Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ikat Rambut - Osari Hikaru

Requested by KuroiDaimond

Musim panas.

Bagi siswa yang harus mengikuti kelas tambahan karena mendapat nilai buruk, musim panas adalah masa-masa menyedihkan karena nilai merah. Gadis itu harus siap melepaskan pantai, festival, dan pria tampan. Ya, khusus poin ketiga tentunya serius menurut [Name]. 

Karena nilai buruk, ia tidak punya keberanian untuk mengikuti acara kencan buta. Misinya mendapatkan pacar di tahun kedua sekolah menengah atas. Belum lagi, siswa yang akan bertemu dengan teman-temannya berasal dari sekolah berinteligensi tinggi.

Ketimbang nilai [Name] terselamatkan lebih cepat, sang guru lebih suka memberinya pekerjaan fisik yang menyedihkan--- membersihkan kolam yang kotor karena terkontaminasi guguran daun dan ranting pepohonan--- tidak lupa dengan lumut. Dan tidak ada jaring yang tersedia. Itu artinya, bila tidak ada alternatif lain, [Name] harus menggunakan tangan untuk memungut sampah kolam.

Namun, membersihkan kolam tidak harus diselesaikan dalam hari itu juga. Batas waktunya hanya selama mengikuti kelas tambahan. [Name] ingin saja bolos, tetapi ia tidak mau menerima panggilan orangtua.

Ternyata hanya ada enam orang di luar dirinya yang menunggu kelas dengan ekspresi malas. Gadis itu memilih letak bangku favoritnya--- terletak dua baris paling belakang di sebelah jendela. Pelajaran di mulai. Teman-temannya memberi sekumpulan buku catatan agar ia bisa lulus dari nilai merah secepatnya. Meskipun bosan, ia akan berusaha.

"Summimaseeeeen (Maaf), saya telat, ya?!" seru pemuda berambut gondrong kehijauan membuka pintu kelas lebar-lebar.

Alis [Name] mengerut.

Siapa pemuda heboh ini? Oh, mungkin ia salah masuk kelas.

Ikat Rambut
Pair: Sick! High Schooler! Osari Hikaru x High Schooler! Reader
NOTE: AU. OOC. TYPO
B-Project © MAGES, Yukihiro Utako
By agashii-san

.

.

.

Ternyata dugaan [Name] salah. Hikaru ternyata adalah penghuni baru yang seringkali absen dari aktivitas di kelas. Hal itu disadarinya ketika sang guru memukul pelan puncak kepala Hikaru dengan buku.

"Hikaru-kun, saya kan sudah beritahu jadwalnya waktu itu. Cepat masuk," tegur Yamato-sensei.

Hikaru mengaduh pelan lalu takut-takut menuju ruang kelas yang asing. Ia mencari kursi ternyaman dan mendapati [Name] telah duduk di sana. Namun, masih ada kursi di sebelahnya--- dan itu artinya, tidak ada jendela.

"Yah," ucap Hikaru kecewa. "Aku kan mau di sana."

[Name] mendengus. "Aku duluan. Siapa yang cepat, dia yang dapat."

Hikaru hanya bisa bersungut dengan sedih. Toh, [Name] tidak terluluhkan akan tatapan Hikaru.

Hikaru memilih mengalah dan duduk di sebelah [Name]. Mungkin ia sadar bahwa semakin mendesak, justru ia akan diusir secara tidak hormat. Ia mendapati [Name] memiliki helaian rambut yang panjang dibiarkan tergerai bebas hingga sedada, bertiupkan angin yang melambai lembut. 

"Rambutmu panjang juga ya," ujar Hikaru menopang dagu. Membiarkan bolpoin tersemat di antara hidung dan bibirnya.

[Name] menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. "Memang. Yang jelas lebih panjang rambutku."

Hikaru mengangkat bahu lalu mengangkat rambutnya ke sisi kiri. "Benarkah? Bagaimana kalau kita uk---"

Terdengar dehaman yang menjedakan interaksi di antara keduanya. Baik Hikaru maupun [Name] sama-sama menatap ke depan. Menghadap sang pendidik yang sudah melirik mereka sinis.

"Kalau ingin berdebat soal duta sampo tercantik, nanti saja ketika saya selesai menjelaskan, ya!" sindir Yamato-sensei kembali menghadap papan tulis.

[Name] meniup pelan poni atasnya hingga melambung sekilas. Bukan dia yang memulai, tetapi ikut terkena imbasnya. Namun, ia hanya diam. Memainkan bolpoin di jemari. Lain halnya, Hikaru tetap memasang cengiran bodoh ke arahnya lalu mau tidak mau mendengarkan penjelasan.

Kesan pertama [Name] terhadap Hikaru: aneh.

• • •

Meskipun membersihkan kolam dilakukan secara bergilir antar murid yang mengikuti kelas tambahan, sepertinya hanya [Name] yang serius mengerjakan. Dedaunan yang sering kali ia pungut disusun rapi ke dalam tong sampah khusus daur ulang. Sesekali ia menggosok permukaan kolam.

"Mau kubantu?" Hikaru tahu-tahu menemukan [Name] yang sedang berjongkok.

[Name] menoleh. "Sesukamu saja."

Hikaru memasang cengiran singkat. Ia menaruh ransel di bawah pohon. Diam-diam, [Name] merasa terkesima bahwa Hikaru bukan datang ke sini untuk sekedar bertukar sapa.

"Aku tahu kau mungkin tidak suka melakukan ini, tapi terima kasih," ucap [Name] menegaskan suatu hal.

Pemuda itu mengangguk. "Tidak masalah. Bisa datang ke sini dan berada di sekolah... sudah cukup beruntung bagiku."

Sikat yang digenggam [Name] sempat mengudara sebelum terempas kembali ke lantai kolam. Memang ia baru-baru ini menemukan Hikaru. Sebelum kelas tambahan, [Name] bahkan nyaris tidak menyadari eksistensi. Bukan. Melainkan Hikaru dari awal tidak pernah berada di sana.

"Kalau begitu syukurilah," sahut [Name] mengipasi pelan bajunya yang basah oleh keringat.

Hikaru mendapati helaian rambut [Name] yang basah. Di sekitar pelipis.

"[Name], kemarilah," ajak Hikaru melambaikan tangan menuju pinggir kolam. Mendekati letak ransel yang ia taruh di bawah pohon.

[Name] mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"

Pemuda itu membuka isi ranselnya lalu mengambil sekumpulan potongan buah kering yang telah dipotong berbentuk bintang.

"Nih," Hikaru melahap buah lebih dulu lalu menyerahkannya kepada [Name].


[Name] menatap sepintas lalu mengambil buah itu. Mencicipi sensasi perpaduan asam dan manis yang meluruh di indera pengecapnya. Buah musim panas yang menyegarkan.

"Ini...," ujar [Name]. "Nanas?"

"Bingo! Selain pisang, aku suka nanas. Tunggu, kau diam dulu di situ, ya!" Hikaru menjentikkan jari lalu berada di belakang [Name].

Pemuda berambut hijau itu melepaskan bandul yang mengikat model kucir kudanya. Bandul itu ia selipkan di setiap kumpulan helai rambut [Name]. Saat ia menyapu sekitar tengkuk agar menjadi ikatan yang rapi, ada saja sensasi yang menggelitik bagi [Name].

"Sudah! Terasa lebih sejuk kan?" Hikaru berbalik ke hadapan [Name]. Manik hijau terangnya berbinar cerah.

[Name] memegang pelan bandul yang menyemati rambutnya. "Boleh kupakai?"

Rambut Hikaru pun tergerai bebas. Sedikit acak-acakan serta mengembang karena bekas ikatan, tetapi tidak mengurangi paras manisnya.

"Kupinjamkan sementara untukmu yang sudah berjuang keras," Hikaru terkekeh sepintas lalu menatap ponsel yang bergetar di balik sakunya. Sepintas muncul aura kelam yang menghiasi ekspresinya. "Maaf. Aku balik dulu, ya. Selamat mengerjakan."

Ketika [Name] mendapati bahu pemuda itu menjauh, terselip perasaan bingung di batinnya. Ia menyentuh kembali sikat yang sempat dibiarkan untuk sementara. Beranjak kembali menyelesaikan tugas sukarela semasa kelas tambahan. Namun, sejejak keganjilan yang meliputi batinnya bertambah satu. Ketika ia mendapati sejejak tetesan darah di pinggir kolam.

"Kenapa ada darah di sini? Milik Hikaru?"

Tiada jawaban, [Name] berharap bukan demikian.

• • •

Hikaru tidak pernah lagi masuk kelas tambahan. Sebelah kursi [Name] pun otomatis kosong. Karena sunyi, [Name] bahkan bisa mendengar cericip burung yang beterbangan di angkasa. Udara yang mengalir sejuk, meninggalkan hampa yang menyesakkan.

Kenapa ketenangan tidak lagi terasa semenyenangkan yang dibayangkan dirinya seperti dulu? Apakah [Name] hanya merasa kesepian? Meskipun sepanjang waktu hanya bahasan tidak penting. Sesekali lontaran canda. Namun, sejak bayang-bayang tetesan darah yang ditemuinya di pinggir kolam membuat dirinya takut.

[Name] membuka tempat pensil. Bandul ikat rambut itu masih tergeletak rapi. Ditatapnya nanar. Tanpa terasa, kelas tambahan pun berakhir.

"Aku masih bisa melihatmu lagi selain kelas ini, kan?" gumam [Name] menghela napas.

Padahal mengikuti kelas tambahan sangat melelahkan. Musim panas yang seharusnya telah menyambut. Liburan telah tiba. Ketiga keinginannya dari awal bisa sekali lagi terkabul.

Beberapa murid yang riuh riang segera membebaskan perlengkapan alat tulis dan berbondong-bondong keluar dari kelas. Sang pendidik keluar lebih dulu. Menyadari ada yang bisa dilakukan, [Name] menerobos gerombolan murid. Mengejar guru sinis itu.

"Yamato-sensei, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya [Name] dengan napas terengah-engah.

"Ada apa?" sahut Yamato-sensei.

[Name] menautkan alis. "Apa aku boleh tahu kenapa Hikaru sering absen?"

Sang guru tidak langsung menjawab.

"Dia sakit-sakitan sejak lama. Sesekali ia harus diopname untuk perawatan medis," jawab Yamato-sensei. "Sepertinya dia berhasil mendapatkan teman, ya."

Manik [Name] membola penuh. "Dia pasti bisa bertahan hidup, kan? Aku...."

[Name] merasakan tepukan pelan di bahu.

"Tetap dukung dia, ya. Dia anak yang ceria."

Mata [Name] tahu-tahu terasa basah. Bandul ia ambil dari tempat pensil kini tergenggam erat. Menyadari kenyataan itu memerihkan hatinya.

"Aku… kan belum sempat mengembalikan ikat rambutnya."

[Name] khawatir bahwa pertemuan mereka hanya sampai di pinggir kolam itu. Yamato-sensei pun hendak berpamitan lalu meninggalkan dirinya di lorong sekolah. Sesekali ia melangkah dengan seretan kecil yang bisa menyebabkan sol sepatu aus, tetapi ia tidak peduli.

"Yo! Yo! Yo!"

[Name] tidak lagi melangkah. Melainkan bahunya ditahan dari depan. Ia mendongak. Mendapati Hikaru berdiri di hadapannya menuju gerbang sekolah.

"Hi…Hikaru-kun?" tanya [Name] menganga. "Aku tidak sedang bermimpi, kan?"

Hikaru terkekeh, "Aku menagih ikat rambutku makanya datang ke sini."

Ia datang dengan pakaian bebas--- kaus hitam dan celana training abu-abu.

"Kukira kau dirawat di rumah sakit sehingga tidak datang ke sekolah lagi," ujar [Name] dengan suara tercekat. "Aku khawatir seperti orang bodoh. Kau bisa datang ketika selesai liburan, kan?"

Manik Hikaru melebar lalu diiringi senyuman lebar.

"Aku akan baik-baik saja selama punya cinta." Hikaru memasang jari jempol dan telunjuk--- membentuk simbol hati. "Aku ingin bertemu denganmu lebih cepat."

Pipi [Name] merona. "H-Hah? Bisa-bisanya kau menggodaku!"

Hikaru mengerucutkan bibir. "Ih, serius. Aku akan baik-baik saja kalau mengikuti pengobatan, tetapi dokter bilang cinta bisa menguatkan dan mempertahankan siapa saja yang terluka."

[Name] mengambil ikat rambut dari saku roknya.

"Omong-omong, terima ka---"

Hikaru pun menarik gadis itu ke dekapan. "Justru aku yang harus berkata seperti itu. Kalau begitu, mulai saat ini sumber cintaku bisa kudapatkan darimu."

Gadis itu termenung sekilas. "E-eh?"

Hikaru menepuk pelan punggung [Name]. "Mohon bantuannya!"

____________

OMAKE
____________

Merah. Jingga. Kuning. Hijau. Biru. Ungu.

"Untuk apa ikat rambut sebanyak ini?!" pekik [Name] melihat sekumpulan ikat rambut penuh motif di atas selimut putih milik Hikaru.

Sejak saat itu, [Name] selalu menyempatkan waktu untuk datang menjenguk Hikaru bila harus dirawat ke rumah sakit.

Hikaru mengedipkan sebelah maniknya. "Aku menyuruh Nome, sahabatku, untuk membeli semuanya."

[Name] menggaruk tengkuk. "Apa Nome-san waktu itu sangat canggung ketika membeli ini, ya?"

Hikaru terkekeh lalu berkata, "Tenang saja!Nome bisa apa saja. Lagi pula aku ingin melihat sisi manismu. Apa mau kuajari mengepang rambut?"

[Name] mendengus. "Aku juga bisa. Lihat saja, ya! Kalau sudah terbeli ya apa boleh buat."

Pemuda itu mengambil buah pisang lalu melahap pelan. "Kau selalu cantik, apalagi kalau mengikat rambutmu~"

Menyikut lengan Hikaru dengan pelan, [Name] berucap, "Tentu saja!"

Di dalam lubuk hati [Name], ia tahu dukungan yang terbaik yakni menguatkan. Mempertahankan. Dan merekatkan. Bagai ikat rambut yang mengikat erat hubungan yang dipersatukan.

• Fin •

Words: 1641

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro