Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lip Balm - Aizome Kento

Requested by Misamime

Laki-laki yang senang mempermainkan hati banyak wanita tentunya ada di mana saja. Jumlahnya tidak sedikit. Termasuk ada di sekitarmu. Yakni Aizome Kento, tetanggamu, kini sedang memangku seorang gadis di ruang tamu. Kejadian barusan tentunya bukan pemandangan baru, jadi kau hanya bisa menghela napas. Lagi pula ia bukan kekasihmu.

Ada sebuah alasan kelam ketika teman kecilmu tumbuh menjadi lelaki superbinal yang senang bermain bersama perempuan seperti ini. Namun, kau merasa tak bisa berbuat apa-apa. Untuk menghentikan akan sulit, merasa tidak berhak akan hatinya yang membeku.

Tanpa merasa canggung, kau berucap, "Kento, aku mau pinjam mesin pemotong rumput."

Namun, kau tidak merasa bersalah sama sekali. Lagi pula sang tuan rumah memang tidak mengunci pintunya.

Lip Balm
Playboy! Aizome Kento x Reader
B-Project © MAGES, Yukihiro Utako
Note: AU, OOC. Typo(s).
Rate: T [PG-15]
By agashii-san
.
.
.

"Yo, [Name]," sapa Kento tersenyum, "sebentar, ya."

Ia berbisik sekilas kepada gadis yang ada di pangkuannya lalu dengan berat hati memulangkan diri. Ketika gadis asing itu pulang, kau justru merasa lebih senang. Namun, kau tidak ingin berceloteh banyak akan tingkahnya.

"Nih," ujar Kento menyerahkan mesin pemotong rumput. "Apa kau akan memotongnya sendirian?"

Kau mengangguk. "Iya. Terima kasih."

Meskipun teman kecil yang bertetangga, kau berusaha tidak mengusik hidupnya. Meskipun kau tahu luka yang Kento alami semasa kecil. Ketika Kento kecil menangis begitu jelas dalam kesendirian karena sang ibu yang jarang berpulang ke rumah. Kondisi keluarga yang begitu rumit, juga membiarkan pemuda itu haus akan perhatian.

Menghiburnya di masa kini takkan pernah bisa sama dengan masa lalu. Meski merasa dirimu pengecut, kau tahu hal itu. Kento bergerak sendiri atas kemauannya. Selama ia yakin hatinya masih bisa dilipuri kasih sayang semu, menjadi sebuah ketergantungan yang berkepanjangan.

Kento memegang pergelangan tanganmu. "Mau kubantu? Mumpung aku tidak ada kesibukan."

Alih-alih mengiyakan bantuan, kau bertanya, "Kenapa tadi kau memulangkan gadis itu?"

Kento mengangkat bahu. "Karena aku sudah bosan terhadapnya."

Meskipun Kento kerap membawa gadis ke rumah, Kento selalu bersikap ramah kepadamu. Mungkin karena kalian bertetangga. Atau karena semasa kecil ia memang sering bertamu karena ibunya menitipkan dirinya.

Tak punya pilihan lain, kau berkata, "Kalau kau tidak keberatan dan memang ingin, silakan saja."

Kento menata sedikit letak poni biru cerahnya lalu berkata, "Kau tidak akan menyesali kemampuanku. Lihat saja."

• • •

Hari yang panas berakhir sejuk oleh segelas teh es. Kau dan Kento duduk bersebelahan di ruang tamu. Di sana juga terdapat keponakanmu yang masih berusia balita--- tengah bermain beberapa balok plastik rumah-rumahan. Dibandingkan rumah Kento yang sepi, rumahmu lebih ribut karena sejumlah anggota keluarga yang mampir.

Membiarkan Kento turut bermain dengan keponakanmu, kau menonton televisi yang sedang menawarkan iklan. Produk kecantikan khusus bibir--- lip balm beraroma stroberi. Gadis dalam iklan tersebut tampak manis dengan bibir lembab. Memang, bagian mungil dari wajah perlu dirawat. Selain itu, cuaca dapat membiarkan bibirmu kering kapan saja.

"Sepertinya bagus," ujarmu dengan manik berbinar. "Nanti aku akan melihat review-nya di internet."

Kento memandangmu terlihat berbinar-binar ketika menonton iklan itu sepintas.

"Ternyata [Name]-chan ingin tampil cantik juga, ya?" tanya Kento menopang dagu.

Kau membantah, "Lip balm itu kan untuk perawatan, bukan untuk menggoda laki-laki! Lagi pula tidak ada warnanya, kok."

Kento mengangguk santai. "Memang, tetapi ketika ingin mencium perempuan, laki-laki... apalagi aku tidak suka bibir yang kering---"

Tanpa membiarkan ocehannya berlanjut, kau menimpuk bantal sofa ke wajah Kento dengan tepat sasaran. Wajahmu sepintas merona karena bayangan singkat tersebut.

"Aku tidak minta pendapatmu! Lagipula kalau kubeli tentu saja bukan untuk menciummu!"

Lain halnya, si keponakan yang masih balita itu hanya bisa termenung melihat interaksimu--- tidak paham arah pembicaraanmu--- antara kau sebagai bibi yang berdebat dengan tetangganya.

• • •

"Wah, lip balm yang ditayang di televisi? Aku sudah mencobanya! Bagus!" kata temanmu, si fashion blogger.

Kau tersenyum optimis. "Aku mau beli. Kira-kira kalau bisa dapat dengan harga murah ada di mana?"

Temanmu merekomendasikan sejumlah gerai toko yang menjual langsung maupun dari online. Ternyata terdapat beragam aroma. Dari lemon, mint, anggur, raspberry, dan masih banyak lagi.

"Tapi... kau mengenakan ini karena sedang jatuh cinta, ya?" tebak temanmu menopang dagu.

Kali ini bukan Kento saja yang menjadikan lip balm sebagai asumsi dalam percintaan, melainkan temanmu juga.

"Jelas saja bukan. Kenapa kau bisa bertanya begitu?"

Temanmu berdecak. "Kau belum baca review produknya dengan benar, ya? Lip balm ini meskipun saat awal dipulas tidak ada warna, tetapi lama-lama akan berubah menjadi setingkat lebih cerah di atas warna bibir asli. Di situlah daya tariknya."

Kau mengerjap bingung. "Terus? Berarti itu gincu, dong? "

Temanmu menautkan alis. "Bukan. Tetap saja lip balm, tapi termasuk cukup populer sebagai pembicaraan laki-laki. Ada survey yang menyatakan bahwa lip balm ini cukup diingini perempuan sebagai kado dan laki-laki jadi lebih tertarik menciumi bibir pacar mereka."

Tampak paham, kau hanya bisa mengangguk-angguk saja. Meskipun Kento kemarin terkesan berkencang saat membicarakan soal lip balm, ternyata ia ada benarnya juga.

Karena alasan yang cukup kontras yang dinyatakan oleh temanmu, kau berkata, "Terima kasih. Kalau jadi, kirimkan aku link toko-toko online-nya, ya."

• • •

Usai dari toko buku untuk sekadar mampir, kau mendengar suara tamparan tak jauh dari rumahmu. Kau mengernyitkan dahi. Seorang gadis menangis tersedu dengan air mata meleleh di kedua pipi.

Lain halnya, sang korban--- Kento yang berdiri mematung di depan pintu dengan tatapan dingin ditandai pipi kanan yang memerah--- akibat perlakuan kasar tersebut. Kau menautkan alis, menghampirinya. Namun, kau tidak pergi dari sana. Tidak tahu harus berucap apa. Meninggalkannya terasa mengganjalkan batin.

Kento menatapmu lekat-lekat. "Kenapa?"

Hatinya terluka. Sekali lagi setelah perasaan semu itu menjemukan. Sebuah pertanyaan melintasi benakmu: bisakah kau membentuk kembali hatinya yang terfragmentasi berkali-kali?

Kau meragu, tapi enggan menjadi pecundang terus menerus. Tanganmu tanpa sadar telah mengusap pipinya. Matamu justru menggenang oleh buliran yang siap meluncur kapan saja.

"Apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu terkesan bodoh, tetapi Kento sangat membutuhkan perhatian di balik pertanyaan itu. Kento memegang jemarimu yang masih memegang pipinya.

"Kapan aku pernah baik-baik saja, [Name]?"

Tanpa meminta persetujuanmu, ia menarikmu masuk ke dalam rumahnya. Seperti biasa, tidak ada siapapun selain dirinya. Padahal, kau sudah terbiasa datang sendirian. Akan tetapi dengan situasi seperti ini justru malah mendebarkan batinmu.

Ia menjebakmu di dinding ruang tamu. Merengkuhmu dalam-dalam. Seakan ingin menjeratmu dan tidak akan melepaskan kembali. Namun, kau tidak membenci perlakuannya.

"Aku tahu tindakanku sekarang kelewatan. Kenapa tidak memukulku?" tanya Kento, masih tidak melepas dekapannya.

Kau menepuk punggungnya. "Karena menurutku untuk sekarang kau tidak perlu dipukuli."

"Kalau aku berbuat lebih dari ini?" tanya Kento lagi, tetapi lebih terdengar sebagai candaan.

Menghela napas, kau berkata,"Kau sengaja cari mati, ya? Tapi terima kasih karena berusaha jujur kepadaku."

Kento membelai rambutmu. "Seharusnya aku karena terselamatkan olehmu berkali-kali, tetapi kau juga yang mematahkannya."

Alismu bertaut. "Maaf? Mematahkan?"

Kento berdecak. "Kenapa kau tidak pernah terlihat cemburu ketika aku sengaja bersama gadis lain, apalagi bermesraan di depanmu?"

Di dalam hatimu, kau tahu hal itu. Hatinya dilipuri kabut semu yang kehausan kasih sayang. Meskipun sentuhan Kento kepada gadis-gadis lain tidak mengenakkan untuk dilihat olehmu, kau sadar bahwa pemuda itu tetaplah Kento. Kento yang bermulut manis. Dia yang kaupikir selamanya adalah teman kecil yang selalu kausukai diam-diam. Dan itu artinya, kau mencintai apa adanya.

"Karena... aku hanya gadis pecundang. Aku tahu semua luka yang kaualami, tetapi berpura-pura tidak peduli. Oleh karena itu, hingga kau datang kepadaku, aku telah memutuskan menyukaimu dalam diam."

Kento melepas dekapan lalu memegang bahumu. "Tidak seperti itu menurutku. Kau bukan orang yang seperti itu. Kalau aku tidak menyadarinya sekarang bahkan memilih menikah dengan gadis lain nantinya?"

Kau tersenyum tipis. "Maka aku harus menyiapkan hatiku untuk itu."

Mengatakan seolah mudah, tetapi sejujurnya mengiris-iris hati.

Pemuda itu menyelipkan jemari ke saku celana. "Apa kau sadar? Kau selalu ada ketika aku ingin datang karena membutuhkanmu. Dan, kurasa aku sungguh tidak adil kepadamu."

Kaki pemuda itu tergerak menuju kamar tidurnya. Kau masih duduk termenung, tidak memusingkan kepergian pemuda itu sepintas. Menyadari bahwa jujur-jujuran dengan Kento adalah sesuatu yang terasa mustahil bagimu. Pipimu merona, terasa panas ketika disentuh.

Sebuah kotak biru turquoise berbalut pita putih terarah kepadamu. "Untukmu."

Kau menautkan alis. "Sungguh? Ini untukku?"

Kento berkata, "Jangan lupa untuk rutin memakainya."

Tanganmu membuka isi kotak pemberian Kento. Yakni benda yang kau idam-idamkan beberapa hari silam. Sebuah lip balm beraroma [Favorite Scent]. Model produk yang sama dengan iklan yang kalian tonton bersama waktu itu di televisi.

"Terima kasih," ucapmu dengan senyum merekah lalu mulai memutar isi lip balm tersebut.

Kento duduk di sebelahmu. "Kalau kau sengaja memakainya di depanku, apa itu artinya kau menginginkan ciuman sekarang?"

Kau menoleh ke arah Kento dengan cepat hingga tengkukmu berderak. Disertai desisan kesal terhadap pemuda itu, kau teringat ucapan temanmu beberapa hari lalu.

Kento mengedikkan bahu. "Just kidding, really (Aku hanya bercanda, sungguh)."

"Ada survey yang menyatakan bahwa lip balm ini cukup diingini perempuan sebagai kado dan laki-laki jadi lebih tertarik menciumi bibir pacar mereka."

Demi apapun, kau hanya memutar isi lip balm itu karena penasaran. Bukan sengaja untuk menggodanya. Wajahmu jadi lebih merah padam dibandingkan sebelum Kento menyerahkan lip balm.

"[Name]-chan lucu sekali, ya. Kalau kau seimut ini, aku jadi tidak tertarik memandangi gadis lain lagi."

Kau menganga. "Kento!"

Pemuda itu terkekeh penuh arti. Ia bahagia karena berani mengutarkan keluh kesahnya. Bahagia karena kau ada di sisinya. Bahagia karena kaulah gadis yang sebenarnya patut untuk dimilikinya sejak awal. Dan, ia tidak ingin menyia-yiakan perasaan manis yang terbendung di hatinya.

• Fin •

Words: 1550

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro