Mafia [Part 1] - Kitakado Tomohisa
Requested by YuzuNishikawa
Detik, menit, jam, hari, demi tahun berlalu
Memeluk raga yang merintih
Jejak membeku menerpa diri
Merindu eksistensi, peraduan punah
Lekas termakan waktu
.
.
.
Mafia
Pair: Mafia! Kitakado Tomohisa x Nurse! Reader
B-project (c) MAGES
WARNING:
- plot kompleks
- adegan kekerasan
- Don't like, don't read -
Rate: T+
Note:
OOC. AU
By agashii-san
.
.
.
SEPERTI biasa, kau menolong penduduk yang terluka. Sudah jadi kewajiban sebagai perawat yang bertugas di sebuah desa terpencil. Listrik kadang muncul, kadang tidak. Bersyukur tidak ada masalah dengan sumber air bersih.
Diberikan tugas magang yang diberikan pihak rumah sakit, penduduk setempat ternyata menyambut baik. Tidak jarang, masakan gratis kerap kau terima. Alasan kebaikan itu menyemangati hari. Meyakinkan bahwa kebahagiaan itu sederhana.
Malam itu, kau bergelung di balik selimut. Perapian padam karena kehabisan kayu. Lilin juga sudah mulai seret oleh lelehan api yang menyala. Kau memutuskan mengambil stok kayu dari gudang.
Kaget akan sesosok eksistensi, niatmu memungut kayu langsung sirna. Kau menghampiri pemuda yang terbaring beberapa meter dari gudang penyimpanan kayu. Meraba jejak nadi di leher. Masih berdenyut normal.
"Masih hidup," gumammu segera menyadari darah di pelipisnya. "Kenapa bisa pingsan di sini?"
Iris biru cerahnya sedikit terbuka. Ia sesekali ingin berkata sesuatu, tetapi kesadarannya kembali menghilang. Kau terbelalak saat ia memegangi perut--- ternyata mengucurkan cairan merah hingga menodai jaket jeans-nya. Bisa jadi dikarenakan luka tikaman senjata tajam.
"Kalau begini, membawanya ke pos perawatan hanyalah alternatif yang tersisa!"
Kau mencoba mengangkat tubuh pemuda itu, tetapi napasmu terengah-engah.
"Astaga. Dia berat juga."
Tanpa pikir panjang, kau lantas menyeret agar bisa bergerak lebih cepat. Memulai kewajiban utamamu--- merawat sang pemuda.
× × ×
Dibantu dokter magang bersamamu, pemuda itu harus dioperasi dengan meninggalkan empat jahitan di bagian abdomen kiri. Untuk sementara, pemuda itu ditempatkan di pos penanganan khusus. Kau menarik napas lega.
"Wah, dia tampan," timpal seorang rekanmu yang sedang mencatat stok obat yang tersisa. "Kau mendapatinya di mana?"
Kau menopang dagu. "Sssh. Jangan menimbulkan kegaduhan. Itu tidak penting. Syukurlah ... sudah baik-baik saja."
Hanya mengangkat bahu, rekan perawatmu pergi dari balik tirai bilik pos. "Ya, ya. Selamat bertugas."
"Sebenarnya ... apa yang menyebabkan dirinya terluka seperti ini?" gumammu bermonolog.
Semoga luka itu tidak meninggalkan jejak trauma, harapmu.
× × ×
Pemuda berambut putih itu merintih begitu terjaga. "Ini ... di mana?"
Terkesiap, kau yang masih menjaganya segera menghampiri. "Pos perawatan terpadu di sebuah desa. Istirahatlah dulu."
Kau segera memberi bantal untuk menopang punggung sang pemuda. Masih duduk di sebelah, tahu-tahu, manikmu sibuk melihat parasnya. Rambut putih yang sedikit acak-acakan, sepasang manik biru teduh, dan figur tubuh atletis.
"Ada apa?" tanya pemuda itu menjedakan lamunanmu.
Kau menggeleng. "Bukan apa-apa. Omong-omong, aku harus memanggilmu apa, ya?"
Pemuda itu tertegun sejenak lalu menjawab, "Sebut saja Alex."
"Alex, ya? Aku [Full Name]," jawabmu polos.
Tanganmu hendak terulur. Pemuda yang mengaku Alex pun tertawa. Kau memiringkan kepala--- gagal paham.
"Maaf, tadi keliru. Panggil saja Tomo," ucap Tomohisa.
"Kukira ... semalam aku akan gagal menyelamatkanmu. Sering kali pasien meninggal karena terlambat tertolong." Kau bangkit dari kursi lalu menutup wajah. Muncul kelegaan dalam batinmu. "Maaf, aku tidak seharusnya berkeluh kesah."
Menyalahkan diri sendiri. Meskipun dokter mencoba membuat perasaanmu lebih baik: "Luka si pasien sudah parah sejak awal", "Nasibnya memang tidak tertolong", atau "Itulah akhir hidupnya".
Tetap saja, penyesalan demi penyesalan membayang-bayangi diri. Sebenarnya, kau tidak ingin melontarkan luapan batin, tetapi pemuda ini memiliki aura magis--- mengiakan kemauanmu untuk berkata-kata. Namun, Tomohisa tetap tenang mendengarmu sampai akhir.
Tomohisa melihat perutnya telah terbalut rapi. Perlahan ia tahu, semalam yang membopongnya dalam keadaan setengah sadar adalah dirimu.
"Tidak masalah. Justru hasil usahamu membuahkan hasil. Terima kasih."
× × ×
Dua hari telah berlalu. Eksistensi Tomohisa cukup mengundang perhatian. Banyak perawat yang sengaja menghampirinya dengan motif pendekatan. Kau tidak menyela meski tahu--- bukan hakmu. Sejak hari itu, dokter sudah memastikan Tomohisa akan segera pulih. Jadi, kau memutuskan larut dengan kesibukan.
Senja berganti malam, kau tengah menjemur pakaian pos kesehatan yang kotor. Difasilitasi sebuah pondok bertingkat tiga. Lantai teratas dikhususkan untuk menjemur pakaian.
"[Name] giat, ya," sapa Tomohisa berjalan menghampirimu.
Kau tengah memeras baju pun berkata, "K-kau kenapa bisa tahu soal atap ini?"
Tomohisa menggeleng. "Tidak sengaja menemuimu karena sedang berkeliling menikmati angin segar. Sejak hari itu, kau tidak pernah datang menjengukku."
Pipimu seketika merona. Karena sudah banyak yang memerhatikan, kau merasa kehadiranmu tiada penting lagi baginya. Namun, pemuda itu berkata lain. Ia mencarimu.
"Aku punya kesibukan ... dan lagi pula, banyak perawat lain yang lebih pandai dariku," sahutmu menjepit baju yang melambai tertiup angin.
Tomohisa berjongkok. Turut mengambil jemuran baju yang basah dari ember yang sama di sebelah kirimu.
"Bukan masalah perawat yang pandai dan tidak. Bila kini aku datang karena ingin bertemu personal denganmu, apa itu salah?"
Dadamu berdesir. Refleks, kau membuang muka. "Tidak. Tapi ... kenapa?"
Seulas senyuman getir menghiasi wajah Tomohisa. Malam berembus angin sepoi. Berkat bantuan pemuda itu, tali jemuran telah menampung banyak pakaian yang menari-nari. Sesekali jepit yang menganggur berputar bagai kincir angin.
"Karena mulai besok, aku akan pergi dari sini."
Saat kau berjongkok, ember berisi air sisa malah tersenggol. Membasahi sekitarmu. Semestinya perasaan bahagia melanda hati. Memang tidak selamanya pemuda itu akan berada di sini. Namun, kenapa kau malah merasa sedih? Seolah ia sirna, tak lagi tergapai.
"Syukurlah kau sudah sembuh," ucapmu tidak memedulikan sandalmu yang turut basah.
Tomohisa mengangguk pelan. "Begitulah. Terima kasih tidak akan pernah cukup untuk kukatakan."
Kau tersenyum tipis. "Sampai hari ini, aku terus berpikir sesuatu tentangmu. Kenapa kau datang dalam keadaan terluka? Kenapa ... kau begitu mudah menyusup dalam benakku?"
Bibir Tomohisa tertutup rapat. Ia menutup sepasang manik. Kau ikut terdiam.
Bagai kotak pandora, misteri yang terkunci.
Namun, sejak menyelamatkan Tomohisa, kau penasaran akan identitas pemuda itu. Seperti keseharian yang dilakukan. Atau karakteristik latar belakang yang tidak begitu personal.
"Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Saat kita bertemu lagi ... ada sebuah hal yang penting."
Alismu tertaut, menunggu lanjutan kalimat Tomohisa.
"Sebuah kebenaran yang telah kaulupakan."
× × ×
Akan tetapi memilih menurut bukanlah sikapmu. Usai pertemuan di atap, Tomohisa pergi lebih dulu. Namun, kau menyadari langkah pemuda itu lebih jauh. Keluar dari pos kesehatan. Curiga, kau membuntuti dengan hati-hati. Jalanan semakin jauh dan dalam. Beruntung, malam itu, desa teraliri listrik.
"Tomo, kau terlambat!" cetus pemuda berambut hitam dengan helaian ombre magenta di sisi kiri.
Kau mengerjap. Sebuah van terparkir rapi tidak jauh dari posisimu berdiri. Benar pula, Tomohisa bukan penduduk asli desa ini--- sudah pasti seseorang yang hidup di suatu kota yang nun jauh di sana.
"Maaf," jawab Tomohisa pelan.
Ryuuji menautkan alis. "Ada apa? Lukamu sudah pulih, kan? Tiba ke desa ini tidak mudah. Penuh tikungan. Tapi ini lokasi yang aman untukmu sementara."
Tomohisa merapatkan jaket jeans yang dikenakan saat kau pertama kali bertemu dengannya.
"Begitulah, tapi kini jadi sulit bagiku untuk meninggalkan desa yang menenangkan."
Kau menggigit bibir bawah. Ternyata pemuda itu juga merasakan hal yang sama.
"Ingat, Tomo. Kau tidak boleh terlibat perasaan emosional, apalagi sesaat. Kita ini mafia. Bagian yang bergerak dalam kejahatan. Kedatanganmu ke sini hanya momen."
Manikmu melebar.
Tomohisa merendahkan intonasi seraya berkata, "Aku hanya merasa beruntung bisa datang ke sini. Meskipun harus dalam keadaan terluka."
Sosok mafia yang melekat diri Tomohisa tidak pernah terbayang dalam benakmu. Paling tidak, kau menyangka dirinya sebagai cendekiawan. Namun, sang rekan membongkar rahasia di luar dugaan. Tiada bantahan yang berarti sebuah kebenaran.
"Baiklah. Aku lelah dan kita akan berhenti di penginapan terdekat," usul Ryuuji lalu masuk lebih dulu ke dalam van.
Van yang ditumpangi keduanya melaju. Menelusuri jalanan gelap. Kau yang tadinya bersembunyi di balik dinding rumah kosong seketika jatuh terduduk. Berdasarkan dialog tadi, petunjuk demi petunjuk bagaikan kepingan puzzle yang hendak dipersatukan. Yang kaulakukan selanjutnya: bergegas kembali ke pos kesehatan.
× × ×
Kata sang rekan, Ryuuji--- mengajukan tinggal di penginapan terdekat di luar desa. Kau mengernyitkan dahi. Daerah komuter kota jarang dilalui--- berhubung sering lewat tanpa mampir. Namun, ada amat banyak fasilitas penginapan yang tersedia. Mulai yang tipe minimalis hingga berbintang kelas atas.
Kembali ke desa? Tidak mungkin. Kau sudah mengajukan cuti sepihak. Toh, masa magangmu di sana sudah hampir berakhir. Mungkin ikut campur bukan usul baik. Tapi kau butuh penjelasan. Ucapan Tomohisa masih terngiang di benakmu.
Kau berdecak kesal. Sebuah van barusan pun tidak terlihat sama sekali. Wajar saja, kau tiba lebih lambat karena mempergunakan transportasi umum.
"Sedang mencari penginapan?"
Menoleh ke arah dua orang berparas preman di belakangmu, kau segera mundur beberapa langkah. Firasatmu buruk. Pergi sejauh mungkin. Itulah yang terpikir olehmu.
"Jangan curiga. Pasti masih bingung, 'kan? Bagaimana kalau kita arahkan?" usul salah satunya bertubuh ceking dan memiliki gigi kelinci.
Kau menggeleng. "Saya bisa sendiri."
"Dijamin lebih hemat. Kalau datang sendirian bisa dikasih harga tinggi, loh," tambah satunya lagi yang bertubuh bongsor, menyeringai.
Menolak lagi, kau berkata, "Maaf, tapi saya tidak berminat menggunakan jasa apapun."
Benar saja firasatmu. Keduanya merasa kesal karena kau tidak kunjung tertipu sebagai pendatang naif. Kemudian mereka memaksa untuk merampas ransel yang kaujinjing. Tidak banyak pejalan kaki. Ada pun tidak peduli, seolah tiada kejadian krusial yang mengganggu. Meskipun isi ranselmu hanya didominasi obat-obatan medis.
Baru saja kedua pencuri merasa berhasil dengan berlari beberapa meter jauh darimu, sebuah peluru melukai kaki mereka. Alhasil, mereka jatuh meringis sembari memeluk kaki. Kau terkesiap. Arah peluru itu ditembak dari atas--- sebuah atap perumahan. Sang pelaku--- Tomohisa, begitu melihatmu segera sigap melompat ke satu titik aman ke titik lain. Memungut tas yang direbut sang perampok lalu memberikannya kepadamu.
"Kau ...." gumammu menatap Tomohisa. "Tahu aku di sini."
Tomohisa menghela napas. "Sudah tahu sejak kudapati langkah kaki selain diriku menemui Ryuuji. Aku bukan pria baik-baik, [Name]. Kembalilah ke desa selagi bisa."
"Lalu kenapa kau menjanjikan pertemuan lagi kepadaku?" tanyamu dengan napas memburu. "Pasti bahasan itu sangat penting, bukan?"
Tidak langsung menjawab, Tomohisa melihat lengan bajumu yang sobek--- akibat paksaan perampok untuk mencuri ranselmu. Ia melucut jaket jeans yang kini berpindah ke tubuhmu. Dahulu pernah ternodai darah meski sudah sirna.
"Ada saatnya, tapi kini bersamaku, hidupmu akan jauh dari baik-baik saja," ucap Tomohisa menatap sendu.
"Namun, buktinya kini aku aman karenamu, kan?" balasmu merengkuh jaket itu semakin rapat. "Tunggu. Akan kuberi mereka peringatan."
"Mereka yang menyebabkan ini, kenapa masih menolongnya?" tanya Tomohisa tidak habis pikir.
Kau mengambil sekotak obat-obatan. Kedua pelaku itu masih terkapar dengan keadaan terseok-seok. Tomohisa yang masih berdiri menatapmu bingung. Namun, kau mengulum senyum simpul.
"Karena menolong seseorang seharusnya tidak butuh alasan, bukan? Seperti kepadamu juga."
Meskipun kau tidak bisa mengobati sedalam kemampuan dokter, sejumlah penanganan pertama telah tersedia.
"Seorang dokter di klinik terdekat mampu membuang peluru di kaki kalian. Sudah kuhubungi," tegurmu lalu berbalik arah.
"Sudah selesai, 'kan?" tanya Tomohisa.
Kau mengangguk pelan. Namun, ternyata Tomohisa mendekapmu lalu menggiring tubuhmu bagai mengangkut karung beras.
"Lukai dia sekali lagi sama saja merelakan nyawa melayang," ancam Tomohisa mengacungkan senjata api dari saku celana.
"Tomo! Ke-kenapa aku diangkat seperti ini? Kita mau ke mana?" tanyamu yang kini hanya bisa melihat sisi belakang Tomohisa.
"Tidak akan kuberitahu."
Apakah pemuda itu marah? Siapa yang tahu? Namun, sikapnya sungguh berubah di luar dugaanmu. Aura ramah darinya musnah seketika.
× × ×
Dia membawamu ke penginapan--- saat kau menyadari sebuah van yang sama terparkir di sana. Saat dibawa kabur Tomohisa, penginapan yang justru jauh dari terdekat. Banyak lika-liku. Namun, asumsi setiap orang berbeda-beda. Kau hanya menggerutu dalam hati.
"Ini kunci kamarmu. Besok baru bicara lagi," ucap Tomohisa memberikan sebuah kartu akses.
Ruangan Tomohisa dan Ryuuji tepat berada di sebelah kamarmu. Setelah meraih kartu itu, kau tidak langsung masuk. Memegang kain yang membalut tubuh yang mulai lepas rekatannya.
"Perbanmu lepas. Aku pasangkan kembali, ya?" usulmu menggaruk tengkuk. "K-kalau tidak keberatan. Sebentar saja, kok."
"Tentu. Kenapa tidak? Tapi di ruanganmu saja, ya. Ryuuji sudah tidur. Aku tidak mau mengganggunya," tutur Tomohisa.
Disahuti dengan anggukan, kau membuka pintu lebih dulu. Lagi-lagi, kegugupan menelusuri diri. Padahal, saat awal menolongnya tidak merasakan apapun.
Tomohisa melepas atasan, menampakkan tubuh bidangnya. Segera fokus, tanganmu berusaha melepas rekatan perban lama yang melingkari abdomen Tomohisa. Namun, pipimu tidak bisa berhenti merona.
"Kau memang mafia, ya?" tanyamu menundukkan kepala. "Aku tidak menyangka."
Tomohisa tersenyum getir. "Sepertinya kau sudah mendengar semuanya. Dan merasa kecewa."
Karena kesulitan memutar arah perban, kedua tanganmu mau tidak mau seolah sedang mendekap tubuh Tomohisa. Namun, kau masih menyisakan jarak. Manikmu mendapati luka-luka yang telah membekas; yang terjadi sebelum kalian bertemu. Menyisakan perih dari masa lalu.
Tanpa kau sadari saat mengganti perban baru, Tomohisa menepuk punggungmu. Terkejut, kau menjadikan tubuhnya sebagai peraduan. Saat kau hendak mengelak, ia lantas membenamkan wajah di bahumu. Menghalangimu menjaga jarak.
"Syukurlah kau berhasil menjadi perawat. Sesuai dengan cita-citamu sejak dulu."
Kau memejamkan mata. Dekapan dari seseorang yang mengaku sebagai orang "jahat" tidak pernah kau sangka begitu terasa begitu nyaman. Seolah luapan kasih memang tepat untuk diterima.
"Sebenarnya, mengapa kau begitu tahu tentangku?" tanyamu yang berusaha berkata-kata meski tenggorokan terasa tercekat.
Tomohisa menampilkan kilatan kedua maniknya dari pantulan lampu.
"Kalau kau memang ingin tahu, apa itu artinya kau sudah siap mendengar semuanya?" tanya Tomohisa dengan nada yang menyatakan beban pilu.
Kau mengangguk yakin. "Hm. Kumohon."
Pertanyaan demi pertanyaan datang untuk dijawab. Mengarahkan kepastian dari kekelaman misteri yang terkubur. Tomohisa menarik napas. Menceritakan kembali sama saja menggali fragmentasi yang tersamarkan. Mengoyak hatinya sekali lagi.
"Sepuluh tahun lalu, menjelang tengah malam ...," tukas Tomohisa usai melepas dekapan.
Kisah demi kisah yang mulai dilontarkan kini bagai menelan pil kepahitan. Entah bagaimana semua kekelaman bermula.
Untuk memisahkan atau mengeratkan?
• To be Continued •
A/N (curcol):
Tema ini luar binasa menantang dan nguras otak buat nulis, www :")
So, kalau kalian merasa action-nya payah ... maapkeun saia orz--- ga begitu pengalaman nulis di genre action-crime/plak
Rikuesan mz Tomo yang biasanya sang ouji weowe dibuat jadi penjahat ulung sebenarnya sangat mengejutkan bagiku (;w;)//
MY THOUGHT BE LYK:
"IF AN ANGEL BECOME A DEVIL, HOW CAN I MAKE IT WITHOUT OOC?"
"HOW? HOW? HOMINA!"
Emang sih, visual imej-nya maret lalu semacam bet boi ala posesif ///// 》nosebleed seember 》apalagi nulis scene ganti perban tadi/digampar/lahsypygbaper.
Selamat menunggu lanjutannya~
With love,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro