Angsty p.2
Shoji Mezou
"I don't want to leave them"
Apa yang harus aku lakukan?! Aku menatap empat penjahat di depanku. Mungkin ini bisa disebut sial? Saat aku Shoji, Midoriya dan juga Todoroki-san berencana keluar dari akademi untuk sekedar membeli beberapa barang, kami tiba-tiba dihadang oleh empat penjahat yang mungkin bisa disebut kelas teri tapi, tetap membuat kami kewalahan.
"Minna..." aku tak bisa melakukan apapun, kakiku seakan terpaku di tempatku. Apa ini rasa tertekan yang selalu mereka rasakan saat berhadapan dengan villain?
Aku menatap tiga orang didepanku yang berhadapan dengan keempat penjahat itu. Aku bahkan tak bisa menggerakkan seluruh tubuhku tapi, mereka bisa melawan penjahat itu bahkan sempat membuat para penjahat nyaris terpukul mundur.
Aku melihat mereka bertiga saling pandang dan kemudian mengangguk. Apa yang sedang mereka rencanakan? Sedetik kemudian mereka bertiga mulai membuat jarak dan dengan cepat Shoji-san yang berlari dan menarikku menjauh.
Eh?
Kakiku berlari mengikuti langkah Shoji-san dengan sesekali menoleh kebelakang, melihat Midoriya dan Todoroki-san yang menghadapi empat penjahat itu. "Kita harus pergi darisini, mereka bisa mengatasinya."
"Shoji-san..." panggilku dengan suara bergetar. Aku memang selalu merasa takut tapi, aku tak pernah berpikir akan lari dan menginggalkan temanku sendirian.
Aku menatap Shoji-san yang masih fokus menatap depan, bisa aku lihat gerbang U.A saat ini. Aku tak percaya kami berlari mencari perlindungan sedangkan mereka berdua masih melawan penjahat? Aku tak pernah berpikir Shoji-san bisa melakukan hal selicik ini.
"Shoji-san!" panggilku nyaris menjerit, berusaha menyuarakan kekecewanku tapi, Shoji-san tak terlihat akan berhenti atau sekedar menoleh padaku. "Bicaranya nanti lagi." tukasnya. Apa dia barusan habis mengorbankan temannya? Dengan santainya dia berkata demikian? "Tapi mereka bisa terluka!"
Aku menarik tangannya dan dengan paksa menghentikan langkahku. Kita sudahi saja disini dan kembali membantu mereka! "Shoji-san kita harus membantu mereka berdua!" kataku lagi dan kali ini Shoji-san menatapku dengan tatapan bingung. "Jangan konyol, dan bertingkah layaknya anak kecil, kita bisa berlindung dan mencari bantuan."
Netraku melebar karena ucapan entengnya, kulepaskan tangannya yang mencengkram pergelangan tanganku. "Dan melihat temanmu terluka disana?! Itu bukan sikap yang benar Shouji-san!"
Dia mendekat, dan mencengkram lagi tanganku, lalu kembali menarikku untuk berlari. "Kita tak punya waktu untuk mengkhawatirkannya." Tak punya waktu? Otaknya hanya bisa mementingkan diri sendiri begini?
Saat ini aku hanya ingin berteriak sembari mempertanyakan perbuatannya saat ini. Dirinya yang lari meninggalkan teman-temannya tidaklah seperti Shoji-san yang aku kenal, tidak sama sekali!
"Ayo kembali!" kataku dengan mantap tapi, Shoji-san tidak menanggapiku dan malah kembali menarikku menuju gerbang U.A yang sudah didepan mata. "Tidak, jangan konyol."
"Kau yang konyol Shouji-san!" Tersentak sekali lagi, wajahnya kaku ditempat, aku tak pernah bersikap kasar, tapi kali ini dia keterlaluan. "Aku bisa menolong mereka!"
"Tak bisakah kau berkaca akan kemampuanmu (f/n)-san?"
Denyut sakit didadaku kenapa tiba-tiba muncul? Sesak sekali, aku butuh oksigen saat ini.
"Apa?" Lidahku kelu, perkataannya menusuk beribu kepercayaan diri yang kubangun selama ini. Dengan maniknya yang menghujam tandas sampai relung hati. Dia mengatakan fakta yang paling kubenci. Aku benci menerima kenyataan ini.
"Kita hanya bisa lari." ucapannya membumbung tinggi, keegoisan itu melahap dirinya sebegitu jauh?
"Aku kecewa pada pemikiranmu. Aku tahu aku lemah. Tapi mengatasnamakan hal itu untuk menyelamatkan diri sendiri. Itu salah satu hal yang kubenci Shouji-san." Lirihku dengan menatap wajahnya lurus.
"Apa yang kau katakan, (f/n)-san? Aku tak bermaksud mengatakan kau lemah, bukan begitu, hanya saja-" pandangan terkejutnya membuatku mendongak pongah, dengan raut wajah penuh luka? Aku benar-benar tak bisa mengontrolnya. Bibirku getir menarik kurva menyedihkan diraut wajah.
"Itu sudah jelas. Kau tak usah menjelaskannya lagi Shouji-san. Aku akan kembali dan mengerahkan kemampuan lemahku ini dan melawan mereka." bahuku ditahan.
"(F/n)-san dengarkan aku..." suaranya seakan menegaskan titik dasar tumpuanku yang rapuh. "Kita harus menyelamatkan diri!"
"Maaf Shouji-san. Aku bukan pecundang yang akan pergi dan meninggalkan kawanku dalam kesulitan." Pandangan kami menyeruakkan opini masing-masing dengan keterkejutan diwajah kami yang sama-sama terpenuhi emosi.
Kata-kataku mungkin saja menggores harga dirinya. "Itu pilihan yang salah (f/n)-san." Aku berbalik tak mendengarkan ajakannya untuk kembali berlari. Hingga tiba-tiba rasa sakit menghantam tengkukku dan pandanganku yang tiba-tiba memburam setelahnya.
_____
Ojiro Mashirao
"Dont give me your stupid advice...! Just leave me alone... I'm happy, goddammit"
Pagi itu aku berjalan menuju UKS dengan langkah lemah. Melewati kelas demi kelas dengan tatapan tidak peduli, aku tak peduli adakah yang menyapaku atau tidak, mereka tidak terlalu membuat perbedaan padaku, mau aku menjawab sapaan mereka atau tidak, aku tetap akan mengantuk.
Aku harus segera sampai ke UKS dan mengistirahatkan tubuhku yang terasa seperti kapas, tak berdaya dan mungkin akan terhempas saat angin lembut berhembus.
Aku mengangkat poselku dengan lockscreen Yatogami di sana. salah satu anime yang kutonton saat menghabiskan waktu insomniaku semalam. Di sana terpampang jelas jam yang menunjukkan pukul 7.15. Kuharap Recovery Girl ada disana.
"(F/n)-san." Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggilku dari belakang, tepat di samping telingaku. Dan benar saja, tepat saat aku menoleh Ojiro-san berada sangat dekat denganku.
"O-ojiro-san," aku bergerak kesamping selangkah, berusaha memberikan jarak dengannya. Apa-apaan jarak sedekat itu?! Dia kira sudah sedekat apa denganku? "ada apa?"
Aku menunggu jawabannya tapi, dia sama sekali tidak terlihat akan menjawab pertanyaanku. Sebaliknya, dia hanya menatapku dan ponselku bergantian. Kurasa aku kenal tatapan ini, aku tak punya waktu untuk meladeni ucapan konyolnya!
"Kau..." dia mulai menatapku dengan ragu. Aku sudah tahu apa yang akan dia ucapkan, membuatku beralih mencari fokus pandangan yang lain. "otaku?"
Aku mengangguk dengan entengnya, membuat Ojiro-san terlihat kaget. Walau raut terkejutnya sangat tipis tapi, terimakasih pada instingku yang paham rasa jijik di raut wajahnya. "Ada masalah?" aku menaikkan alisku, lelah dengan orang-orang yang memandang otaku itu rendahan. "kalau begitu aku duluan." dan melangkah pergi tapi, dengan gigi dia mencengkram tanganku.
"Ada apa lagi?" aku menoleh dan mendapati wajahnya yang bingung bercampur gugup. Apa? Dia menyesal membuatku tidak enak hati?
"Aku ingin..." dia menggaruk tengkuknya. Aku paham maksudmu, Ojiro-san jadi, tak perlu kau jelaskan lagi.
"Aku paham maksudmu," kataku mendahului ucapannya. Aku sudah tau apa yang ingin di katakannya, lalu mengapa aku harus menunggunya? "kau tak perlu menasehatiku. Aku sudah sering mendapat ceramah tak bermanfaat dari orang macam dirimu, dan aku tidak perduli."
Aku menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dimengerti bahkan untuk diriku sendiri. Ojiro-san terlihat kaget, dia pasti kaget aku bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan.
"Maksudku, bukan itu-"
"Kau tak perlu sungkan, aku sudah biasa dengan nasehat semacam itu," kataku dengan mendengus. "aku paham tempatku sebagai otaku yang selalu dicap sebagai manusia tak berguna-"
"(f/n)!" aku menatapnya kaget, dia membentakku? Sebegitu bencikah dia dengan otaku? Tak lama dia tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan, bersamaan dengan orang orang di sekitar mulai menatap kami penasaran. "Aku-"
Aku memang sudah biasa mendapat cemoohan tapi, lain lagi dengan dipermalukan didepan umum! "Kau sebegitu membenciku sampai mempermalukan aku begini?" aku menatapnya tajam, penuh dengan kebencian dan kekecewaan.
Aku menutup mataku sejenak. Entahlah, aku lelah dengan dia yang selama ini ternyata berpura-pura baik. "Maaf ya, jika aku yang seorang otaku ini mengganggu pemandanganmu!" lanjutku. "aku akan berpura-pura tak mengenalmu. Sudah cukup bukan?!" dan melepas cengkramannya dengan kasar dan meninggalkannya yang masih mematung di sana. Aku yakin amarahnya akan membludak karena aku yang mengatakan semua kebenarannya.
_____
Tokoyami Fumikage
"You may be deceived if you trust too much."
Harusnya aku mengajak Rin-chan bersamaku. Aku menatap ragu lorong didepan, tepat sebelum ruang guru.
Aku seharusnya sudah mengumpulkan tugas teman-teman sekelasku sedari tadi tapi, sayangnya ada beberapa kakak kelas yang sering menggangguku. Aku selalu tak bisa melakukan apapun jika sudah berhadapan dengan mereka dan sekarang mereka seakan menghalangi jalanku.
Bagaimana aku tidak berpikir begitu? Mereka sudah berada di sana selama 10 menit dan sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Aku pasti kehilangan jam makan siangku tapi, jika aku nekat menerobosnya aku pasti akan dijahili mereka.
Aku menyisir sekeliling, ada banyak orang. Ada niat menerobos tapi, aku nantinya pasti hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Tanpa aku duga, di ujung koridor Tokoyami-san tengah berjalan mengarah kemari. Saat itu juga aku melihat secercah cahaya terang. Pasti dia bisa membantuku!
Saat Tokoyami-san tak jauh dari ruang guru, dengan segera aku berjalan mendekati ruang guru dan seperti yang aku duga, kakak kelas itu kembali menggangguku seperti biasa.
"Eh..." salah satu perempuan dari kelompok kakak kelas itu menatapku dengan tatapan jijik, entahlah dia seperti melihat sampah dan itu sangat membuatku kesal tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa, itulah yang membuatku semakin kesal. "kau kira bisa berjalan begitu saja?"
"Permisi, senpai." Kataku sesopan mungkin dan sekuat mungkin menyamarkan suara bergetarku. Mataku menatap Tokoyami-san yang sudah melihatku. Beruntung!
Tokoyami-san? Namun apa yang kita harapkan tidak akan selalu terjadi. Tokoyami-san yang sudah melihatku hanya tersenyum singkat dan segera melewatiku yang terjebak disini.
Kakak kelas itu mengikuti arah pandanganku dan kembali mentapku dengan seringainya. "Kau ingin meminta bantuan temanmu?" katanya mengejek. Aku masih terdiam mengulang adegan Tokoyami-san yang meninggalkanku dengan mereka. Aku masih tidak percaya. "tapi sayangnya temanmu bukan Hero yang akan selalu ada untukmu!"
Aku tersentak mendengar ucapannya. Bukan Hero yang selalu ada untukku? Tapi kemarin dia membantuku? Aku sedikit mendongak melihat para senpai yang tengah menatapku seakan mendapat mainan bagus.
Aku kagum padanya, aku sudah menganggap dia sebagai Heroku, dia salah satu teman yang aku percaya tapi... tapi... sikapnya tadi? Apa aku salah menganggapnya seperti itu? Dia sebenarnya sama dengan orang lain? Aku tak ingin percaya ini tapi, semua itu terlalu nyata untuk di sangkal.
Aku menunduk lagi, masih tak percaya dengan yang terjadi. Seketika aku merasa di tarik dengan kasar menuju koridor yang lebih sepi. Tak lama setelahnya tumpukan buku ditanganku berhamburan di lantai.
"Sampaikan terimakasih kami padanya nanti."
Haa... benar, kenyataan memang sepahit ini.
_____
Shinso Hitoshi
"Sorry for being a weak one."
"Ah aku terlambat!" aku berjalan sembari melihat sekeliling yang sudah sangat sepi, jika sudah ada guru yang masuk aku tak akan lagi kaget. Mungkin lain kali aku harus menghentikan diriku yang selalu begadang.
Aku menghela napas kasar sebelum kembali berjalan cepat menuju kelas yang tak jauh dari tempatku berada. Baru aku akan tersenyum lega, seseorang tiba-tiba keluar dari kelas. Dari yang kulihat itu adalah Rio-san kemudian tak lama Shinso-san keluar menuju ke arah Rio-san.
Kurasa ini tak baik. Aku yang sebelumnya terhenti kembali melanjutkan langkah dengan terburu-buru, takut hal-hal yang tak diinginkan akan terjadi pada mereka. Terutama Shinso-san, aku tak pernah melihatnya menatap seseorang seperti itu.
"Ada apa ini?" aku segera membuat diriku disadari mereka sembari mendekat, mereka berdua menoleh padaku dan ternyata teman-teman yang lain juga melihat mereka tapi tidak melakukan apapun selian menontonnya. Sangat mengecewakan!
Rio-san terlihat lega saat aku mendekat dan segera menampilkan senyum tipis. "Ada apa?" kataku menatap Shinso dan Rio-san bergantian, meminta penjelasan.
Selang beberapa waktu tapi, sama sekali tak ada yang angkat bicara. "Sh-"
"Dia yang memulainya?" Rio- san tiba-tiba menyela ucapanku, membuatku menoleh pada Shinso-san dengan tatapan tak percaya, sementara yang kutatap hanya menampakkan wajah datarnya tapi, aku merasakan sesuatu darinya.
"Shinso-san?" ingin aku bertanya lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi tapi, mungkin lebih baik menghentikan semuanya disini sebelum membesar.
Aku menghela napas berat. Ini masih pagi dan mereka sudah membuatku berpikir keras. "Baikla-"
Apa?! Dari sisi mataku aku bisa melihat gerakan slowmotion tangan Shinso-san yang akan kembali menghantamkan tinjunya ke Rio-san. Tanpa pikir panjang, aku segera mengulurkan tanganku, berusaha menghentikan tangannya, sayangnya tanganku terlambat sepersekian detik.
Ittai! Saat itu juga aku bisa mendengar suara tulang yang bergeser dari tempatnya dan rasa sakit segera merambat menuju lengan kemudian keseluruh tubuhku, rintihanpun tak dapat aku tahan lagi.
Dengan mata berair aku menatap Shinso-san yang terlihat sangat kaget, membuatku merasa bersalah karna menjadi lemah hanya karna rasa sakit kecil ini.
"(y/n)-san!" kata Rio-san dengan cemas sebelum akhirnya menatap Shinso-san dengan tatapan menyalahkan.
Baru saat ringisanku terdengar, semua murid mendekat dan mulai membanjiriku dengan bantuan, bahkan beberapa memandang sinis pada Shinso-san.
Aku sadar saat ini Shinso-san berada dalam sisi yang sangat dirugikan. Ingin rasanya aku mengatakan jika aku tak apa tapi, sayangnya bibirku hanya menyuarakan rintihan yang membuatnya terlihat makin terpojok.
Aku sangat merasa tidak enak padanya, aku seakan membuat dirinya menjadi penjahat. Aku menatapnya dengan mataku yang tak jelas lagi karena terhalang air mata, dia yang melihatnya terlihat terkejut dan segera meninggalkan tempatnya, pergi menjauh dari semua orang. Aku sangat jahat karena membuat dirinya terlihat seperti seorang penjahat.
_____
Monoma Neito
"I am a weak person but, I deserve this glory because of my effort."
Pagi ini harusnya cerah dan damai. Harusnya, harusnya. Nyatanya pagi ini tak sedamai yang aku harapkan saat Monoma-san kembali menghalang langkahku menuju kelas.
"Mau apa?" kataku jengah dengannya yang selalu melakukan hal-hal yang sangat kekanakan dan bodohnya, aku selalu meladeninya! "kembali mengatakan kelas 1A tidak berguna?"
Dia menatapku dengan tatapan anehnya lagi. "Kenapa?" kembali mempertanyakan pertanyaanku. "kau tidak sadar?"
Duh, aku tidak ada waktu untuk meladeninya, ada tugas yang harus aku salin! Aku menatapnya sekilas sebelum melangkah.
"Kita belum selesai!" dan menghalangi jalanku. Oke ini mulai menyebalkan. Aku menatapnya nyalang.
"Kau mau apa lagi?" kataku geram. "jika kau ingin mengatakan hal-hal seperti itu terserah padamu. Aku tak perduli." Lanjutku sedikit mendekat padanya, menekankan setiap kata-kataku. "tapi yang harus kau tahu, kelasku lebih memiliki potensi besar daripada kau yang hanya mengcopy Quirk seseorang dan membanggakannya!"
Aku melihat dia terdiam. Sekali-kali mungkin kata-kata menyakitkan memang harus terucap agar dia tahu dimana tempatnya.
"Lalu kau pikir kau memiliki potensi yang kau banggakan itu?" aku menghentikan langkahku dan berbalik padanya yang sudah menatapku tak kalah nyalang. Aku sadar aku telah melakukan hal salah tapi, sayangnya aku tidak merasa bersalah.
"Tentu saj-"
"Quirk yang kau dapat sebagai warisan dan kau membanggakan potensi warisan keluarga itu?" eh? Dia barusan bilang apa? Aku terdiam menatapnya dengan tatapan tak percaya. "terdiam? Baru sadar jika kau tak memiliki potensi yang kau banggakan itu?"
Kenapa dia mengatakan itu? Bukankah itu kelewatan? Dia bahkan tak tahu usahaku agar menjadi diriku yang sekarang dan dia mengatakan jika ini warisan keluarga?
"Kau. Sebaiknya kau berkaca sebelum mengatakan sesuatu." nada suaraku menurun, ada pahit yang tertelan saat kudengar tawanya menggema, membuat darahku seakan mendidih. "potensi besar yang kau miliki juga tidak pantas kau benggakan, (f/n)!"
Wajahku mulai memanas. Aku merasakan gejolak hebat di dadaku, tidak terima dan merasa dipermalukan! "Kau bahkan tidak tahu apa yang sudah aku lalui untuk sampai disini!" dia terdiam dan tanpa aku sadari air mata sudah jatuh meluncur dipipiku. "quirk ini memang warisan tapi, aku ini lemah! Jadi aku terus memaksa tubuhku untuk terus berusaha sampai aku bisa berada di sini!" lanjutku tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhatikan kami. "kau bahkan tak tahu berapa banyak luka yang sudah aku dapat. Jadi tak pantas kau mengatakan hal sekeji itu!"
Aku benar-benar kesal sekarang! Aku segera menyeka air mataku dan berbalik meninggalkannya yang masih menatapku dengan tatapan terkejutnya, atau mungkin tatapan meremehkan yang sangat kubenci.
***
11 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro