Quatre: Evanescent
Chapter 4
—Evanescent—
(adj.) Cepat berlalu
Saat mentari pagi baru saja menyingsing dari ufuk timur, Fushiguro sudah disambut oleh suara deburan ombak yang membentang luas lalu terpecah di laut lepas sana. Semburat merah-oranye menghias langit kala fajar hari ini.
Semua ini adalah rencana dari Eliane. Katanya, ia ingin menikmati indahnya pantai bersama Fushiguro sebelum operasi dilakukan. Eliane beralasan ia sudah lama menantikannya dan sangat tak sabar. Karena butuh waktu lama untuk masa pemulihan pasca operasi, akhirnya ia melancarkan rencananya itu hari ini.
Mulutnya itu memang pembohong andal. Sedangkan otak dan insting Fushiguro sudah seperti orang dungu yang selalu memercayainya.
"Indah bukan, Fushiguro?" sang gadis nampak sangat senang. Ia lalu berjalan-jalan dan tak jarang memutar badannya, membuat rok yang ia kenakan mekar bak bunga di musim semi.
Ah, soal musim semi, Fushiguro jadi teringat akan peristiwa yang membuatnya dekat dengan Eliane seperti sekarang ini.
Waktu itu, di bulan April, hujan tiba-tiba turun. Fushiguro baru saja pulang dari Universitas dan akan kembali ke apartemennya. Ramalan cuaca hari itu benar-benar kacau. Hal itu membuat Fushiguro tidak melakukan persiapan, seperti membawa payung, jas hujan, atau yang lainnya.
Ia tak punya pilihan lain selain meneduh di halte hingga hujan reda. Tak disangka-sangka, ia justru melihat seorang gadis yang tengah asyik hujan-hujanan di seberang sana, seolah tak peduli risiko yang akan ditanggung.
Tak segan-segan, gadis itu menari di bawah rintikan hujan. Bahkan badannya tak ditutup apa pun selain pakaian kasual miliknya. Tidak ada jas hujan, payung, bahkan kantong plastik.
Kesan pertama yang Fushiguro dapatkan ialah; gadis itu sangat kekanak-kanakan.
Entah apa yang mendorongnya, namun tiba-tiba ia memutuskan untuk memanggil sang gadis.
"Oi!"
Gadis tadi lantas mendekat dengan masih melangkah santai dan bersenandung kecil. Langkah kakinya menciptakan bunyi yang khas.
Semakin sosoknya mendekat, Fushiguro semakin mengenalnya. "Kau?!"
"Eh, kau kan...."
Beberapa detik terbuang hanya untuk saling tatap seperti orang bodoh. Rupanya, gadis tadi adalah putri dari pemilik restoran tempat Fushiguro bekerja, Eliane.
Sebelumnya, Eliane jarang sekali tampak di restoran. Setidaknya, Fushiguro baru pernah melihat eksistensi sang gadis sebanyak 7 kali dalam waktu 2 bulan ia bekerja.
Sekali pun melihatnya, Fushiguro hanya diam, tak melakukan apa-apa. Eliane bahkan hampir tak pernah menyadari adanya sosok Fushiguro di restoran milik ayahnya itu.
Fushiguro tidak pernah tahu apa alasannya, namun ia merasakan hal yang berbeda tiap kali ia melihat Eliane, bahkan sebelum mereka saling mengenal. Perasaan lega selalu muncul setiap ia melihatnya, meski hanya dari kejauhan.
Orang banyak menyebutnya sebagai ikatan.
"Jangan bilang kau melihat semua tindakanku tadi?!"
"Kalau tidak, aku pasti juga tidak akan memanggilmu seperti itu."
"Duh, sial!" Gadis itu mengacak-acak rambutnya yang basah kuyup. Rasanya sangat malu saat orang yang kenal denganmu melihat semua tindakan bodohmu.
"Tindakanmu tadi bahaya, tahu. Kalau tidak beruntung, kau bisa tertabrak kendaraan, atau setidaknya kakimu terperosok ke dalam saluran air. Kau juga bisa tergelincir, lalu kepalamu membentur aspal. Atau mungkin kau bisa jadi bahan tontonan orang-orang dengan pikiran busuk."
"Ucapanmu tajam sekali, lo! Tapi tadi jalanan sep—"
Sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur tertangkap oleh mata Fushiguro. Tahu apa yang akan terjadi, Fushiguro segera mengambil tindakan cekatan dengan membelakangi sang gadis. Ia lalu membentangkan jaketnya, dan....
byur!
Kubangan air membasahi Fushiguro. Eliane butuh waktu beberapa detik untuk memahami kejadiannya.
"Oi, apa yang kau lakukan?! Kau bisa masuk ang—"
"Cerewet, justru kau yang patut dipertanyakan. Memangnya kau pikir tindakan kekanak-kanakanmu tadi tidak mendatangkan penyakit?"
"Tapi kau jadi basah begini, tahu! Kalau kita sama-sama sakit kan tidak lucu!"
"Yang basah hanya punggungku, bukan seluruhnya. Kau justru lebih parah."
Fushiguro lalu melirik telapak tangan sang gadis yang terbuka. Tangan putih itu sekarang mirip tangan seorang lansia, keriput. Samar-samar ia juga bisa mendengar suara gigi atas dan gigi bawah sang gadis yang disatukan lalu dilepaskan dengan cepat.
"Kau kedinginan?"
"E-eh? T-tidak," bahkan kini tangannya ikut bergetar.
Fushiguro masih setia di posisi. Ia lalu mengambil tangan sang gadis yang mungil. Fushiguro lalu memegang tangan itu dengan erat sambil memalingkan pandangan.
"Apa lagi yang kau lakukan?!" Gadis itu hendak menarik tangan kecilnya, namun gagal.
"Diamlah. Lain kali jangan diulangi lagi. Kalau parah, bisa-bisa restoranmu itu tutup sementara. Kalau aku sampai makan batu gara-gara itu, kau yang akan kusalahkan."
Begitulah awal pertemuannya--perkenalannya dengan Eliane. Tanpa sadar, Fushiguro mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga hampir tak terlihat. Namun Eliane menyadari pemuda itu tengah tersenyum tanpa sebab yang jelas. Ia lantas memanggil. "Oi, jangan senyum-senyum seperti orang gila! Ayo sini!"
"Aku tidak senyum-senyum, dasar."
☀
☀
☀
Selasa, 26 Juni, Rumah Sakit Pusat Tokyo.
Hari itu akhirnya tiba. Hari di mana Eliane akan menjalankan operasi. Kedua orangtuanya, dan juga Fushiguro ikut mengantar dan menunggu hingga operasi selesai.
Gadis itu dibawa oleh sebuah kursi roda yang didorong oleh ayahnya menuju ruang operasi.
Tiba-tiba, rasa panik menghampirinya. Padahal ia sendiri tahu betul, panik itu tidak ada gunanya. Akhir yang telah ditetapkan sejak awal tidak akan berubah, sekali pun dirinya menangis darah.
Eliane menarik napas panjang. Ia lalu melirik sosok sang ibu yang berdiri di belakang dekat dengan Fushiguro. "Mama," abanya.
Sang ibu pun mengangguk paham. Wanita itu segera mengeluarkan sebuah benda persegi panjang dengan warna cokelat sebagai sampul, tebalnya kira-kira 2 sentimeter.
"Fushiguro, itu adalah buku harianku. Terakhir kali aku menulis di sana itu ... kemarin. Kau mau membacanya setelah operasiku selesai, kan?"
"Tentu," Fushiguro mengangguk ragu. Suasana hatinya saat ini benar-benar sulit dideskripsikan.
"Dan, setelah aku sembuh, kembalikan buku itu padaku, ya? Selain itu, kau pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan." Eliane mengulas senyuman lebar yang terlihat menyakitkan setelah mengucap kalimat ambigu itu.
Sayang, kedua mata Fushiguro tidak mampu melihat emosi sedalam itu. Eliane memang mengajarkan banyak hal padanya, termasuk emosi manusia. Fushiguro pun setidaknya sudah mengerti 70 persennya. Namun entah mengapa, kali ini ia benar-benar kehilangan semuanya. Semua hal yang pernah diajarkan gadis itu, mendadak hilang begitu saja dari ingatannya.
"Sesuai permintaanmu."
"Terima kasih. Papa, Mama, Fushiguro, aku masuk, ya?"
Kursi roda itu lalu diambil alih oleh salah seorang perawat. Gadis itu dibawa masuk ke dalam. Kini yang tersisa hanyalah perasaan was-was, ketegangan, dan setitik harapan yang hampir tak berarti.
Faa,
23-06-2021
1020 words.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro