5༄
Minggu pagi yang tak pernah terlintas dalam ekspektasi. Untuk beberapa jam kedepan, ia akan menghabiskan waktu dengan Tsukishima Kei.
Semalam, tiba-tiba saja Tsukishima mengajaknya ke museum purbakala. Destinasinya sungguh bukan [Name] sekali. Tapi, pergi bersama Tsukishima terdengar menggiurkan.
Mengabaikan ketidak cocokannya dengan tempat itu, [Name] mengiyakan dengan penuh antusias.
Pukul sepuluh harusnya mereka bertemu di stasiun. Tapi jelita sudah menunggu satu jam lebih awal.
Secara sadar, [Name] melakukan itu. Tapi akhirnya menyesal. Terlalu berantusias membuatnya terlihat bodoh.
Gadis itu memandangi sekitar. Lalu lalang manusia tampak berbunga. Berbeda dengan hari-hari biasa. Mungkin karena hari minggu memang diciptakan untuk suka setelah penat bekerja.
Banyak pasangan melewati dirinya. Minggu harinya berkencan. Eh tunggu, kencan. Jangan-jangan apa yang akan dia dan Tsukishima lakukan juga bisa disebut kencan.
Ah gawat, wajah [Name] terasa panas.
"Hey, kau ini bodoh ya. Kita bertemu jam 10. Kenapa jam segini sudah datang."
Jelita menoleh ke sumber suara. Tsukishima menyapa dengan wajah menyebalkan. Tertulis jelas masih ada waktu tiga puluh menit sebelum jam 10.
"Kau sendiri kenapa datang lebih awal." jelita mencondongkan sedikit tubuhnya. "Oho... Kau tidak sabar bertemu denganku."
Berdecak kemudian memalingkan wajah, ia lalu berkata, "berisik."
"Jadi, mau langsung pergi ke museum?"
"Ya."
"Oke, lets go!"
"Hey, Jangan menarik ku!"
"Maaf, maaf, aku terlalu berantusias soalnya hahaha..."
"Aku juga."
Tangan Tsukishima terlepas dari tarikan [Name]. Jelita menoleh, menatap heran pemuda.
"Aku tidak salah dengar kan?"
Tsukishima bergeming. Membiarkan kebisingan stasiun menengahi mereka. Sementara jelita masih berharap.
Menghela napas berat, giliran Tsukishima yang menarik [Name], namun dengan lembut. Jelita tak memberikan perlawanan. Matanya menatap lurus pada punggung tegap dihadapannya.
"Jangan banyak omong, kita harus cepat sebelum ketinggalan kereta."
Tsukishima memang selalu begitu. Ia cenderung mengatakan apa yang bertolak belakang dari perasaannya. Tapi, tindakannya selalu jujur.
Jelita mengulum senyum tipis. Ia menautkan jari jemarinya dengan si jangkung. Menyamakan langkah hingga akhirnya berjalan beriringan.
"Ayo!"
*
Perihal dinosaurus jelita bukan ahlinya. Tapi perihal Tsukishima dia jagonya. Walai tak diucap lewat kata, tapi binar mata dibalik lensa kacamata jelas menggambarkan antusias.
"Kau menikmatinya?" pada akhirnya, [Name] tak kuasa menahan diri untuk bersuara.
"Kau?"
"Aku menikmatinya kalau kau juga menikmatinya."
Dengusan pelan meluncur begitu saja. Raut wajahnya terkesan meledek lawan bicara. "Bukankah harusnya pria yang mengatakan itu."
"Tapi mustahil mengharapkan Tsukishima mengatakan itu. Lagi pula ini kan masanya emansipasi wanita."
Tangan jejaka bergerak mengacak rambut yang tersisir rapih. Bukan perasaan kesal yang dirasakan jelita, justru hatinya seakan direngkuh kehangatan. Tanpa sepengetahuan Tsukishima, ia pun menyukainya. Saat sensasi halus rambut [Name] memberikan perasaan menggelitik di perut yang ia sukai. Bahkan terasa seperti candu.
"Selanjutnya mau kemana?"
[Name] tidak terbiasa dengan suara lembut Tsukishima yang sarat perhatian. Tanpa sepengetahuan pemuda, pipinya dihiasi mawar merah yang baru merekah.
Dengan canggung, tangannya memegang ujung lengan baju jejaka. Perlahan ia mendongak, menatap sepasang manik madu keemasan. Biarlah pipi merahnya diketahui oleh Tsukishima.
Mawar merah ikut merekah di pipi pemilik nomor punggung 11. Pikiran dikalahkan oleh hati. Ia tidak memalingkan wajah. Memilih beradu tatap dengan jelita.
"Kemana saja tidak masalah," balas jelita diakhiri dengan senyum tulus.
"Jangan begitu. Destinasi pertama aku yang menentukan. Jadi sekarang giliranmu."
"Kemanapun tidak masalah?"
"Ya, terserah kau."
"Kalau begitu, bagaimana kalau ke kafe kucing?"
Sesaat Tsukishima terdiam. Dia memang menyukai dinosaurus, tapi binatang entahlah. Ditambah lagi kucing. Hewan yang manja, kata yang tidak sesuai dengan dirinya.
"Tidak boleh?"
Kei meringis, lagi logika harus rela kalah dari perasaan. "Terserah kau saja."
*
"Huwah... Tsukki lihat, kucingnya lucu sekali!"
"Tsukki, Tsukki, coba gendong kucing ini!"
"Ah Tsukki, jangan lepas neko mimi-nya!"
Siapa sangka menuruti permintaan jelita adalah bencana baginya. Kucing dan keimutannya sangat tidak cocok dengan ia. Sesal memang datang diakhir, tidak bisa di elak.
Ia hanya bisa pasrah saat jelita memasangkan kembali neko mimi dengan riang. Seolah tidak ada beban di punggungnya.
"Jangan dilepas lagi ya," pinta [Name]
Bukan kata yang jadi jawaban. Tsukishima justru menghela napas.
"Wah... Mochi kau lucu sekali. Gemasnya, jadi ingin ku bawa pulang."
Mochi, kucing ras british short hair yang sedari tadi asik duduk di pangkuan [Name]. Tingkahnya begitu menggemaskan. Namun entah kenapa Tsukishima tidak menyukai kucing itu.
"Jelas kau tidak boleh membawanya pulang," celetuk Tsukishima.
"Aku cuma asal bicara kok. Lagian mochi terlihat bahagia hidup disini, benarkan mochi?"
"Asal bicara katamu." Kei mendengus. "Padahal aku mati-matian memilih kata."
"Eh kau bilang apa Kei?"
"Tidak, bukan apa-apa."
"Ngomong-ngomong, kok hari ini mulutmu tidak terlalu asin ya?"
Tentunya. Susah payah Tsukishima memilih kata agar tidak mengucapkan sesuatu yang menyakiti jelita. Toh tujuan berpergian hari ini kan untuk menyenangkan [Name] sekaligus memperbaiki hubungan mereka. Hanya Tuhan dan Tsukishima saja yang tahu alasan itu.
"Tidak suka?" nada bicaranya seakan menantang.
"Suka sih. Tapi jadi agak aneh saja." Walau tangan sibuk mengelus mochi dipangkuan, ia enggan memalingkan wajah dari lawan bicara. "Tapi asal kau tahu ya, aku menyukaimu apa adanya kok. Yah walau kadang aku ingin memukul kepalamu kalau kau mulai menyebalkan."
"Kau tahu, aku bingung harus tersanjung atau kesal."
"Bagaimana kalau tersanjung dan kesal saat bersamaan, cobalah!"
"Jangan seenaknya mengatur."
"Ini dia pesanannya, silahkan dinikmati. Ngomong-ngomong, kalian kekasih yang serasi ya, aku jadi iri."
Pernyataan pelayan yang lancang membuat kedua insan terdiam. Kecanggungan yang tercipta sampai menggelitik tengkuk pelayanan. Seketika ia menyesal telah membuka mulut. Lantas pelayan bergeas undur diri setelah mengucapkan maaf dengan ekspresi penuh penyesalan.
Tsukishima hanya bisa menghela napas, mengamati punggung pelayan tadi kemudian kembali menatap teman jalannya hari ini. Sementara pandangan [Name] jatuh pada Mochi yang tengah tertidur lelap.
Atmosfer yang kaku tak lantas mencair begitu saja. Jelita yang pandai menghangatkan situasi terlihat enggan bertindak. Kalau sudah begini, sepertinya Tsukishima lah yang harus turun tangan.
"Kenapa?"
Lagi, nada lembut itu. Mengantarkan getaran aneh yang membuat ribuan kupu-kupu berterbangan membentur dinding perut.
Ada rasa segan untuk mendongak. Ia lebih nyaman tidak menjalin kontak mata dengan jejaka. "Tsukishima, menurutmu hubungan kita bagaimana?"
"Hm?"
"Tsukishima... Kau tahu, aku ingin lebih dari teman."
Keheningan tercipta setelahnya. Pujangga seolah menunggu momen yang tepat untuk kembali membuka suara. Dan jelita yang dihujam rasa malu setelah bertanya. Situasi seperti itu terus berlanjut, canggung menjadi Raja ditengah mereka.
Gerakan mendadak dari mochi membuat [Name] terkejut. Hal itu jadi momen yang ditunggu Tsukishima. Seketika jelita ingin memanggil kembali mochi untuk singgah di pangkuan, namun terhalang karena namanya di sebut dengan manis oleh pujaan hati.
"Kau ingin kita menjadi sepasang kekasih?"
Sontak, ia kembali menyambung kontak mata yang sempat terputus. Tak ada kebohongan dalam sorot mata Tsukishima, hanya keseriusan juga ketulusan yang tergambar disana.
Lidah seakan kelu. Pertanyaan Tsukishima bagai petir yang menyambar di tengah hari cerah. Yang bisa ia lakukan hanya bergeming sembari menatap wajah Tsukishima.
"Aku tidak masalah, ayo berpacaran," ucapnya tanpa ragu. "Tapi dengan satu syarat. Kau jangan pindah ke Tokyo."
Kalau manusia bisa mati karena rasa terkejut, mungkin saat ini [Name] sudah tinggal nama. Sepersekian detik mencoba menenangkan diri. Akhirnya jelita mendapatkan kembali kemampuan berbicaranya.
"Tsukishima... Itu, sebenarnya..."
"Maaf," potongnya begitu saja. "Aku tidak bermaksud mengancam, aku tahu kau pun tidak bisa menolak kepindahan ini. Hanya saja, aku..."
Jelita setia bergeming, sabar menanti kalimat yang masih menggantung.
Tsukishima sendiri tahu, bersifat seperti ini sungguh bukan gayanya. Tapi, kali ini ia harus melangkah keluar dari zonanya.
"...aku berharap untuk bisa selalu menghabiskan waktu denganmu." terucap sudah isi hatinya. Memalukan, tapi terasa begitu lega.
"Tsukki," tangan mungil jelita meraih tangan Kei diatas meja. Digenggamnya erat, berusaha mengusir risau dihati. "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan."
Tsukishima balas menggenggam tangan mungil. Berusaha untuk saling mendamaikan jiwa.
"Sebenarnya... Aku tidak jadi pindah ke Tokyo."
"Apa?!"
"Iya, ayah tidak jadi di pindah tugaskan. Kabarnya baru dikirim kemarin malam. Bukankah ini kabar baik?"
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
Tawa renyah jelita mengudara. "Maaf, aku terlalu senang menghabiskan waktu denganmu soalnya."
Tsukishima meringis, rasa malu yang susah payah ia kubur kembali muncul kepermukaan. Bahkan tumbuh kian besar.
"Jadi..."
"Apa, hah?!" balas Kei ketus.
"Kita masih bisa jadi sepasang kekasih."
"Terserah kau sajalah."
100%
█ █ █ █ █ █ █ █ █ █
𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝒻 ೄྀ࿐ ˊˎ-
11 - 02 - 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro