1༄
Suara dentingan piring dan sendok yang beradu menjadi satu-satunya sumber suara diruang makan. Ayah, ibu, dan anak perempuan mereka lebih memilih menyimpan suara. Menyantap sarapan dalam diam. Kentara sekali ada canggung yang membelit keluarga kecil tersebut.
Derit kursi menarik atensi sepasang suami istri. Pandangan mereka jatuh pada anak perempuan yang bermuka masam.
"Aku sudah selesai."
"[Name], sarapanmu belum habis," ucap sang ibu, begitu lembut Dan sarat perhatian.
"Tapi aku sudah kenyang bu."
Brak...
Kedua hawa dalam ruangan terlonjak. Gebrakan meja oleh sang ayah tak pernah diperhitungkan oleh mereka.
Ibu mengelus pelan bahu ayah. Berharap sentuhannya dapat menenangkan tulang rusuknya Yang tengah menatap garang kearah buah hati mereka.
"Jangan kekanak-kanakan, [name]."
Jelita mendengus geli. "Siapa? Aku? Yang benar saja. Apa hubungannya perut kenyang Dan kekanak-kanakan?"
Beranjak dari duduknya. Sang ayah melangkah mendekat kepada Putri semata wayang. "Kau pikir ayah tidak sadar. Semenjak ayah bilang kita akan pindah, sikapmu mulai aneh."
Tertawa miris. "Lalu kenapa kalau ayah sadar? Kita batal pindah? Tidak kan? Kalau begitu abaikan saja."
"[Full name]!"
"Ah aku harus berangkat sekarang." Lantas, ia berlari naik keatas. Menyambar tas lalu tergesa menuju genkan. "Ibu, ayah, aku berangkat!"
Blam...
[Full name] pun keluar dari rumah.
Sembari berjalan, gadis bermahkota [hair color] itu terus melempar pandangan pada langit yang begitu jernih.
Sebuah kurva melengkung terpampang jelas. Kebahagiaan sederhana bagi [name]. Berangkat dipagi hari ditemani langit cerah dan udara sejuk khas Miyagi.
"Ah... Sayang sekali aku tidak bisa menikmati ini lebih Lama lagi."
*
Istirahat kali ini, [name] memutuskan untuk menetap dikelas ditemani sekotak susu strawberry. Entah kenapa semenjak mendengar bahwa ia akan pindak ke Tokyo, mendadak nafsu makannya menghilang.
Segala sesuatu terasa begitu hambar. Sialnya, ia tak bisa melakukan apa-apa tentang kondisi ini.
Ponsel yang bergetar di saku rok sukses membuyarkan lamunannya. Kelabakan, gadis itu bergegas merogoh saku.
Decihan kecil terlontar mulus tatkala mendapati apa yang tertulis di layar ponselnya. Sebuah pesan dari kontak bernama Unkoyaro.
Unkoyaro
Aku mengajakmu makan ramen sepulang sekolah nanti.
Maaf, tidak bisa aku ada kerja kelompok
Kalau begitu sepulang kerja kelompok, bisa?
Aku mohon [name]-chan.
Hmm, baiklah
Arigatou [name]-chan!
Ajakan makan ramen yang biasanya membuat dia berjingkrak girang pun tak memberikan gelenyar apapun dalam sanubari. Apa mungkin dia sudah mati rasa.
Ah berlebihan.
"Woy, kau melihat yachi-san?"
[name] kenal betul siapa pemilik suara itu, tanpa melihat si penannya, [name] menggeleng pelan. Ia tidak sedang dalam mood baik untuk berdebat. Yang ingin dia lakukan hanya melamun, dan ber-overthinking ria.
"Hey kau kenapa, sakit?" sedikit kekhawatiran tersirat dalam nada bicaranya
"Heh Shittyshima mengkhawatirkan ku?" [name] mendongak. Menatap lurus sepasang iris yang bingkai kacamata.
"Aku tidak menkhawatirkanmu, aneh saja melihat kau yang biasanya pecicilan jadi pendiam."
[Name] menegakkan tubuh. Senyum jahil terpatri di wajahnya. "Jujur saja shittyshima-san."
Tsukishima Kei berdecak. "Jawab saja, kau sakit atau tidak?"
Memang ya, sulit menang dari lelaki dengan mulut paling tajam di sekolah ini. [Name] pun hanya menggeleng sebagai jawaban. Berharap si jangkung akan puas dengan jawaban yang ia berikan kemudia pergi meninggalkannya.
Namun tuhan tak menjamah harapannya. Alih-alih pergi, Tsukishima malah duduk diatas meja [name].
"Kalau ada masalah kau bisa bercerita kepadaku," ucapnya tanpa menatap si lawan bicara.
Jelita tertegun beberapa saat, sebelum tangannya bergerak memegang dahi si jangkung. "Hm... Tidak panas."
"Kau ini sedang apa?" tanyanya ketus sembari menyingkirkan tangan [name] dari dahinya.
"Aku kira kau demam. Makannya kau jadi aneh."
"Kau pikir lucu, hah?!"
"Maaf, maaf." [name] tertawa canggung. Saat tawanya mereda ia pun berkata, "terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Rasanya sesuatu sekali di khawatirkan olehmu."
Si jangkung berdecak, lalu kembali berdiri. "Aku pergi."
"Dah..."
Sebelum benar-benar menjauh, ia mengulang kata yang hampir sama. "Kalau ada masalah, kau bisa bercerita padaku."
Dan jelita hanya tersenyum sendu mendengarnya.
*
Untunglah kerja kelompok kali ini tidak terlalu lama. Terimakasih pada teman-temannya yang entah kenapa lebih banyak bekerja ketimbang bergosip.
Sambil berjalan, [name] memainkan ponselnya. Dengan cekatan, tangannya mengetik huruf demi huruf hingga akhirnya membentuk sebuah kalimat.
Kau sudah ada di kedai ramen?
Sebentar lagi aku meluncur kesitu
Hanya berselang beberapa detik, ponsel berwana [your fav colour] bergetar. Pesan balasan datang secepat ini, apa memang si penerima pesan sudah menanti dirinya sejak tadi.
Unkoyaro
Aku sudah dikedai ramen.
Cepatlah, aku menunggumu, [name]-chan.
Segera ia masukan kembali ponsel itu kedalam saku roknya. Menghela napas, gadis itu mulai berlari cepat.
Saking fokusnya untuk berlari, [name] sampai tidak menyadari namanya di panggil-panggil.
Tsukishima Kei, si pemanggil hanya bisa mendecih sambil terus menatapi punggung yang semakin mengecil itu
"Menyebalkan."
*
[name] sampai dengan selamat dikedai ramen. Hari ini kedai begitu ramai. Ia merutuki keputusannya untuk mengiyakan ajakan temannya. Mengingat hari ini dia sangat ingin menyendiri dan jauh dari keramaian.
Dari pada menyesali keputusannya, alangkah baiknya si jelita bergegas masuk kedalam, agar kemudian bisa segera menyudahi acara hari ini.
Iris [eye colour] itu menjelajah setiap sudut kedai ramen. Mencari sosok yang dikenalnya.
"Ah [name]-chan, sebelah sini!"
Matanya menangkap lelaki yang sedang tersenyum ceria sambil melambikan tangan. Tepat disampingnya, duduk lelaki berambut hitam yang sedang asyik menyantap ramen.
Gadis itu berjalan mendekat. Tatapannya jatuh pada si surai hitam. "Aku kira Hajime tidak akan ikut."
"Kebetulan hari ini aku ingin makan ramen," jawabnya santai, sambil menyeruput kuah ramen.
Jelita hanya memberikan 'oh' sebagai tanggapan. Lantas, ia pun duduk di kursi kosong disamping pemuda berambut dark brown.
"Paman, satu porsi mini ramen!"
"Tidak pesan jumbo ramen?"
Sebuah gelengan, menjadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan pemuda berambut dark brown. Si pemuda hanya tersenyum kecil dengan jawaban super cuek tersebut.
Tak lama kemudian, seporsi mini ramen sudah tersaji didepan mata. Sayang sekali, asap yang mengepul dan aroma yang sedap tak mampu menggugah selera makannya.
"Oikawa-san, berhenti menatap ku. kau menyebalkan!"
Pemuda berambut coklat itu, Oikawa hanya tersenyum singkat. "Kau malu ya ditatap oleh Oikawa Yang tampan?"
"Menjhijhikhan srup..."
"[Name], jangan bicara sambil makan. Nanti kau bisa tersedak."
"Oki doki Mamah Hajime."
Mereka bertiga memang sangat akrab. Awal keakrban mereka bermula di musim panas Lima tahun lalu. Waktu itu, [name] mendatangi rumah sepupunya untuk bermain. Iwaizumi yang saat itu tengah bermain voli dengan Oikawa pun mengajak [name] untuk bermain bersama.
Dan entah bagaimana bisa, [name] jadi sangat akrab denga Oikawa. Sejak saat itu, setiap bosan di rumah, [name] akan mendatangi rumah sepupunya, Iwaizumi Hajime.
Iwaizumi sudah layaknya kakak bagi [name]. Oikawa pun mengambil peran yang sama seperti Iwizumi, kakak bagi [name]. Hanya saja, kakak yang menyebalkan. Berbeda dengan Iwiazumi yang begitu perhatian dan baik. Kendati begitu, [name] tahu pasti kalau Oikawa juga menyayanginya. Tentunya bukan dalam artian romansa.
"[Name]-chan, kelihatan tidak bersemangat."
"Ya begitulah, Oikawa. Aku merasa super... tidak niat melakukan apapun hari ini." Ia mencondongkan badan kearah Oikawa, kemudian berbisik, "termasuk datang kesini."
"Tapi pada akhirnya kau datang juga." Senyum kemenangan menghias wajah rupawan Oikawa.
"Jangan seperti anak kecil begitu," ucap Hajime sembari memainkan sumpit pada mangkuk ramen yang sudah kosong. "Aku tahu berat untuk meninggalkan Miyagi. Tapi mau bagaimana lagi. Kodrat anak memang harus mengikuti orang tuanya."
[Name] menghela napas. Tangannya berhenti bergerak mengaduk-aduk mangkuk ramen. Kepalanya sedikit tertunduk. Jelita tengah menghindari kontak mata dengan Iwaizumi.
Boleh jadi Oikawa merupakan pemuda menyebalkan. Namun soal kepekaan, dia cukup ahli. Tangan besarnya terulur mengelus pelan surai [hair colour]. Si pemilik mahkota hanya diam, membiarkan tangan Oikawa bergerak bebas dikepakanya.
"Aku hanya belum siap untuk pergi," Lirih jelita dengan suara Yang terdengar sendu. "Aku masih ingin menghabiskan waktu disini."
"Aku juga belum siap. Belum siap untuk berpisah dengan [name]-chan. Aku masih ingin menghabiskan banyak waktu dengan [name]-chan. "
[name] menatap Oikawa dengan tatapan sendunya. Yang ditatap hanya tersenyum, senyum yang sama sendunya.
"Kalian berdua jangan buat aku jadi nyamuk!"
Aura gloomy hilang seketika. Kedua insan tak lagi terjebak dalam duka. Masih saling beradu pandang, merekapun tersenyum jahil. Lalu memfokuskan iris mereka menatap adam yang berwajah masam.
"He... Iwa-chan cemburu ya." Nada bicara yang dibuat mendayu-dayu terdengar makin menjengkelkan.
"Utututu... Kenapa mamah Hajime? Takut [name] kesayanganmu ini diambil Oikawa?" sepupunya pun sama menyebalkannya. "Tenang saja. Aku lebih memilih mamah Hajime kok daripada Kusokawa."
"[Name]-chan, hidoii!"
"Eh aku tidak jahat. Oikawa sendiri kalau disuruh memilih antara aku dan Hajime akan memilih siapa?"
Lelaki sejuta pesona terdiam. Matanya terpejam. Kendati begitu, senyum menyebalkan belum juga lenyap. "Ah, tentu saja Iwa-chan."
"Nah, benarkan. Hajime memang yang terbaik!"
"Puja Iwa-chan!"
"Kalian diam atau ku pukul!"
Bukannya takut, mereka berdua malah tergelak. Lantaran kesal, Iwaizumi pun menjitak kepala mereka. Tentunya ada perbedaan saat ia menjitak kepala Oikawa dan [name]. Iwaizumi sedikit lebih pelan saat melakukannya kepada sang sepupu.
"Cepat habiskan, jangan banyak bicara!"
Baik Oikawa maupun [name] tak memprotes. Mereka menurut. Sambil terus melahap ramen, sesekali mereka bertukar pandang. Namun bergegas memutuskan kontak mata saat mengetahui Iwiazumi tengah memperhatikan mereka.
Mangkuk ramen telah kosong. Selang beberapa menit kemudian mereka bergegas meninggalkan kedai. Seketika sang jelita ingat sesuatu.
"Aku ingin bertanya."
Kedua pemuda jangkung sontak saja menoleh kepadanya. Memberinya tatapan heran dan dahi berkerut.
"Aku ingin bertanya. Bagaimana caranya mengucapkan selamat tinggal pada orang yang kita sukai?"
20%
█ █ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓ ▓
𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝒻 ೄྀ࿐ ˊˎ-
21-01-21
Fanfic ini aku publish ulang dengan sedikit merombak alur dan mengubah gaya penulisan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro