Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2༄

Datang telat tidak pernah ada dalam kamusnya. Namun mulai hari ini dia harus menulis kata tersebut dikamusnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, [full name] terlambat berangkat ke sekolah.

Dengan tergesa ia berlari kencang. Rambut yang belum disisir rapih, seragam yang tampak berantakan tidak jelita itu pedulikan.

Berpacu dengan waktu, gadis itu berlari ditemani semilir udara sejuk khas Miyagi.

Kaki mungilnya terus berlari.

Terus berlari.

Kemudian berhenti.

Gerbang sekolah masih terbuka lebar. Siswa-siswi masih tampak lenggang.

Jelita menengok jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Sudah lewat sepuluh menit dari jam masuk sekolah.Tapi kenapa gerbang masih dibuka lebar. Kenapa para pelajar masih berjalan dengan santai sambil berbincang mengenai kencan buta yang mereka lakukan kemarin.

"Wah, ada orang gila."

Jelita menoleh kesumber suara. "Tsukishima, kau tidak latihan?"

"Hari ini libur." Dengan santai kaki jangkungnya berjalan melewati si jelita Yang masih kebingungan.

"Tsuskihima!" kaki [name] mulai berjalan mengekori Tsukishima Yang nampak acuh. "Tsukishima, sebenarnya hari ini kenapa? Kok gerbang masih terbuka lebar di jam segini."

Si kacamata acuh.

"Tsukishima, jawab dong!"

Masih diam.

"Tsukishima Kei!"

Masih dengan diamnya.

"Shittyshima!"

Cukup sudah, kesabaran [name] sudah habis. Tangan kanan terkepal erat. Saatnya melayangkan bogem mentah ke kepala Tsukishima.

Dan...

"[name]-chan!"

Kepalan tangan kembali tersimpan di samping tubuh. Gadis manis dengan tinggi badan hampir sama dengan [name] menghampiri mereka.

"Ah pagi Tsukishima-san!" Sapanya canggung tat kala sudah mendekat.

Yang disapa hanya mengangguk singkat. Kemudian kembali berjalan.

[Name] tidak lagi mengejar Tsukishima. Ia memilih berdiam ditempat sambil menjulurkan lidah pada punggung tegap lelaki jangkung itu.

"A-anu, [name]-chan?" Jelita menoleh pada rekan sejawat. "Kenapa kau tampak berantakan sekali?"

"Ah ini. Aku berangkat terburu-buru karena terlambat datang. Lihat!" Ia menyodorkan jam tangannya pada jelita bersurai blonde. "Aku bingung Hitoka-chan. Ini sudah lewat jam masuk, tapi kenapa gerbang masih terbuka lebar. Orang-orang juga tampak santai. Apa jam masuk sekolah kita diubah?"

Yachi Hitoka, gadis manis yang menjabat sebagaia manajer tim voli Karasuno yang juga menjabat sebagai teman sekelas [name] tersenyum canggung sambil menggaruk pipinya.

Putri keluarga [surname] nampak kebingungan. Dahinya mengerut. Sepatu mengetuk-ngetuk tanah. Ia tak ingin memaksa kawannya untuk segera menjelaskan.

Sementara itu, sorotan mata dari siswa-siswi Yang lewat tak ia gubris.

"Itu... sebenarnya masih ada sekita 25 menit sebelum bel jam pertama berbunyi."

"Hah?!"

"Kurasa jam [name]-chan rusak."

"Hah?!"

*

"[name]-chan."

Sentuhan dibahu tak lantas membuat pemilik marga [surname] itu mengangkat wajahnya. Sedari tadi, ia masih setia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan diatas meja.

"[name]-chan, ayo ke kantin."

"Abaikan aku, Hitoka-chan. Abaikan saja. Aku terlalu malu untuk pergi keluar kelas."

Jelita manis tersenyum kecil. Lagi, tangannya menyentuh bahu temannya. "Ayok, aku traktir."

Perlahan, [name] mendongak. "Serius?"

Yachi meringis dalam hati. Ia berharap temannya akan tahu diri saat ditraktir nanti. "I-iya."

"Yosh!" [Name] bangkit. Perasaan malu yang merundungnya hilang entah kemana. Tangannya bergeak merpikan surai [hair color] yang tampak berantakan. "Ayok kekantin!"

Sementara [name] berjalan penuh percaya diri menuju kantin. Yachi hanya bisa menggeleng-geleng. Sekeras apapun [name], makanan gratis selalu bisa meluluhkan gadis itu.

"Tidak ada batasan kan?"

Sudah Yachi duga. "Tolong sedikit sadar diri ya." Tawa canggung nan singkat mengakhiri kalimatnya.

"Tenang saja, aku tidak akan membuatmu bangkrut."

"Semoga."

Keduanya berjalan beriringan. Sesekali berbincang Dan berkelakar. Tinggi badan Yang hampir sama membuat keduanya nampak serasi berjalan bersama.

Baik [name] ataupun Yachi, keduanya senang berjalan beriringan. Dengan begini tak ada salah satu diantara mereka yang merasa terendahkan. Terendahkan secara harfiah tentunya.

"A-anu, [name]-chan sedang ada masalah?"

Awalnya [name] Yang berhenti melangkah. Kemudian diikuti oleh Yachi. Jelita berikat rambut bintang menatap heran teman sekalasnya.

"Maaf kalau Salah. Soalnya, belakangan ini [Name]-chan suka murung."

"Hitoka-chan, terimakasih banyak karena sudah mengkhawatirkanku." Senyum kecil dan tepukan dibahu Yachi, menyiratkan kalau [name] sedang baik-baik saja. "Nanti aku akan cerita. Tapi nanti."

"Aku tidak memaksa, tapi aku akan menunggu," jawabnya cepat setengah kikuk.

Lagi, [name] tersenyum. Waktu kedekatannya dengan Yachi bisa dikategorikan cukup lama. Tapi entah kenapa Yachi masih suka canggung dan sungkan terhadap dirinya. Kendati begitu, [name] senang bisa berteman dengan jelita manis tersebut.

"Ayok ke kantin!"

"Ah iya!"

Setiba dikantin, mereka ikut mengantri untuk mendapat makan siang. Menu hari sangat menggiurkan. Teriyaki legendaris Karasuno. Cukup lama mereka mengantri, untunglah keduanya sabar. Penantian mereka tidak sia-sia. Akhirnya teriaki sudah dalam genggaman tangan. Sekarang tinggal mencari tempat kosong untuk menyantapnya.

Suasana kantin begitu ramai. Kedua hawa terdiam mengamati sekitar. Mencari bangku kosong yang bisa mereka jadikan tempat makan.

"Yachi-san, [surname]-san!"

Kedua kepala menengok untuk memenuhi panggilan. Rupanya Hinata Shouyo yang tengah melambai sambil tersenyum lebar. Ia tidak sendiri. Rekan tim voli seangkatan menyertainya.

Mereka berjalan mendekat. Beruntung, masih ada tempat kosong didekat orang yang mereka kenal.

[name] bernapas lega, akhirnya ia bisa menemukan tempat untuk memakan makan siangnya. Ia mengambil tempat duduk diantara Kageyama dan Tsukishima. Entah kenapa kedua orang tersebut enggan untuk duduk berdampingan.

Dengan tenang, [name] mencoba menikmati makanannya. Fokusnya hanya tercurah pada pangan didepannya, sehingga ia tidak sadar kalau sedari tadi ada sepasang iris emas kecoklatan yang terus mengamatinya secara diam-diam.

"Tsukki, dari tadi kau terus memperhatikan [surname]-san. memangnya ada apa?"

"Yamaguchi, berisik!" tukasnya. Entah karena salah tingkah atau malu, Tsukishima malah mengalihkan pandangan kepada Kageyama.

"Apa kau lihat-lihat, hah?!"

"Bodoh boleh, terlalu percaya diri jangan," ejek Tsukishima.

"Hah, apa katamu?!"

"Sekarang, si Raja juga tuli ya."

"Sudah jangan bertengkar. Kalian merusak cita rasa teriaki legendaris ini," tegur [name] seusai menelan makanannya.

"Maaf," cicit Kageyama begitu pelan.

Sementara Tsukishima hanya berdecih. Si jangkung pun kembali melanjutkan makan.

Sementara itu, [name] masih setia menatap pemuda berkacamata. Berharap, Yang dipandangi akan menatap balik. Sayang itu tidak terjadi. Dara menghela napas, kemudian menaruh beberapa potong ayam teriyaki keatas piring Tsukishima.

Pemilik piring menatap heran.

"Untuk mu. Aku tidak tahu salahku apa. Tapi aku berharap kau mau memaafkanku," ucapnya setengah putus asa.

Kali ini giliran Tsukishima Yang menghela napas. Dengan menggunakan sumpit, ia taruh kembali teriyaki tadi ketempat asal. "Aku tidak butuh," ucapnya usai menyelesaikan kegiatan tadi.

"Kau ini kenapa, hah?! dari tadi pagi mengabaikanku terus. Kalau aku punya salah sama kamu, katakan!"

Suara [name] yang membahan seperti tidak menyentuh telingan Tsukishima. Pemuda itu tampak tenang memakan makan siangnya yang masih tersisa setengah.

"Hey, kau jadi tuli ya!"

"[name]-chan tenanglah. " Yachi mencoba menenangkan, namun tak berhasil. Mulut [name] malah semakin gencar memaki Tsukishima.

Persetan dengan orang-orang yang menggunjing dan menatap sinis kearahnya. Sekarang ini, [name] hanya ingin melampiaskan amarahnya kepasa bungsu keluarga Tsukishima.

Brak...

Acara mencaci Tsukishima pun ditutup dengan gebrakan meja yang mampu mencuri atensi setengah penghuni kantin. Terkecuali si jangkung berkacamata.

"Sudah selesai?" Tanya Tsukishima tanpa menoleh kearah jelita yang terengah-engah karena emosi.

[Name] mendecih. Batu pun kalah keras dengan pemuda satu ini. [Name] menyerah, biar saja hubungan mereka memburuk. Biar saja Tsukishima membencinya tanpa alasan yang jelas. Tanpa berkata apapun, jelita itu berlalu dengan langkah lebar.

"Tsukki kau sudah berlebihan. kasihan [surname]-chan," tegur Yamaguchi.

Tsukishima diam beberapa saat sebelum bangkit dari duduknya.

Hinata, yamaguchi, dan Yachi menyuarukan semangat kepada Tsukishima. Berharap si jangkung bisa menguraikan benang kusut antara dirinya dan jelita bermarga [surname].

"Kalian memberi semangat untuk apa? aku hanya mau pergi ketoilet."

*

"Tsukki kurasa kamu harus minta maaf pada [surname]-san."

Tsukishima melirik sekilas kearah Yamaguchi. "Kenapa aku harus minta maaf padanya."

"Karena menurutku kau sudah keterlaluan."

Bruk...

Kedua pemuda menoleh kesumber suara. Penyebab jatuhnya kardus-kardus kosong adalah jelita yang mereka kenal.

[Full name] berdiri canggung sambil menggaruk rambut. Jangan lupakan senyum kikuk yang sukses membuat Tsukishima mendengus.

"Ha-halo, kebetulan sekali ya bertemu disini." Senyum kikuk masih terpatri konyol diwajah ayunya.

"Ah aku baru ingat harus pergi latihan serve ke tempat Shimada-san. Kalau begitu, sampai jumpa, Tsukki,  [surname]-san juga." Lantas, pemain voli bernomor punggung 12 itu berlalu begitu saja.

Pandangan si kacamata beralih dari punggung sahabatnya ke jelita yang entah kenapa gelagatnya sedikit aneh.  "Apa yang kau lakukan disini?"

"Lewat? hehehe..." Tawanya kentara begitu palsu.

Si jangkung menghela napas. Kemudian memutar haluan. "Biar aku antar kau pulang."

"Eh?!"

"Sudah malam. Aku tidak ingin di cap sebagai lelaki yang tak bertanggung jawab." Kaki jenjangnya melangkah melewati si jelita yang masih kebingungan. "Kau mau berdiam diri saja?"

[Name] berlari kecil mengejar langkah si jangkung. Hasrat hati ingin menyamakan langkah sampai mereka berjalan beriringan. Namun mendadak saja ada sesuatu yang membisikkan kalau berjalan di belakang punggung tegap merupakan pilihan terbaik. Lantas, hanya sampai situ jelita berlari kecil.

Sesekali si jelita akan menatapi punggung itu. Kadang menatap rerumputan. Kadang juga menunduk menatap jalan.

Saat ini, ia sedang gamang. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. Kalimatnya sudah disusun dengan baik. Bahkan sudah ada diujung lidah.

Asyik berkelana di dalam pikirannya, jelita tak menyadari pemuda itu menghentikan langkahnya. Alhasil, ia harus merasakan keterkejutan saat wajahnya menabrak punggung tegap itu.

"Hey, kenapa berhenti tiba-tiba?!" [name] menangkup wajah menggunakan kedua tangan. Sebuah kamuflase agar pemuda berkacamata tidak menyadari pipinya yang bersemu merah karena malu.

"Kau ini sedang apa?"

"Hah?!"

"Malam-malam ada disini."

"Aku sedang dalam perjalanan pulang."

"Rumah mu harusnya tidak lewat sini."

"A-aku sedang mencoba rute baru. Ya, rute baru!"

"Bohong."

"Aku tidak bohong!"

"Bohong."

"Tidak!"

Sepenuhnya [full name] memang berbohong. Jelita tidak sedang dalam perjalanan pulang. Melainkan sedang menunggu Tsukishima Kei lewat.

Dari kala senja menyapa, sampai malam berkuasa. Ia tetap Setia menunggu. Rasa putus asa terus membisikkan kepada dirinya untuk melupakan Tsukishima, dan bergegas pulang. Namun ia tetap bertahan. Dan usaha tak mengkhianati hasil. [Name] berhasil bertemu dengan si jangkung.

Ada sesuatu yang harus di luruskan antara mereka.

"Lupakan! Ada hal penting yang ingin aku katakan. Jadi dengarkan baik-baik!"

Sebelah alis Tsukishima terangkat.

"A-aku minta maaf soal kejadian dikantin. Aku juga minta maaf kalau misalnya sudah membuat kau kesal atau apapun itu. Mungkin aku pernah membuatmu kesal, tapi aku lupa."

Dia hanya gadis remaja biasa. Labil adalah sifat dasarnya. Mungkin siang tadi dengan lantang ia mengatakan tak akan peduli lagi dengan Tsukishima. Persetan tentang hubungan mereka. Masa bodo tentang alasan si jangkung mengabaikannya.

Tapi hatinya tak begitu. Apa yang terucap ketika emosi sedang meledak memang akan selalu berakhir jadi penyesalan. Dan [name] dengan sadar mengaku kalau ia sangat menyesalinya.

Ia tidak ingin hubungannya dengan Tsukishima berakhir. Ia ingin tahu alasan kenapa Tsukishima mengacuhkannya. Ia ingin semua kembali menjadi baik-baik saja.

Ia tidak ingin meninggalkan Miyagi dengan keadaan seperti ini.

"Aku tahu aku kelewatan." Sepasang iris [eye color] mulai berkaca. "Tapi tolong maafkan aku, jangan acuhkan aku."

Jelita sudah mencapai batasnya. Ia tak kuasa membendung air matanya. "Maafkan aku. Aku tidak ingn hubungan kita jadi buruk."

Si jangkung tertegun. Ada perasaan tidak nyaman melihat teman sejawatannya seperti itu. "Kenapa kau yang minta maaf," lirihnya, terlalu pelan hingga hanya tuhan yang dapat mendengarnya.

"Kau bilang apa?"

"Tidak." Tangannya terulur tuk menyeka air mata si jelita. "Jangan menangis. Kau jadi makin jelek."

"Sialan!" ia pun bergegas menghapus air mata dengan punggung tangan. "Jadi, mau memaafkanku?" tanyanya dengan suara yang masih sesenggukkan.

"Tidak."

"Tsukishima!"

"Aku tidak mau memaafkanmu, karena kau tidak punya salah."

"Hah?!"

"Jangan meminta maaf. Aku tidak suka."

"Kalau begitu, jangan mengabaikanku!"

"Iya, iya, cerewet sekali."

"Janji?!"

"Janji." Tangannya bergerak mengacak rambut si jelita. "Ayok pulang, sudah kelewat malam."

"Oke."

"Kali ini pastikan berjalan disampingku. Jangan dibelakangku."

Jelita terkejut dengan kalimat tersebut. Si jangkung membuang pandangan kearah lain, ada semburat merah menghias pipinya. Namun berhasil disembunyikan dengan baik oleh gelapnya malam.

"Aku hanya tidak ingin kau hilang. Kalau kau hilang memang siapa yang akan di salahkan, hah?!"

"Kau."

"Makannya berjalan disampingku."

"Baik. Tapi jangan mengabaikanku lagi, oke?"

"Aku kan sudah bilang iya."

Senyum ouas menghias wajah ayunya. "Kalau begitu aku akan berjalan disampingmu, tuan Tsukishima Kei."

40%
█ █ █ █ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓
𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝒻 ೄྀ࿐ ˊˎ-
24 - 01 - 21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro