Gelang [Part 2] - Aizome Kento
Arti sebuah perhiasan memiliki pesan bermakna. Harapan indah menjadi idaman semua orang. Namun, sebuah kata "kutukan" jelas menjabarkan maksud tak menyenangkan. Ancaman "mati" dan "tidak bisa kabur" seakan mengunci eksistensi seutuhnya.
"Apa kau menyesal tidak mengikuti saranku?"
Saat [Name] sedang menunggu pintu elevator terbuka, Goushi bersandar di sebelah.
"Lah, kenapa kau berada di sini? Aku juga sudah bermaksud kembalikan gelangnya," sahut [Name] berdecak kesal saat melihat pergelangan tangannya disemati aksesori berkilau. Dasar tsundere. Padahal sudah bersikeras berkata takkan menolong lagi, tetapi masih saja terjun urusan dengan keadaannya.
"Lalu, kenapa masih ada di sana?" tunjuk Goushi bersedekap.
"Kento yang memakaikan ini seenaknya. Tapi dia bilang kutukan. Entah kenapa."
Manik merah Goushi melebar seiring pintu elevator terbuka.
"Kalau dia berbuat macam-macam denganmu ... sepertinya dia yang akan mati."
Gelang [Part 2/2]
Story © agashii-san
B-project © MAGES
.
.
.
Perkataan "kutukan" dan "mati" sejujurnya bernilai 50:50. Bermakna kebetulan, begitu pula ditambah fakta. Sejak hari [Name] menyusup dan dibawa kabur oleh laki-laki asing, Kento memerintahkan semua bawahan untuk melacak jejak khusus gadis itu. Mulai latar belakang keluarga, pendidikan, hingga relasi sekitar.
"Tuh, kan. Dia pasti datang," ujar Kento bersenandung ria saat melihat keberadaan [Name] sudah berjalan menuju gedung kantor.
"Sebenarnya Tuan sudah tidak berurusan lagi dengan Nona [Name], bukan?" tanya seorang bawahan berkacamata gelap. "Dia orang berbahaya, Tuan."
"Semakin berbahaya, aku juga semakin suka," sahut Kento menyeringai kecil. Menaklukan hati wanita bukan perkara kecil selama menjalani seperempat abad hidup.
Brak!
"Kutukan. Apa. Yang. Kau. Maksudkan?"
Dengan napas tergesa, [Name] menempatkan tangan kanan pada pintu ruang kerja Kento yang terbuka lebar. Merasakan atmosfer keadaan yang menegang, bawahan Kento segera pamit meninggalkan ruangan. Di belakang [Name] terdapat sejumlah karyawan yang berlalu-lalang dengan tatapan penasaran.
Alih-alih takut, Kento bertepuk tangan sambil mendekati [Name]. "Kau datang lebih cepat dari perkiraan."
"Jawab pertanyaanku!" sanggah [Name] refleks mundur beberapa langkah yang kemudian ditarik Kento sembari menutup pintu dari dalam.
"Sini, duduk," kata Kento tak mengindahkan [Name] yang berontak karena ditarik mendekati sebuah sofa kulit abu-abu. Nuansa minimalis dengan semilir aroma lavender yang menenangkan, tetapi [Name] merasa tidak akan pernah bisa terlarut dengan suasana indera penciuman. Karena tetap menunggu jawaban, mau tidak mau gadis itu memutuskan duduk.
Kento mengeluarkan beberapa lembar kertas dari map plastik putih. Terlihat ada beberapa foto, juga deretan tulisan yang diketik rapi. Foto yang tidak asing bagi [Name]. Salah satunya terdapat ayah angkat, sejumlah anak-anak, dan juga dirinya. Latar belakang dirinya sudah pasti dilacak.
"Aku tidak mengejarmu tanpa alasan, [Name]. Kau berada di bawah naungan pria itu bukan? Seorang pandai besi yang mendalami dunia perlogaman hampir seumur hidup, lalu banting setir jadi pencuri misterius lima tahun belakangan."
Tegukan ludah refleks menyusuri kerongkongan [Name]. "Ternyata kau tahu sedalam ini."
Jemari Kento menyentuh beberapa helai rambut [Name]. Tatapan biru langit yang terlihat luas juga menawan, tetapi menjaring target sejadi-jadinya. "Ibuku jatuh cinta dengannya, tapi dia harus menikahi pria lain. Ayahku. Ibuku yang jahat itu memohon si pandai besi merancang gelang yang akan dijadikan mahar."
Cerita yang menjadi saling berkaitan karena setengah dari yang dibahas telah didengar [Name] berdasarkan persepsi ayah angkatnya. Beliau sejujurnya tak sampai hati untuk membuatkan gelang itu. Ia dibutakan oleh kebencian, kedengkian, dan tekad balas dendam. Tak peduli bayaran besar yang diterima, material emas murni yang sudah dirangkai sengaja diganti dengan material alloy yang dapat menghitam. Namun, sejahat niat ayah angkat [Name] pun tidak selalu membuahkan hasil sesuai ekspektasi. Berbahan imitasi pun, ternyata gelang itu tetap terjaga tanpa cela kehitaman sedikit pun. Dusta yang pada akhirnya dibawa mati.
"Benar. Sebuah wasiat darinya menyuruhku untuk memberikan gelang yang asli. Setidaknya ibumu tetap pantas menerimanya."
Kento menyilangkan kaki, menjawab acuh tak acuh, "Terlambat. Dia sudah meninggal lama. Sebagai kenangan, ia selalu mengenakan gelang pada hari penting. Kini, kepemilikan aksesorisnya diabadikan dalam ruang kolektor."
"Oke, jadi kenapa kau menurunkan kutukan ini kepadaku?" [Name] melepaskan gelang itu, lalu menaruh di atas meja.
"Aku tidak tahu maksud surat wasiat ayahmu itu bertujuan apa. Menjadikanmu objek balas dendam atau lanjutan yang berimbas kepadaku, tapi lakukanlah."
[Name] mengernyitkan dahi. Masih gagal paham. Sepertinya pembaca juga sama.
Sepersekian detik yang berlalu tanpa menemukan pencerahan, sebuah kecupan pelan mendarat di pipi [Name]. Kento mengedipkan sebelah mata, lalu mengambil kembali gelang di atas meja. "Aku mau melihat pengaruh kutukan ini bekerja. Oh, ya, ini ada map hitam untuk membahas pekerjaanmu sebagai sekretaris."
[Name] menganga sambil memegang pipi kanan yang menjadi sosoran dadakan barusan.
Apa-apaan laki-laki itu?
"Memangnya aku bilang mau jadi sekretarismu?"
Kento mengusap dagu. "Jas hitam, kemeja putih, dan rok ketat hitam. Pakaian formal yang sesuai. Kau sudah sangat siap dari segi penampilan. Tenanglah sedikit. Setelah melakukan verifikasi barusan, kau tidak akan rugi dari segi materi."
Menyetujui petunjuk Kento tidak akan berjalan semulus teori dalam benak [Name]. Membawanya pada permainan yang tidak dapat dikontrol. Menelusuri labirin yang tidak kunjung terurai sekali pun ia merasa sudah semestinya bebas adalah keputusan terakhir.
Lantas, kenapa Kento masih tetap menahannya?
***
Atas kesepakatan yang disetujui, [Name] akan bekerja sebagai sekretaris di bawah pengawasan Kento. Akan tetapi, ia tetap diperbolehkan menangani sejumlah keperluan donasi panti asuhan Brave. Setidaknya dibandingkan masuk jeruji besi, [Name] menebus kesalahan sebesar nominal kerusakan yang ditimbulkan akibat kericuhan Goushi yang menyelamatkannya. Mungkin terkesan seperti alasan, bahkan kerusakan yang ditimbulkan tidak sebesar nominal gelang yang dikenakan [Name] saat ini.
Melalui kerja sama di antara mereka, [Name] jadi dapat mengetahui rencana donasi rutin. Setiap tahun, donasi yang diberikan Kento tidak hanya berupa uang tunai. Ada pula sandang layak pakai yang memang dibeli khusus untuk anak-anak panti asuhan. Untuk menjaga citra perusahaan, mereka juga akan melakukan jalinan kontrak dengan investor demi mendapatkan keuntungan. Bagai pisau bermata dua. Sambil berbuat baik, mereka tidak ingin rugi.
"Habis menyerahkan donasi, tolong temani aku sejenak," pinta Kento setelah [Name] menaruh tumpukan kardus dalam bagasi mobil.
"Kenapa? Kau sudah tidak ada kesibukan atau jadwal kencan dengan wanita lain?"
Kento mengedipkan sebelah manik. "Aku mau meluangkan waktu sejenak."
"Baiklah. Pergi ke mana?"
"Pantai."
Selama perjalanan, mereka juga melalui jalur luar kota. Alih-alih bangunan pencakar langit, lebih banyak pepohonan dan bebatuan sekitar. [Name] mulai bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa ia tidak takut bersama dengan pemuda yang menggauli banyak wanita? Kenapa ia menuruti permintaan Kento tanpa pertimbangan?
Terbiasa. Mungkin sebuah pernyataan yang tidak dapat dipercayai oleh banyak orang, tetapi [Name] merasa demikian. Sebuah perasaan yang valid bagi diri sendiri, tetapi tidak semua dapat menyetujui.
"Hati-hati," ujar Kento mengulurkan tangan saat membukakan pintu untuk [Name]. Jalanan mulai dibasahi gumpalan salju. Musim dingin memang terasa membekukan, tetapi telapak tangan Kento mengalirkan kehangatan saat bertemu dengan tangannya.
Dari kejauhan, [Name] mulai mengenang masa abu kremasi ayah angkatnya ditabur sebagian di sana. Salah satu keinginan yang disampaikan pada wasiat. Kento menatap nanar ombak laut yang menggulung ke arah daratan.
"Setahun lalu, aku ingin menghilang dari dunia ini. Sepertinya dunia akan baik-baik saja tanpaku. Mengisi kesendirian yang rasanya tidak pernah terpenuhi," tutur Kento memecah keheningan yang disahut dengan manik [Name] yang menangkap rupanya.
"Secara realita, iya. Akan tetapi, cara seperti itu egois. Kau akan melukai banyak orang dengan pemikiran sempit seperti itu."
"Tapi kau tahu, mungkin kau adalah salah satu alasanku bertahan sampai hari ini."
[Name] menoleh bingung. "Aku? Kita tidak rutin berinteraksi sampai insiden di ruang kolektor itu."
Kento terkekeh. "Setahun lalu, aku melihatmu membawa bayi yang ditinggalkan dekat selokan. Ternyata, kau membawanya untuk diasuh. Kebanyakan pejalan kaki akan apatis karena di sana sepi, jadi mereka sengaja tidak peduli karena malas ikut campur. Mungkin aku jadi paham alasan kepala pengurus sangat enggan menyerahkanmu untuk Brave Corporation."
Alih-alih terdengar menggombal, [Name] merasa tersentuh akan apresiasi Kento barusan. Perlakuan itu tidak untuk menerima pujian. Bahkan, ia yakin tidak ada siapa pun yang menyadarinya pada hari di bawah salju yang membekukan. Namun, sesosok eksistensi mengetahui hal itu dan mengabadikannya sampai hari ini.
"Aku jadi tahu bahwa bayi itu bertahan hidup dengan segala cara yang dapat ia lakukan, tetapi aku malah ingin membuang diriku karena dikuasai emosi negatif. Sesuatu yang terlihat di permukaan tak selalu sama, [Name]."
Menjadi sosok berkelas yang selalu berpakaian rapi tidak selalu dijamin kebahagiaan gemilang seperti karakter fiksi tanpa cela. Hidup orang kaya juga bisa serumit, juga dapat sama sedihnya merasakan kesedihan dari kalangan mana saja.
[Name] menepuk bahu Kento. "Bertahan sampai seperti sekarang juga sudah hebat."
"Aneh. Apakah di masa lalu kau juga seorang penyihir?"
"Sayangnya, aku tidak bisa memakai ilmu hitam."
Mereka terkekeh bersama, menghabiskan sore penuh makna.
***
Sejak saat itu, [Name] jadi merasa lebih canggung saat bersama Kento. Sebelumnya, ia tidak pernah menggubris godaan, apalagi memikirkan gombalan bagai angin lalu. Momen berbagi kisah di pantai waktu itu menyisakan lapak kenangan untuknya. Suasana yang menawan dengan pesona ombak yang menggulung daratan. Gigil yang seharusnya mendominasi masa-masa itu. Namun, kehangatan justru menyusuri raga, begitu pun batinnya.
"Apa kau sakit?"
Punggung tangan Kento menyentuh dahi [Name]. Refleks, gadis itu mundur hingga terjungkal dari kursi. Masih dalam keadaan terduduk di lantai, ia menunjuk arah meja kerja.
"Aku baik-baik saja! Laporan yang dipersiapkan sudah kuletakkan di atas meja. Ambillah."
"Bisa berdiri?" tanya Kento berjongkok di sebelah [Name] sembari mengulurkan telapak tangan.
Melihat jemari yang lama mengudara, [Name] menempatkan telapak tangannya. Semilir aroma sandalwood menguar lembut. Tak ingin fokusnya buyar, [Name] menyerahkan laporan sembari membuang muka. Tidak, perasaan ini buruk. Dia tak boleh sampai jatuh cinta kepada Kento.
***
Selang waktu berlalu, [Name] mengira keseharian yang dijalaninya seratus persen baik-baik saja. Namun, kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari, Goushi selalu menegurnya untuk meninggalkan Kento. Terdapat kesangsian besar bahwa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Hari itu, [Name] dan Kento datang berkunjung dalam rangka hari pembangunan panti asuhan yang mendekati seperempat abad. Ada pun acara yang diselenggarakan dengan melakukan pembagian keperluan pangan dan sandang. Selain itu, terdapat hiburan musik yang disenangi oleh anak-anak panti asuhan.
"Tahun ini lebih meriah, ya," ucap [Name] tersenyum melihat kerumunan. Kento berada di sebelahnya, menatap gadis itu, kemudian turut melihat arah yang sama.
"Tentu saja karena keberadaanku yang menawan," goda Kento menyibak poni birunya, disertai kedipan manik kanan. [Name] hanya terkekeh, lalu menepuk pelan lengan lelaki itu.
"Kalau aku ingin waktu berhenti, saat ini juga tidak apa-apa," tutur [Name] menoleh ke arah Kento yang awalnya berniat menggoda, kemudian terdiam sejenak.
"Aku ... ju ...."
BOOM!
[Name] dan Kento menatap ke arah selatan panggung yang terletak di luar gedung panti asuhan. Bunyi ledakan nyaring seketika menimbulkan keheningan sejenak. Tatapan penuh kebingungan, panik, dan cemas bercampur pada kerumunan di depan mereka.
"Astaga! Ledakan dari mana itu?"
Gadis itu menyipitkan manik sepintas. Samar-samar terdapat kepulan asap hitam muncul di atas atap gedung. Apabila memang terjadi peledakan, [Name] bisa memastikan sebagian besar anak-anak berkumpul di luar. Ia juga tidak menghitung dengan detail.
"Kita harus membawa semua anak-anak keluar dari sana," ungkap [Name] menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan sebuah usulan.
"Kepala pengurus dan staf juga tidak terlihat." Kento menatap sekitar.
"Aku akan mencari mereka, jadi kau tunggu saja di sini," kata [Name] hendak menghampiri gedung, tetapi pergelangan tangannya dicegat Kento.
"Kenapa kau nekat masuk ke sana sendirian? Bagaimana jika ada ledakan lanjutan?"
"Lantas aku harus berdiam diri di sini?"
Kento memegang bahu [Name]. "Entah kenapa, aku tidak mau kau masuk ke sana. Percaya padaku. Aku akan kembali."
Ucapan Kento bukanlah sebuah kepastian, bahkan hanya dipegang berbasis keyakinan. [Name] menatap bahu Kento yang kian menjauh. Takut jika pemuda itu tidak akan pernah kembali.
Sejumlah ledakan berikut tetap berlanjut. Bahkan kehadiran sejumlah pemadam kebakaran yang datang untuk menangani kebakaran itu pun, Kento tetap tidak hadir di sisinya.
"Pembohong. Aku tidak akan menangis karenamu."
Menurut [Name], Kento adalah lelaki yang jahat. Melebihi klien-klien di masa lalu yang menyuruhnya menjadi pencuri sekali pun. Membiarkan gelang itu menjadi bagian memori yang membekas seumur hidupnya.
***
OMAKE
***
Insiden ledakan pada panti asuhan resmi dinyatakan sebuah kasus bom bunuh diri yang dilakukan seorang teroris yang menaruh dendam pada Brave Corporation. Setengah tahun pun berlalu menyisakan luka terhadap berbagai pihak. [Name] diberhentikan dari posisi sekretaris sejak kejadian itu dikarenakan Brave Corporation yang terancam dilikuidasi oleh kondisi pasar.
Terlepas dari kejadian memilukan, semua anak-anak yang diasuh tidak ada yang menjadi korban meregang nyawa. Ada pun dari mereka yang mengalami luka ringan, tetapi segera teratasi. Pembangunan renovasi panti asuhan pun dilanjutkan pada sebuah distrik yang berbeda.
Sejauh apa pun, [Name] akan tetap ke panti asuhan Brave. Lokasi yang membuatnya merasakan "rumah" walaupun tiada satu pun saudara sedarah di sana. [Name] mendapati sesosok bayi mungil yang ditempatkan lagi di sini. Sosok yang berbeda ketimbang setahun lalu. Seorang bayi laki-laki berambut biru muda. Pipinya mungil bagai buah persik. Maniknya juga serupa dengan warna rambut.
"Lucu sekali!" ucap [Name] sulit melepaskan pandangan pada bayi itu.
"Kami belum menamainya. Apa kau punya ide?" tanya pengurus staf.
"Apa aku boleh membesarkannya?" tanya [Name] menimang bayi yang membalasnya dengan tatapan hangat.
"K-Kami tidak masalah, tetapi kenapa tiba-tiba saja?"
[Name] terkikik kecil. "Dia mengingatkanku dengan seseorang yang kusuka. Aku juga sudah memikirkan nama yang tepat."
Reinkarnasi atau pun bukan, ia memutuskan untuk menjaganya hingga akhir hayat.
"Namanya?"
"Aizome Kento."
- Fin -
A/N:
Mohon maaf tertunda lama~~~
Akhirnya selesai juga karena perkara idealisme author (:'3).
Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Aku juga sudah menyediakan satu part spesial tambahan skenario. Terima kasih juga bagi yang sudah bersedia menjawab.
With love,
Agachii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro