Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bintang [Part. 2] - Masunaga Kazuna

Embusan angin sepoi membelai tirai perumahan sederhana yang dipenuhi pepohonan. Kursi goyang kayu bergerak sebab diduduki seorang gadis. Membalik halaman demi halaman sebuah karya sastra klasik. Ia selalu merasa tenang ketika berada di sana.

"Nek," panggil [Name] lirih.

Memutuskan tinggal di villa sang nenek sangat menenangkan. Meskipun ketika sampai di sana cukup memakan biaya transportasi. Namun, perjuangan itu sebanding untuk menenangkan diri.

"Ada apa, [Name]?" tanya sang nenek menoleh dari balik sofa dengan televisi yang menyala.

"Cinta itu semu, ya?" Gadis itu bertanya meskipun tidak mengharapkan jawaban pasti.

Ia hanya datang dengan sebuah tas tangan yang menggantung di bahunya. Tidak sengaja memposisikan tas dalam keadaan terbaring, tercecer setoples kaca berisi origami bintang.

"Cinta ada untuk mereka yang percaya."

Dalam geming, [Name] memungut botol kaca itu. Beserta sebungkus plastik berisi seratus lembar kertas. Tapi ternyata di balik plastik tertempel sticky note berwarna biru muda.

Semangat! Mungkin tidak mudah, tapi bila terbiasa pasti bisa melipatnya dengan baik (^_^)

Manik [Name] kembali menggenang, meski ditahan setengah mati. Sejauh apapun hatinya berusaha lari agar terhindar dari luka, ia tahu dirinya takkan bisa. Melarikan diri dari masalah.

Bintang - Last part

Pair: Instructor! Masunaga Kazuna x Inferior! Pupil! Reader

B-Project (c) MAGES

☆ Recommended instruments: ☆
1. River Flows in You - Yiruma
2. RUN - BTS
3. Glitter - B-Project Various CD

Rate: T [PG-15]

Warning: OOC-ness, AU, & quite dramatic.
By agashii-san
.
.
.


Orangtua [Name] tidak mencarinya. Mungkin mereka tahu karena satu-satunya pelarian ternyaman sang putri tunggal hanyalah rumah sang nenek. Mungkin mereka sengaja membiarkannya tenang untuk sementara waktu. Belum lagi ponsel [Name] sengaja dinonaktifkan.

Secangkir kopi susu diarahkan ke meja. Kepulan asap yang terlihat menandakan air yang dimasak hingga mendidih. Pelan-pelan, jemari mungil gadis itu menggapai cangkir kopi buatan sang nenek.

Ia sudah menceritakan secara singkat alasan kedatangannya ke sini. Termasuk ulah ibunya dan Kazuna yang bersengkongkol tanpa sepengetahuannya.

"[Name] pasti sangat kecewa sekali, ya?" tanya sang nenek.

Tersenyum getir, [Name] berkata, "Aku yang terlalu bodoh, Nek. Aku ... tidak punya wajah lagi untuk menampakkan diri kepadanya."

"Apa dia menertawakanmu? Memarahimu?"

Gadis itu menjawab dengan sekali gelengan. Kazuna membalas keterbatasan dengan kebaikan. Kebaikan yang menumbuhkan harapan. Namun, semakin dalam perasaan itu, ia yakin akan terjun dalam luka terlalu dalam.

"Berarti kalian tidak ada masalah, kan?"

"T-tapi dia berpura-pura tidak tahu diriku dan ... kukira dia sungguh ingin mengajariku dari awal."

"Dia memegang janjinya, bukan? Mengajarimu. Itu bahkan lebih baik daripada sekadar bermulut manis."

Debat itu berakhir diucapkan oleh sang nenek. [Name] terdiam dengan napas tersengal-sengal. Ia enggan mengiakan asumsi. Ia hanya merasa terlalu lelah untuk percaya.

"Semua orang punya alasan dalam melakukan sesuatu, [Name]. Termasuk kebohongan itu."

Menyesap cairan kopi yang terasa pahit dan manis secara bersamaan, gadis itu kembali merenung. Selama ia terus hanyut dalam kesedihan, ia perlahan sadar bila keegoisan kini menguasai hatinya.

Memaafkan--- semestinya sebuah pemecah belenggu rasa.

Tidak akan terasa mudah bila sudah telanjur dikecewakan.

• • •

"Maaf, dia masih belum kembali."

Konfirmasi dari pelayan rumah pun membiarkan Kazuna terpaksa berbalik badan dengan tiada kabar baru. Sekeras apapun ia mencoba mengontak [Name], segalanya masih sama. Tidak ada kesempatan. Sejak panggilan benar-benar dinyatakan terputus.

"Kazuna!" tegur sang penjaga gerbang menghampirinya.

Bertegur sapa, keduanya juga berjabat tangan sebelumnya.

"Ada apa?" tanya Kazuna.

"Sebenarnya, saya tidak bermaksud menguping pembicaraan Anda barusan. Tetapi mengingat Nyonya Besar akan menjemput paksa Nona [Name] ke rumah utama, saya merasa cara seperti ini kurang baik."

Manik emerald Kazuna melebar. "Jadi Bapak tahu dia ada di mana?"

"Seluruh penghuni rumah utama pasti tahu. Hanya satu-satunya pelarian yang disukai Nona [Name] adalah rumah neneknya."

Ucapan itu seakan memberikan titik terang.

"Berikan alamatnya."

Terlepas bila [Name] akan marah nanti, Kazuna amat ingin bertemu. Ia akan mencoba meluruskan masalah ini sekali lagi. Dengan bertemu langsung.

"Sebelumnya, saya tidak menjamin bisa membawa [Name] kembali," ungkap Kazuna menggaruk tengkuk.

"Tidak masalah. Tapi saya yakin Anda bisa."

Secarik kertas mungil diberikan kepada Kazuna. Kemudian kini Kazuna memperoleh dorongan semangat.

"Apa aku masih bisa menggenggam harapan itu sekali lagi?"

Langkah kepergian itulah satu-satunya menjadi jembatan atas jawaban dari sang lelaki.

• • •

[Name] tahu bila neneknya tadi tidak bermaksud memancing emosinya. Tapi usai perdebatan tadi sukses menimbulkan jeda dalam diam. Kembali larut dalam kesibukan masing-masing. Kini, ia masih terbaring di sofa sembari memeluk bantal mungil.

Sejak mendiang almarhum sang kakek tiada, neneknya memang kerap menyendiri. Diajak oleh ibunya juga tidak mau. Hatinya masih mengenang masa-masa yang penuh warna. Meskipun kini tinggal kenangan. Dilipuri cinta memang membingungkan; bisa bahagia berarti bisa juga bersedih.

Manik [Name] terpejam. Pikiran yang memusingkan dan rumit melelahkan raga.

"Ternyata kau benar-benar berada di sini."

Ketika suara yang paling menjadi subyek kebimbangan hati [Name] terucap begitu nyata, maniknya membola.

Laki-laki berambut oranye itu kemudian berjongkok. Berjongkok di samping sofa yang ditempati [Name] untuk membaringkan diri. Gadis itu mengerjap lalu bangkit dengan anak rambut yang acak-acakan.

"Ka-Kazuna ...."

"Aku tahu kau tidak senang bertemu denganku, tapi bisakah kau mendengar alasannya dulu?"

Segala yang kini dilihat gadis itu terasa begitu nyata. Manik hijau penuh binar yang selalu memberi aura magis itu. Tenggorokannya tercekat, berusaha mencerna kejadian ini saking sulit berkata-kata. Menganggap diam sebagai persetujuan, Kazuna angkat bicara lagi.

"Jadi ... aku memang disuruh ibumu untuk mengajarimu berdansa. Aku memang jahat karena pura-pura menjadi orang awam."

Berusaha berucap, [Name] menatap sinis. "Lalu apa alasanmu mengajariku? Apa ibuku membayarmu dengan harga mahal?"

Alis Kazuna bertaut.

Gadis itu kembali angkat bicara. "Kazuna, kau ini seperti bintang, ya? Begitu berkelip seakan tergapai. Namun, saat ditelan harapan, kau pudar begitu saja."

"Aku tidak mau menjadi bintang yang seperti itu." Kazuna menghela napas.

Gadis itu larut dalam kebingungan; kekecewaan dan kepercayaan memberi dua arah yang berbeda. Tapi Kazuna datang seorang diri. Menemuinya.

"Setidaknya, bintang versiku adalah eksistensi yang tidak pernah pergi. Dia selalu ada. Meski tak kasat mata." Lelaki itu menerawang. Memandang angkasa biru yang lembut bersama gumpalan awan.

"Kazuna, hanya demi gadis payah sepertiku ... kenapa kau datang? Apa ini suruhan ibuku lagi?" tanya gadis itu mengepalkan tangan penuh kesenduan.

Pipi Kazuna merona. "Tidakkah semua ini sudah jelas? Apa kau bahkan masih tidak mengerti?"

Penuh kenaifan, [Name] menggeleng. Tapi Kazuna sudah berjanji. Di dalam hatinya, ia akan menjelaskan semuanya. Ia takkan membiarkan gadis ini lari lagi. Mengosongi separuh jiwanya yang perlahan terlarut kehampaan.

Jemari Kazuna meraih pergelangan tangan [Name]. Tanpa seizin gadis itu, ia menariknya ke dalam rengkuhan.

"Kalau kau tidak menyukaiku, lepaskan rengkuhanku. Sesederhana itu," tutur Kazuna memancarkan keyakinan dari sepasang irisnya, "tapi bila tidak demikian ...."

Hanya gadis itu, [Full Name], yang diingininya.

"Jika sebaliknya, maka rengkuh aku kembali. Sebagai orang yang menyukaimu, inilah permintaanku."

"Tapi ... aku bahkan belum menyelesaikan seratus bintang untuk menerima permintaan seperti itu?"

Kazuna mengangguk. "Tidak apa. Aku siap membantumu melipat hingga akhir."

Dekapan hangat itu terasa nyaman. Hati yang siap bahagia adalah ketika bisa menerima dan memaafkan. Gadis itu turut merengkuh seiring luapan memenuhi seluruh hatinya.

"Saat ini, kuharap jatah dansamu hanya untukku," bisik Kazuna seiring melepas dekapan.

• • •

O M A K E

• • •

Masalah di antara mereka terselesaikan dengan baik. [Name] kembali melanjutkan lipatan bintang dengan sabar. Ia juga berhasil meraih gaun terbaik yang ternyata dibelikan spesial oleh sang ibu.

"Apa kau masih marah denganku?" tanya ibu [Name].

Interaksi mereka jadi lebih berkurang sejak insiden itu. Meskipun gadis itu sudah memaafkan, situasi masih cukup canggung.

"Tidak, Bu. Lama-lama ... aku justru ingin mengucapkan 'terima kasih'."

Dahi ibunya mengernyit. "Kau tidak kecewa atas dugaan bahwa kami bersandiwara di belakangmu?"

"Terserah. Tapi aku ingin percaya laki-laki itu, Bu." [Name] menepuk pipi seiring menggunakan krim wajah.

Ibu [Name] menopang dagu. "Kenyataannya, kami tidak sepicik itu, [Name]. Kazuna memutuskan untuk mengajarimu atas inisiatif sendiri. Dan dia izin kepadaku."

Alis gadis itu bertaut. Awalnya, ia mengira seluruh pembicaraan yang didengarnya dengan menguping adalah kebenaran mutlak. Samar-samar, rona kemerahan mewarnai kedua pipinya.

"Ibu tahu dia selalu memerhatikanmu dari jauh sebelum kau mengenalnya. Jadi, kurasa mengajarimu adalah cara yang paling alami untuk mendekatimu," tutur ibu [Name] memberi lirikan menggoda.

"I-Ibu ... jangan bercanda, ah," bantah [Name] takut berharap.

"Kenapa Ibu harus bercanda? Ibu akan sangat mendukung bila kalian bisa sampai ke pelaminan."

Ketukan pintu menjedakan [Name] untuk angkat bicara lebih lanjut. Sang Ibu membukakan pintu. Terlihat lelaki bersetelan jas rapi mengulum senyum hangat. Namun, di satu sisi, gadis itu menduga-duga. Apa lelaki itu mendengar pembicaraan mereka?

"Aku datang untuk menjemputmu." Kazuna mengulurkan tangan.

Seperti bintang, lelaki itu akan selalu ada. Penuh binar. Penuh keyakinan. Gadis itu ingin memercayai sekali lagi mimpi yang diberikan kepadanya.

Fin



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro