Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Soulmate [Part. 1] - Sekimura Mikado

Dedicated this twoshoot for runasaki's birthday (11/1)

Epy buffdei gurl, hope this will become your moodbooster!

Semoga suka dan selamat membaca! :)

The fantasy.

The hallucination.

The emotions.

What is the right thing to choose?

The real or the fake ones?

×

×

×

"[Name]-san, ada peruntungan baik untuk percintaanmu tahun ini. Masih tertarik mendengarnya?"

Di hadapanmu, terdapat bola kaca beralas kain sutra itu menampilkan butiran pasir penuh warna. Menari-nari dalam keadaan mengudara. Kau mengernyitkan dahi, seketika memberi tatapan menyelidik kepada adikmu.

"Buang-buang waktu saja," katamu cuek.

"Nee-san, percayalah. Dia, Sumisora Tsubasa, sang peramal nasib terbaik," bujuk adikmu mengguncang-guncang lenganmu.

Awalnya, kau hanya diajak untuk berjalan-jalan di sekitar kuil karena adanya festival. Namun, adikmu tertarik dengan peramalan. Alih-alih membeli kertas keberuntungan, dia malah membawamu ke sini. Ruang sempit nan redup yang hanya ditemani remang-remang lampu LED berwarna kuning.

"Ya sudah, lanjutkan," katamu malas berdebat.

Gadis bermanik merah kecokelatan itu bertanya, "Apa sebelumnya Anda sering datang ke sebuah kafe?"

"Untuk kerja kelompok ya ... sering," jawabmu santai.

"Kalau anak pemilik kafe itu adalah kekasihmu di masa depan, apa kau akan menyetujui ide itu?" tanya peramal Sumisora sekali lagi.

Mendengar sebutan "anak pemilik kafe" membuatmu merasa sebal. Siapa lagi kalau bukan teman sekelasmu sendiri, Sekimura Mikado? Sejak SMP, SMA, dan kini di tahun pertamamu berkuliah selalu bersama-sama. Hanya memikirnya sudah membuatmu sebal setengah mati.

"Cih. Ramalanmu sangat payah," elakmu langsung berdiri, hendak mengangkat tirai.

"Nee-san, dia selalu bisa meramal dengan tepat. Jangan remehkan dia!" bela adikmu kepada peramal Sumisora Tsubasa, membuat perempatan sudut siku-siku muncul di dahi.

"Aku tidak peduli! Omong kosong!"

Meninggalkan tempat aneh ini bagimu adalah keputusan terbaik saat ini. Namun, lengan kirimu dicegat oleh peramal Sumisora.

"A-ano, setidaknya bayar 300 yen dulu ya. Karena konsultasi ini tidak gratis," tegur peramal Sumisora. "Tapi meskipun demikian, kapan-kapan bisa datang la---"

"Tagih kepada adikku sana!" sergahmu terlanjur merasa kesal.

Kau segera membalik tirai, lalu mengambil langkah besar-besar. Tidak mungkin. Ya, ramalan hanya ramalan. Seperti mimpi sebagai bunga tidur, tidak dapat diprediksi secara tepat. Oleh karena itu, kau tidak akan percaya.

Jatuh cinta kepada maniak mahou shoujo? Mimpi buruk.

Perasaanmu pasti diduakan, kecintaan mahou shoujo yang dinomorsatukan.

Ternyata adikmu masih berada di dalam tirai hitam. Berhadapan dua mata dengan Tsubasa. "Apa itu benar? Kakakku akan bersama Sekimura-san?" tanya adikmu begitu antusias, menyerahkan recehan tiga ratus yen kepada Tsubasa.

Gadis berambut ponytail cokelat itu mengangguk mantap. "Ada benang merah di jari manis kanan kakakmu. Mari kita lihat saja apa yang akan terjadi."

Soulmate – First Part (1/2)
Pair: Childhood Friend! College Student! Sekimura Mikado x Tsundere! Reader
B-project © MAGES
Plot © agashii-san
Warning: OOC, AU, typo.
Rate: T
Genre : Romance, comedy.

.
.
.

"Bagaimana kalau kita kerja tugas di kafe keluarga Mika?" ajak temanmu, Onzai Momotaro usai kelas berakhir.

"H-hah? Kenapa harus di sana? Seperti tidak ada tempat lain saja," bantahmu terjeda untuk mengemas buku dan alat tulis.

Sebenarnya ajakan Momotaro tidaklah aneh. Hanya saja karena masih terpikir oleh ramalan Tsubasa, kau jadi tidak tenang. Padahal sejak SMA, kau dan Mikado memang sudah berteman dengan Momotaro. Namun kini, kalian tidak hanya akrab bertiga. Melainkan bersama tiga rekan lainnya, bekerja sama untuk menyelesaikan tugas akhir.

Lelaki beriris heterokrom itu menyahut begitu gamblang, "Karena kafe keluarga Mika memiliki lokasi yang paling strategis. Dilacak versi GPS, jarak dari kampus hanya lima belas menit saja dengan bus, makanan enak serta terjangkau, suasana nyaman, dan tugas pun beres."

Secara tidak langsung, kau telah mengatai Momotaro seperti salesman yang sedang mempromosikan keunggulan produk terbarutentunya hanya disebut di dalam hati kalau tidak, nasibmu tidak akan baik-baik saja. Tiada elakan yang lebih logis untuk kesimpulan Momotaro barusan. Kau pun lesu, memerosotkan bahu sambil menyusun perlengkapan sebelum meninggalkan kelas.

"Aku lapar! Pelajaran tadi sangat membosankan hingga otakku terasa kosong!" sambung lelaki berambut gondrong hijau jeli, Osari Hikaru. Hikaru hanya memikirkan tentang makanan saja. Tidak merisaukan kekhawatiranmu yang ingin kerja tugas di tempat lain.

"Onzai-san ada benarnya. Kita harus segera menyelesaikan tugas akhir ini sesegera mungkin. Apa kau keberatan?" saran lelaki berambut jingga yang ditata rapi, Masunaga Kazuna.

"Omong-omong, Sekimura-san ada di mana? Aku tidak mendengarnya bersuara," ungkap lelaki yang paling pendiam nan kalem, Nome Tatsuhiro.

Kau memijat dahi. Tentu saja kau bukan esper atau cenayang. Hanya saja, kebiasaan lelaki berbingkai manik itu tertebak olehmu. "Dia sudah pulang duluan. Demi mengunduh episode terbaru animasi Majokko Mamirin musim ketujuh."

Ketiga lelaki selain Momotaro pun tertegun. Mereka baru sekelas dengan Mikado. Jadi, kau mewajarkan ekspresi serempak barusan. Jemarimu segera meraih smartphone, mengetuk layar beberapa kali. Kemudian menunjukkan sebuah pesan sudah terkirim dan terbaca oleh tuan rumah dalam beberapa detik.

"Dia mengizinkan kita ke sana. Mari berangkat," katamu yang segera pasrah.

Ramalan bodoh itu– kau yakini, tidak semestinya menghantui perasaanmu. Dia hanya teman kecilmu yang konyol.

×××

Ucapanmu memang tepat sasaran. Mikado sudah duduk begitu santai, setengah berbaring dengan sepasang earphone terpasang di telinga. Kalau saja Momotaro tidak mencabut paksa salah satu kabelnya, Mikado pasti masih terhanyut dengan tablet-nya. Setengah berjoget dengan alunan lagu pembuka ... atau mungkin penutupnya. Seperti cacing kepanasan di matamu.

"Ternyata kalian sudah datang, ya!" Mikado akhirnya duduk tegak begitu menyadari lima eksistensi lainnya. "Silakan duduk."

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Beberapa pelanggan yang datang terutama bekerja sebagai karyawan mulai ramai menempati kafe indoor. Tetapi masih ada sejumlah meja yang tersisa.

Bagi mahasiswa pejuang nilai akhir semester, beberapa laptop siap sedia di dalam ransel. Dan yang terpenting, mencari stop kontak. Mikado sudah tahu memenuhi kebutuhan hakiki tersebut– sengaja menjaga meja itu ditempati dirinya.

"Omong-omong, topik apa yang cocok?" tanya Momotaro setelah menekan tombol power di laptop-nya. Dia memang selalu serius. Terlepas masa-masa yang sudah terlewatkan, ekspresi datarnya tidak akan pernah berubah.

"Makan dulu yuuuk, Pi-chan." Hikaru memberenggut. Kali ini kau sepaham dengan Hikaru. Perut lapar tidak akan membantu karena gagal konsentrasi.

Mikado menyela, memberikan buku menu. "Mau matcha bingsoo? Es serut teh hijau, topping-nya bebas campur apa saja. Untuk camilan, ada gingerbread."

Kazuna terkekeh kaku seraya berkata, "Tidak untukku. Aku sedang flu."

Jemarimu pun menutup buku menu order. "Aku mau es serutnya, satu."

Mikado tersenyum mantap. "Siaaap! Kalau yang lain?"

Dalam diam, kau menyoroti Mikado yang sudah mencatat pesanan melalui tablet-nya. Sebenarnya Mikado punya pesona tersendiri. Dia lelaki yang ramah dan periang. Tubuhnya juga tinggi dan atletis. Prestasinya juga gemilang. Keluargamu juga sudah mengenal betul dirinya.

Semasa kecil, kau sering mampir untuk bermain bersamanya. Merasa dekat satu sama lain. Seperti melebihi sahabat, bagai saudara. Namun, kau kini merasa tidak bisa menerimanya seperti itu– di masa-masa yang dulu. Terkadang kau merasa senang, tetapi juga merasa kesal kepadanya.

"Masih mau tambah? Kau baik-baik saja?" Wajah Mikado begitu dekat denganmu– hanya selisih sepuluh sentimeter. Terkejut, kau mendorong bahu lelaki berambut cokelat tua itu.

"Tidak! Sibuk saja dengan Mamirin-mu sana!" serumu membuang muka, untuk mencari pengalihan wajah merah pekatmu. Gara-gara memikirkan pemuda itu, kau malah mengungkit Mamirin– padahal tidak ada kaitan dengan pesanan.

Alis Mikado tertaut lalu kembali tersenyum. "Tenang saja. Ada waktunya, kok. Terima kasih sudah memperhatikanku~"

Mikado pun berbalik badan lalu eksistensinya menghilang setelah memasuki ruang staf. Kini kau hanya ditemani keempat rekan yang seharusnya juga berada di meja yang sama denganmu. Mengamati tingkah lakumu barusan bersama Mikado.

"[Name]-san ...," ujar Kazuna mengusap dagu, tampak menganalisis.

Hikaru terkikik lalu mengepalkan kedua tangan tepat di pipinya. "Ternyata begitu, ya. Semangat, [Name]-chan."

Momotaro hanya diam saja. Sepertinya menggunakan fasilitas koneksi wireless fidelity gratis lebih menyenangkan daripada memastikan situasi yang terjadi barusan. Begitu juga dengan Tatsuhiro yang sibuk bermain ponsel– meski iris ungunya terlanjur tertangkap basah beberapa kali melirik ke arahmu.

"Apa maksud kalian?" Kau mengernyitkan dahi.

"Kau menyukainya. Terlalu kontras," tutur Momotaro sibuk mengetik, tanpa melihatmu sekalipun. Seperti membuka kotak pandora, tetapi lelaki berambut merah itu seakan sudah tahu sejak bertahun-tahun lamanya.

Tatsuhiro berdeham. "Kukira kalian memang berpacaran."

"H-hah? Kalian jangan sembarangan menduga!" elakmu menyalakan laptop.

Pelayan kafe membawakan pesanan Kazuna dan Hikaru– secangkir putih espresso dan sepiring nasi omelet. Kazuna menyesap kopi hitam pekat itu pelan-pelan, sedangkan Hikaru tak segan memotong telur menjadi dua bagian.

"Aku tidak bermaksud meledekmu, [Name]-san. Kurasa Sekimura-san tidak peka. Meski dia pemuda baik dan bisa diandalkan." Kazuna meletakkan cangkir tepat di atas tatakan. Seperti sedang menikmati jamuan kelas atas.

Hikaru menyantap potongan telur. Begitu semangat hingga menyisakan butir nasi di pinggir bibir. "Kau pasti bisa, [Name]-san! Jangan pesimis. Kalian cocok, kok!"

Untuk membantah lebih lanjut, kedua lelaki barusan sudah memberi tatapan penuh dukungan. Sedangkan sisanya hanya larut dalam kesibukan. Kau memijat dahi.

"Jadi ... kapan kita mengerjakan tugas akhirnya?" semprotmu mengalihkan topik. Tidak hanya perempuan, lelaki juga bisa menggosipkan hal-hal seperti ini. Pesanan Momotaro dan Tatsuhiro juga sudah diantar. Hanya pesananmu saja yang masih dalam penantian.

Tak lama, semangkuk es serut serba hijau kini muncul di hadapanmu. Kafe keluarga Mikado punya sejumlah pegawai. Tetapi Mikado lantas berinisiatif melakukannya, lalu mengambil kursi kosong dan duduk di sebelahmu.

Kau berpura-pura tidak terpengaruh akan kehadirannya– padahal jantungmu sudah berdesir kencang— semoga saja tidak terdengar, harapmu. Gugup dan panik bercampur jadi satu. Benakmu terus meyakini diri sendiri karena kebetulan posisimu berada di tepi dan hanya ada satu posisi yang pas untuk diduduki.

"Kalian membicarakan apa, sih?" tanya Mikado menopang dagu, penasaran.

"Topik yang tidak penting, tidak perlu diingat, dan tidak menyenangkan," jawabmu apatis.

"Tadi aku melihat Hikaru tersenyum-senyum. Sepertinya tidak sinkron," bantah Mikado kini bertingkah skeptis.

"Dia hanya tersenyum karena kutanyai makanan kesukaannya," sangkalmu lagi.

Iris emerald Mikado menatap Hikaru lekat-lekat, seakan bisa menusuk untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Namun, Hikaru terkekeh kaku. Keringat dingin malah membanjiri wajahnya. Padahal, penghangat ruangan tidak berada di dekatnya.

"Kami tadi berdiskusi tentang perasaan [Name]-chan yang ...." Dalam sepersekian detik, Hikaru terbelalak dan ucapannya terjeda, membocorkan sebagian– atau mungkin lebih dari separuh tentang curahan hati dadakan.

Namun, semakin banyak orang yang tahu, maka tidak lagi bisa disebut rahasia. Kau memang tidak menyuruh Hikaru untuk merahasiakan. Sekaligus merupakan kecerobohan yang tidak disangka. Ingin rasanya kau menimpuk Hikaru dengan sebongkah batu bata. Peribahasa yang sesuai dengan situasi sekarang: nasi sudah menjadi bubur.

Kau mendengus kasar, menyendok es serut agar mulutmu tidak bicara karena sibuk mengunyah. Meski tidak melihat reaksi Kazuna, tetapi sepertinya reaksinya tidak jauh berbeda – langsung meneguk espresso hingga isinya kandas.

Usai penyelidikan kecil-kecilan– dan tepat sasaran, Mikado hanya berdeham kecil. "Selama ini, kami selalu jadi teman kecil yang tak terpisahkan."

Jemarimu terkepal erat– akhirnya memilih menepuk dahi yang berdenyut untuk mendinginkan pikiran. Tiada gunanya untuk melakukan sumpah serapah kepada Hikaru. Toh, mungkin tindakanmu memang semestinya begitu mudah ditebak. Namun, lelaki berbingkai manik ini tidak pernah sadar– seakan kehilangan rasa peka, terkecuali menyadari ekspresi Mamirin setiap pergantian frame.

Kau mengelakkan rasa; hanya karena tak ingin terluka. Meski sebenarnya hatimu telah tertambat kepadanya.

– To be Continued –
(Lanjut ke Part 2)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro