3
→• ✿ •←
⚠️
Sedikit kata tidak baku
Out Of Character
→• ✿ •←
Hari Minggu. Hari yang tepat untuk tidur seharian di kamar.
Namun lagi-lagi suara ketukan pintu terdengar di telinga (Name) yang masih tertidur lelap.
Untuk kedua kalinya gadis itu membuka mata, menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke matanya dan berjalan untuk membuka pintu tersebut.
Seseorang yang sudah dianggap seperti orang tua kandungnya berdiri di hadapannya.
"Ada apa Bapa?"
"Maaf membangunkanmu, (Name), bisa kau temani Val? Bapa mau membelikannya obat demam sebentar."
"Loh? Val demam?" tanya (Name) yang masih setengah sadar.
Beberapa detik kemudian netra itu menatap bingung.
Hah?
Memangnya iblis bisa sakit?
"Iya, mungkin karena kemarin kehujanan."
"Aku saja yang beli obatnya, Bapa temani Val saja."
"Kau yakin? Ini masih gelap loh."
Tangan (Name) mengambil cardigan yang biasa ia pakai. "Iya! Sekalian cari angin."
Bapa Gregory mengusap lembut surai (h/c) milik (Name) dan mengangguk pelan. "Maaf merepotkanmu."
"Tidak sama sekali, aku pergi dulu!"
(Name) sudah melenggang pergi setelah berpamitan. Begitu keluar pandangannya hanya bisa memandang sekitar yang masih gelap.
Dalam jalannya ia mendongak, menatap bulan sabit yang masih berada di angkasa dengan berbinar.
Brak!
"Ma-maaf!"
"Kalau jalan itu pake mata!"
Ya gak usah teriak-teriak??
(Name) yang masih jatuh terduduk pun ikut tersulut emosi. Perempatan imajiner muncul di pelipisnya.
"Aku sudah minta maaf! Lagian jalan itu pake kaki, orang mana jalan pake mata?!"
"Ngeselin banget sih? Kalau kamu adikku udah kubuang."
"Lagian orang mana yang mau jadi adikmu? Kalau aku adikmu, tanpa disuruh pun aku sudah minggat!"
(Name) mendongak untuk menatap wajah pemuda itu.
Senyap.
Netranya melebar.
Semua emosi yang menumpuk seketika hilang tatkala melihat netra merah dan surai abu-abu yang dimiliki oleh orang di hadapannya.
Orias?
Sumpah demi apa?
Pemuda itu merasa kesal ketika (Name) menatapnya sembari melamun. Ia langsung pergi meninggalkan (Name) yang tidak berniat untuk mengembalikan kewarasannya.
Beberapa saat kemudian gadis itu tersadar. Ia berdiri dan kembali berjalan sembari mencibir salah satu karakter tadi.
"Salah siapa emosian? Aku juga sudah bilang maaf dengan sepenuh hati," gumamnya menahan kesal.
(Name) menatap lega saat bangunan apotek 24 jam muncul di pandangannya. Langkah dipercepat, ia mengeluarkan sejumlah uang yang sudah dipersiapkan dari rumah.
Namun lagi-lagi ia menabrak seseorang.
Bukan.
Bukan (Name) yang menabrak, melainkan pemuda bersurai hitam.
(Name) mengerutkan keningnya ketika merasa pemuda itu tampak familiar.
Yang tadi pagi?
"Maaf, aku tidak melihatmu."
"Hah? Oh, ngga apa-apa," balas (Name) menggeleng cepat.
Angin yang terasa menusuk kulit membuatnya teringat dengan tujuannya. Ia melangkah meninggalkan pemuda itu, namun matanya melihat sesuatu yang digenggam olehnya.
Obat tidur?
(Name) melenggang masuk ke dalam apotek dan menyerahkan uang yang ia bawa.
Bukan urusanku juga.
"Paracetamol satu ya kak."
"Yang kapsul, tablet apa sirup?"
"Sirup, sama sekalian plester penurun panasnya dua."
"Oke, sebentar ya."
Jika kalian pikir plester penurun panas itu untuk Val, kalian salah besar. Hobi (Name) adalah mencoba barang-barang baru yang tidak dibutuhkan.
"Uangnya pas ya, terima kasih."
(Name) mengambil sekantung plastik berisi obat yang ia beli. "Iya, sama-sama."
→• ✧ •←
"Heh? Lihat siapa yang sakit?" (Name) tersenyum miring menatap pemuda bersurai pirang yang terbaring demam di atas kasur.
Plastik yang berisi obat ditaruh diatas meja, (Name) meletakkan punggung tangannya ke dahi Val.
Panas, kayak simulasi neraka.
"Bapa ke mana?"
"Ke kapel ...."
Jam yang masih menunjukkan jam 5 pagi membuat (Name) menutup mulutnya yang terus menguap karena kantuk.
Setelah sadar, gadis itu menatap kertas yang ada di atas meja, tertindih oleh obat yang baru ia letakkan.
"Kamu ini ya, padahal aku berniat tidur seharian," ucap (Name) menghela napas tatkala melihat isi pesan Bapa yang memintanya menjaga Val.
"Maaf, (Name)."
Duh. Bagaimana bisa ia marah saat Val berkata dengan suara parau serta wajah memelas.
Meski setahun berlalu, (Name) masih tidak kuat menghadapi semua keimutan yang kadang muncul.
"Mau makan apa?"
"... (Name)?"
"Hah? Aku bilang kamu mau makan apa, Val?"
"Ngga mau."
"Aku ngga masalah kalau kamu ngga mau, tapi nanti aku yang dimarahi Bapa."
"Aku bawakan makanan sebentar," putus (Name) berjalan keluar.
Gadis bersurai (h/c) itu kembali dengan sepiring makanan dan segelas air. Karena penasaran ia juga membawa termometer yang ditemukan di dapur.
Ingin rasanya ia memasukkan benda itu ke mulutnya karena penasaran, tapi melihat siapa yang butuh ia mengurungkan niatnya.
"Coba Val! Bilang aa~"
"Aa-"
(Name) menaikkan alisnya ketika angka 39°C muncul di alat pengukur panas itu.
"Wow, ini mah harus di bawa ke rumah sakit."
Lagian sejak kapan iblis sakit?
Tapi aku pernah liat Val pilek di ceritanya sih ....
Pemuda itu hanya menatap (Name) dalam diam. Tangannya meraih tangan (Name) yang masih membawa termometer.
"Dingin."
(Name) menatap bingung, "Mhm? Terus mau bagaimana?"
"Mau pakai itu ...." Val menunjuk lemah kearah (Name).
Setelah dilihat lagi Val bukan menunjuk (Name), tapi kardigan yang biasa dipakainya.
Mengetahui hal tersebut gadis bersurai (h/c) itu melepas cardigannya dan menyuruh Val duduk untuk memakaikannya.
"Ayo makan dulu."
Tangan (Name) beralih untuk menjulurkan sesendok makanan. Val sontak mengalihkan kepalanya saat melihat makanan itu.
"Makan."
"Ngga mau, pahit."
"Lihat aku biar manis."
"Bercanda, buka mulutnya."
"Ngga mau."
"Makan atau aku minggat dari rumah ini?"
Sebenarnya (Name) cuma asal bilang seperti itu. Niatnya bercanda, tapi dia speechless ketika Val menurut dan memakan makanan yang ia beri.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, (Name) kembali memasukkan sesendok makanan ke mulut Val yang anehnya sekarang menurut.
Bahkan ketika diberi obat, Val meminumnya tanpa ragu.
"... tadi katanya ngga mau makan, pahit?"
"Kalau ngga makan nanti kamu pergi ...."
Ngomongnya ngelantur banget????
"Sana tidur biar cepat sembuh, aku juga mau lanjut tidur."
"Tidur di sini saja, di sampingku," gumam Val menepuk pelan tempat tidurnya.
Tidak ada jawaban yang keluar. Burung-burung berkicau mengisi keheningan yang berada di antara keduanya, membuat suasana menjadi ramai.
(Name) yang masih diam menunjuk Val. "Kamu sudah gila ya Val?"
"Kamu ngga mau nemenin aku?" Val menggenggam pergelangan tangan (Name) sembari mengeluarkan ekspresi sedih.
Dengan perasaan yang sedikit aneh (Name) menyamakan tubuhnya dengan Val, mengalihkan surai pirang yang berada di keningnya dan kembali mengecek suhunya.
Masih panas. Tapi sepertinya sedikit turun karena obat yang dikonsumsi. Dengan lembut (Name) mengusap surai pirang Val, berharap pemuda itu mendapatkan kenyamanan.
"Ngomongmu mulai ngelantur, nanti aku balik kok."
"Janji?"
Tangan (Name) mengusap air mata yang keluar di mata Val. "Iya, bawel."
Kayak bocil, lucu banget.
→• ✧ •←
"(Name)?" Suara pria dewasa terdengar di kamar Val.
Mata menelisik ruangan yang menampakkan pemuda bersurai pirang yang tertidur pulas dengan plester kompres. Di meja sampingnya, seorang gadis juga tertidur pulas dengan plester kompres yang sama.
Bapa Gregory terkekeh dan mendekati keduanya yang sudah dianggap layaknya anak kandung.
"Kuharap kalian tidak cepat tumbuh dewasa."
Usapan lembut diberikan di surai (h/c) yang tergerai bebas, sesekali mengalun lembut senada dengan angin yang masuk melewati celah-celah jendela.
Beberapa saat kemudian sebuah lenguhan terdengar di bibir ranum (Name). Matanya terbuka perlahan.
"Bapa? Duh maaf ... (Name) malah ketiduran di sini."
"Terima kasih sudah menemani Val, tapi kenapa kamu juga pakai plesternya?"
"Eh? Oh ini ...?" (Name) menunjuk benda yang menempel di keningnya.
"Awalnya (Name) beli dua tuh buat dipakai sendiri, penasaran soalnya," jelasnya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tapi pas mau make katanya Val juga mau, jadinya kukasih Val satu deh."
Tawa kecil keluar tatkala raut tidak suka muncul di wajah (Name). Bapa Gregory mengecek suhu tubuh Val yang sudah mulai turun, meski sang empu masih tertidur pulas.
"Oh iya, tadi Val juga ngomongnya ngelantur banget, efek demam itu begitu ya Bapa?"
Bapa Gregory yang berada di tepi kasur Val kini berdiri di belakang (Name), merapikan surai (h/c) yang tampak berantakan dengan jari-jari tangannya.
(Name) yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam, merasa nyaman.
"Dulu waktu (Name) demam bahkan sampai mau berenang di bak, katanya ikan harus ada di dalam air."
(Name) yang mendengarnya menoleh ke belakang karena kaget.
"Asli?"
Yang ditanya hanya mengangguk dengan senyum yang tersungging.
"Memalukan juga ya ...."
"Padahal aku kucing baik ... memangnya ada orang yang mau pukul aku?"
Gadis bersurai (h/c) itu menoleh, diikuti oleh Bapa Gregory yang menatap Val.
"Val jadi kucing tuh Bapa."
"Haha, anak-anak Bapa aneh semua ya?"
Tidak salah sih, tapi tidak benar juga.
Keduanya menatap Val yang mulai membuka matanya perlahan.
"Sudah merasa baikan?"
"... sedikit." Suara paraunya masih terdengar jelas. (Name) memberikan segelas air hangat yang ia bawa sebelum tertidur di kamar itu.
"Kamu ingat ngga yang kamu omongin tadi?"
"Hm? Ngomong apa?"
Bapa Gregory dan (Name) bertatapan selama beberapa detik, hingga suara tawa memenuhi kamar yang kini terasa hangat. Val hanya menatap bingung, masih merasakan pusing di kepalanya apalagi menatap dua sosok di hadapannya yang tertawa bersama.
Tanpa sadar ia juga ikut menyunggingkan senyum tipis, meski tidak tahu topik apa yang sedang dibahas.
Di sisi lain, kamar (Name) yang kini sepi dipecahkan oleh sebuah suara yang muncul.
Layar ponsel yang hitam hidup bersamaan dengan suara tersebut, menampilkan lockscreen berwarna dengan sebuah pesan.
+62xxx-xxxx-xxxx
save ya, (Name) (Surname)
ೃ⁀➷ to be continued ೄྀ࿐ ˊˎ-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro