Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mawar [Part. 2] - Aizome Kento

Mengelus permukaan bibir bawah [Name], Kento tersenyum penuh keyakinan.

"Baiklah. Mari lakukan sekarang. Ciuman pertamamu kepadaku."

Manik [Name] membola penuh. Panik, kaki [Name] pun mundur beberapa langkah. Tanpa sadar, tubuhnya sudah bersandar di meja.

"Tunggu! Apa tidak ada solusi lain? Misalnya ... menggosok genteng toko?"

Kento menaikkan satu alis. "Kutukanku bukan kebohongan. Ini karena ulah ayahku yang nekad membunuh rubah berdarah murni."

Bila tidak berhubungan dengan skinship, [Name] sebenarnya sama sekali tidak keberatan. Termasuk usul tidak masuk akalnya barusan tetap siap ia lakukan. Meskipun dilakukan subuh hari sekalipun.

"Kalau boleh tahu ... sudah sejak kapan kau menjadi rubah?" tanya [Name].

Kento memberi senyuman getir. Gadis itu terlalu ingin tahu. Tapi karena dialah satu-satunya yang sudah menangkap basah dirinya, ia tidak punya pilihan.

"Saat aku berusia lima belas. Setiap bulan purnama tiba, aku harus mengorbankan setangkai mawar dan tetesan darah agar bisa kembali ke wujud ini."

Kento membalik kemeja putih hingga siku. Sarung tangan hitamnya. Banyak bekas luka iris memenuhi hingga lengan. Luka terbarunya di jari telunjuk; berbalut plester.

"Ini ... luka yang diperbuat dirimu sendiri? Bagaimana bisa?" [Name] menekap sebagian wajahnya.

Mengulur kembali dan menutupi luka tadi, Kento hanya tersenyum lemah.

"Dengan sebuah ciuman darimu, aku tidak perlu melukai diri lagi. Tapi ...."

[Name] menanti lanjutan kata pemuda itu.

"Kau tak menyukaiku, 'kan? Jadi, lupakan saja permintaanku barusan. Aku tidak murni mendesakmu."

Daripada memaksa kehendak, Kento tidak mau gadis itu menghilang darinya. Meninggalkan dirinya dalam kesendirian.

Mawar - Last Part

Pair: Jeweller! Beast! Aizome Kento x Accessory maker! Beauty! Reader

B-project (c) MAGES

Plot by agashii-san
.

.

.

Menopang dagu, [Name] menatap gamang sebuah buku yang tidak tergores seaksara pun. Ia ingin membantu. Lagi pula, Kento sudah tidak pernah menyinggung ayahnya. Ia merasa harus berutang budi. Meski itu harus dibalas dengan kerja paksa.

"Apa benar-benar tidak ada solusi lain yang bisa kulakukan?" [Name] mengacak rambut.

Beralih dari rambut, gadis itu hendak meraba bibirnya. Bila tadi mengiakan tawaran Kento, apa yang akan terjadi? Ia penasaran, tetapi rasa takut juga melanda batinnya. Meskipun terlalu bermimpi, ia mengingini ciuman itu saat pernikahan dengan lelaki impiannya kelak.

Jemari [Name] meraba bandul mawar berlapis kaca. Saat pertama kali ia melihat warna mawar merah yang segar merona.

Tapi kini terlihat keganjilan.

Mawar itu kini berwarna merah kecokelatan.

[Name] memandang arah pantulan lentera berwarna kuning keemasan. Ia menggeleng cepat. Mungkin ia terlalu curiga sehingga warna bisa begitu mudah termanipulasi.

Semua hanya perasaan semata. Ya. Seharusnya demikian.

• • •

Kento tak pernah lagi menyinggung solusi kutukan. Yang sama yakni sesekali tetap menggoda [Name] untuk mencairkan suasana. Melayani pelanggan. Tidak begitu jauh berbeda sejak hari pertama [Name] bekerja di sana.

"Kento, apa sih alasanmu menjadi perangkai perhiasan?" tanya [Name] ketika toko sudah sepi.

Lelaki berambut biru itu memperbaiki letak poninya. Berhadapan dengan cermin duduk. Begitu ditanyai demikian, jemarinya kini mengudara dari rambut.

"Karena ibuku suka keindahan. Aku juga. Karena langka didapat, perhiasan murni wajar bernilai tinggi."

Seulas senyuman tertarik di kedua sudut bibir [Name]. Meskipun genit, Kento punya alasan yang bagus. Ia jadi merasa tidak enak berprasangka buruk--- mengira alasan digilai wanita sejuta umat. Terlalu dangkal untuk sebuah pemikiran.

"[Name] ...," panggil Kento dengan nada lirih.

Kento jatuh terduduk. Menyentuh kepalanya yang terasa nyeri. Terdengar napas berat; tersengal-sengal.

Panik, [Name] menghampiri lelaki itu. "K-kau kenapa? Sakit?"

Kento menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Tutup saja tokonya. Kau sudah boleh pulang."

"Aku akan memanggil klinik!" sergah [Name] menyadari Kento sudah berkeringat dingin.

Wajah lelaki itu pucat pasi. "Tidak usah. Aku hanya perlu berbaring. Percayalah kepadaku. Aku ... baik-baik saja."

Dibantu [Name], Kento berjalan pelan ke ruangan kerja kemudian duduk di sofa.

"Kenapa kau tidak pulang?" tanya Kento menutup sepasang maniknya dengan lengan kiri.

[Name] duduk di lantai tepat sebelah sofa. "Mana bisa aku meninggalkan majikanku sendirian dalam kondisi sakit? Aku masih punya perasaan."

Kento terkekeh kecil. "Apa kau mulai jatuh hati kepadaku?"

Tidak langsung menjawab, [Name] pergi ke toilet yang disatukan dengan ruang kerja. Kento sempat mengira gadis itu menghindari pertanyaannya, tetapi ternyata wajahnya diseka dengan sapu tangan basah.

"Mungkin karena demam sehingga ucapanmu semakin aneh?" gerutu [Name].

"Aku serius. Apa kau pernah ... setidaknya sedikit memikirkanku?" tanya Kento lagi membiarkan sepasang irisnya melihat respons [Name].

[Name] membuang muka. "Soal solusi itu ... ada akan banyak gadis yang bisa melakukannya. Gadis jujur tak hanya aku."

Lelaki itu menatap nanar. Terselip kesedihan dari raut wajahnya.

"Aku hanya ingin kau, [Name]. Entah kenapa."

Sebelum [Name] menyahut, Kento sudah memejamkan mata. Seakan menyuruhnya pergi. Alis [Name] tertaut dalam.

Toko perhiasan Kento dinyatakan 'CLOSED'. Padahal sejak kedatangan [Name] sebagai pegawai, papan itu selalu menunjukkan sebaliknya. Tidak hanya dirinya, beberapa pelanggan kaum hawa hanya bisa mendesah kecewa.

"Kenapa dia tidak buka, ya? Gerbang toko juga dikunci," kata salah satu pelanggan.

[Name] menghela napas. Karena memang dipastikan tutup untuk siapa saja, ia hanya bisa berbalik badan. Tapi langkahnya terasa begitu berat.

Apa lelaki itu baik-baik saja?

"Kak, toko ini memang tutup, ya?" tanya pelanggan yang menyadari eksistensi [Name].

Mengangguk kaku, [Name] berkata, "Iya. Aku sendiri tidak tahu alasan Kento menutup toko berhari-hari."

Ditunggu tanpa kepastian, beberapa pelanggan satu per satu telah membubarkan diri. Kaki [Name] juga kembali menjauhi toko. Meski dirinya merasa lelaki itu sedang tidak baik-baik saja.

• • •

[Name] melamun sepanjang waktu. Bahkan kedua kakak kandung menegurnya beberapa kali. Terutama memungut butiran nasi di pinggir bibirnya.

"Kau aneh," kata kakak sulung menyicip tahu goreng.

"Hm. Aneh, ya?" gumam [Name] tidak merasa heran.

Kakak kedua yang duduk di sebelah [Name] mengernyitkan dahi. Jemarinya menyentuh bandul mawar yang tersemat manis di dada [Name]. Berlapis kaca yang terpantul elegan.

"Apa Ayah membelikanmu ini? Lebih cantik daripada punyaku. Seingatku, kau hanya meminta setangkai mawar."

Gelagapan, [Name] berucap, "I-ini ... aku yang beli."

Satu alis kakak kedua terangkat. "Bagaimana kalau kita tukaran? Sama-sama kalung, kan?"

Biasanya, [Name] selalu jadi pihak yang mengalah. Jarang memberontak. Apapun yang dapat mencegah masalah terjadi dilakukan semaksimal mungkin. Akan tetapi kalung ini mengikat perjanjiannya dengan Kento. Membawanya teringat lagi kepada sang rubah.


Rubah penggoda, tetapi berhati kesepian.

Seketika kedua wujud yang saling bertolak belakang memiliki pesona tersendiri. Iris biru yang melirik manja, tetapi punya jiwa optimis. Diam-diam menebar aura magis terhadap siapapun yang terpukau olehnya.

"Tidak bisa," bantah [Name] menggenggam bandul kalung itu.

"Kenapa tidak bisa? Lagi pula keduanya dari toko yang sama, kan?" desak kakak kedua [Name].

Meski tahu lelaki punya sisi sebagai rubah sekalipun, ia kembali merindukan masa-masa bekerja sebagai pegawai toko. Ia merasa nyaman. Ia tidak mau kehilangan kontak dengan Kento.

"Maaf, tidak bisa kutukarkan. Aku pergi dulu. Tolong cucikan peralatan makanku, ya."

Bangkit dari kursi, [Name] segera mengambil mantel kemudian meninggalkan rumah. Hari mulai menjelang malam.

Kakak kedua pun berucap, "Sepertinya [Name] sudah bisa memprioritaskan sesuatu."

"He-eh? Yang tadi kau serius?" tanya si anak sulung.

Lawan bicara pun menggeleng. "Aku hanya penasaran. Mawar indah itu di dalamnya seperti bunga asli yang seakan ... mulai layu. Semoga aku salah menebak."

• • •

Meski baru saja beralih dari musim panas, angin sudah begitu sepoi-sepoi. Bila tadi ia tidak terpikir menggunakan mantel, ia pasti bisa saja terserang flu dadakan.

Mungkin Kento akan menganggapnya gadis bodoh yang datang tanpa diminta. Tapi ia juga tidak tenang terus memikirkan lelaki itu. Meski sudah bisa menyimpulkan, tetapi dielak juga takkan memberi jawaban pas.

Hatinya tertambat kepada sang lelaki.

Rintik-rintik hujan datang di saat tidak tepat. Transportasi bus umum tidak sepenuhnya meneduhkan. Partikel kaca yang tidak rapat masuk dalam celah. Membasahi setiap eksistensi tanpa pandang bulu. Dingin siap menggentarkan siapa saja yang bertahan di luar sana. Melindungi diri di balik kehangatan.

Saat [Name] tiba di gerbang toko Kento, mawar yang terlilit begitu rapuh. Tidak seindah kelopak merah merona seperti dulu. Basah oleh tetesan hujan deras. Gerbang itu masih terkunci.

"Kento, ini [Name]," seru gadis itu mengguncang gerbang, tetapi segera sadar bahwa hujan meredam suaranya.

Apa ia harus menyerah?

"[Name]?"

Manik gadis itu menemukan lelaki yang dicemaskannya. Begitu tertangkap basah akan eksistensi, kakinya sontak membeku di tempat. Seakan begitu sulit untuk digerakkan.

Kento tengah memegang payung transparan di belakang [Name]. Sedikit berlari agar cepat menghampiri sang gadis yang sudah basah kuyup. Tubuhnya juga menggigil.

"Kenapa datang malam-malam begini?" tanya Kento mengernyitkan dahi.

Mata [Name] sudah basah. "Aku ... kira kau akan menghilang. Kemudian tidak lagi bisa melihatmu."

"Kenapa aku akan menghilang? Syukur saja aku sedang keluar rumah."

Sedikit terisak, [Name] menundukkan kepala. "Habisnya ... tokomu terus tutup."

Kento menata sedikit poni rambutnya. "Terkadang aku butuh waktu sendiri. Tiba-tiba saja aku menjadi rubah lagi dan normal kembali hari ini. Kuharap besok sudah baik-baik saja."

"Syukurlah," kata [Name] menyadari kedua pipinya memanas.

Ia malu. Malu sekali.

Ia merasa telah melakukan tindakan terbodoh seumur hidupnya. Namun, Kento tidak segan mendekap [Name]. Alhasil, payung itu melambung akibat tiupan angin tanpa pertahanan. Kemudian mendarat indah di dekat gerbang penuh mawar.

"Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja."

Menggeleng cepat, [Name] berkata, "Tidak. Karena masih dikutuk justru tidak baik-baik saja."

Kento tersenyum tipis. "Aku masih bisa bertahan hidup selama ada mawar dan setetes darahku. Jadi, tidak apa."

Tangan [Name] menggapai lengan kemeja putih Kento. "Aku tidak mau kau terluka seperti itu jadi ... lakukanlah."

Manik biru Kento melebar disertai mulut cengo. "Eh?"

[Name] membuang muka. "Ci-ciuman itu. Aku datang untuk melepas kutukanmu."

Terdiam sejenak, Kento memegang kedua bahu gadis itu. Ditatapnya lekat-lekat. Meyakini bila muncul kekehan di detik selanjutnya. Tapi tidak ada yang berubah. Rona semerah tomat memenuhi kedua pipi [Name].

"Aku anggap persetujuan. Tanpa penolakan."

Jemari Kento menangkup dagu [Name]. Semakin rapat jarak di antara mereka, keduanya saling memejamkan mata. Hingga kedua bibir mereka saling bertaut.

• • •

o m a k e

• • •

Menghangatkan tubuh, keduanya berlindung di dalam rumah Kento. Handuk terlampir di sisi tengkuk. Teh merah yang baru usai diseduh. Tidak lupa, Kento meninggikan suhu penghangat ruangan.

"Dicium sekali tidak cukup," kata Kento sembari memberi tatapan manja kepada [Name].

"Dasar mesum. Terima kasih. Aku jadi tidak bisa menikah."

Alis Kento terangkat satu. "Kenapa begitu?"

"Dulu ... sebelum Ibu tiada, dia bilang ciuman pertama wajib diberikan kepada mempelai pria di masa depan."

Impian itu sudah raib. Tapi [Name] menyadari pipi pemuda itu tidak lagi terlihat adanya bulu-bulu rubah. Mulus bagai bokong bayi. Kutukan itu sudah semestinya hilang. Hati [Name] seketika merasa dipenuhi kelegaan.

"Ya sudah, kita tinggal menikah saja," ajak Kento tanpa canggung sedikit pun.

Manik [Name] membola. "Kau gila."

Semudah diucapkan seakan mengajak main rumah-rumahan.

"Gila termakan cintamu," ujar Kento memberi cengiran bodoh.

"Menikah bukan sesuatu yang gampang. Ayah dan kedua kakakku ...."

"Aku tahu mereka pasti akan sangat terkejut. Akan ketampananku."

"Cih. Dasar narsistik," oceh [Name] membuang muka.

Kento mengambil sebuah selimut putih tebal lalu merebahkan tepat di pucuk kepala [Name]. Merambatkan kehangatan yang mendalam. Sepasang iris yang saling bertemu. Jemari [Name] ditarik pelan.

"Mari kita rajut impianmu juga. Mulai saat ini. Bersamaku." Kento menatap lekat-lekat, mengecup punggung tangan [Name].

Kisah penuh warna mereka baru saja dimulai. Dengan sentuhan kasih dan pengharapan. Dan keyakinan.

• Fin •

A/n:
Meski tidak mencapai 4k words, tapi karena panjang kata kisaran 3k tetap kubagi menjadi dua part.

Terima kasih sudah membaca!

Love,
Agachii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro