2
→• ✿ •←
⚠️
Sedikit kata tidak baku
Out Of Character
→• ✿ •←
Netra (e/c) terbuka perlahan tatkala ketukan tak beraturan terdengar dari luar pintu kamarnya.
"Ayo jalan-jalan!" teriak seseorang.
Gadis itu melangkah gontai dan membuka pintu, memandang Val dengan tatapan yang seakan mau menutup matanya kembali.
"Ini jam berapa?"
"Jam lima!"
(Name) melebarkan matanya. "Kau mengajakku pagi-pagi begini untuk jalan-jalan?"
"Kau tidak mau?"
"Sebentar, aku akan bersiap." Senyuman terlukis riang di bibir ranum Val yang berusia 14 tahun.
Sudah satu tahun berlalu sejak kehidupan (Name) berubah drastis. Memikirkannya terlalu serius hanya akan membuatnya stres, meski nyatanya ia sudah stres.
"Bapa, kami pergi dulu ya!" Val menarik pergelangan tangan (Name) dan keluar rumah.
Dua sepeda yang berjejer keduanya gunakan untuk mulai berkeliling, menikmati suasana pagi sembari menunggu matahari terbit.
Netra (Name) memandang sekitar dengan tatapan kantuk sembari sesekali menutupi mulutnya yang terus menguap.
"Tumben sekali mengajakku keluar?" ucapnya pada Val yang berada di depan, mengayuh pelan sepeda yang ia bawa.
Pemuda itu melirik sekilas ke belakang dan tersenyum. "Kau kan suka matahari terbit, apa aku salah?"
"Mhm ... benar, sih."
Diam-diam (Name) menatap sendu. Semua yang ia sukai dan semua yang ia benci. Val tahu hampir semuanya.
Gadis itu takut.
Perasaan yang awalnya muncul hanya sebagai rasa 'suka' kepada 'karakter fiksi' akan berubah menjadi rasa 'suka' kearah yang lain.
Surai (h/c) yang terkena angin pagi tampak mengalun lembut. Rasa ini.
(Name) menyukainya hingga tanpa sadar tersenyum tipis menatap matahari yang mulai menampakkan dirinya di sebelah timur.
Val yang kini berada di sebelahnya tertawa kecil memandang (Name). Ia mempercepat kayuhannya meninggalkan sang gadis yang masih menikmati suasana.
Jika matahari mulai naik, orang-orang akan memulai aktivitasnya dan keadaan akan menjadi ramai. (Name) lebih menyukai hal-hal yang menenangkan, seperti saat ini.
Sepeda yang dipakai berhenti dikayuh. Netranya memandang Val yang sudah melambai-lambaikan tangan kepadanya.
(Name) mencibir pelan. Bisa-bisanya ia ditinggal sendirian oleh pemuda itu.
Yah, meski ini juga salahnya karena tidak terlalu memperhatikan.
Jam menunjukkan pukul 5 lebih, saat-saat cahaya matahari memunculkan dirinya untuk pertama kali di langit.
Hal itu bisa tampak lebih jelas di sini, di bukit tempat Val dan (Name) biasa pergi untuk sekedar bermain.
Mungkin bermain terdengar kekanak-kanakan di umur mereka yang telah menginjak 14 tahun.
Tapi 14 tahun adalah masa-masa seorang remaja masih memiliki sikap kekanak-kanakan.
(Name) menerima uluran tangan Val dari atas pohon.
Jika menginginkan sesuatu yang indah, memanjat pohon bukanlah hal yang besar.
Pijakan yang (Name) pijak terasa licin hingga membuatnya hampir jatuh. Namun genggaman Val juga menguat, keduanya tertawa bersama ketika sudah berada di atas pohon.
"Kau tidak pakai jaket?"
Val mengusap lehernya ketika baru menyadari baju yang ia pakai hanyalah kaus berlengan pendek. "Aku lupa."
(Name) melepas cardigan yang ia pakai dan menyampirkannya pada bahu Val.
"Pakai aja, aku pakai baju lengan panjang."
Val menurut. Badan mereka tidak jauh berbeda dan cardigan itu terasa pas di tubuh Val.
Setelah dipakai, aroma bunga lily menyeruak masuk di indra penciuman Val.
"Ini penuh wangimu," gumam Val dengan senyum tipis yang terukir.
(Name) memiringkan kepalanya bingung. "Yakan itu cardigan-ku?"
"Iya, wanginya enak."
Gadis itu tertawa kecil dan mengalihkan fokusnya pada langit yang mulai kemerah-merahan.
Hitung mundur dua tahun.
Ia bisa menikmati waktu damai ini bersama Val selama dua tahun lagi.
Mana bisa ia bersikap tenang. Belum kejadian saja pikirannya sudah bercabang ke mana-mana.
Bagaimana nasibnya, apakah dia terlibat, akankah dia selamat, di mana dia akan tinggal.
Dan tanpa sadar ia hanya melamun menatap sang mentari. Val yang bingung menepuk pelan bahu (Name). "Ada apa? Kau sakit?"
Gadis itu menggeleng, "Ngga, cuma lagi mikirin sesuatu."
"Serius banget? Ayo kembali, nanti terlambat sekolah."
(Name) mendesah kesal dan menyenderkan badannya pada pemuda di sebelahnya.
"Bolos aja yuk? Aku tiba-tiba sakit."
Val menempelkan punggung tangannya ke dahi si gadis, membuatnya otomatis menutup sebelah matanya.
"Kalau bohong nanti disukain iblis loh."
Kan kamu iblisnya, gimana sih?
Lagi-lagi (Name) menerima uluran tangan Val yang sudah berada di tanah lebih dulu.
Di perjalanan (Name) mengayuh sepedanya malas, berbeda dengan Val yang malah bersemangat.
"Pelan-pelan Val, cape."
"Ngga mau, aku mau pulang duluan biar ngga telat!" Dan dengan itu Val sudah hilang di belokan.
Gadis itu hanya menatap malas. Tenaganya sangat terbatas, mengayuh sepeda membutuhkan tenaga besar baginya yang remaja jompo.
Bukannya segera pulang, ia memilih beristirahat dan berhenti di minimarket untuk membeli minuman dan sebungkus roti.
"Susu stroberi paling enak," gumamnya sembari menyeruput susu kotak yang berada di genggamannya.
Sebungkus plastik berisi susu stroberi yang kedua dan roti ia selipkan di stang sepeda, kembali mengayuhnya santai.
Dan netranya menangkap sesuatu. (Name) berhenti, menatap seorang pemuda berseragam SMP terduduk diam di pinggir jalan.
Di pipinya terdapat luka memar, tangannya juga. (Name) menghampiri pemuda itu dan menyerahkan sekotak susu stroberi.
"Kau mau minum?" tawarnya.
"Aku bukan pengemis."
"Memang, tapi kayak gembel."
(Name) melempar susu tersebut yang ditangkap oleh sang pemuda dan kembali mengayuh sepedanya.
Masih setengah enam tapi dia udah rapi?
Anak ambis kali, tapi masa duduk di pinggir jalan, sih?
Seragam yang dipakai juga merupakan seragam laki-laki SMP (Name), dalaman putih dengan rompi berwarna krem. Tapi ia tidak pernah melihatnya sebelumnya.
"Loh? Cepat sekali?"
"Sana mandi, jika tidak kau kutinggal!" Val mendorong punggung (Name) yang baru masuk untuk segera ke kamar mandi.
Sang puan hanya menghela napas lelah, sejak kapan Val yang tampak pemalu jadi begini?
Meski sejujurnya (Name) suka dengan sikapnya yang tampak ceria.
Setelah semuanya siap, (Name) berpamitan dengan Bapa Gregory dan mulai berjalan ke sekolah.
Ponsel yang ia bawa menunjukkan pukul 6 lebih.
"Bukannya ini terlalu pagi?" ucap (Name) menatap Val.
Pemuda itu tampak cocok dengan seragamnya yang mempunyai rompi berwarna krem. Diam-diam gadis itu iri, karena seragam perempuan tidak diberi rompi, hanya seragam putih dengan warna rok yang sama dengan rompi Val.
"Pelan-pelan saja jalannya." (Name) mengangguk, masih berjalan sembari memainkan ponselnya.
Tak jarang Val menarik gadis itu saat ia hampir menyebrangi jalan tanpa melihat.
"Kau lihat apa sih serius begitu?"
(Name) menoleh, menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Val.
"Lihat layar putih sampai begitu?"
"Kau tidak akan paham," ucap (Name) kembali menarik ponselnya.
Di pandangan Val itu hanyalah layar putih biasa. Namun di netra (Name) berbeda.
Ia menatap setiap gambar yang ia gulir di sana. Gambar yang berisi keseluruhan cerita.
(Name) tidak perlu khawatir cerita ini akan bocor, karena itulah ia menunjukkannya secara terang-terangan.
Saat sampai di sekolah keduanya berpisah. Mereka satu sekolah, tapi berbeda kelas.
Val melambaikan tangannya sebelum berjalan di belokan koridor sekolah.
Manis.
(Name) tersenyum tipis menatap pemuda yang kini perlahan hilang dari pandangannya.
Jam setengah 7 pagi. Terlalu pagi untuk (Name) yang setahun lalu berangkat 2 menit sebelum bel masuk.
Pintu kelas ia buka. Kelas sepi memenuhi pandangannya. (Name) memutuskan untuk duduk di bangkunya dan tidur sembari menunggu bel masuk berbunyi.
"—me)."
"(Name)!"
"(Name) (Surname)!"
Yang dipanggil membuka matanya perlahan, menutupi mulutnya yang masih menguap.
"Kenapa Kar?"
"Bel masuk, bangun."
(Name) memutar bola matanya malas dan kembali menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. "Nanti kalau gurunya sudah datang."
Dan sedetik kemudian guru yang dimaksud memasuki kelas dengan senyum cerianya yang siap memberi tumpukan tugas-tugas.
Decakan pelan keluar dari bibir ranum (Name).
Dengan malas ia membuka buku matematika dan menggenggam pulpen hitam.
Hari itu adalah hari yang buruk di sekolah. Jadwal-jadwal mematikan yang tidak disukai (Name), semuanya keluar.
Matematika, IPS, olahraga sampai bahasa.
Beruntung pelajaran bahasa jam kosong. Kini netranya menatap luar jendela yang bersinar terang, tidak menghiraukan suasana kelas yang seperti pasar dan anak-anak yang sudah rusuh memainkan kertas-kertas.
Salah satu pesawat kertas menabrak mata (Name) yang membuatnya reflek menutup kedua matanya.
Matanya kembali terbuka, melirik tajam si pelaku yang sudah meneguk ludah kasar.
"Sekali lagi kena, kau tinggal nama."
"Ma-maaf ...."
"Duh (Name), jangan galak-galak dong! Lagi red day ya?" ucap seorang perempuan merangkul bahu (Name) tiba-tiba. Yang dirangkul hanya menggeleng pelan.
Sebuah isyarat dikeluarkan agar orang di depannya segera menyingkir. Perempuan itu menarik salah satu kursi dan duduk di depan meja (Name).
"Eh eh (Name), kamu tahu ngga sih?"
Pasti mau ghibah.
(Name) menaikkan sebelah alisnya, penasaran. "Kalau cuma mau ngomong naga bisa diternak aku tempeleng kepalamu."
"Ih engga~ Kamu tahu yang ranking dua paralel angkatan ini kan?"
"Siapa?"
"Yang benar aja? Padahal kalian berdiri sebelahan waktu pemberitahuan ranking pas upacara, masa lupa?"
"Ya dipikir aku inget?"
"Tapi masa sudah lupa?"
"Aku ngga tahu, waktu itu kan kamu tahu pas difoto aku merem gara-gara ngantuk."
Perempuan di hadapan (Name), Karla, tertawa kencang mengingat hasil foto yang di-posting di akun insgram sekolah.
(Name) juga sebenarnya malu. Bahkan Val yang tidak sengaja melihatnya di rumah sampai tertawa bermenit-menit. Setelah itu dia malah menunjukkannya pada Bapa Gregory.
Sumpah malu berat.
Gadis itu berdehem. "Lanjut saja."
"Namanya Evan, Revanda Raka Candrakanta."
Buset.
"Itu nama? Orang tuanya dapat ide darimana ngasih anaknya nama begitu?"
"Mana aku tahu? Lanjut, lanjut." (Name) bersedekap dan memperhatikan Karla lebih serius.
"Tadi pagi dia datang ke sekolah wajahnya memar-memar, rambutnya acak-acakan tapi ganteng brutal gila."
(Name) memberikan tatapan side eye-nya ketika tahu kemana pembicaraan ini akan berakhir.
"Aku salah serius banget dengerin."
"Tapi ini real no fek fek, dia tadi datang ke sekolah sambil minum susu stroberi, padahal katanya dia ngga suka yang rasa stroberi."
🤨
🤨🤨
🤨🤨🤨
Ah ngga mungkin.
"Lagian kamu stalking dia sampai tahu dia ngga suka rasa stroberi?"
"Ngga lah!"
"Terserah deh, lagian masih lebih tampan Sae sih."
"Wibu sok keras."
(Name) langsung siap dengan kepalan tangannya. "Kenapa? Mau baku hantam?"
Karla ikut menyiapkan kepalan tangan.
Saat pukulan mau dilayangkan, bel pulang berbunyi.
(Name) sontak merangkul tasnya dan langsung keluar meninggalkan Karla, mengikuti anak-anak lain yang sebagian sudah keluar.
Teriakan Karla yang meminta ditunggu pun tidak diindahkan. Masa bodoh dengan temannya satu itu.
Di keramaian siswa-siswi yang ada, tatapan (Name) langsung tertuju pada Val.
Senyum lebar menghiasi wajahnya. (Name) berlari menuju pemuda itu.
"Val! Ayo pulang!"
"Iya, pelan-pelan saja jalannya," ucap Val ketika melihat (Name) sudah berlari hingga depan gerbang sedangkan dirinya masih berada di depan pintu masuk sekolah.
Matahari bersinar sangat panas, membuat (Name) yang tadinya bersemangat mendadak lesu. Val hanya bisa tertawa melihat perubahan drastis itu. Perjalanan pulang terasa lebih lambat karena hal itu.
"Tadi sekolahmu bagimana?" (Name) memainkan kedua ujung tali tas sembari menatap Val.
Yang ditatap ikut berubah lesu. Ekspresinya seakan-akan bilang bahwa sebentar lagi dia akan mati.
"Tugasku ...."
"Di spam tugas ya? Kasihan."
"Memangnya seenak apa sih pelajaranmu?"
"Yah ... ngga beda jauh, sih."
Tes
"Eh?"
Tes
Keduanya mendongak. Langit yang tadinya bersinar terang dengan terik kini berubah menjadi gumpalan-gumpalan awan gelap yang mulai menurunkan bulir-bulir air.
Cuaca yang berubah-ubah seenak hati membuat orang-orang tidak mempersiapkan diri untuk ini.
Tetesan air semakin deras. Orang-orang berlalu-lalang mencari tempat untuk berteduh dan kendaraan bermotor mulai menaikkan kecepatan mereka.
Val menggenggam tangan (Name) dan menariknya untuk lebih mendekat. Pemuda itu mulai berlari dengan tas yang digunakan untuk menutupi kepala keduanya.
"Pelan-pelan saja Val!"
"Nanti kau basah!"
(Name) hanya bisa menuruti keinginan Val. Salah satu tangan digunakan untuk menutupi air hujan yang samar-samar mengenai wajahnya.
Hujan yang turun semakin deras sedangkan jarak ke rumah masih cukup jauh. (Name) mengalihkan tas milik Val yang berada di atas kepalanya dengan sudut bibir yang mulai tertarik.
"Pakai itu pun percuma, lihat! Bajumu saja sudah basah kuyup!" Val berhenti berlari. Napas yang tadinya tersengal-sengal berangsur-angsur normal.
Pemuda bersurai pirang itu menatap baju seragamnya yang sudah basah kuyup. Netra merahnya bergulir pada (Name) yang malah mendongak, kedua tangannya diangkat untuk merasakan air hujan yang jatuh.
"Hujannya deras, ini tanda bahwa kita harus hujan-hujanan hari ini!" (Name) tersenyum senang.
Jarang-jarang ia bisa berada di bawah hujan dengan bebas seperti ini.
Ia sangat menyukai hujan.
Suka.
Rasa suka yang membuatnya menikmati sang hujan di bawahnya, alih-alih memandangnya dari balik jendela rumah.
Pandangan Val pada paras (Name) merendah perlahan. Pemuda itu melepaskan rompi krem-nya dan memakaikannya pada (Name).
Suara hujan membuat keheningan yang berada di antara mereka tampak ramai.
(Name) menatap Val yang juga memandangnya.
"Apa? Kenapa kau berikan padaku?"
"Ba-bajumu tembus ...."
Di bawah hujan, wajah seseorang memerah padam. (Name) memeluk dirinya sendiri dan membalikkan tubuhnya membelakangi Val.
"Kenapa tidak bilang daritadi???"
"Aku takut menyinggungmu ...."
APASIHHDKSHDBWKSHS?????
(Name) berdehem, mulai berjalan di depan sembari mencoba menetralkan air mukanya yang sudah kacau.
"A-ayo cepat! Nanti kita dimarahi Bapa kalau hujan-hujanan."
Val terkekeh dan menyamakan langkahnya di samping (Name).
"Yang mengajakku hujan-hujanan tadi siapa?"
"Sut, diam!"
Tawa Val semakin jelas di dalam hujan. Ia yang kini hanya memakai baju putih tampak sangat elok.
(Name) terpesona sejenak. Surai pirangnya yang sudah basah juga tampak indah ditambah netra merah yang berpendar hangat.
Bagaimana caranya aku tidak semakin menyukaimu?
Pyar!
Kubangan air yang terciprat membuat perempatan imajiner muncul di pelipis (Name). Ia ikut melompat ke kubangan itu dan membuat Val terciprat air yang cukup banyak.
Crash!
"Suruh siapa mulai duluan!"
Tanpa melihat respon Val, (Name) langsung berlari menjauhi si pemuda yang akan membalas dendam.
Berlari saat jalanan basah membuat si gadis harus berhati-hati agar tidak tergelincir.
Tapi saat ia menoleh, Val sudah berada tepat di belakangnya meski (Name) sudah berlari sekuat tenaga.
"Tu-tunggu dulu!"
Perbedaan tenaga yang jauh itu membuat Val langsung bisa memeluk dan menahan (Name) dari belakang.
Grep!
"Kena kau (Name)!"
"Apa-apaan?! Kan sudah impas, kau mulai, kubalas, masa kau juga mau membalas lagi?" seru (Name) yang masih terperangkap di dalam pelukan Val, berusaha melepaskan diri namun tidak bisa.
"Iya!"
Pyar!
Keduanya kembali beradu. Tetapi hawa dingin yang mulai menusuk kulit membuat mereka berhenti dan kembali pulang dengan tubuh yang sudah basah kuyup.
"Nanti buat susu hangat ya!"
"Oke, tapi nanti bayar."
"Heeeehh??"
→• ✧ •←
Pintu rumah terbuka, menampilkan kedua anak dengan air yang masih menetes dari tubuh mereka memasuki rumah.
"Kami pulang!"
Seorang lelaki yang tampak dewasa menoleh, mendapati dua anak yang dianggap sebagai anaknya sendiri dengan gelengan kepala heran.
"Kalian sengaja hujan-hujanan?"
Netra (e/c) dan merah bertatapan sekilas lalu menggeleng bersamaan.
"Sudah hujan waktu masih di sekolah kok."
"Begitu? Cepat ganti ya, nanti kalian sakit."
"Oke!"
Val dan (Name) tertawa bersama karena kebohongan mereka tidak ketahuan.
ೃ⁀➷ to be continued ೄྀ࿐ ˊˎ-
Mungkin ini Val × reader? Atau harem ya hzmzhzmhzm
Tapi karena di webtunnya ....
Wkwkkwkw liat aja nanti deh, masih bingung dikit.
INI JUGA JADI TIKET HARIAN YA GUSTII 😢🤏🏻
Pasrah aja deh akwkaowkaowk
Goodbye all!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro