Chapter Two
Tidak mungkin..
Kami sepasang kekasih?
Tapi kenapa aku sama sekali tidak mengingat kisah kasih kami selama ini?
❤️❤️❤️
Tempat itu tampak seperti tempat yang menyenangkan dan sederhana, dengan rumah-rumah mungil dalam barisan yang rata, sungai yang berkelok-kelok di tengahnya, dan menara gereja plesteran putih yang menjulang di atas atap. Dan yang lebih menakjubkan, barisan Cemara beraneka jenis dan juga warna membingkai wilayah ini. Pucuk-pucuk runcing mereka menggeliat lembut di bawah sapuan angin sore yang dingin.
Mata Zhehan berbinar oleh rasa takjub. "Jun, kupikir tak ada tempat seindah ini di sekitar Shanghai."
Tak ada reaksi dari pemuda di sampingnya. Saat Zhehan menoleh, tatapan Jun tengah melekat padanya dengan kekaguman yang terpendam.
Angin kembali berhembus dari arah depan. Jauh di bawah sana, tirai kelabu tipis mulai terbentuk. Bergelombang, lambat laun mendekat ke wilayah Cyprus Point.
"Ada hujan dari arah sana!" Zhehan menunjuk ke pusat kota di bawah, pada lapisan air yang kian menebal, mengaburkan siluet puncak-puncak gedung.
"Iya. Daerah sana sudah diguyur hujan," timpal Gong Jun.
"Hebat! Benar katamu, ini menakjubkan. Baru sekali ini aku bisa melihat hujan turun di wilayah lain."
Bibir sensual Jun mengembangkan satu senyuman ragu-ragu. Dia sudah terbiasa dengan pemandangan ini, namun Zhehan seolah baru pertama kali. Euforianya membuat Jun ragu apakah harus ikut senang atau prihatin. Pemuda cantik ini sungguh menawan dengan sikap naif dan senyuman manisnya yang tak tertahankan.
"Langit nampak luas sekali jika dilihat dari sini," Jun menghela nafas sambil melipat kedua lengan di depan dada untuk menghalau dingin.
"Bisakah kau menebak di mana posisi rumahku atau kampus kita dulu?" Zhehan iseng bertanya membuat Jun menyipitkan mata.
"Sulit sekali. Di antara ribuan atap, mungkin saja salah satunya adalah rumahmu."
"Apa kita benar-benar tidak pernah pulang selama ini?" usik Zhehan, kembali terganggu dengan pemikiran itu. Di sampingnya, Jun hanya termangu. Nampaknya tengah memikirkan penjelasan lain. Melihat ekspresi Jun yang terlihat kurang senang, Zhehan menyentuh lengannya, merasa bersalah.
"Baiklah. Aku tidak akan bicarakan itu lagi untuk sementara."
Kebisuan Jun membuatnya merinding. Mereka terdiam untuk beberapa menit hingga merasakan tetes-tetes air yang dibawa angin menerpa wajah mereka.
"Ah hujannya sudah sampai ke sini," komentar Zhehan agak panik.
Jun segera berdiri dari kursi, "Zhehan, ayo kita masuk. Kau baru saja siuman, jangan sampai kehujanan."
Keduanya bergerak masuk meninggalkan teras balkon. Jun menutup rapat pintu kaca yang membatasi kamar tidur dengan teras. Sebagai gantinya, mereka menuju jendela berbentuk persegi panjang dengan bingkai kayu berukir dengan pedimen dan corniche berwarna putih. Hujan perlahan-lahan semakin deras dan mulai mengguyur jendela. Suaranya menderu lembut di kesunyian ruangan kamar. Berdiri berdampingan di jendela, tatapan mereka searah memandang hujan.
"Padahal baru tadi siang hujan turun deras," komentar Jun, sedikit cemberut. "Kupikir setelah mereda, tidak akan turun hujan lagi sampai malam. Cuaca buruk dan dingin akhir-akhir ini."
Zhehan mempoutkan bibirnya. Tiba-tiba teringat sesuatu berkaitan dengan musim. "Jun, bulan apa sekarang?"
"Oktober. Musim gugur."
Hujan di musim gugur. Adegan mobil menderu di jalanan basah yang diguyur hujan berkelebat di alam pikiran Zhehan yang masih abu-abu.
"Entah berapa banyak ingatanku yang hilang," ia bergumam, tiba-tiba berubah sendu.
"Aku juga tidak tahu apakah ingatanku akan kembali, dan seperti apa jadinya nanti?"
Matanya mengawasi butiran air hujan yang melekat di permukaan kaca. Titik-titik bening itu mirip air mata, seakan mewakili jiwanya yang tersesat namun ingin menangisi momen yang telah berlalu. Ada kesedihan yang sulit dijelaskan dalam hatinya. Zhehan tidak tahu apa itu.
Sreeettt!
Tiba-tiba tangan Jun bergerak menutup tirai jendela. Pemandangan hujan seketika lenyap dari tatapan Zhehan.
"Tidak usah dipikirkan," Jun memutar bahunya, membuat tubuh keduanya saling berhadapan dalam jarak sangat dekat.
"Jangan terlalu cemas. Aku ada di sini bersamamu."
Zhehan tercengang untuk waktu yang cukup lama.
"Ada apa?" tanya Jun, merasa geli melihat cara Zhehan memandangnya. Mata indah itu berkilau seperti kristal mahal tak ternilai, dihiasi pijar emosi yang melankolis.
"Seperti mimpi rasanya bisa berdiri dan bicara sedekat ini denganmu," ia berbisik tepat di depan wajah Jun.
"Selama ini kita bahkan tidak pernah dekat dalam jarak kurang dari lima meter."
Jun membalas tatapan indah itu dengan emosi campur aduk.
"Dulu--" tangan Zhehan bergerak menyentuh lengannya.
"Dulu kau pernah nyaris melempar bola basket ke kepalaku. Apa kau ingat?"
"Heh? Melempar bola basket?" kening Jun mengernyit dalam.
"Aku tahu waktu itu kau tidak sengaja. Aku berada di tepi lapangan, mengagumimu bermain basket. Kau pemain yang handal. Semua mahasiswa mengidolakanmu. Termasuk aku."
Mata Jun berbinar oleh rasa heran.
"Tidak ingat ya?" Zhehan mencibir tipis. "Padahal itulah momen di mana kita saling bertegur sapa. Kau minta maaf padaku karena nyaris bola itu nyaris mengenai kepalaku. Kita berdiri cukup dekat."
Tiba-tiba senyum Jun melebar. Kedua tangannya bergerak melingkari pinggang Zhehan, menariknya cukup dekat ke tubuhnya.
"Kau ini bicara apa? Tentu saja aku ingat. Tapi itu sudah lama berlalu. Bukankah kita sekarang selalu berdekatan?"
Eh???
Dada Zhehan berdebar keras dan gemetaran oleh rasa panik dan juga gugup. Pelukan Jun sama sekali tidak dia antisipasi, dan seketika ia lupa bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Bagaimana pun, dalam ingatannya yang terkubur waktu, momen semacam ini adalah untuk pertama kali.
Kami pasangan kekasih..
Batinnya menjelaskan, mencari pembenaran sewaktu bibir Jun mulai mendekat, bersiap untuk menciumnya.
Pasti sudah--
Degh! Degh! Degh!
Pasti sudah sering bermesraan...
Ciuman itu nyaris terjadi. Tapi--
"Tung--gu.." bisik Zhehan.
Jun, "...????!!!..."
Wajah mereka terpaut satu inci. Jun memutuskan untuk berhenti karena ia merasakan telapak Zhehan menahan dadanya.
"Aku-- aku baru saja siuman, dan baru saja bertemu kembali denganmu. Rasanya-- ini terlalu cepat."
Lambat tapi pasti, Jun melepaskan pelukannya, menarik mundur wajahnya dari wajah Zhehan. Senyumnya lembut dan penuh pengertian.
"Padahal kita sudah hampir dua tahun berpacaran," sahutnya, santai. Sama sekali tidak tersinggung.
"I--iya juga ya.." bisik Zhehan, kacau.
Kenapa harus rumit, ini adalah Junjun yang aku sukai..
Perlahan Zhehan memejamkan matanya, membayangkan hal-hal indah. Tiba-tiba Jun mengeluarkan deheman pelan.
"Aku mengerti," senyumnya masih lembut dan tenang.
Hahh?
Zhehan membuka mata, berkedip-kedip cepat.
Jun duduk di tepi ranjang dan berkata, "Aku maklum, saat ini kau pasti masih merasa canggung karena baru saja menyadari apa yang terjadi. Jangan sampai kau merasa terpaksa."
"Hmmm--iyaa.." Zhehan menyeret kakinya ke hadapan cermin di dinding, memandang wajahnya sendiri.
Agak kecewa juga karena gagal berciuman..
Dia menatap wajah yang membayang di cermin, menatap balik padanya. Rasanya aneh melihat pantulan wajahnya di cermin. Dirinya tampak sudah berubah dewasa. Dan yang menyedihkan, dia tidak ingat apa-apa tentang perubahan ini.
"Sebaiknya kau tidur cepat," suara Jun bergema lagi, kali ini dia bergeser ke sofa.
"Tapi ini belum pukul tujuh."
"Ya, kau bisa mandi. Semua perlengkapan ada di dalam. Untuk pakaian, sudah aku atur di lemari masing-masing. Milikmu berada di sisi kanan."
Zhehan kini berjalan menuju sofa di hadapan Jun dan duduk santai.
"Jun, apa kau sekarang sudah bekerja?" tanyanya agak sungkan. Entah mengapa, pertanyaan ini selain terdengar lancang, juga cukup bodoh untuk seseorang yang telah menjadi kekasih selama dua tahun.
Jun mengangguk, tidak ada ekspresi terganggu di wajahnya. Nampaknya dia cukup memahami amnesia yang dialami Zhehan.
"Aku bekerja di restoran. Sebagai manager operasional."
"Cocok untukmu," sahut Zhehan, sorot matanya diselimuti kekaguman dan rasa bangga pada pencapaian Gong Jun.
"Yah, aku harus bekerja keras agar kita bisa hidup dengan baik."
Mendengar nada muram dalam suara Jun, Zhehan diingatkan kembali tentang bagaimana mereka berhenti bicara dengan orangtuanya. Zhehan masih memiliki ingatan lama. Dia ingat bahwa orang tuanya adalah pemilik rumah sakit besar di Shanghai dan tentunya kaya raya. Dia masih penasaran tentang bagaimana sebenarnya hubungan mereka dengan orang tuanya. Tetapi dia yakin Jun tidak akan menyukai topik ini. Akhirnya Zhehan hanya menelan rasa ingin tahu itu, menyimpannya dalam hati.
Kami sepasang kekasih, dan Junjun sudah bekerja. Seperti dalam drama saja...
"Jun, bagaimana kalau aku membersihkan bunga-bunga Lily yang berserakan ini?" Zhehan menemukan topik lain untuk dibicarakan.
Jun tersenyum dan mengangguk. "Ya, tentu. Mari kita bersihkan bersama dan mengumpulkannya dalam satu jambangan."
Keduanya bangkit dari sofa dan mulai membersihkan serta merapikan kamar tidur luas itu dengan cermat.
"Jun, aku mandi dulu yaa.."
"Handukmu berwarna biru. Jangan sampai tertukar," Jun menyahut dari ruangan tengah.
Ketika Zhehan mengamati kamar mandi yang bersih dan berkeramik putih, dia melihat dua sikat gigi berwarna merah dan biru. Dia juga ingat di meja makan ada dua buah cangkir dengan warna sama. Ya, ia samar-samar ingat bahwa biru adalah warna favoritnya. Tapi apakah Jun suka merah? Kenapa ia sama sekali tidak ingat? Dia juga memperhatikan warna sprei dan gorden dalam ruangan-ruangan di apartemen ini. Mereka didominasi merah dan biru.
Payah sekali-- aku kehilangan banyak kenangan indah dalam hidupku...
Waktu bergulir cepat dan hujan sudah lama reda. Mereka makan malam dengan ramen instan dan pergi tidur pada pukul sepuluh malam setelah menonton televisi bersama. Meski sudah beberapa jam, Zhehan masih merasa seperti mimpi. Dia sudah tidur selama sebulan dan rasanya tidak ingin tidur lagi.
Jun tidur di sampingnya, dalam ranjang yang sama. Selimut lembut dipakai berdua, tanpa pembatas di tengah mereka. Apakah sudah seperti ini sejak lama?
Rasanya Zhehan masih belum bisa mempercayai ini.
Wajah Junjun sangat lembut dan naif saat sedang tidur..
Zhehan menatap lekat pemuda yang terlelap di sampingnya, dengan siku menumpu di bantal. Rasanya tak bosan-bosan mengagumi wajah itu, bahkan sejak bertahun-tahun lalu.
Aku bahkan bisa mendengar suara nafasnya saat tidur, juga debaran jantungnya.
Perlahan dan hati-hati, Zhehan menempelkan telinganya di dada Jun.
Dheg! Dheg!
Debaran jantungnya adalah satu-satunya suara yang ia dengar di malam yang sunyi.
Tiba-tiba kedua tangan Jun bergerak memeluknya erat, praktis tubuh Zhehan menimpa Jun dan wajah mereka nyaris bersentuhan.
Ahh--
Grep!
Jun membuka matanya perlahan, menatap hampa pada Zhehan seolah tengah melihat ilusi.
"Jun, aku-- aku," Zhehan kehilangan kata-kata.
Alih-alih terkejut, Jun justru menariknya lebih kuat, dan menempelkan bibir mereka dalam satu ciuman lembut dan tak terduga.
Eh???
Jantung Zhehan berdebar keras dan nyaris melompat dari tempatnya. Bahkan dalam tidurnya, Jun memeluk dan menciumnya dengan kehangatan cinta.
Beberapa detik kemudian, ciuman itu berakhir dan Jun pun terjaga sepenuhnya. Matanya melebar dan ekspresinya nampak kikuk. Keduanya saling melepaskan diri, dan sama-sama duduk canggung di kasur.
"M--maaf," Jun tergagap, menyentuh bibirnya sendiri dengan linglung.
Zhehan tercengang sesaat, "Maaf? Kenapa kau harus meminta maaf, Jun? Bukankah kita sepasang kekasih?"
Jun tertegun, menggoyangkan kepalanya sambil tersenyum kecil.
"Ah ya, sepertinya aku bermimpi.." ia kembali berbaring, menatap Zhehan yang masih terlihat bingung.
"Ayo kita tidur lagi. Malam masih panjang."
Jun menarik jemari Zhehan, membuat pemuda cantik itu kembali ke posisi berbaring. Keduanya saling menatap dalam posisi berhadapan.
"Aku tidak bisa tidur," bisik Zhehan.
"Jadi apa yang kau lakukan? Memandangiku?" goda Jun.
"Kau membuatku malu," sahut Zhehan, mencibir tipis. Tapi diakuinya bahwa ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah tampan Gong Jun.
"Apa kau sudah puas memandangiku?" tanya Jun lagi, tersenyum lebih manis.
Apa-apaan...
Zhehan merasakan hangat menyergap leher dan wajahnya. Terlebih saat ia kembali teringat ciuman singkat barusan.
"Aku baru saja memikirkan bahwa sudah sejak lama aku menyukaimu," gumam Zhehan tulus.
"Lebih tepatnya, aku-- aku mencintaimu," ia melanjutkan, gugup namun jujur.
Jun membalas tatapannya, seperti ada pergolakan yang hening. Ada antusiasme samar, dan juga kesedihan. Zhehan mengartikan sorot mata Jun sebagai satu perasaan haru dan ia menunggu Jun mengucapkan kalimat yang sama.
Namun setelah beberapa detik keheningan, Jun berbisik lembut.
"Aku mengantuk..."
Zhehan, "....??#@#!!.."
🥀🥀🥀
To be continued lagi 🙂
Please vote for Junzhe 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro