibu?)
Jantungnya rasanya terhenti untuk sejenak. Kepalan tangannya terlepas dan kini bergetar.
Hatinya ikut gemetar. Dia bingung ingin merespon seperti apa, tapi satu yang dia yakini ada.... adalah "ketidakmungkinan" yang selama ini dia percaya menjadi sesuatu yang "mungkin" di masa sekarang.
Wanita itu membuka tangannya lebar-lebar, seraya memberi kode kepada anak semata wayang yang telah lama ditinggalkannya.
Kaiser yang tak berpikir panjang langsung berlari memeluk erat sosok yang tak pernah muncul dalam hidupnya.
Dia merindukannya.
Sangat merindukannya.
Usapan hangat menyentuh punggungnya yang sudah berkali-kali merasakan luka, dari yang tampak hingga yang tak tampak.
"Du zeigst mir ein wundervolles spiel. Du machst mich stolz auf dich."
(Kau menunjukkanku permainan yang begitu hebat. Kau sungguh membuatku bangga.)
Seorang ibu itu menyatakan kebanggaannya atas permainan hebat dari putranya. Momen yang sukses membuat sosok bernama Michael Kaiser menitikkan air matanya dan mencicit di pundak ibunya.
"Ich vermisse dich, Mama, ich vermisse dich so sehr ... wie kannst du hier sein? Das kann nicht wahr sein. Das ist unmöglich!"
(Aku merindukanmu, ibu... bagaimana kau bisa disini? Ini tidak mungkin benar. Ini tidak mungkin!)
Kaiser menumpahruahkan kerinduannya yang kini sudah terlalu dalam untuk diukur oleh apapun. Dia pun tak percaya bahwa ibunya kini ada di depannya. Bagaimana bisa? "Ketidakmungkinan" yang dia percaya perlahan-lahan runtuh oleh jawaban ibunya yang percaya dengan "kemungkinan".
"Es ist nichts unmöglich, kind. Ich habe meinen eigenen weg. Nun, um ehrlich zu sein, gibt es jemanden, der das alles möglich macht."
(Tidak ada yang tidak mungkin, nak. Aku punya caraku sendiri. Tapi, sebenarnya ada seseorang yang membuat ini semua menjadi "mungkin".)
Jawaban itu membuat Kaiser bertanya-tanya selepas memecah pelukan.
Siapa sekiranya yang mampu membuat sosok wanita seperti ibunya mampu menghadiri tempat seperti ini? Mana lagi, pertandingan dimana dirinya bermain didalamnya, memperebutkan segala tentang dirinya?
"Wer sind sie?" tanya Kaiser.
(Siapa "dia"?)
Wanita itu tersenyum. Dia melirik ke suatu sisi lorong, dimana seorang wanita lain menyembunyikan dirinya setelah menguping semua pembicaraan ibu dan anak itu.
Sebenarnya dia hanya bertugas menunggu sang bintang tamu selesai dengan urusannya sebelum menggiringnya menuju mobil yang akan membawanya pulang.
Wanita yang sedang bersembunyi itu berusaha menenangkan detak jantungnya. Dia merasa belum siap untuk bertemu dengan Kaiser saat ini.
Ketakutan akan luka patah hatinya seketika menahan inginnya untuk bertemu dengan sosok yang selalu ada di pikirannya.
Dia tak ingin membuat masalah, mana lagi menghancurkan suasana kebahagiaan yang baru saja sosok itu rasakan dengan kedatangan dirinya.
Sang ibu seketika memudarkan senyumnya mendapati sosok yang diharapkan muncul memilih tetap bersembunyi dibalik bayangan.
"Sie ist ... diejenige, die möchte, dass ich hier bin. Sie fleht mich an und tut alles, was sie kann, damit ich dich treffe und dein spiel sehe."
(Orang itu... adalah satu-satunya orang yang membuatku ada disini. Dia memohon kepadaku dan bahkan akan melakukan apapun hanya agar aku bisa bertemu denganmu dan melihatmu bertanding.)
Lirikan sang ibu kemudian tertuju kepada anak semata wayangnya dengan curiga.
"Ich weiß nur, dass deine Spezialität darin besteht, einem Mädchen das Herz zu brechen."
(Aku baru tau, kalau kau sangat berbakat mematahkan hati seorang wanita.)
Menangkap sarkas dari sang ibu, Kaiser semakin gelagapan khayalaknya lelaki muda yang baru saja membuat belahan hatinya patah hati.
"B-bin ich nicht! Ich... war nicht..."
(A-aku tidak seperti itu! Aku... aku tidak pernah...)
Kini pukulan berat jatuh dalam hatinya. Tidak mungkin Kaiser melupakan itu, hari dimana dia membentak seorang gadis yang disukainya sejak dulu. Gadis yang pernah bertahan bersamanya dan memahami dirinya. Dia yang berdiri sejak garis awal kehidupan Kaiser.
"Du solltest dich bei ihm entschuldigen, Kaiser. Es zeugt nicht von männlichkeit, wenn sie nicht mit ihr reden. Hast du es verstanden?"
(Kau harus memintamaaf kepadanya, Kaiser. Itu sama sekali tidak maskulin, jika kau memilih untuk tak berbicara dengannya. Kau mengerti?)
Dua tangannya tergenggam dalam tangkupan tangan ibunya. Sang ibu--meski dia tampak tak bertanggungjawab dengan anaknya sendiri, sebenarnya tak ingin anaknya melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Mendengar itu, Kaiser tak juga mengangguk. Dia melepaskan tangkupan tangan ibunya. Sang ibu membelalak secara perlahan.
Pemain bola kelahiran Jerman itu kemudian melewati ibunya begitu saja. Langkahnya mantap, tak terkesan terburu, tapi dia yakin.
Dia menghampiri sisi lorong yang ada dibelakang ibunya.
Semakin langkah lelaki itu terdengar mendekat, semakin cepat pula langkah perginya sosok yang dikejarnya kini.
Namun, lincahnya seorang atlet tak sebanding dengan kecepatan kaki seorang staff.
Tangan milik Kaiser dengan gesit menangkap pergelangan tangan seorang wanita lain yang hendak kabur dari tempat itu.
"Ich weiß, dass du es bist."
(Aku tau, itu pasti kau.)
Jantung sang wanita seakan melompat. Dirinya tertangkap basah oleh sosok yang selama ini menghilang, menatapnya dengan tajam.
Genggaman itu tak mudah dilepaskan, sekeras apapun sang wanita meronta.
Semakin kebahagiaan yang dirasakan sang wanita muncul karena kembalinya belahan hatinya, semakin sakit pula luka lama yang kembali terbuka saat itu juga.
Bibirnya tak mampu mengatakan apapun selain mendecit sakit. Sosok yang kini menjadi obat di depannya, rasanya seperti racun yang kembali menusuknya.
"Geh weg!!"
(Pergi!!)
"Werde ich nicht!"
(Tidak akan!)
Bukannya kalimat kerinduan, justru pengusiran lah yang muncul dari mulutnya.
Kerinduan itu diterkam habis oleh trauma lama yang masih membayang di pikirannya.
Pikirnya, melihat kebahagiaan dambaan hati dari kejauhan sudah cukup untuknya.
Jatinya tidak, itu menyakitkan, sama menyakitkannya dengan ditinggal olehnya.
Dia membohongi dirinya sendiri. Dia tak ingin kesakitan lagi memeluk mawar indah yang menyayat dirinya dengan sulur berduri yang menusuk perih.
Air mata adalah suara terkencang yang mampu dicurahkan oleh hati, dari "mata" yang menjadi jendela dari jiwa seseorang--yang hancur ditelan lara.
Dan hanya itu yang menjadi jawaban sang wanita sebelum lemas terdekap dalam rangkulan pemain kelahiran jerman--belahan hatinya.
"Ich habe dich damals verletzt. Ich verstehe, dass das mein Fehler war. Ich möchte, dass du nicht wieder verletzt wirst, bitte nicht mehr.."
(Aku sudah melukaimu saat itu. Aku tau, aku sudah melakukan kesalahan. Aku tak ingin kau terluka lagi, jadi tolong..)
Di sisi lain, sang pria pun menyalahkan dirinya yang bahkan masih membenci sosok wanita ini hingga hari ini--tidak sampai ibunya menyadarkan dirinya.
"Du kannst mich danach verlassen, mich fallen lassen oder mich hassen! Ich möchte mich jetzt bei Ihnen entschuldigen..."
(Kau bisa meninggalkanku setelah ini, membuangku atau bahkan membenciku! Aku hanya ingin memintamaaf padamu sekarang.)
"(Name), es tut mir leid... was ich dir angetan habe, dass ich dich verletzt habe, dass ich dich damals angeschrien habe. Ich bin der schlimmste Kerl und du bist einfach zu gut, um mir zu gehören."
((Name), maafkan aku... setelah semua yang kuperbuat padamu, melukaimu, berteriak padamu hari itu. Aku lelaki paling buruk dan rasanya kau terlalu baik untukku.)
Suara Kaiser berhembus tepat diatas kepala (name). Isaknya pun terdengar naik turun bersama dadanya yang mengembang mengempis di depan wajah (name).
Dia sungguh menyesali dirinya.
"Ich liebe dich, (name). Es tut mir leid, dass ich dich nicht richtig lieben kann."
(Aku mencintaimu, (name). Maaf aku tak bisa mencintaimu dengan baik.)
Memori masalalu kembali datang membawa nostalgia. Seorang lelaki muda yang bertemu dengan gadis kecil yang terpukul tendangan bola miliknya. Dua tangan mereka yang menyentuh sama lain dengan nama yang tertukar diantara keduanya.
Salah seorangnya kemudian berkata, "Aku menyukai bunga mawar." kepada teman bicaranya.
Lantas teman bicaranya bertanya, "Bukannya bunga mawar berduri? Kalau dipegang, sakit lho!"
Anak yang menyukai bunga mawar itu kemudian tersenyum, seakan tak memiliki beban sama sekali dengan jawaban yang hendak dia berikan...
"Walau berduri pun, aku tetap menyukainya! Dia tetap saja bunga yang indah."
Ingatan itu sebenarnya tersimpan hangat dalam ingatan dikala hati dilanda musim dingin berkepanjangan tanpa adanya lilin hangat yang menemaninya.
Lantas pelukan itu terdorong perlahan oleh tangan (name). Sedikit jarak yang tercipta memberikan pukulan kencang pada dada Kaiser.
Akankah ini menjadi akhir untuknya dan (name)?
Apakah pada akhirnya (name) memilih berpisah dengannya karena tak kuasa dengannya?
Semurni ucapan sosok anak yang dahulunya menyatakan dia menyukai sepucuk mawar meski berduri sekalipun, (name) menyatakan hal yang tak berbeda dari ucapan itu.
"Ich bin vielleicht dumm, weil ich einen Mistkerl wie dich liebe. Aber ich bin kein Lügner..."
(Aku bodoh sekali sudah mencintai bajingan sepertimu. Tapi aku tak bisa berbohong...)
Dua manik berkaca-kaca milik (name) menatap paras Kaiser yang telah lama tak nyata ada di depannya.
"Egal was aus dir wird, mein Herz verliebt sich immer noch in dich... Michael Kaiser."
(Apapun yang terjadi dengan dirimu, hatiku akan tetap jatuh kepadamu... Michael Kaiser.)
Tak peduli seberapa buruk sosok itu terlahir, seberapa buruk dia hidup setelahnya... jika memang dialah kemana tujuan hati akan bersinggah, maka hati tak akan pernah berhenti memanggil namanya.
Peristiwa itu terjadi nyata diantara mereka berdua yang kembali menyatukan hati yang sama-sama terluka dan menghangat bersama lagi dalam kecupan rindu yang begitu lama terpendam.
Sang ibu menyaksikannya. Dia menjadi saksi buah hatinya yang menemukan setengah jiwanya kembali.
Kebanggaan dan kebahagiaannya seketika menggeser rasa kecewa kepada dirinya sendiri yang telah menelantarkan anaknya... dan perasaannya sendiri selama ini. Suara menggodanya lantas terdengar.
"Oh je~ Sollen wir die hochzeit dann früher planen?"
(Ya ampun~ Apa kita harus merencanakan acara pernikahan secepatnya?)
"Nein, Mama!" "Zu schnell, gnädige frau!"
(Tidak, ibu!) (Terlalu cepat, nyonya!)
Lantas dua orang yang kembali bertemu itu menatap satu sama lain sebelum tawa terpecah bersama dengan tangis haru dari sang wanita.
Kaiser mengambil sehelai surai samping (name) dan melingkarkannya dibalik telinga (name).
"Darüber werde ich später nachdenken."
(Aku akan memikirkannya nanti.)
Dengan senyuman yang tulus, dia berikan kepada pujaan hatinya sebelum dia membungkuk dan meraih punggung tangan sang pujaan hati untuk menjatuhkan kecupan diatasnya.
"Warte, bis ich wieder nach Hause komme, meine liebe."
(Tunggu sampai aku pulang, sayangku.)
Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan itu sebelum (name) menganggukkan kepalanya. Rasanya air mata (name) yang dulunya menggenang dalam pilu, kini berubah menjadi haru dan rindu yang berhasil terobati.
"Ich warte immer auf dich, Michael Kaiser, das werde ich immer sein."
(Aku selalu menunggumu, Michael Kaiser, selalu.)
Keduanya kemudian menyentuhkan masing-masing kening, merasakan dekat dan hangatnya keberadaan mereka, sebelum kembali terpisahkan oleh jarak dan waktu.
(Name) melambaikan tangannya kepada pesawat yang lepas landas. Dia datang ke bandara saat tim Blue Lock hendak kembali menuju Jepang.
Bahkan sebelum tim itu masuk ke pesawat yang akan mereka pulang, Kaiser sempat-sempatnya mencuri kecupan dari bibir (name) sebelum menerima banyak hujatan dan ucapan jahil dari teman satu tim nya.
Selepas itu, (name) kembali bekerja keras di agensi tempat ibu dari Kaiser memerankan diri menjadi aktor.
Sedari dulu, (name) juga sudah mengagumi ibu Kaiser dari televisi, dan mimpinya bekerja untuk sosok aktor itu sudah menjadi kenyataan setelah semua pahit manis kehidupan dia rasakan untuk memperjuangkan posisi itu.
Hanya agar dia bisa mempertemukan sosok ibu itu kepada anaknya--yang mana hal itu juga sudah dicapainya.
Dan kini, dia sudah bertahun-tahun mendedikasikan hidupnya bersama sang aktor.
"Aku dengar kau menyukai mawar, (name)," kata sang ibu yang baru saja selesai berperan sebagai wanita eksklusif di film terbarunya. Saat ini dia beristirahat di ruangannya dan memanggil (name) untuk menemaninya.
"I-iya, nyonya. Ada apa, ya?"
Sang ibu melengkungkan bibirnya. Dia menyuruh (name) untuk mendekat padanya dikala dia sedang merogoh sesuatu dari loker mejanya.
"Diam sebentar."
Sesuatu disematkan tepat diatas rambut (name) yang selalu diikat dan digulung--gunanya agar (name) tidak terlalu terganggu dengan rambutnya saat sibuk bekerja.
Lantas, sang ibu menggiring punggung (name) untuk melihat pantulan cermin yang menampakkan hiasan rambut bunga mawar yang tersemat di ikatan rambut (name).
"Hm, kau cantik kalau begini."
(Name) tak bisa berkata-kata. Bukan karena jepit itu, tapi karena dia dipuji oleh sosok aktor kelas atas yang bahkan kecantikannya tak bisa dibandingkan.
"Kenapa kau tidak berdandan? Gajimu kurang? Make up mu tidak cocok?"
Sang ibu jelas tidak menerima sesuatu yang tak sama dengannya--dalam hal kecantikan dan kesempurnaan. Itu sudah lumrah di kalangan selebriti, apalagi wanita.
"B-bukan, nyonya! Saya hanya--"
"Tidak tau caranya?" Potong sang ibu yang langsung menyilangkan tangannya. "Kalau begitu setelah ini kau wajib berdandan setiap bekerja. Aku tak ingin calon menantu ku tak bisa tampil cantik sepertiku."
"H-hah? Apa?"
Baru kali itu otak (name) menjadi sekonslet kabel listrik yang tertimpa pohon rubuh. Sang ibu meringis kecil saat (name) memprotes bahwa dia tak butuh hal seperti itu.
"Tidak, tidak, Kaiser tak akan pernah menyukai gadis yang tidak cantik. Dia pasti akan menolak untuk bertemu," celetuknya sebelum iphone miliknya bergetar dengan nomer asing yang muncul di layarnya.
Saling bertukar pandang dengan (name), setelah beberapa saat terdiam, dia mengangjat telfonnya. Betapa terkejutnya dia sebelum sempat menanyakan siapa yang menelfonnya.
"Aku tak pernah tak menyukainya, meski tanpa bunga atau polesan make up sekalipun."
Suara yang familiar itu bukan hanya terdengar dari panggilan masuk itu. Tapi dari depan pintu ruang ganti sang aktor.
Keduanya saling menoleh kearah pintu sebelum suara penelfon itu kembali terdengar.
"Hm? Tidak ada yang ingin membukakan pintunya? Tanganku penuh sekarang. Aku butuh bantuan."
Sang ibu seketika gelagapan, tapi sejenak dia berpikir sejenak dan memahami sesuatu dari panggilan telfon itu, sehingga mem hanya menyuruh (name) untuk membukakan pintu itu untuk Kaiser.
Kenop pintu terbuka dengan rasa gundah dan tidak enak dari (name), sampai akhirnya daun pintu itu menampakkan sesuatu yang besar.
Bukan, bukan hanya Kaiser yang sudah menginjak usia dewasa dan sekarang tumbuh lebih besar darinya, tapi sebuket bunga mawar dengan kotak kecil berwarna hitam yang masih tertutup diatasnya.
Kaiser muncul sebagai pembawa bunga itu. Dia mengenakan jubah panjang dari brand terkenal. Baju dalam berwarna hitam ber-turtleneck. Lengkap dengan kacamata berlensa tipis bertengger menghias wajahnya, membawa nuansa dewasa yang kalem dipandang.
Dia menyadari pasti (name) yang akan membukakan pintu, seketika dia menyapa kembali pujaan hatinya bersama dengan janji yang telah lama disimpannya.
"Ich habe mein versprechen gehalten, meine liebe."
- 🌹Das Ende🌹-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro