Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🥀 - Nuraga sang Tuan Biru 01

Magenta menatap emas. Teriakan tak bersuara, diiringi dengan gelapnya awan serta rintik tangis dari langit. Tak ada suara, semuanya terdengar begitu hampa layaknya ruang kosong tak bertuan. Ia lihat merah, merah, dan merah memenuhi pandangan. Magenta serupa dengan matanya, merah gelap seolah tak ada lagi pantulan cahaya warna.

Kerongkongannya panas, tangisnya pecah. Tangannya berusaha menggapai, namun semuanya hilang. Di tangannya hanya ada kekosongan, sama seperti jiwanya.

— 🥀 —

Musiknya diganti. Bukan lagi suara mendayu The Swans pada pagi hari. Ia samar-samar mendengar suara musik lain datang dari ruang tengah. William menutup matanya, setengah dari jiwanya belum sadar betul. Ia masih terkantuk-kantuk tak ingin bangun, kendatipun, alam bawah sadarnya memproses dengan begitu lihainya musik dari ruangan seberang. Alis ia kerutkan, bergumam dengan suara kecil begitu ia mengenali musiknya. Sempat berpikir, siapa gerangan yang berani mengganti piringan hitamnya dengan musik macam ini? Setelah ia pikir kembali, ia ingat bahwa kini Apartemennya bertuan satu orang lagi ; Sherlock Holmes dengan aksen cockney kentalnya.

William mengangkat tubuhnya, dalam renung ia mendengar suara alat masak yang tak pernah ia sentuh memainkan musik mereka seolah bergembira karena diberi kesempatan untuk bekerja sesuai fungsi mereka, bukannya diam di dalam lemari sampai debu meninggalkan jejak tebal. Apartemennya terdengar lebih berisik, tetapi tak luput juga dari perasaan menyenangkan. Namun, ini mengganjal pada dada layaknya gumpalan tumor ganas. William sudah terbiasa sendiri, suram, hampa, hening, ia tak pernah bisa beradaptasi dengan suara-suara bising.

Kendati demikian, disini ia, bersama dengan orang asing berlabel Caretaker dengan nama Sherlock. Dikata William nyaman pun tidak, ia tak pernah nyaman dengan orang lain daripada kakak dan adiknya. Ia butuh waktu untuk beradaptasi, terlebih lagi setelah kejadian lampau tak mengenakkan hati. Kejadian suram kelabu, tak pantas diungkit pun diingat. Sayangnya, kenangan buruk itu layaknya sebuah tumor, seberapa sering dihilangkan pasti akan muncul kembali. Karena itu William selalu terjebak dalam emosi kalut kelamnya, tak mampu maju ke depan karena tumor bernama memori memakan jiwanya sampai tak bersisa.

Dari daun pintu, iris magenta mengintip penasaran. Ia menatap punggung lebar berbalut baju dengan bahan ringan untuk musim panas. Mungkin karena sinar mentari diam-diam merayap masuk — atau mungkin memang itu kenyataannya — Sherlock terlihat begitu bersinar. Seolah malaikat turun dan memberkahi sang pemuda beraksen cockney dengan berkat terbaik mereka. Gerakannya cepat dan lihai, ia berkali-kali membalik Panekuk dengan harum menggoda, mengalahkan panekuk bermerk mahal yang kerap kali dibawa kakaknya ketika berkunjung.

William pun tak ingat betul, sudah berapa lama sejak ia makan dengan benar? Ia terlalu sibuk terombang-ambing oleh emosi, obat-obatan, luka, dan memori pedih. Jika saja Louis tidak terus-menerus mengingatkannya untuk menyuapkan setidaknya lima suap makanan, ia mungkin akan membiarkan satu dus makanan instan sampai berjamur atau hilang rasa karena kadaluarsa. Makanan instan dengan rasa monokrom memuakkan, tapi ia tak memiliki pilihan selain makanan-makanan produksi pabrik itu. Turun ke jalan dan bertemu orang-orang rasanya terlalu menyeramkan.

Ia selalu berakhir menggigil ketika bertemu dengan gerombolan manusia di jalanan ramai kompleks apartemennya. William tak pernah bisa berhenti merasakan sensasi  dimana ia serasa dipelototi oleh beribu-ribu mata, menatapnya dengan pandangan tak menyenangkan, pandangannya akan menggelap dan tanah serasa menelannya bulat-bulat sampai ia kesulitan untuk bernafas. Dadanya terasa sesak, tangan dan badannya tak berhenti bergetar, kerongkongannya pedih, matanya sakit, dan kepalanya akan mengeluarkan suara berdenging hingga telinganya terasa sakit.

William takut, ia terlalu takut dan selalu takut. Dulu dirinya tidak pengecut seperti ini. Seingatnya ia adalah seseorang yang sangat suka dengan tantangan. Ia pernah sekali merasa seperti ini, namun tak begitu parah sampai ia lupa diri. Ia berhasil bangkit lagi, menjalani hari layaknya orang-orang pada umumnya. Lantas, kenapa lagi-lagi ia berada di sini? Kotak hitam menyesakkan tak layak huni, minim akan cahaya matahari. Hanya ada ia dan hampa. Selalu ia dan hampa.

— 🥀 —

Bertanya kepada diri sendiri hanyalah sebuah kesia-siaan. Karena ia tak pernah tahu, pun tak ingin tahu. Dirinya serasa berhenti pada detik kegelapan, dimana tak ada cahaya menerobos masuk untuk membantu. Ia merasa sendiri, tak memiliki sandaran lain selain hati kecil yang perlahan kehilangan jati diri. Ia selalu diam, melamun, mematung, tak lama ia akan merasa emosi naik ke permukaan dan meledak, membuncah keluar hingga merusak semua hal di sekitarnya.

Ia sebenarnya amat lelah, lelah dengan luka-luka juga pening pada kepala. Telinganya selalu berdenging tak berhenti, matanya akan memanas, ia seolah kehilangan kontrol akan jiwa. Seperti penyakit, padahal itu adalah jiwanya yang kian melemah makin hari. Meski Psikiater termahal tetap didatangkan, penyakit ini layaknya belenggu panas pada lehernya. Ia tak bisa lepas, pun, jika ia melepaskan diri, maka ia akan mati begitu saja.

William menutup matanya, mengahalau bisikan-bisikan di sekitarnya. Ini selalu terjadi jika ia berpikiran tak baik, atau merasa terlalu lelah. Ia akan mendengarkan suara bisik bersahut tanpa raga di sekitarnya. Kadang pula pandangannya akan ikut menghitam, dan ia akan jatuh ambruk begitu saja. Bisik tanpa raga, kepala dengan dengungan, seolah semua memang ingin menyiksanya. Semua terasa begitu berisik dan menganggu sampai-sampai ia harus mencengkram pelipisnya.

"Hei," 

Suara bisik di sekitar William berhenti. Tahu-tahu saja ia sudah berhadapan dengan tubuh jangkung sang pria bernetra tarum teduh. William meringkuk, melindungi dirinya dengan meletakkan tangan di depan dada. Ia menatap Sherlock penuh dengan kecurigaan dan antisipasi ketakutan, mirip seperti anak kucing yang tak percaya rengkuhan tangan manusia. Karena pada dasarnya semua makhluk hidup tidak bisa mempercayai satu sama lain begitu saja.

Netra tarum teduh menatap magenta yang bergetar tidak pasti. Dilihat-lihat pun, William nampak tak nyaman akan keberadaannya. Tak nyaman juga bukan kalimat tepat, Ketakutan adalah kata paling tepat. Meski ia belum lama menjadi Caretaker orang-orang dengan masalah tak menyenangkan, Sherlock adalah seseorang dengan sifat teliti dan pemerhati berlebih. Ia paham betul kalau William memiliki kenangan paling buruk dari yang terburuk. 

"Sarapan sudah matang, ayo kita makan," Lanjut Sherlock dalam suara rendah.

William tak menjawab. Ia masih sibuk menatap dengan netra gelap penuh awas. Tangan ringkih layaknya tak ada daging masih setia memegangi daun pintu berbahan jati. William kemudian membuka mulutnya, berkata dengan suara seperti bisikan, 

"Lagu...." lirihnya.

Sherlock menyipitkan matanya, "Lagu?" beonya, merasa tak yakin dengan lirihan si surai emas.

William mengangguk dengan patah-patah. Sebenarnya hendak bertanya kenapa kau mengutak-atik Vinylku? atau kenapa kau memilih Tchaikovsky? Aku lebih suka Chopin. Atau paling mudahnya Kenapa mengganti musikku?

Sayangnya ia hanya mengeluarkan lirihan tak bersuara. Kepercayaan dirinya seolah hilang ditelan begitu saja. Hilang layaknya buih pada lautan luas tak beralas.

William menunduk, iris magenta menatap lantai kayu apartemennya. Sherlock di seberang hanya bisa menatap sembari menggaruk tengkuk yang tak terasa gatal. William hanya mengucap sepatah kata, yang mana Sherlock tak bisa mengerti sepenuhnya. Meski begitu, ia bisa melihat pandangan mata William mengarah pada vinyl di ujung ruangan. Sherlock perlahan mengerti.

"Apa kau keberatan dengan musik yang aku putar?" Tanya Sherlock.

William mendongak, mengangguk patah-patah. Ia bercicit, "Aku tidak suka Tchaikovsky."

Sherlock membalasnya dengan ah panjang. Alih-alih mengganti piringan hitam, ia malah menunjuk ke arah meja makan dengan senyum lebar, seolah menyuruh William untuk menyantap sarapannya terlebih dahulu. 

William menurut, ia berjalan menuju meja dengan pandangan masih terpaku pada lantai berwarna gelap monoton. Kursi berwarna gading ia tarik dan duduki dalam sekali hentak. Di hadapannya sudah tersaji Panekuk dua tingkat dengan bacon dan telur mata sapi. Sarapan biasa bagi beberapa orang, namun untuk William — dengan makanan kaleng berbulan-bulan — panekuk di hadapannya adalah menu mewah. Dengan segera, William menyantap panekuk di hadapannya.

Iris tarum menatap William yang tak terlalu banyak memperlihatkan perubahan pada wajahnya, meski begitu Sherlock tahu, William menikmati makanannya. Sherlock mengulum senyum, memulai percakapan di tengah hidangan sepi, "Aku melihat banyak piringan dengan label Chopin dan Schubert."

William berhenti mengunyah, menatap Sherlock dengan pandangan lurus untuk pertama kalinya. Magentanya seolah bersinar begitu mendengar nama dua musisi ternama pada zaman Romantic-era. Ia cepat-cepat menelan panekuknya, menanggapi ucapan Sherlock dengan suara seraknya, "Aku suka karya mereka,"

William berdeham, ia melanjutkan, "Psikiaterku juga menyarankan untuk banyak mendengarkan musik klasik. Louis mengenalkan beberapa kepadaku, tapi aku paling suka karya Chopin."

Sherlock menanggapi dengan anggukan, ia sedikit memahami tentang musik klasik karena sang Kakak kerap kali membicarakannya di ruang tengah keluarga bersama dengan Ayah mereka. Walau Sherlock tak yakin jika ia betul paham, setidaknya ia tahu dasar dari musik klasik. Ia tahu William adalah penyuka musik klasik — meski tidak ekstrim seperti kakaknya — begitu ia melihat banyaknya piringan hitam berlabel nama-nama tak asing dari zaman romantis.

Tak jarang juga Sherlock mendengar bahasan kalau musik klasik memang bagus untuk didengar oleh Pasien dengan kesehatan mental tak stabil. Dari semua penjelasan dari Louis, William berada dalam fase lebih dari tak stabil. Mengingat bagaimana musik The Swans masih tak mampu menenangkan William, Sherlock rasa Louis memang berkata apa adanya meski terkesan seperti seorang adik yang tengah mengejek Kakaknya.

"... Lalu, lalu, lalu Symphony No. 8 in B minor, D. 759 ! Aku sangat suka, suka, bagaimana Schubert mengomposisikannya! Meski orang-orang bilang itu, itu, itu adalah karya yang tak patut di apresiasi karena tak pernah selesai, aku, aku, aku sangat suka bagaimana, uh... Musik, musiknya berbaur!"

William masih sibuk mengoceh tentang kesukaannya kepada para musisi-musisi lampau, tak sadar bahwa iris tarum teduh kini menatapnya penuh penasaran. Sherlock tentu menyadari kalau William mengulang beberapa kata sebelum menjadikannya sebuah kalimat penuh. Kadang juga William nampak kesulitan merangkai sebuah kata, layaknya anak kecil yang baru diajari membaca oleh orangtua. William sering tergagap di tengah ucapannya, terlihat kebingungan akan susunan kalimat untuk celotehannya. Makin banyak William bercerita, variasi katanya makin meluas, di saat itu juga maka William akan lebih sering tergagap.

Yang mana, menurut Sherlock seharusnya tidak begitu untuk seseorang dengan gelar Magister pada umur 25 tahunnya. Sherlock membaca berkas tentang William sebelum setuju menjadi Caretaker sang surai pirang. Ia ditulis sebagai anak jenius berpangkat Magister untuk umur mudanya. Beberapa Professor mengenali nama William, bahkan mengingat bagaimana uniknya Essai sang lelaki sampai akhirnya memberi nilai sempurna. 

William adalah seorang jenius, sekali lihat pun Sherlock tak salah tangkap. Rak-raknya, selain penuh dengan piring hitam berlabel nama musisi, juga penuh dengan buku matematika. Beberapa merupakan matematikawan ternama yang bahkan namanya sering ia dengar saat kelas musim panas SMAnya dulu. Ada pula catatan-catatan berbau debu tersimpan di tempat paling bawah, jauh dari jangkauan orang-orang. Isinya adalah rumus-rumus untuk kepentingan jurnal sang surai emas. Jurnal itu cukup untuk membuktikkan betapa encer otak seorang William James Moriarty.

Lantas, kenapa kini seorang jenius menjadi ringkih nan tak memiliki jiwa seperti ini?

Beberapa kali Sherlock mengamati pergerakan William. Selain kegugupan dan ucapan gagapnya, tangannya tak luput dari gerakan menentu. Ia sering mengetukkan telunjuknya ke meja ketika berpikir, mengusap lengan ketika Sherlock menatapnya lurus, menatap ke bawah jika Sherlock mengajaknya bicara. Gerakan William sangat pasif dan defensif, seolah ia takut kalau sehelai bulu bisa saja melukainya sampai mati. 

Apa yang membuatmu begitu menyedihkan? adalah pertanyaan Sherlock. 

Namun ia tak memaksakannya. Sibuk memakan panekuk sembari mendengarkan celotehan nayanika magenta di hadapannya. William James Moriarty adalah jenius, tapi setiap jenius pun memiliki sebuah kotak terpendam sendiri. Sebuah kotak pandora, dimana semua rahasia dan perasaan tersimpan rapih tanpa harus terbuka. Pandora milik William tersimpan sangat amat jauh, berada dalam relung terdalam layaknya palung dalam lautan luas. William James Moriarty adalah misteri, dan Sherlock selalu menyukai misteri.

Karena itu ia sangat penasaran, kira-kira monster macam apa yang tersimpan dalam Pandora milik sang jenius, William James Moriarty?

— 🥀 —

Secrets, silent, stony sit in the dark palaces of both our hearts: secrets weary of their tyranny: tyrants willing to be dethroned.
— James Joyce, Ulysses

— 🥀 —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro