Mawar [Part. 1] - Aizome Kento
Late fic for our fox, Aizome Kento (30/8)
Check the media for the official visual!
Malam itu cerah berkat pantulan sinar bulan purnama. Namun, tidak secerah suasana hati sang lelaki yang duduk di sebuah taman. Tangannya kotor sebab menggali tanah. Di sebelah galian terdapat butiran kelopak mawar merah.
Butiran kelopak ditabur ke dalam lubang galian. Tidak langsung dikubur, lelaki berambut biru itu mengambil sebuah pisau kecil. Ia mengiris jemari telunjuknya. Buliran darah menetes. Sengaja dibiarkan hingga membasahi kelopak mawar.
Merintih, tetapi menahan diri.
Setiap bulan purnama, dirinya--- Aizome Kento--- harus mengorbankan setangkai mawar dan setetes darah murni.
Semua itu agar dirinya tidak menjelma sebagai monster yang ditakuti orang-orang.
Mawar
Pair: Beast! Jeweler! Aizome Kento x Accessory Maker! Reader
Beauty & The Beast (c) Gabrielle-Suzanne Barbot De Villeneuve ; tema dongeng ini diadaptasi bebas
Rate: T+ [PG-15]
Reccomended song(s):
1. Monster - BigBang
2. Going Home - Tarin
B-project (c) MAGES
Plot by agashii-san
.
.
.
"Ayah, aku menginginkan parfum."
Pria paruh baya itu duduk dekat rak pintu utama sembari mengikat tali sepatu. "Baiklah. Bagaimana dengan kakak kedua dan putri bungsuku?"
Sebagai pekerja yang sering mutasi kerja, sang Ayah bersedia menerima permintaan ketiga anak perempuannya.
Anak kedua berkata, "Aku mau perhiasan."
Namun setelah permintaan kedua kakaknya, [Name] hanya bergeming. Ia bingung. Jarang sekali
"Putri bungsuku ingin apa?" tanya Ayah [Name] sembari tersenyum ramah.
Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak ingin apa-apa. Ayah berangkat saja."
Kakak sulung [Name] menyela, "Cih. Munafik. Dia pasti ingin novel romantis."
Dikatai demikian membuat kedua pipi sang subyek sukses merona. Tidak salah memang. Ia suka membaca karya fiksi. Terutama romantis.
Apa salahnya menyukai karakter pria tampan asal dunia fiksi?
Meskipun kelemahan dari dunia fiksi yakni hanya satu: tidak nyata.
Namun, [Name] tidak pernah meminta ayahnya membelikan novel. Selain menabung, ia selalu memakai uang hasil jualan. Meski tak seberapa karena hanya menjual aksesoris.
"Sungguh, kau tidak mau apa-apa? Ayah akan merasa bersalah bila kau tidak meminta apapun."
Terlihat raut kekecewaan dari sang Ayah. Karena tidak tega, [Name] memikirkan hadiah sesimpel mungkin. Yang tidak memberatkan ayahnya secara finansial. Sebuah bohlam imajiner muncul di benaknya.
"Baiklah kalau Ayah memaksa. Setangkai mawar," jawab [Name] yakin.
"Ayah takkan malu bila membelikanmu novel roman. Sungguh hanya itu saja?"
Terkesan aneh, kedua kakaknya tidak peduli dan kembali bersibuk seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin mereka lelah.
[Name] mengangguk yakin. "Lebih dari itu, aku berharap Ayah kembali dengan selamat."
Memberi seulas senyum hangat, sang kepala keluarga pun memutuskan untuk pamit dan berpisah. Ketiga putri ditugaskan menjaga rumah hingga kembali. Mereka bukan anak kecil lagi, maka semestinya bukan tugas berat.
• • •
Ayah mereka berjanji akan kembali seminggu kemudian. Meski demikian, dua hari telah berlalu tepat seminggu dan belum kembali. [Name] begitu cemas. Bersama kedua kakaknya yang hanya bisa menunggu dan berharap ayah mereka baik-baik saja.
Siang itu, gemerisik kunci terdengar nyaring di depan pintu rumah. [Name] yang sadar segera berhenti dari aktivitas merangkai aksesoris. Benar saja. Ayahnya pulang.
"Ayah!" panggil [Name] tersenyum berseri.
Tidak ada raut ramah seperti sembilan hari silam. Sepasang mata ayah [Name] ditemani kantung hitam. Terlihat lelah, tetapi kembali disamarkan begitu melihat putri bungsunya.
"Di mana kedua kakakmu?"
[Name] mengedikkan bahu. "Mereka hanya bilang keluar sebentar dan menyuruhku jaga rumah."
Ayah [Name] menghela napas. "Di saat penting seperti ini justru malah menghilang. Tapi karena kau ada di sini ... apa ayah bisa minta bantuanmu?"
Tanpa keraguan, [Name] mengangguk mantap. Meski seorang ayah berkewajiban menafkahi keluarga, tetapi peran anak semestinya turut membahu bersama.
"Maaf, ayah tidak bisa membawamu setangkai mawar. Ayah ... merasa bersalah."
"Tidak apa. Lupakan saja," tukasmu terkekeh santai. "Ayah jangan khawatir. Itu hanya ...."
Ayah [Name] mengeluarkan kalung berbandul mawar dari saku celana.
"Awalnya, aku izin memetik setangkai mawar untukmu di sebuah toko perhiasan. Tapi pemiliknya menolak. Saat itu, toko keramaian pembeli dan aku sedang memilih perhiasan untuk kakak keduamu. Tidak kusangka, kalung ini malah tercecer bersamaku."
Manikmu terbelalak. "J-jadi kalung ini belum terbayar?"
Ayah [Name] menggeleng cepat lalu mengambil kalung berbandul bintang. Ia terlihat cemas dan tidak tenang.
"Hanya terbayar satu. Yang ini milik kakakmu. Kalau kukembalikan, dia pasti menuduhku mencuri. Bagaimana ini?"
[Name] berkata, "Kalau begitu, biar aku saja yang kembalikan."
"T-tapi ...." Ayah [Name] menggaruk tengkuk. "Ini salah Ayah."
"Jangan khawatir. Percayalah kepadaku. Ayah duduk saja dengan tenang, ya. Pasti sangat lelah sehabis bekerja, kan?"
[Name] menepuk pelan pundak ayahnya. Memancarkan semangat untuk memusnahkan pemikiran negatif. Dia hanya ingin segalanya baik-baik saja.
"Hati-hati, [Name]. Cepatlah kembali."
Usai berpamitan, [Name] meninggalkan rumah dengan perlengkapan seadanya. Berbekal peta sederhana. Bicara baik-baik dan menyelesaikan secara kekeluargaan sudah adalah yang terbaik. Ya, gadis itu menanamkan baik-baik pemikiran positifnya sepanjang waktu.
Atau mungkin tidak.
Dua setengah jam perjalanan berlalu, sembari kaki [Name] mencari alamat--- kemudian mendapati bangunan mewah--- yang diyakini sebagai toko perhiasan.
"Selera Ayah memilih toko benar-benar aneh. Tidak seperti toko."
[Name] menggeser sedikit gerbang putih di luar toko. Ternyata memang tidak terkunci sama sekali. Tapi pintu utama tertutup rapat ditemani papan gantung 'CLOSED'. Sebelum mengetuk pintu, [Name] merasakan suasana yang begitu asri.
Mawar merah berseri mengelilingi gerbang. Benar-benar ditata dengan cantik dan rapi. Tidak heran bagimu kalau pemilik toko melarang siapapun memetiknya. Gadis itu mecoba memahami pesona floral.
Kembali teringat alasan kehadiran ke sini, [Name] beralih mengetuk pintu. Sekali. Dua kali. Tidak terjawab. Bila tiada respons untuk ketiga kalinya, ia memutuskan untuk meletakkan kalung itu di gagang pintu. Toh, ia hanya perlu mengembalikan saja.
Iseng memutar arah gagang, pintu toko tidak terkunci. Seperti gerbang berlilit mawar tadi. Alis [Name] mengerut. Sepertinya sang penjaga kurang pengawasan. Bagaimana bila yang datang bukan dirinya, melainkan seorang pencuri yang hendak merampok toko itu?
"Bahaya. Kenapa aku jadi tegang, ya?" gumam [Name] merasakan denyut nadi di dada jadi lebih cepat.
Nuansa toko ternyata berlatar minimalis. Putih mendominasi. [Name] sempat tersihir akan pesona perhiasan yang terpajang rapi. Segalanya terlihat magis. Juga elegan. Seakan tersihir untuk memanjakan penglihatan.
Toko itu mengingatkan impiannya untuk membuka toko aksesoris suatu saat nanti. Selama ini, ia membuat sendiri dan menjual dari rumah ke rumah. Teringat akan karya sendiri sedikit membuatnya rendah diri akibat refleks membandingkan. Merasa karyanya tak seberapa.
Toko itu seolah tak berpenghuni. Sunyi. Untuk lima menit pertama. Kemudian suara jeritan sang lelaki sukses menyebabkan [Name] terhenyak. Mengikuti asal suara, gadis itu ingin tahu.
Apa yang terjadi?
Keganjilan menyelubungi batin [Name].
Suara itu semakin menjadi-jadi di depan pintu lainnya.
Mungkin ia tidak boleh ikut campur.
Tapi gagang pintu yang digenggam telah berubah arah.
Hari itu, [Name] menangkap basah wujud seekor rubah berbadan manusia.
• • •
"M-maafkan aku," ucap [Name] seketika pucat pasti.
[Name] hanya takut satu hal: dimakan hidup-hidup. Racauan itu juga terhenti ketika pintu itu terbuka lebar. Rubah beriris biru turkois menatapnya lekat-lekat. Terlihat sendu alih-alih mengancam.
"Kenapa kau ada di sini? Kau siapa?"
Parahnya lagi, rubah tadi bisa berbicara. [Name] segera menampar kedua pipinya. Hewan yang setahunya bisa bicara selain burung beo hanya ada di dongeng fabel. Tapi suara itu terdengar nyata. Terlalu nyata hingga tamparan tadi meninggalkan nyeri.
"Aku memang bisa bicara. Kutanya, maumu apa ke sini?" tanya rubah itu sekali lagi seolah bisa membaca pikiran.
[Name] yakin kalau suara barusan bukan lagi halusinasi. Meski terkesan konyol berbicara kepada hewan, ia tidak punya pilihan. Lagi pula sudah hampir setengah jam, tidak ada siapapun terkecuali dirinya yang berada di dalam toko itu.
"Aku ingin mengembalikan kalung ini karena ingin bertanggung jawab. Ayahku kececeran kalung ini dan tidak bermaksud mencurinya. Beliau izin memetik setangkai mawar karena keinginanku. Tapi pemilik toko ini menolak."
Rubah itu mengangguk paham. "Ah ... pengembara itu, ya? Mawar merah di gerbang tentu saja tidak boleh dipetik karena sudah seperti nyawa pemilik toko."
"Jadi untuk mewakili ayah saya, mohon maaf. Kalung ini kutitipkan kepadamu, ya?"
Jemari [Name] mengulurkan kalung berbandul mawar. Begitu rubah ini bersedia, ia akan segera pulang ke rumah dengan hati yang damai. Ayahnya juga tidak perlu khawatir.
"Kalau begitu, kalung itu untukmu saja."
Mendengar saran itu, [Name] mengernyitkan dahi.
"Sebagai kontrak jaminan. Mulai besok kenakan dan bekerjalah sebagai pegawai di sini," tambah sang rubah.
"Tu-tunggu. Aku sedang tidak mencari lowongan pekerjaan," ralat [Name] menggaruk tengkuk. "Aku hanya mengembalikan kalung ini saja."
"Melihat wujud rubah yang bisa berbicara ... memangnya kau akan tutup mulut?" tanya rubah itu memberi tatapan skeptis.
[Name] membasahi bibir. "Tentu saja! Tidak ada gunanya aku menyebarkan rumor rubah. Penduduk setempat akan menganggapku gila."
Iris biru sang rubah menyipit. "Kalau kau ingin ayahmu baik-baik saja, mulai kerja besok. Terserah bila ingin percaya atau tidak."
Cukup irasional untuk memercayai ucapan seekor rubah. Tetapi [Name] memutuskan berpura-pura termakan perangkap rubah aneh yang ada di hadapannya. Begitu ia menemukan celah ganjil, ia akan meluruskan perkara ini.
"Baiklah. Tapi kau harus berjanji bahwa ayahku akan baik-baik saja! Omong-omong, aku harus memanggilmu apa?"
Rubah itu terdiam sejenak lalu menjawab. "Ken. Dan kau?"
"Panggil saja [Name]. Um, tunggu ...." [Name] mengernyitkan dahi begitu melihat jemari penuh bulu rubah yang penuh dengan luka iris.
"Ada apa?" tanya Ken.
"Ken, jarimu tidak sakit? Bekas irisannya sangat dalam. Apa teriris pisau?"
Ken menepis paksa jemarinya dari [Name]. "Bukan apa-apa. Nanti juga akan sembuh."
Luka seolah bukan perkara. Dengan lincah, Ken membuka sebuah laci. Dua buah anak kunci perak diberikan kepada [Name].
"Ini kunci ganda toko dan gerbang. Siapa tahu perlu."
[Name] mengernyitkan dahi. "Apa ... aku boleh menerima benda sepenting ini? Bisa saja aku berbuat jahat, 'kan?"
Iris biru Ken menerawang dalam. "Aku percaya kepadamu."
Tiga kata yang sederhana, tetapi tertuang sebuah harapan.
• • •
"Selamat datang!"
[Name] datang lagi ke toko perhiasan sesuai janji. Ia diharuskan memakai kalung berbandul mawar. Soal itu, ia berbohong kepada ayahnya bila dirinya melakukan negosiasi--- membeli kalung. Ditambah lagi, ia memberitahu alasannya keluar rumah dikarenakan tawaran pekerjaan. Jadi, tidak sepenuhnya merupakan kebohongan. Ia diharuskan bekerja.
Rubah semalam tidak muncul, melainkan seorang pemuda tampan berambut biru. Lengan kemeja putihnya dilipat hingga siku. Dikaruniai tubuh bidang dan tinggi membuat pelanggan kaum hawa terpesona dan beramai-ramai mendekatinya.
"Saya ... pegawai baru di sini."
Kaum hawa yang mendengar ucapan [Name] menoleh serempak bagaikan jejeran domino. Dilengkapi tatapan sinis yang mampu mendirikan seluruh bulu kuduk. Apa ucapannya sungguh salah? Ia yakin tak menyebut kata "rubah".
"Dia bekerja di sini. Kuharap kalian tidak terganggu. Silakan kembali memilih," kata lelaki itu menjelaskan situasi kepada pelanggan kemudian menghampiri [Name].
Keringat dingin mulai membasahi pelipis [Name].
"Bagus. Aku akan sangat membutuhkanmu," kata lelaki itu merangkul bahu gadis itu.
"Mo-mohon bantuannya," kata [Name] tersipu.
Lelaki ini terlalu kontras dalam memberi salam. Saat angkat bicara, jarak merek begitu rapat hingga embusan napas dari lelaki itu memberikan efek geli di telinga [Name]. Seakan berbisik, tetapi jarak mereka terlalu dekat. Mau tidak mau, jantung gadis itu berdebar kencang sejadi-jadinya.
[Name] pun menundukkan kepala. Menemukan tanda nama plastik tersemat di kemeja sang lelaki. Aizome Kento.
"Ternyata ... kau gadis jujur. Fuuuh."
Tidak bisa berkata-kata, [Name] jatuh terduduk karena terkejut karena telinganya ditiup. Ingin marah, tetapi ada pelanggan yang datang lagi. Pipinya merona padam. Namun, ia segera melakukan instruksi begitu Kento menyuruhnya.
• • •
Perhiasan terjual laris. Masih ada sisa, tetapi sudah cukup berkurang. [Name] disuruh membalik papan keterangan toko.
"Akhirnya!" kata [Name] tersenyum puas.
Meski bukan toko aksesoris seperti impian, membantu usaha toko perhiasan ternyata begitu menyenangkan.
Gemerlap. Indah. Menawan.
Namun, hari ini sesosok rubah itu tak terlihat.
"Kau sudah boleh pulang," kata Kento tengah mengisi stok perhiasan yang kosong.
Tidak langsung mengiakan, [Name] melihat pintu semalam yang dibuka olehnya. Sebuah ruang kerja. Walau bangunan ini mengedepankan estetika, isinya nyaris kosong ketika pelanggan pergi.
"Di rumah ini ada seekor rubah, 'kan?" tanya [Name] spontan tanpa berpikir.
Kento menoleh cepat. "Maksudmu? Aneh sekali."
[Name] yakin seratus persen semalam dirinya berinteraksi dengan rubah bernama Ken. Selain itu, Ken memiliki warna iris yang senada dengan Kento. Tapi ia tidak mau menduga yang aneh-aneh. Ia hanya ingin memastikan.
"Rubah itu yang menyuruhku bekerja. Kau tahu kan?"
Kento terkekeh. "Semalam kau pasti mengantuk. Perlu tidur? Pangkuanku tersedia untukmu."
Godaan itu tidak mempan. Kali ini, [Name] tidak sedang ingin bercanda. Terkesan begitu ganjil dan mencurigakan.
"Kenapa kau tidak terkejut ketika aku datang dan mengaku sebagai pegawai baru? Kita bahkan baru bertemu hari ini."
Kento menatap gadis itu lekat-lekat.
Ia tahu dirinya cepat atau lambat terjebak. [Name] begitu kritis lebih dari dugaan. Kaki [Name] melangkah, mendekati Kento. Disertai jemari yang terangkat menuju pipi. Kento memejamkan mata. Ia mengira akan ditampar.
"Aku melihat pipimu samar-samar berbulu seperti rubah yang kutemui semalam."
Panik, Kento menepis tangan [Name].
Mengelak, Kento berdeham. "Begini. Warna rambut kulit bisa saja berbeda dengan rambut kepala. Jadi tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan rubah."
Jemari lelaki itu mengenakan sarung tangan karet berwarna hitam.
"Coba kau buka sarung tanganmu. Kalau tidak ada luka di sana, aku takkan membahas soal rubah lagi."
Secerdas apapun Kento mengakali [Name], tetap saja ia akan jatuh. Ia tidak bisa berbohong kali ini. Padahal, pelanggan gadis-gadisnya tidak pernah begitu observatif terhadap dirinya. Ia juga berusaha menyamarkan bulu itu sebisa mungkin.
[Name] begitu jeli. Menemukan segala cela dalam dirinya.
Sang rubah, si buruk rupa.
"Meski akulah sang rubah, apa yang akan kaulakukan?"
[Name] terdiam sejenak. Ia berusaha tenang dan mencerna kebenaran barusan. Alasan lelaki itu bisa menjadi rubah dan sebaliknya. Ia perlu tahu.
"Singkat kalimat, aku dikutuk." Kento berjalan selangkah demi selangkah. Lalu menyentuh dagu [Name]. "Kaulah gadis yang pantas memecahkan kutukanku."
Alis [Name] tertaut. "Ke ... kenapa aku?"
"Karena bisa saja kau tidak perlu datang dan mengakui kalung mawar itu tercecer."
[Name] membuang muka. "A-aku hanya melakukan yang seharusnya. Demi ayahku."
"Tidak semua orang berhati jujur. Meskipun aku lebih senang menyebutmu polos."
Berdeham, [Name] menyela, "Kalau memang aku yang terpilih. Aku akan membantumu agar masalah kita selesai. Simbiosis mutualisme. Jadi, apa yang harus kulakukan?"
Kento mengedipkan sebelah mata. "Begini. Kau belum pernah dicium laki-laki, 'kan? Kelihatannya sih tidak."
Kalau saja Kento bukan sang majikan yang butuh pertolongan, [Name] ingin saja memberi sumpah serapah karena pertanyaan meremehkan tadi.
"Kalau tidak, kenapa? Memangnya salah?" sanggah [Name] mendelik sebal.
Mengelus permukaan bibir bawah [Name], Kento tersenyum penuh keyakinan.
"Baiklah. Mari kita lakukan. Berikan ciuman pertamamu kepadaku."
• To be Continued •
A/N:
Ini sangat telat. Yap, supertelatttt---
Sebenarnya konsep ini sudah tertuang di kepala dari tanggal 28/8, tapi karena sibuk, saya ga bisa menuangkan secara fokus. Tulisan-tulisan terpaksa terbengkalai.
Semoga kalian suka. Nantikan part 2-nya ~ ~ ~
Love,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro