Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4༄

Hukum wanita selalu benar tampaknya tak berlaku bila menghadapi Tsukishima Kei. Segala ucapan dan prilaku membingungkannya selalu memenangkan tempat dipikiran dan hati jelita yang tengah berwajah masam.

Pada awalnya, mungkin ia akan bepikir untuk acuh. Namun ujungnya, tetap saja dia jadi terlarut memikirkan hal tersebut.

"Sayang, makan sarapanmu," bisikan lembut sang ibu menarik kembali [name] dari dunianya.

Sang jelita terlonjak. Indungnya tersenyum kecil. Kepala keluarga berdecak pelan.

"Kau masih marah tentang kepindahan kita?"

Putri semata wayang memutar mata jengah. "Ayah, aku ini sedang mencoba menerima keadaan. Jadi tolong jangan kaitkan segala sesuatu dengan kepindahan kita, oke?"

"Lalu, apa alasanmu mendiamkan makanan?"

"Ini alasan lain, masalah anak muda." nasi putih yang sudah mulai dingin dijejalkan kedalam mulut.

"Kau pikir ayah tidak pernah muda, hah?!"

"Tentu saja ayah pernah muda. Tapikan eranya berbeda. Jadi solusi diera ayah belum tentu relevan di era ini."

Abeh, walau berbicara sambil mengunyah. Sang ayah langsung paham apa yang diucapkan putrinya. Apa ini yang dinamakan ikatan batin.

"Kalau belum di coba mana tahu. Ceritakan kepada ayah. Nanti ayah berikan solusi."

"Tidak mau!"

"Kenapa?"

"Malu."

"Tak usah malu-malu begitu, ayok ceritakan!"

"Ayah kok memaksa?"

"Siapa yang memaksa?"

"Ayah!"

"Tidak kok."

Wanita Ayu tersenyum mendapati interaksi antara anak dan putrinya. Setelah sekian lama terjebak dalam kecanggungan, akhirnya keluarga kecil ini kembali menjadi hangat.

*

"Yachi-san!"

"Eh i-iya!" gadis pirang terlonjak. Bola yang sudah ia pungut kembali berjatuhan.

Merasa bertanggung jawab, Hinata pun memungut bola tersebut. "Anu Yachi-san, nanti sore saat kita latih tanding, bisa kau ajak [surname]-san untuk datang menonton?"

"Eh kenapa?"

"Dia sempat meremehkanku," ucap Hinata dengan nada kesal. "Maka dari itu aku ingin menunjukkan kehebatanku padanya."

"Hinata bodoh! Daripada pamer, lebih baik kau berlatih serve atau blocking saja sana!"

Hinata hanya memberikan juluran lidah pada Kageyama. Tak terima, setter unggulan lantas melemparkan bola voli pada partnernya. Dan keduanya pun berakhir dengan bertikai. Untung saja, Sawamura dengan cepat menengahi mereka.

"Yachi-san, soal [name] pastikan kau membawanya saat latih tanding nanti ya!" ujar Nishinoya penuh semangat.

"I-itu, Nishinoya-san juga ingin menunjukkan kebolehan pada [name]-chan ya?"

"Tentu saja, akan kutunjukan padanya seberapa hebat kekuatan rolling thunder!" senyum secerah mentari pagi ini tersungging di wajahnya.

"Yachi-san, pastikan bawa [surname]-san ya!" seru Hinata. "Kageyama, kau juga pastikan memberikan tos yang bagus untukku!"

"Yachi-san, aku mohon bantuanymu." Satu jempol Nishinoya teracung untuk Yachi.

Jelita manis tertawa canggung, "A-akan kuusahakan."

"Sebenarnya, ada atau tidaknya [surname] tidak mempengaruhi pertandingan kita," ucap Tsukishima santai. Semua sedikit keheranan, mengingat si jangkung tak biasanya ikut andil dalam pembicaraan tak berbobot mereka.

"Benar juga sih." Opini Hinata berhasil digiring Tsukishima. "Tapi aku ingin memperlihatkan kehebatanku!"

"Tapi itu tidak menyangkal kalau keberadaannya dalam menonton pertandingan kita itu tidak penting. Yachi-san, kau tak usah memaksakan dirimu untuk membawa orang itu."

Yachi sendiri nampak kebingungan.

"Tsukishima, kau ini kenapa," gerutu Hinata sambil memeloti lawan bicaranya yang lebih tinggi itu. "Kalau kau tidak suka ya tinggal diam saja."

"Yachi-san, abaikan saja Tsukishima. Pastikan kau membawa [name] saat latih tanding nanti karena aku ingin dia melihat pertandingaku," ujar Nishinoya dengan menggebu-gebu.

"Tentu saja Nishinoya-san ingin dilihat orang itu. Kan Nishinoya menyukai anak itu, begitu pula sebaliknya."

Bola voli jatuh dari tangan Hinata. Setelahnya keheningan berkuasa. Semua penghuni gedung olahraga membeku. terkecuali Tsukishima, si kacamata melihat sekeliling, merasa geli dengan keadaan hiperbola ini.

Detik berikutnya, teriakan keras Nishinoya membebaskan rekannya dari keadaan membeku tadi. Pemuda dengan tinggi minimalis itu melompat pada Tsukishima, kemudian menggigiti si juniornya.

"Tsukki!" Yamaguchi menjerit histeris.

"Kau bilang apa hah?! cintaku ini cuma untuk Kiyoko-san, jangan asal bicara!"

"Noya-san, kau memang sangat jantan!" teriak Tanaka sambil menangis penuh haru.

"Kalian jangan ribut!"

Teriakan Sawamura yang penuh intimidasi memang jadi cara satu-satunya untuk menghentikan kekacauan ini.

"Cepat bereskan gedung olahraga ini. Aku tidak ingin ada keributan lagi," ucap Sawamura penuh penekanan disetiap katanya.

Tsukishima berdecak. "Kenapa aku juga kena."

"Tsukishima, lain kali kau menyebarkan hoaks akan ku bunuh kau!" ancam Nishinoya.

"Hoaks? bukannya itu fakta."

"NI-SHI-NO-YA!"

"Daichi-san, Aku tidak sedang mencari ribut kok. Lihat, aku sedang mengepel hahaha..."

"Nishinoya-san, kenapa kau mengepel muka Hinata!"

*

"[name]-chan?"

Jelita bermahkota [hari color] pun mendongak. "Ah halo Hitoka-chan," sapanya dengan suara lemah.

"Sedang apa?"

"Hm... melamun."

"Belakangan ini [name]-chan memang sering melamun ya. Sebenarnya apa yang sedang kau lamun kan?"

"Berbagai hal." Sebuah pemikiran merasuki kepalanya. Jelita pun menegakkan badan. Ia menatap penuh sahabatnya. "Hitoka-chan, kalau misalnya aku pindah, bagaimana reaksimu?"

"Pindah? pindah bagaimana?"

"Pindah rumah ke kota yang berbeda."

Gadis imut itu terdiam sejenak. "Tentu saja sedih. Tapi kalau memang harus terjadi ya mau bagaimana lagi," ucapnya. "Ta-tapi bukan berarti aku mendukung atau tidak keberatan."

"Aku paham kok, tenang saja."

"Kalau misalnya itu terjadi, aku hanya ingin berpesan satu hal pada [name]-chan. Jangan pernah putus kontak denganku."

[name] mengulum senyum. temannya memang banyak. Tapi yang terasa benar-benar tulus dan memahami dirinya memang hanya Yachi Hitoka. Ia bertanya, apa di Tokyo nanti ia akan menemukan teman yang seperti Yachi. Semoga saja.

"Ah... aku jadi sedih."

"Oh ya [name]-chan, bisa tidak sepulang sekolah kau datang melihat latih tanding tim voli?"

"Kenapa memang?"

Dengan sedikit terbata, Yachi menjelaskan alasannya pada sang sahabat. "Jadi, bagaimana?"

"Dasar ya Nishinoya-san itu." Jelita berdecak. "Aku tidak bisa janji. Tapi akan kuusahakan."

"Maaf ya kalau merepotkanmu."

"Kau ini, santai saja dong."

"Oh ya, [name]-chan, aku ingin menannyakan sesuatu."

"Ya?"

"Kau dan Nishinoya-san berpacaran?"

"Apa?!"

*

Tsukishima terkejut mendapati sosok yang terlihat penuh amarah menghampirinya. belum sempat ia melontarkan pertanyaan, kerah bajunya sudah lebih dulu di cengkram kuat. 

"Tsukishima sialan!" teriaknya.

Dengan kasar ia menggoncangkan tubuh lelaki itu. Mulutnya terus menyerukan caci dan makian untuk si jangkung.

Yamaguchi yang melihatnya mencoba menenangkan amarah jelita itu. 

Mereka jadi tontonan. Bahkan ada yang sampai berhenti hanya untuk melihat mereka. Dan Tsukishima tidak menyukai ini. 

"Kau ini kenapa hah?!" Tsukishima ikut meninggikan suaranya.

"Kau yang kenapa?! seenak sendiri menyebarkan gosip kalau aku dan Nishinoya-san saling suka. Kau tidak memikirkan perasaanku, hah?!"

Mulut Tsukishima kelu. Mata lawan bicaranya berkca-kaca. Sekitar mulai berbisik mengomentari drama antara dirinya dan [name]. 

Dengan kasar, Tsukishima melepaskan cengkraman tangan [name]. Sebelum gadis itu kembali berulah, Tsukishima lebih dulu menarik tangan gadis itu untuk mengikutinya. Tentunya, si pemilik tangan tidak tinggal diam. Umpatan dan sumpah serapah makin gencar ia ucapkan.

Acuh dengan hal itu. Tsukishima berjalan makin cepat membawa mereka ketempat dimana privasi mereka bisa terlindungi. Tempat dimana keduanya tidak jadi bahan tontonan.

Halaman belakang yang konon angker adalah solusinya.

Akhirnya, [name] bisa melepaskan tangannya. "Kenapa kau bawa aku kesini? kau ingin membunuhku, hah?!"

"[full name], tenangkan dirimu!" Tsukishima frsutasi. 

Jelita itu terdiam. Napasnya memburu akibat amarah tadi. "Kau, sialan," desisnya. Meluapkan amarah ternyata bisa selelah ini. Lantas, ia pun terduduk diatas tanah.

"Hey, kotor tahu!"

"Biar," balasnya acuh. "Aku masih kesal padamu, mata empat."

Tsukishima berdecak pelan. "Kau kesal karena aku bilang kau dan Nishinoya saling menyukai?"

"Iya!"

"Kenapa? faktanya begitu bukan?"

Sontak, iris jelita menatap kearah Tsukishima dengan penuh kemarahan. 

"Dari cara kalian berinterkasi, cara kalian saling menatap. Dan lagi, sepertinya Nishinoya sangat ingin kau melihat pertandingannya. Bukankah itu semua sudah jelas."

Rasa kesal dan sakit membuncah memenuhi dada. Tangannya bergerak menggenggam tanah. Kemudian di lemparkannya pada Tsukishima.

"Hey!"

"Orang yang tak berperasaan sepertimu tahu apa soal perasaanku, hah?!"

Tsukishima sering terlibat cekcok dengan jelita. Tapi ini kali pertama jadi se kisruh ini. Amarah yang terlukiskan di manik [eye color] itu bukan main.

"Aku tak pernah menyukai Nishinoya-san, begitu juga sebaliknya! Jangan seenaknya menyimpulkan, sialan!"

"Kalau memang salah cukup benarkan, tak perlu sampe semarah itu kan?"

"Kau tak mengerti."

Benar, si jangkung yang selalu mengedepankan logika itu tak mengerti betapa sakitnya saat orang yang kau cintai malah menuduhmu menyukai orang lain.

Sakit. Seperti ada ribuan tangan berduri meremas hati tiada ampun.

"Sialan, kacamata sialan!"

Tsukishima hanya diam saat mendapati punggung jelita kian mengecil. Bahkan, ketika punggung itu menghilang di belokan, ia masih bergeming.

Malu untuk diakui, Tsukishima tidak bisa berpikir jernih.

*

Bunyi bel pulang tak memberikannya semangat seperti biasanya. Jelita manis itu tampak lesu. Daripada bergegas merapihkan barang-barangnya, ia lebih memilih meletakan kepala diatas meja sambil terus memejamkan mata.

"[Name]-chan, kau tidur?" tanya Hitoka, pelan.

"Aku hanya sedang memejamkan mata."

"Kau kenapa? tidak enak badan?"

"Bukan badanku yang tidak enak, tapi hatiku yang tidak enak."

Hitoka tertawa canggung. "Sudah bicara dengan Tsukishima, kan?"

"Lebih tepatnya aku marah padanya."

"Lalu?"

"Aku makin kesal."

Dengan canggung, Yachi menggaruk pipi dengan telunjuknya. "Anu... aku pikir [name]-chan harus mendingin kan kepala dulu. Setelah itu baru bisa berbicara dengan Tsukishima."

"Apa bedanya? Yang salah bukan aku. Tapi Tsukishima, dia selalu saja menyimpulkan sendiri. Aku muak, aku capek!"

"Be-begitu ya." Yachi tersenyum. "Aku juga tidak terlalu mengenal Tsukishima dengan baik sih. Tapi ada kalanya dia bisa mendengarkan orang lain, dan bertindak sedikit tidak egois."

Perkataan Yachi membuat jelita merenung.

"[name]-chan tidak jadi menonton latih tanding berarti?"

"Sampaikan maafku padaku Nishinoya-san dan yang lain ya."

"Baik. Kalau begitu aku duluan ya, sampai jumpa."

Satu persatu teman kelasnya mulai meninggalkan ruang kelas. Sementara si jelita masih Setia di posisi yang sama sambil meraba awang.

Kenapa antara dirinya dan Tsukishima selalu berakhir menyulitkan.

Kenapa ia harus menyukai lelaki jangkung itu.

Berbagai pertanyaan mulai bermunculan dalam benaknya. Namun dari sekian banyak pertanyaan itu, ada satu yang sangat mengganggu pikirannya.

Bagaimana caranya agar bisa berbaikan lagi.

Boleh jadi ia mengutuk dan mencaci si jangkung. Tapi siapa juga yang ingin berlama-lama saling bertikai dengan orang yang disukainya.

Kalau memang ada, sekarang juga [name] ingin menemui orang itu. Meminta saran darinya kemudian menerapkannya.

"Kau tidak pulang?"

Jelita mengangkat kepala dari meja. Asik dengan pikirannya, ia tidak sadar kalau hanya dia yang tersisa didalam kelas.

Pandangannya jatuh pada sosok jangkung yang berdiri di ambang pintu. Berdamai dengan emosi, ia menjawab setenang mungkin. "Kau sendiri, tidak eskul?"

"Nanti. Kurasa telat tak masalah, toh hanya eskul," ucapnya sembari berjalan mendekat pada jelita.

"Kau selalu begitu. Menganggap remeh segala sesuatu. Enak ya jadi kau."

Lantas, pemuda berkacamata duduk di meja yang terletak di samping kanan [name]. Mau tidak mau, jelita menghadap kearah kanan. Mempertemukan iris [eye color] dengan amber berbingkai kacamata.

"Apa?" sebisa mungkin, jelita mencoba untuk tak termakan emosi. Nasihat Yachi, sedang ia terapkan. Walau ia ragu akan hasilnya.

Tsukishima mengalihkan pandangan kearah gordeng jendela yang menari lantaran ditiup angin. Tangannya bergerak mengelus tengkuk. "Aku minta maaf."

Jeliata terperangah. Ia paham kalau Tsukishima bukan tipikal manusia yang ringan dalam mengucapkan maaf.

"Kau minta maaf ke siapa?" kalimat tadi merupakan kamuflase atas keterkejutannya.

Kesal, ia berdecak.

"Tsukishima, aku heran."

Keduanya kembali beradu pandang. Tsukishima mengangkat sebelah alis, tetap diam menunggu kelanjutan kalimat jelita dengan beribu ekspresi terpendam di paras ayunya.

"Kenapa di akhir-akhir waktu kebersamaan kita selalu berdebat karena hal-hal konyol."

Tsukishima sulit menangkap esensi dari kalimat jelita didepannya.

"Setiap harinya kenapa selalu saja ada permasalahan. Aku lelah."

Bukan secara rinci ia paham. Tapi garis besarnya ia tahu.

"Aku ingin menghabiskan sisa hari disini dengan berbagi kenangan Indah bersamamu. Kenapa kau selalu saja mengajakku berdebat."

"Tunggu!" Tsukishima terlalu gatal untuk tidak mengutarakan rasa penasarannya. "Aku tidak paham, apa yang kau bicarakan."

Matanya berkaca-kaca. Kesal, dan sendu mengintip dari balik ekspresi tegarnya. "Aku akan pindah ke Tokyo."

Cuaca hari ini sangat cerah, langit berwarna biru di hias awan-awan putih ringan, dan mentari tampil begitu percaya diri dengan sinarnya. Lantas, kenapa Tsukishima merasa seperti ada petir menyambar. Membuat hatinya terkejut sampai berdenyut nyeri.

"Aku tidak ingin kita berpisah dalam keadaan sedang bertengkar dan saling mengutuk satu sama lain."

Si jangkung bergeming. Segala sesuatunya terasa sangat mengejutkan bagi dirinya.

"Tapi, rasanya sulit. Sikapmu belakangan ini selalu membuat emosiku meluap."

"Kau tidak bercanda kan?"

"Apa mukaku berkata kalau aku sedang bercanda, hah?!"

Tsukishima bukan pengidap asma, lantas apa yang membuat dadanya jadi begitu menyesakkan. Kenapa juga matanya terasa perih.

Hening bertahan cukup lama. Mereka saling bertukar pandang. Tapi menyembunyikan kata. Perasaan mereka berkecamuk, mengorak-arik hati.

Helaan napas Tsukishima mengoyak sepi.

Pemuda dengan ego tinggi itu baru saja merenung. Mengesampingkan gengsi, ia akan mengutarakan perasaan carut marutnya melalui kata-kata.

"Aku minta maaf atas segala sesuatunya. Jadi bisakah kau tidak pergi."


80%
█ █ █ █ █ █ █ █ ▓ ▓

𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝒻 ೄྀ࿐ ˊˎ-
30 - 01 - 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro