Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Taman Bermain - Miroku Shingari

Requested by putriyuuki

   MENJADI donatur sebenarnya tidak pernah masuk dalam daftar kegiatan [Full Name]. Awalnya, [Name] hanya sekadar ingin memberi sekumpulan buku yang sesak di rak. Sang Bibi bersedia mencarikan panti asuhan yang mau menerima. Sesederhana itu, demi alasan rak bukunya kembali lapang untuk diisi novel baru.


.

.

.

Taman Bermain
Pair: Bear Figure!Miroku Shingari x Donator! Reader
B-Project © MAGES, A-1 Pictures
Note: AU, typos, OOC
By agashii-san
.
.
.


   Tuan boneka itu memberikan permen lolipop dari keranjang rotan kepada anak-anak panti. [Name] menaruh kumpulan buku yang sudah diikat dengan tali plastik pun penasaran. Anak-anak itu berterimakasih kepada tuan boneka. Beberapa saling berebut.

   "Kak Miroku, tidak panas pakai kepala boneka terus?"

   "Ini musim yang sangat panaaas, loh!"

   "Buka! Buka! Buka!"

   [Name] melihat anak-anak berkisar masih bersekolah di bangku sekolah dasar sibuk membujuk sang pemberi permen. Mereka memeluk kaki sang tuan boneka, menggoyang-goyang kaki jenjang raksasa itu. Sang tuan boneka kewalahan lalu merentangkan tangan--- menyuruh mereka tenang.

   Pemandangan itu menarik perhatian [Name], meskipun semua buku-buku itu belum selesai diangkut dari mobil boks. Hanya tinggal waktu hingga sang bibi sengaja meninggalkannya di panti. [Name] tampak penasaran. Akankah di dalamnya adalah pria paruh baya yang senang menghibur anak-anak? Namun, biasanya anak-anak mudah merasa canggung bila berada di dekat orang dewasa.

   Karena bujukan itu semakin keras, kepala boneka beruang itu terlepas oleh sang pemiliknya. Terlihat helaian rambut keabuan yang sedikit basah oleh cucuran keringat. Iris biru lautnya menyipit karena teriknya sinar mentari.

   "Ternyata masih bisa ketebak. Kalian pandai sekali," ujar pemuda yang disebut Miroku itu memasang ekpresi kalem.

  "Tentu saja, lagi pula aneh sekali kalau tiba-tiba ada beruang di panti!" ledek anak panti terkekeh.

  "Terima kasih, Kak Miroku!" ujar seluruh anak panti serempak lalu berebut bersalaman dengan Miroku.

   Melihat pemandangan hangat itu, [Name] merasa harinya jauh lebih baik. Ia mengira ke panti hanyalah tempat yang hanya dipenuhi kesedihan. Namun, sebaliknya, mereka yang senasib bisa berbahagia. Sesederhana itu.

   "Ayo, jangan melamun terus," ujar bibi menyikut lengan [Name] lalu lebih dulu pergi ke pintu utama.

   [Name] menyudahi tontonan itu dari jauh. Ia kembali mengangkat buku kiloan, tetapi lantas tergopoh-gopoh karena menggunakan kedua tangan sekaligus. Miroku yang berdiri dari kejauhan melihat ternyata berjalan ke arah [Name]. Mengusir pemikiran bahwa arahnya memang searah dengan pintu utama panti, [Name] berpura-pura tidak melihat Miroku.

  "Sini, saya bantu bawa." Tangan besar itu terulur tanpa keragu-raguan.

   [Name] mendongak. Mengerjap bengong. Dilihat semakin dekat, tuan boneka itu justru lebih menawan. Gugup, buku yang digenggamnya melemah seketika, dengan malang berakhir jatuh menimpa jari kakinya.

   Respons yang sangat umum terjadi yakni: berteriak kencang karena sakit yang menjalar. Kesan yang sangat tidak elegan di depan laki-laki asing, tentu saja. Namun, siapa yang sangka kalau ia akan diperhatikan?

   Miroku menyingkirkan buku yang menimpa jari kaki [Name]. "Apa kau baik-baik saja?"

  [Name] meringis kecil. "Tidak apa. Aku bisa bawa sendiri."

  Baru saja [Name] memungut buku itu, tapi isinya malah berceceran. Ikatan tali di buku itu merenggang--- [Name] tidak serius mengikat--- dan juga karena faktor terburu-buru. Dikira akan menerima omelan, Miroku lantas sigap memungut buku-buku itu kembali ke asalnya. Ia membawa masuk ke dalam panti, tidak lagi bertanya.

  "Terima kasih," gumam [Name] yang kemudian menyadari bahu Miroku yang telah menjauh.

× × ×

   Pemilik panti--- Ibu Yano--- sangat berterima kasih kepada [Name]. Meskipun sekadar mengantar saja, beliau memaksa [Name] dan bibi duduk untuk mencicipi sepiring kue kering ditemani secangkir teh merah. Miroku duduk di hadapan [Name], tampak lebih santai.

   "Kau tidak perlu repot membawa apa-apa kepada anak panti, Miroku-kun," ujar wanita paruh baya itu tersenyum lemah.

   Miroku menggeleng pelan. "Hanya ingin mereka senang. Hanya ingin membalas budi kebaikan Ibu."

   "Sekarang apa kau sendiri merasa bahagia?" goda Ibu Yano bertanya balik.

  Miroku tersenyum samar, iris birunya menerawang pemikiran dalam. "Aku turut bahagia bila kalian bahagia."

  Terlibat dalam situasi emosional dari interaksi barusan, [Name] mengepalkan tangan tepat di dada. Hendak berkata, "Apa selain hari ini, aku boleh mampir ke sini lagi?"

   [Name] langsung pucat pasi. Ia bukan siapa-siapa di tempat ini. Belum ada sehari pula datang ke panti. Bibinya pasti akan membicarakannya sepulang dari panti, tapi gadis itu tidak peduli lagi. Nasi sudah menjadi bubur.

  "Tentu saja. Anak-anak pasti suka dengan buku-bukumu. Oh ya, perkenalkan dia, anak asuhku, Miroku Shingari." Ibu Yano merangkul bahu Miroku.

   Tangan Miroku terulur dan [Name] segera menjabat tangannya. Jabatan itu terasa hangat, meskipun meninggalkan jejak kaku.

  "[Full Name]," kata [Name] dengan nada gugup, berharap tidak disadari oleh lawan bicaranya.

  Miroku melepas uluran tersebut lalu mengambil sebutir lolipop dari keranjang. Mumpung kebetulan tersisa satu. Ia menarik tangan [Name], meletakkan tepat di telapak tangannya.

  "Untukmu. Aku kurang suka makanan manis," ungkap Miroku masih tetap berekspresi datar.

  [Name] termenung. Lain halnya, Miroku pun langsung saja pamit meninggalkan panti asuhan. Lambat laun, [Name] masih tertunduk. Meratapi sepasang sandal panti Miroku yang sudah tergeletak di rak.

  "Kami juga turut pamit." Bibi [Name] menepuk bahu keponakannya itu agar kembali dalam realita.

   Ibu Yano mengiyakan lalu mengantar mereka hingga di depan gerbang panti. Sampai masuk mobil, [Name] masih duduk di jok sebelah pengemudi. Masih terbayang permen itu. Dipotretnya dengan kamera ponsel. Namun, sang bibi tahu persis arti tatapan [Name] yang berseri dalam keheningan.

  Tatapan gadis yang sedang jatuh cinta.

× × ×

   Meskipun Ibu Yano mengizinkan [Name] datang lagi, tetapi gadis itu khawatir. Ia merasa tidak enak datang dengan tangan kosong. Namun, hati kecilnya merindu. Seminggu telah berlalu, identitas Miroku hanya bermodalkan benaknya semata.
 
   "Belum tentu dia mau menemuiku," gumam [Name] memeluk lutut. "Tapi aku tak bisa melupakannya."

   Berbekal ide kilat, [Name] memutuskan membeli donat. Mungkin hanya mampir-mampir saja tidak masalah. Namun, tahu-tahu ia membawa dua lusin. Kali ini ia pergi sendirian. Ia tidak sengaja tidak mengajak bibinya--- berhubung sedang sibuk berjualan perkakas rumah tangga.

   Sebenarnya [Name] berasal dari keluarga yang berada. Ayahnya bekerja di luar negeri dan ibunya adalah seorang auditor perusahaan ternama. Sebagai anak tunggal, ia sudah mendapatkan segala materi yang diingini. Nyaris tanpa keluhan apapun. Maka, [Name] merasa lebih bahagia menyisihkan uangnya demi orang lain.

   Datang dengan sambutan diam tentu dianggapnya wajar. Anak-anak panti asuhan belum begitu mengenalinya. Namun, [Name] selalu lebih dulu memberi salam kepada Ibu Yano.

  "Wah, kau tidak perlu membawa apa-apa kemari, sungguh. Banyak anak panti yang bahagia akan bukumu dan itu sudah lebih dari cukup."

  [Name] tersipu lalu berkata, "Setidaknya mereka bisa menikmati donat sambil membaca."

  Gadis itu kembali meratapi sekeliling panti. Tidak ada sosok jangkung yang hadir seminggu lalu. Namun, tertinggal kostum beruang yang ditaruh rapi di atas rak sepatu. Kostum yang sewaktu dulu dikenakan Miroku. Anak-anak masih tetap riang seperti biasa, larut akan kegiatan pancarona.

  "Apa kau mencari Miroku-kun?" tebak Ibu Yano.

  Terkejut, [Name] menyangkal, "Bu-bukan begitu. Tapi... apa dia memang tidak sedang berada di sini?"

  Ibu Yano menggeleng. "Bagiku, Miroku sudah seperti anakku. Namun, sebagai anak tertua di sini, dia merasa tidak mau merepotkanku. Mulai bekerja sampingan di dua tempat. Ia bahkan tinggal sendirian sambil kuliah."

  [Name] mengangguk paham. Mereka berbeda latar belakang. Namun, tiba-tiba saja, [Name] merasa malu akan dirinya sendiri. Tiba-tiba saja ingin datang ke sini demi berharap pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tahu-tahu, ia menepuk kepalanya sendiri. Merasa dirinya tak sepatutnya bertingkah bagaikan udang di balik batu.
 
  "Maafkan saya, Ibu Yano. Saya... tanya ini itu," ungkap [Name] yang justru merasa bersyukur karena Miroku tidak ada di panti.

   Atau mungkin tidak?

  "Tadaima (Aku pulang)," ujar Miroku dari luar lalu mengganti sepatu dengan sandal rumah.
 
  "Tidak apa-apa. Miroku, okaerinasai (selamat datang)," sahut Ibu Yano.

   Tidak. [Name] awalnya memutuskan akan pulang sesegera mungkin setelah meminta maaf. Dan berjanji tidak akan datang dengan maksud tersembunyi. Namun, ia terjebak. Ia tidak bisa tiba-tiba memutuskan pulang begitu saja dan seisi panti akan mengiranya aneh.

   Jantungnya berdebar kencang. Seolah dirinya sedang mengikuti atraksi halilintar, kora-kora, ataupun sebagainya yang memacu adrenalin. Ia hanya berharap jantungnya tak meledak karena panik.

  "Oh, dia [Last Name]-san, kan?" tanya Miroku yang tepat berada di belakang [Name].

  Sebagai sosok yang normal, sebagai subyek yang disebutkan semestinya akan langsung berespons--- paling tidak menoleh. Namun, kini kepala [Name] terasa berat untuk melakukanya. Lidahnya terasa kelu untuk menyahut sepatah kata.

  "[Name]-chan?" tanya Ibu Yano. "Sakit?"

  [Name] berpura-pura batuk. "Uhuk, ah, mungkin iya. Sepertinya tenggorokanku baru terasa gatal karena kebanyakan minum es campur!"

  Miroku mengernyitkan dahi. "Justru cuaca terik harus sering minum air agar tidak dehidrasi."

  Kaki Miroku hendak maju tepat di sebelah sofa [Name]. Pemuda itu berjongkok. Tangan kirinya menopang dagu di sisi lengan sofa yang diduduki [Name]. Melainkan tangan kanan Miroku refleks saja menyentuh dahi [Name].

  Setelah memperkirakan dengan suhu tubuhnya sendiri, Miroku berujar, "Tapi tidak demam, sih."

  Dengan cepat, [Name] menyingkirkan tangan Miroku dengan tangannya sendiri. "Ahahaha, aku... baik-baik saja, kok! Hanya tenggorakan gatal yang berujung batuk ringan. Aku pulang dulu, ya!"

  Usai dari dapur, Ibu Yano berkata, "Jaga kesehatan, [Name]-chan. Ini ada obat herbal. Lumayan manjur karena multikhasiat."

  [Name] segera berterima kasih kepada Ibu Yano. Lain halnya, Miroku masih menatap gadis itu lekat-lekat. Ia menyadari dua kotak donat di atas meja yang dibungkus dengan kantong plastik transparan.

  "Terima kasih untuk kuenya. Hati-hati. Jangan sungkan untuk datang lagi, meski kau tidak membawa apapun."

  Meskipun hanya mengangguk singkat, hati [Name] berbunga-bunga. Meskipun ia telah bertingkah aneh, Miroku masih tetap mengajaknya bicara. Ia tahu mungkin sebenarnya ia tidak perlu merasa senang akan kejadian barusan. Namun, hatinya tidak bisa didustai.

  "Apa aku boleh berharap?"

× × ×

   Waktu dihabiskan untuk lanjut berstudi. Tanpa terasa ujian akhir nyaris berlalu dan disambung dengan musim liburan. Namun, ia sudah lama tidak mampir ke panti karena sibuk. Lagi-lagi, [Name] tak memperoleh kontak apapun selain panti asuhan dan nama. Ia akan menyempatkan diri untuk datang.

  "[Name], bagaimana kalau kita ke taman bermain?" ajak teman [Name] tampak berseri-seri.

  [Name] menggeleng, "Maaf, lebih baik ajak yang lain saja."

  Teman [Name] pun memberenggut. "Kau selalu menolakku. Sekali saja, untuk buang stres. Kalau perlu, aku akan mengajak laki-laki tampan untuk menemani kita!"

  Karena [Name] sulit mengelak, ia pun menggeleng cepat. "Kalau kau memaksa, baiklah. Tapi jangan ajak yang aneh-aneh. Aku tidak suka pergi bersama orang yang tak kenali."

  Tanpa mempermasalahkan lebih lanjut, [Name] sudah digiring oleh sang teman menuju taman hiburan. Mempergunakan transportasi umum seperti kereta api. Suasana riuh dan penuh keceriaan telah mengawali gerbang taman hiburan.

"Mari main sampai puas! Sampai malam!" seru teman [Name] larut dalam euforia.

  "Malam? Ini sudah menjelang sore. Kita kan hanya berdu---" ujar [Name] lalu terputus karena panggilan teman [Name].

  "Kita bakal double date sama mereka! Asyik, bukan?" tanya teman [Name] tanpa merasa bersalah.
 
  Sembari kedua teman laki-laki itu memperkenalkan diri, [Name] justru merasa tidak senang. Tahu begitu, ia memilih menolak dari awal. Padahal, ia sudah memberitahu teman [Name] agar tidak berbuat seenaknya.

  "Aku tidak mau. Lakukan saja sesuka kalian!" bantah [Name] terlihat gusar.

  "[Name], kita ke sini hanya untuk bermain saja! Kenapa kau risau begini, sih?" cegat teman [Name].

  "Hei, ayolah. Kita bisa bersenang-senang. Aku akan membayar apapun yang kaumau," desak salah satu teman laki-laki mulai memegang lengan [Name].

  [Name] teringat sentuhan jemari Miroku di dahinya. Meskipun sama-sama berasal dari laki-laki, kini sentuhan itu terasa menjijikan. Setengah mati [Name] berusaha menarik diri, tetapi pemuda itu turut mendorongnya. Tak berlangsung lama, sesosok figur beruang menengahi mereka.

  "Kuma-san?" tanya [Name].

  Ditemani sebuah sepeda yang diikat balon-balon pancarona, bahu [Name] ditepuk pelan.

  "Apaan, sih? Mengganggu saja!" keluh teman pemuda itu mendorong tubuh sang figur beruang.

  Namun tak segan, penyerangan kembali terjadi. Tubuh pemuda itu dibalik, sikunya diputar hingga terpelintir. Akhirnya, pemuda itu hanya bisa menjerit histeris. Takut-takut, ia langsung kabur bersama rekannya. Disusul teman [Name] yang tidak bisa berkata apa-apa.

  "Terima kasih, kuma-san (tuan beruang)." [Name] membungkukkan tubuh. "Maaf sekali menyusahkanmu."

  Beruang itu menggeleng pelan. Ia sudah bisa istirahat sejenak. Tadi pagi merupakan waktu tersibuknya karena dikerubungi anak-anak dan diajak foto bersama. Namun, taman bermain sudah mulai menyepi.

  "Aku ke sini karena diajak temanku. Ketika melihatmu sebagai beruang, aku jadi merindukan seseorang." [Name] memutuskan duduk di bangku panjang tepat di bawah pohon rindang.

  Boneka figur itu duduk di sebelahnya. Ia hanya diam saja, tetapi mendengar.

  "Sekarang aku tidak tahu harus bermain apa karena sendirian. Daripada terlihat menyedihkan, lebih baik aku pulang saja, kan?" usul [Name] memainkan jarinya.

  Masih tetap diam, [Name] memutuskan berdiri dari bangku itu. Beruang figur itu ikut berdiri, tetapi menyadari [Name] tidak melangkah sedikitpun. Gadis itu menoleh.

  "Omong-omong, apa aku boleh minta sesuatu?" tanya [Name].

  Beruang figur mengulur kedua tangan. Meskipun tidak paham, tahu-tahu ia sudah dipeluk oleh [Name]. Tubuh beruang itu begitu besar. Seolah mampu membungkus tubuh [Name] yang mungil. Menjalarkan kehangatan yang diingini.

  "Kini aku bahagia sekali sekarang! Mood-ku sudah terisi kembali." [Name] tersenyum riang.
 
  Alhasil setelah menerima pelukan itu, beruang itu salah tingkah. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri--- nyaris goyah. [Name] memutuskan untuk pergi, tetapi beruang figur berusaha mencegat [Name]. Memberi isyarat agar gadis itu menunggu sebentar.

  [Name] hanya menurut. Namun, ia menetapkan dalam setengah jam ke depan. Bila tidak ada yang terjadi, ia akan langsung pulang. Dan, dugaannya salah. Ia mendengar suara napas terengah-engah.

  "Mi-Miroku-san?! Kenapa... bisa?" ujar [Name] terkesiap, siap memperingati diri agar tidak berhalusinasi.

  Berderap dengan converse hitam, Miroku menghampiri [Name]. Ia datang mengenakan kemeja biru tua, ditemani setelan celana panjang hitam. Penampilan yang kasual, tetapi tidak mengurangi ketampanannya.

  "[Last Name]-san. Mari bermain di sini bersamaku."

  "E-Eh?! Tapi aku ada janji dengan sang beru... Tunggu! Jangan-jangan yang tadi itu...." [Name] tidak lanjut berkata-kata, wajahnya jadi luar biasa merah.

  "Memang itu aku," sambung Miroku jujur.

  "Ah, memalukan sekali," rutuk [Name], "Lupakan. Lupakan saja. Aku akan segera pulang dari sini!"

  Miroku berdiri di hadapan [Name]. "Tadi aku menyebabkan kekacauan."

  "Kau tidak perlu merasa bersalah kepadaku. Yang tadi itu sangat membantu, terima kasih," ungkap [Name] menundukkan kepala.

  "Bukan begitu. Stempel di punggung tanganmu akan terbuang sia-sia kalau tidak digunakan." Miroku menunjuk tanganmu.

  [Name] mengernyitkan dahi. "Memangnya... kau tidak bekerja lagi sekarang?"

  Miroku mengusap dagu. "Shift-ku sudah selesai. Aku datang sebagai diriku sendiri sekarang."

  "Tapi... aku tidak tahu harus main apa," timpal [Name] tampak ragu-ragu.

  Miroku berbalik badan. "Ikuti aku saja."

× × ×

O m a k e

× × ×

   "Imutnya!" sergah [Name] menghampiri segerombolan boneka warna-warni.

   Miroku segera menyusul [Name]. Tadi, Miroku berusaha mengajaknya bermain apa saja. Dan ternyata gadis itu jadi lebih antusias ketimbang asumsinya. Tidak membiarkan gadis itu pulang rupanya adalah usul yang tepat.

   "Aku mau yang ini, ini, dan ini!" ujar [Name] menyerahkan boneka kepada Miroku.

  Miroku mengernyitkan dahi. "Kau ini sebenarnya siapa? Maniak buku, donat, dan boneka?"

  [Name] berdecih. "Ih! Ini untuk anak-anak panti. Apa mereka akan suka, ya?"

  Seukir senyuman menghiasi wajah Miroku. Dekapan boneka itu memang membuatnya kewalahan, tetapi ia tidak merasa keberatan.

  "Kukira kau hanya suka kepada sang beruang. Lucu."

    Tahu-tahu wajah [Name] merona. Ia jadi teringat tadi memeluk boneka itu semaunya. Namun, Miroku yang menjadi boneka itu tidak mengelaknya. Memunculkan benih-benih harapan hatinya.

   "Yang tadi itu, maaf, aku terlalu terbawa perasaan," ungkap [Name].

   Miroku menyahut santai, "Tidak masalah. Boneka tadi memang sepertinya nyaman untuk dipeluk."

   Dilipuri pengalaman baru, [Name] menyenangi pertemuan di taman hiburan. Bersama Miroku Shingari, si pemuda kalem yang memiliki sejumlah keunikan. Yang mendebarkan hatinya.

Fin

Words: 2514

A/N:
Mungkin judulnya lebih cocok panti asuhan/slap. Tapi saya suka banget kalau Miroku jadi bear figure--- mumpung dia jangkung dan jadi unyu banget buat dipeluk /eh ;3

Thanks for reading!

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro