Rumah Sakit - Kitakado Tomohisa
Requested by Aka-niira a.k.a Pare
Thanks for the request~
Dedaunan pohon kembali hijau. Angin berembus lembut, awan memberi jarak pada angkasa, dan sinar mentari melipuri hangat siapapun yang terpapar eksistensinya. [Name] membalik tirai putih yang menutupi dunia nyaris sepanjang hari. Sudut bibirnya tertarik tipis. Ia bisa bangun pagi tanpa alarm dan itu rekor baik.
Waktu telah menunjukkan pukul enam pagi. Setengah jam lagi perawat akan datang mengecek, tetapi hanya memberinya vitamin dan sarapan pagi. [Name] sudah paham rutinitas rumah sakit terhadapnya selama dua hari terakhir.
Yap, alasan [Name] berada di rumah sakit yakni karena lelah akibat aktivitas lemburnya sebagai pegawai kantoran. Sebagai pegawai tetap, atasannya memberi izin istirahat selama empat hari. Dan, rencananya [Name] ingin nekat meminta rawat jalan. Rumah sakit terasa menjemukan karena minim aktivitas.
[Name] memijat kepala. Bila berada di rumah sakit lebih lama lagi, ia yakin akan segera menggila. Dan, itu perkara serius. Mulai muak dengan aktivitas tanpa pergerakan, ia hanya bisa mondar-mandir dalam ruangan.
Pintu pasien terbuka dari luar secara otomatis--- menandakan dugaan [Name] betul. Dan benar saja, perawat datang dengan nampan berisi segala keperluan. Namun, ia ditemani sesosok pemuda berpakaian rapi--- kemeja biru muda dan celana kain hitam. Kalau [Name] tidak mendengar sapaan perawat barusan, ia pasti akan pingsan dengan wajah membiru karena terlalu lama menahan napas.
"Apa kabarmu, [Name]-san?"
Helaian rambut putih yang tersisir rapi. Sepasang iris biru cerah yang menenangkan. Eksistensi yang nyaris sempurna itu sejujurnya tidak asing.
"Mbak, dia ini... siapa, ya?" tunjuk [Name] yakin sedang amnesia.
"Dia anak pemilik rumah sakit ini. Mari kemarikan lengan kiri Anda untuk diperiksa tekanan darah," kata perawat sempat tersipu singkat lalu mulai mengambil tensimeter.
[Name] mati kutu. Sepertinya, niat untuk kabur menguap begitu saja. Bukan karena terpesona, tapi bila saat ini ia kabur dari rumah sakit, posibilitasnya hanya kurang dari satu persen.
Akhirnya [Name] teringat sesuatu.
Kitakado Tomohisa adalah rival peringkatnya ketika mereka duduk di bangku SMA.
Rumah Sakit
Pair: Kitakado Tomohisa x Reader
B-Project © MAGES, Yukihiro Utako
Genre: Romance, comedy
Warning:
Harap tidak dibaca ketika perut sedang lapar, OOC, typo.
Rate: T+ [PG-15]
By agashii-san
.
.
.
"Keadaanmu sudah lebih baik?" tanya Tomohisa duduk di sebelah [Name].
Sarapan yang disediakan dari rumah sakit masih terbungkus rapi dengan balutan aluminium foil di atas meja. Meninggalkan jejak uap air yang menempel kala suhu makanan mulai merendah. Suasana kembali sunyi.
[Name] tidak paham laki-laki itu justru malah masih menetap di ruangannya ketimbang ikut pergi bersama perawat usai melakukan pemeriksaan singkat. Ia merasa canggung.
"Hm. Seperti yang bisa kaulihat," sahut [Name] acuh tak acuh.
Tomohisa mengambil porsi sarapanmu. "Tidak makan? Nanti dingin."
"Makanan rumah sakit pasti tidak enak. Sudahlah, kau pergi saja," keluh [Name] mendengus lalu merebahkan tubuh dengan selimut hingga menutupi seluruh wajah.
Pemuda berambut putih itu menatap dalam diam tanpa bantahan lebih lanjut. Ia ingin membahas banyak hal dengan gadis itu, tetapi karena terlanjur menutup diri, ia segan mengganggunya. Akhirnya, ia bangkit dari kursi kemudian menuju pintu keluar pasien.
"Maaf bila aku membuatmu tidak nyaman. Semoga lekas sembuh," ujar Tomohisa terlihat kecewa lalu menghilang dari balik pintu.
[Name] mendengus pelan. Seolah bumi begitu sempit, tetapi tidak juga harus membuat batinnya tersiksa. Diintipnya menu makanan rumah sakit yang tidak tersentuh--- rapi, meskipun meninggalkan jejak uap air di atas pembungkus. Semangkuk nasi, irisan daging ikan kukus, dan sup bayam-jagung. Tidak lupa terdapat buah sebagai sajian penutup--- pisang.
"Seharusnya dia tidak perlu merasa mengenalku," gumam [Name] membuka bungkusan plastik dan mulai menyendoki suapan pertama.
Kalau Tomohisa mendapatinya sedang makan sekarang, ia akan memberi alasan "lapar". Sejujurnya, ia tidak pemilih akan makanan selama masih terasa manusiawi di indera pengecapnya.
• • •
Setelah [Name] makan, seorang perawat menggiring nampan berisi aneka makanan penutup mungil. Yakni cheese cake dengan es krim vanila di atasnya ditemani sebutir kue kering gandum.
Oh. Kue itu tak sendiri, melainkan ada sekotak makaron warna-warni yang menemani.
"Mbak...," gumam [Name], "ini bukan saya yang pesan."
Perawat itu tersenyum. "Dari Tuan Kitakado. Beliau ingin Anda mencicipi kue. Selain itu, ahli nutrisi rumah sakit sudah memastikan bahwa sajian ini baik untuk Anda."
[Name] menatap kue itu di pangkuannya. Kue itu pasti tidak akan bisa dihabiskan seorang diri. Namun, semua kue manis itu sangat menggoda untuk dicicipi satu per satu.
"Ano... Kalau boleh tahu, kapan Kitakado-san mengusulkan hal ini?" tanya [Name] mulai menyendoki suapan pertama cheese cake. "Hm, oishii (enak)!"
Perpaduan asin dan manis. Sejuk dari es krim vanila yang berada di atas kue. Rasa yang berakhir meleleh di indera pengecap dan meninggalkan jejak tagih di setiap kunyahan.
Belum sempat ditelan [Name] pun berkata, "Tunggu! Apa kue ini menjadi biaya administrasi tambahan di luar pembayaran asuransi?"
Perawat itu terdiam sepintas lalu terkekeh, "Tidak. Beliau khusus membelikan kue ini untuk Anda. Semoga Anda menyukainya. Permisi."
[Name] langsung menekap mulutnya. Suka? Iya, suka yang dimaksudkan perawat yakni pasti kue keju. Ia mulai melahap potongan kedua. Sensasi manis kembali menggelitik lidahnya. Kini, ia bisa melahap lebih leluasa.
Kotak kue makaron yang terbuka pun ia tutup. Ternyata di atasnya terdapat sebuah sticky note berwarna hijau cerah dengan tulisan rapi di sana.
Untuk pengunjung yang datang bila kau tidak sanggup menghabiskannya.
Diambilnya sebutir makaron sembari bermonolog. "Kumakan karena masih lapar. Bukan karena ada maksud lain."
Ketika ia menganggap Tomohisa sebagai musuh, lantas pemuda itu meluluhkan hatinya.
• • •
"Kue... lagi?"
Dua puluh empat jam usai makan siang kemarin, menu penutup kembali diserahkan kepadanya.
"Ini red velvet cake."
Alih-alih kembali mencicipi kue seperti kemarin, [Name] langsung mengambil tiang selang infus lalu bergegas keluar dari ruangan. Perawat menaruh kue lebih dulu di atas meja sebelah tempat tidur. Ia menahan pergelangan tangan [Name].
"Anda mau ke mana?" tanya perawat itu harap-harap cemas. "Izin opname Anda masih sampai besok."
[Name] tidak menjawab pertanyaan sang perawat. Jejak Tomohisa pasti belum hilang semenjak kue ini baru diberikan. Manik [Name] mengitari seisi rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda dan ia masih tetap mencari di sekitar lorong. Namun, rupanya Tomohisa baru saja berjalan menuju elevator yang berada di sisi terjauh dari letak ruangannya.
"Hei! Kau harus bertanggung jawab kepadaku!" sergah [Name] menunjuk ke arah Tomohisa lalu menghampirinya.
Beberapa pasang mata ibu-ibu melirik ingin tahu--- mungkin terbayang keadaan keduanya bagai sinetron kacangan--- yakni mengira sang wanita terlanjur hamil di luar nikah dan menuntut keadilan. Dan bayangan itu sangat tidak etis. Juga menyeramkan di usia dini.
Manik biru cerah Tomohisa melebar sekilas kemudian berganti senyuman hangat.
"Kenapa? Ada masalah?"
Kedua pipi [Name] justru merona karena Tomohisa tidak terlihat khawatir karena seruannya. Menanggapi begitu tenang.
"Tanggung jawab… karena kue-kuemu bisa membuatku gendut!" gerutu [Name] menunduk.
Tomohisa terdiam sebentar lalu tertawa. Setelah pintu elevator terbuka, ia menarik [Name] masuk bersamanya.
Sang perawat itu berhasil menyusul [Name].
"[Name]-san! Anda harus segera kem---"
Namun, Tomohisa memberi isyarat; menutup bibir dengan jari telunjuknya sendiri--- bahwa [Name] pasti aman ketika bersamanya. Dengan cepat, perawat itu tersipu lalu menuruti perintahnya. Kehebohan menyepi seketika.
"Ki-kita mau ke mana?" tanya [Name] mengernyitkan dahi.
Tomohisa menatap tanda angka di elevator yang semakin menurun. "Jalan-jalan."
[Name] menggerutu kecil, "Kau... seharusnya marah kepadaku, kan karena kemarin? Kenapa malah memberiku kue selama dua hari ini?"
Diam-diam, kue itu menarik perhatiannya. Membiarkan dirinya mengejar pemuda itu, menanyakan alasan. Namun, hatinya hanya belum memahami. Bahwa di waktu yang bersamaan ia bisa menyukai sekaligus merindu.
"Kau boleh membuang kuenya kalau tidak suka. Aku hanya ingin orang yang kusukai bahagia dengan pemberianku," ujar Tomohisa tanpa ada kegugupan sekalipun di wajahnya.
Lain halnya, [Name] menganga bingung. Salah tingkah.
"Su... suka? Maaf, aku tidak salah dengar kan?"
Pintu elevator terbuka. Tomohisa keluar lebih dulu. Pemuda itu merangkul bahu [Name], hendak berbisik.
"Begitu tahu kau kelelahan, aku menyuruh atasanmu untuk memberi izin opname di rumah sakit ini. Beliau rekan baik ayahku."
Seolah [Name] belum puas dibuat terkejut, rahasia demi rahasia lainnya hadir. Tubuh gadis itu nyaris goyah seketika, tapi pemuda itu tak segan menopang. Antara debaran, gugup, dan semua ucapan itu membayang-bayangi raganya.
"Kitakado-san, kau ini sebenarnya siapa?" tanya [Name] seolah yakin bahwa pemuda itu hanya bercanda.
Tidak heran meski pertanyaan barusan dapat terbilang aneh, Tomohisa menjawab, "Anak pemilik rumah sakit ini dan teman semasa SMA yang menaruh harapan kepadamu."
Keduanya berjalan menuju lorong. Sekadar diajak berkeliling, tetapi [Name] sengaja berjalan lebih cepat. Semburat wajahnya tidak kunjung menghilang. Setidaknya, bagi Tomohisa, gadis itu masih mau berinteraksi setelah sekian lama berpisah oleh jarak dan waktu.
× × ×
O M A K E
× × ×
[Name] kembali ke ruang pasien. Diantar oleh pemuda itu, tentu saja. Mereka saling berdiam-diaman satu sama lain hingga gadis itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Gadis itu masih tak percaya.
Dari dulu, ia selalu menganggap Tomohisa adalah pria populer dan senang memandang rendah dirinya. Hingga tamat SMA sekalipun, ia takkan bisa mengungguli nilai Tomohisa. Oleh karena itu, [Name] tidak mau berinteraksi dengan pemuda itu. Ia iri, tapi sejujurnya ia diam-diam tak mau mengakui kekaguman yang menyusuri batinnya.
"Kau aneh," ujar [Name] dengan kepala tertunduk. "Kau bisa menertawakanku karena sekarang aku hanya menjadi pegawai biasa. Menyedihkan, kan?"
Tomohisa menatap lekat-lekat. "Untuk apa menertawaimu? Kau berjuang sangat keras. Kau berusaha lebih dari siapapun."
Pemuda itu berjongkok. Berusaha menyamai posisi [Name]. Menggapai jemari-jemari kecil miliknya. Iris biru cerah Tomohisa terlihat penuh optimis--- seolah dengan senang hati memancarkan sisi semangatnya kepada gadis itu.
"Kalau kau terluka, jangan sungkan untuk datang kepadaku. Aku ada di sini."
Tanpa sadar [Name] setengah terisak, dilipuri haru. Ketika rekan kerja cenderung meninggalkannya, menganggap bekerja lembur adalah tindakan terkonyol, pemuda itu lantas tanpa ragu memujinya. Menganggap perjuangan atas selama ini berharga.
"Kitakado-san... jangan terlalu baik kepadaku." [Name] mendengus pelan.
Beralih dari sentuhan dari jemari, pemuda itu menepuk pelan kedua bahu [Name].
"Aku hanya berbuat hal yang bisa kulakukan."
Menyeka air mata, [Name] mengernyitkan dahi. "Semua gadis bisa jatuh hati dengan mudah kalau kau berkata seperti itu."
Tomohisa terkekeh, "Jadi, kalau kau? Apa sudah jatuh hati kepadaku?"
"Aku... tidak tahu," sahut gadis itu menolak memandangnya.
Kembali berdiri, Tomohisa membukakan pintu ruang pasien [Name].
"Kalau soal perasaan, aku bisa cukup gigih. Masuklah. Besok kau sudah pulang kan?" tanya Tomohisa.
Pintu itu kembali merapat. Namun, gadis itu jadi tidak rela berpisah. Tahu-tahu, tangannya sengaja membatasi pintu agar tidak jadi tertutup.
"Besok... kau akan datang lagi?"
Tomohisa mengangguk. "Mulai saat ini, aku akan sering menemuimu selain di rumah sakit. Sampai jumpa."
Kini, pintu ruangan pasien sungguh tertutup seutuhnya. Gadis itu refleks jatuh terduduk dalam bersandar. Kemudian meraba pipi. Siapa yang tahu, bila keduanya sudah saling terbalaskan?
• Fin •
Words: 1712
A/N:
Saya... apdet lagi ketika masih hiatus /dor.
Habisnya mumpung masih ada jadwal kosong meskipun ujian belum kelar, nyicil dulu hoho~
Thanks for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro