Angsty P.1
Midoriya Izuku
"This world will change and so will I."
Pagi ini aku berjalan dengan kepala tertunduk, earphone terpasang ditelingaku dan melangkah cepat. Setiap orang yang menyapa hanya kujawab dengan anggukan kepala.
Sialan! Aku mulai mengambil jalur yang lebih panjang tapi, lebih sedikit orang yang melewatinya. Kurasa setiap orang hanya membuatku semakin emosi.
"(F/n)-san...?" aku menghentikan langkah. Sadar suara milik siapa itu, aku segera menghembuskan napas. "ohayou!" katanya saat aku berbalik dengan senyum yang kurasa sangat hambar.
"Ohayou, Midoriya-san." Kemudian kembali berbalik ingin melanjutkan langkah, kurasa tidak akan menjadi hal yang baik jika aku terus berada di sini. "aku ke kelas dulu."
"Tunggu, (f/n)-san!" lagi-lagi aku menghentikan langkahku dan menoleh sedikit. "kau ada masalah?"
Apa wajahku menggambarkanya sejelas itu? Aku segera menggeleng. Terkadang aku benci dengan orang yang terlalu peka sepertinya "Tidak." Kataku kembali berjalan. Ayolah, Midoriya-san, biarkan aku ke kelas! "aku hanya kurang tidur."
"(F/n)-san," kali ini tangan Midoriya-san mencengkram pergelangan tanganku, tak membiarkanku pergi begitu saja. Sebegitu naifnya kah kau, Midoriya-san? "Aku siap mendengarkan semua ceritamu."
Mendengar cerita? Memangnya hanya dengan itu akan menyelesaikan masalah? Dia pikir dirinya All Migh? Aku memutar mataku, jengah.
"Sudah cukup, Midoriya-san..." ucapku pelan dengan nada kesal. Aku tidak sungguh membencimu. Aku menutup mataku sejenak. Hanya saja kau datang disaat yang tidak tepat.
"Paling tidak kau sudah mengatakannya, maka semua bisa jadi lebih-"
"Midoriya-san!" potongku dengan nada tinggi, bisa kurasa dari tangannya yang masih mencengkarmku mengerat. "jangan berpikir semua masalah bisa kau selesaikan," kataku menatapnya dengan tatapan rumit yang bahkan aku sendiri tak mengerti. "tidak semua masalah hanya memiliki satu jawaban dan hanya dengan bercerita padamu tak akan membuat masalahku membaik, kumohon jangan melewati batas."
Aku sudah tak peduli lagi pada orang-orang yang menatapku aneh, aku hanya ingin meluruskan ini semua, tidak semua hal itu baik! "Aku tak bisa terus menjadi anak kecil!" aku tak tahu lagi raut seperti apa yang yang tengah ditampilkan Midoriya-san saat ini. "dunia ini sudah berubah! Dan akupun harus berubah."
Terserah apa yang akan dia pikirkan, aku sudah muak menjadi anak baik! Aku langsung menatap tanganku yang masih dicengkramnya dan melepaskannya perlahan sebelum menarik padanganku darinya. "Permisi." Dan segera meningalkannya yang terdiam. Aku yakin dia pasti membenciku sekarang.
_____
Bakugo Katsuki
"Just let me go!"
Aku melangkah dengan cepat melewati banyak orang yang entah bagaimana terasa seperti tengah menghakimiku. Aku benci hal seperti ini. Dengan menunduk aku mempercepat langkah dan berharap segera sampai di atap.
Aku nyaris tak melihat jalan didepanku dan hanya melihat kakiku yang terus kupacu melalui jalan yang sudah familiar diingatanku.
"Maaf," ucapku pelan saat tanpa sengaja pundakku menabrak seseorang dan kembali melanjutkan langkah. Namun sialnya seorang itu tidak melepaskanku dan menahan pergelangan tanganku. "le-lepaskan." sembari berusaha melepas cengkraman orang itu.
"Kau kira dengan meminta maaf semua bisa selesai, ha?!" aku kenal suara ini! "senpai!" aku menoleh dan menemukan Bakugo dengan wajahnya yang selalu terlihat kesal.
Aku merasa semua mata menatapku, aku harus segara pergi!. "Le-lepaskan aku, Bakugo." kataku pelan dengan masih mencoba melepas cengkramannya yang makin erat.
"Setelah kakimu mungkin harusnya kini giliran tanganmu yang hancur." Karena ucapannya gerakanku segera terhenti. Aku tahu dia memang sekasar itu, tapi entah kenapa ucapannya membuatku ingin menangis. "Apa bibirmu hanya bisa berucap kasar?"
"Hah?! Apa katamu?!" Matanya makin terlihat bengis.
"Lepas dan biarkan aku pergi, ini bukan saat yang tepat untuk memamerkan kekuatanmu." kataku semakin pelan menutupi suara serakku dan mata yang mulai memanas.
"Aku tak memamerkannya, tapi aku sedang mengatakan cara meminta maaf yang benar."
"Lepas sekarang."
Aku mendengar langkah orang-orang disekitar tapi, aku merasa tatapan mereka mengarah tepat padaku. "Tidak akan!" kata Bakugo dengan tangannya yang kosong membuat percikan api. Kumohon, aku tak ingin bersembunyi dari tatapan mengerikan ini!
"Le-lepaskan aku, Bakugo." Kataku dengan nada bergetar, aku tak bisa lagi menahan semua. Dadaku mulai sesak dan napasku mulai pendek.
"Ha? Ka-"
"Lepaskan aku, Bakugo!" pekikku tertahan dan menatapnya dengan air mata yang lolos dari pertahananku. "kumohon, lepaskan aku, hiks."
"Aku..." cengkramannya mulai mengendur, memberiku ruang untuk pergi dari sana dan segera berlari menaiki tangga menuju atap. Aku benci tatapan itu!
_____
Todoroki Shouto
"What did i just say?"
Siang ini aku merasa ada yang salah denganku, aku merasa jika hari ini aku sudah mengatakan kata-kata yang seharusnya tak aku ucapkan tapi, aku tak tahu bagian mana yang salah. Hanya imajinasiku?
Oh! "Todoroki-san!" segera aku berjalan menuju Todoroki-san yang sedang berjalan tak jauh didepanku. Perlahan dia menoleh, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum.
"(f/n)-san?" katanya dengan raut wajah seperti biasanya tapi, aku merasa sesuatu yang berbeda darinya. Hanya imajinasiku!
Aku terkekeh ringan. "Untuk yang kemarin," kataku seketika membuatku teringat saat Todoroki-san membantuku. "terimakasih."
Todoroki-san mengangguk dan kembali berjalan dengan aku yang mengikutinya di samping. "Oh, ya." Kataku kembali membuka percakapan. "aku dengar kau memiliki Quirk es dan api," lanjutku dengan menatap kedepan. Aku merasa sudah cukup dekat dengannya untuk sekedar berbicara santai dengannya seperti ini.
"kenapa saat itu kau tidak menggunakan Quirk apimu?"
Eh? "Kurasa jika kau menggunakan quirk apimu serangan esku akan segara mencair." Aku menatap Todoroki-san tapi, kenapa raut wajahnya terlihat berbeda. "seperti saat itu," lanjutku kembali teringat saat itu dan tanpa sadar terkekeh. "tapi pasti aku akan basah, ya?"
"Hentikan."
"Ya?" aku menoleh pada Todoroki-san yang sepertinya mengatakan sesuatu.
"Hentikan."
Eh? Apa aku salah bicara? "Aku-"
"Kau tak tahu diriku!" aku tahu jika kata-katanya terdengar biasa tapi, kenapa aku mendengar jika dia menyalahkanku? Aku sudah mengatakan apa?
"Aku hanya-"
"Aku kecewa padamu." Eh? Apa yang sudah aku katakan? Dadaku seketika sesak saat Todoroki-san berlalu dengan meninggalkan ucapan yang begitu tak terduga.
"Todoroki-san..." panggilku pelan. Aku telah mengacaukan semuanya?
_____
Kirishima Eijiro
"Aren't there any decent parents in this world?"
"(Y/n)-chan mau ke kantin?" Eru-chan membuatku menoleh padanya dan hanya menggeleng dengan lesu sebagai jawaban. Aku sedang tidak ingin beranjak dari bangkuku, mengambil keuntungan dari semua orang yang meninggalkan kelas.
Aku kembali memikirkan percakapanku dan kedua orang tuaku yang berubah menjadi pertengkaran. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, aku ingin menolak permintaan mereka tapi, aku yakin pasti aku akan kalah dengan mereka dalam masalah perdebatan. Ini bukan masalah cara berdebat tapi, cara mereka mendapatkan titik lemahku dan membuatku tak berkutik. Aku selalu benci itu!
"(F/n)-san!" seketika aku tersentak dan segera menoleh kearah suara. Kirishima-san? Mataku mengikutinya yang berjalan kearahku dan duduk di bangku didepan mejaku. "tidak kekantin?" katanya dengan senyum khasnya.
Aku menggeleng dan tersenyum getir. "Aku sedang tidak mood." Aku berusaha menaikkan moodku, aku tak bisa melampiaskan ini pada siapapun.
"Ada apa?" tanya Kirishima-san dengan wajah khawatirnya. Aku menundukkan kepalaku, menghindar dari tatapannya.
"Aku..." aku berusaha menekan rasa jengkelku saat mengingat masalah itu. "bertengkar dengan orang tuaku." Aku merasakan jika Kirishima- san menatapku intes. "mereka tidak setuju jika aku masuk ke akademi U.A."
"Eh?" aku menatapnya dan menemukan raut kebingungan di wajahnya. "kau sudah diterima disini dan mereka tidak setuju?"
Aku mengangguk nyaris dengan mata merah menahan amarah . "Sebenarnya mereka memang tidak setuju dengan pilihanku tapi, aku berhasil meyakinkan mereka." Jelasku menceritakan garis besar padanya. "mereka tahu kejadian di USJ waktu itu dan mereka memintaku mengurungkan niat menjadi Hero."
Kirishima tersenyum lembut. "Mereka hanya khawatir," katanya lembut. Khawatir? Kenapa aku tak yakin dengan pemikiran yang selalu berbaik sangka ini? "kau hanya perlu mengatakan pada mereka apa yang kau rasakan."
Perkatannya yang seakan menggampangkan sesuatu, membuatku terdiam. Aku tahu jika dia seseorang yang sangat optimis tapi, bukankah ini sudah kelewatan? Menyamakan semua orang tua dalam satu garis bukanlah hal yang benar! "Aku yakin mereka akan paham."
"Itu tak semudah itu, Kirishima-san." Kataku menyanggah kata-katanya, ini tidak semudah yang dia pikirkan, ini lebih rumit! Orang tuaku tidak seperti orang tua lain yang akan mendengarkan perkataanku dengan mudah.
"Kau pasti bisa," katanya dengan senyum yang entah mengapa membuatku kesal. "aku yakin kau pasti bisa!"
Tanpa dapat aku tahan, air mata segera jatuh ke pipiku. Aku ingin sekali menjerit dan mengeluarkan semua amarahku tapi, sialnya air mata menggantikan mereka. Dengan padangan kabur, aku bisa melihat Kirishima-san yang terlihat bingung. "Ini tak semudah yang kau pikirkan, Kirishima-san!" kataku dengan tatapan keras dan suara parau. "Aku masuk ke sekolah ini saja perlu usaha keras meyakinkan mereka. Dan sekarang mereka memintaku untuk pindah. Kau tau apa artinya bukan?"
"Setiap orang tua pasti ingin anaknya bahagia..." katanya terlihat mulai tidak nyaman. Aku tahu dia ingin aku mengerti tentang perasaan orang tua tapi, itu orang tuanya, bukan orang tuaku.
Mungkin dia merasa aku terlalu berlebihan tapi, aku tak bisa menghentikannya! Aku ingin dia paham apa yang kurasakan dan paling tidak mengerti kesulitanku tapi, tidak menggampangkannya! Ini... membuatku kesal!
"Aku bukan kau, aku tidak sekuat dirimu. Kita berbeda!" sesekali aku menyeka air mataku dengan kasar tapi, mereka malah semakin gencar jatuh dari pelupuk mataku.
"kau-" ingin aku mengatakan semua yang kini ada dipikiranku tapi, saat aku melihat pandangan Kirishima-san yang menatapku dengan tatapan bersalah.
Aku sudah benar-benar kelewatan? Aku bahkan mungkin melukai hatinya. Aku selalu diriku yang seperti ini! "ugh-" aku segera menghempaskan semua kata yang sudah aku susun dengan rapih dan beranjak pergi meninggalkannya sendirian di kelas
Kaminari Denki
"you don't know me"
Suara brukk keras dan rasa sakit seketika datang. Dadaku sakit, hantaman serangan dari lawanku lumayan membuatku menunduk. Kupandangi sekitar, jarak pandangku memendek, efeknya mulai terasa. Tenggorokanku seakan mengamini dan tak ingin mengeluarkan kata apapun.
Aku tak selemah ini. Kakiku tak selemah ini. Aku kuat! Aku-kenapa bisa aku lupa?! Aku tak sendirian. Ada Ibu yang harus aku perjuangkan, beliau memercayakan semuanya padaku. Aku tak akan kalah.
"(F/n)-chan?! Daijoubu?!" Suara-suara saling memanggilku, bendera itu sudah dekat, aku tak akan membiarkan serangan air lain menyumbat pernafasanku lagi. Aku menoleh dan menemukan, Jirou-san yang memandangku dengan tatapan.
"Aku baik saja, aku bisa mengatasi ini." Entah kenapa aku tak suka sikap Jirou-san yang mengasihaniku begini. Seakan mereka tak percaya kekuatanku
"Jangan ceroboh (f/n)," suara Kaminari-san memasuki pendengaraku, membuatku menoleh dan menemukanya yang penuh dengan luka. "kau bisa saja terluka, kemampuan lawan juga diatasmu!" Suara Kaminari-san membuatku muak.
Kupandangi wajahnya yang penuh luka, entah kenapa ucapannya membuatku muak. Dia meremehkanku?! Gigiku bergemeletuk. "Aku bisa menanganinya." Desisku lirih.
Beberapa burung origami terbang mengelilingiku, begitu banyak. Aku tak bisa kalah disini! Aku memfokuskan pandanganku pada lawan yang sudah siap dengan baja ditubuhnya mengabaikan yang lain.
Aku harus fokus dan pasti akan memenangkan ini, apapun resikonya! Pertama-tama singkirkan lapisan bajanya dan kemudian air yang mengelilinginya akan melemah.
"(F/n)!" Aku mendengar jeritan Jirou-san, tapi aku tak memperdulikannya dan melanjutkan serangan, menembus pertahanan lawan dengan origamiku.
Aku melompat cukup tinggi, hanya untuk menyerang belakang kepala lawanku, dan mengambil benderanya.
Brrukk. Saat aku terduduk dan berhasil mengambil bendera, saat itulah tubuh Jirou-san yang terselimuti darah menyeruak pandangan. Bibirku gemetar, ini tak benar! Aku coba mendekat tapi, belum sampai tanganku menggapai Jirou-san, aku sudah terdorong menjauh saat aku menoleh aku mendapati Kaminari-san yang menatapku seakan aku penjahat.
"Lihat apa akibatnya sekarang!" Pandangannya terlihat bengis. tapi itu semua bukan salahku, kalau saja Jirou-san tak menghalau serangan burungku, mungkin dia tak akan terluka kan?
"Tapi Jirou-san yang menghalangiku." Elakku.
"Pikir menggunakan otak origamimu itu, Kau nyaris membunuhnya, kau tahu!" Apa katanya? Otak orogami?! "Kalau saja serangan listrikku terlambat menahan serangan lawan, bukan hanya kau, Jirou-san pun akan terkena imbasnya!"
"Otak origami? Aku hanya memilih kemenangan, apa itu salah?" Ini bukan salahku! Aku hanya ingin merebut kemenangan dan tak ingin melukai siapapun. Jirou-san terluka juga akibat dirinya sendiri.
"Kau tahu, itu cara rendahan." Seketika aku terdiam. Cara rendahan? Dadaku terasa sesak mendengarnya. Aku mempelajari teknik ini dengan semua luka gores pada jariku, dengan semua kertas yang kubuat sekuat mungkin, cara rendahan? Semudah itu dia mengatakan hal itu?
"Kau diam? Ambisimu seperti iblis, (f/n). Aku tak percaya kau bisa melakukan hal seperti ini."
Plak. Tanganku bergerak sendiri, aku hanya tahu, wajah Kaminari-san cukup untuk menjelaskan serendah apa manusia sepertiku ini. Bening netranya yang tersamarkan amarah memandang dengan wajah merendahkan. Aku hanya kembali menjadi pecundang yang sama, dengan taktik baru yang tak pernah mengubah label pengacau didalam diriku.
***
11 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro