Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter Five

Zhehan, sejak kecelakaan lima tahun lalu, kau tertidur dalam koma.

Hanhan, kita sudah tinggal serumah sejak setahun lalu. Aku ini kekasihmu, apa kau lupa?

🥀🥀🥀

Siang menjelang sore hari itu, Gong Jun melakukan hal di luar kebiasaan. Dia pulang kerja lebih awal. Menembus gerimis rapat, ia berlari dari pelataran menuju lobi apartemen. Jun bertanya-tanya apakah Zhehan sudah makan siang atau belum. Dalam cuaca semuram ini, pemuda cantik itu mungkin jatuh tertidur di depan televisi.

Jun mengibaskan butiran air hujan yang mendarat di pakaian dan rambutnya. Dia memasuki lift yang kebetulan kosong, menekan nomor lantai dan menunggu. Tak lama ia melangkah keluar dengan semangat. Detak sepatunya nyaring di sepanjang koridor, menuju pintu unitnya sambil meraba-raba kunci di saku mantel.

"Hanhan."

Jun mendorong pintu. Ruangan utama hening dan remang-remang. Satu-satunya cahaya yang masuk berasal dari jendela kaca lebar yang dibasahi air hujan dari luar.

"Hanhan, kau ada di rumah?" Ia bertanya pada keheningan, mungkin saja pemuda itu tengah berada di kamar.

Sepi menjawab. Dengan lesu, Jun menutup pintu, membuka sepatu dan melempar tas ke sofa. Sendirian dalam ruangan luas dan hening, hanya dihiasi gema rinai hujan menabrak jendela. Jun melangkah gontai menuju jendela, berdiri di depannya menatap kota jauh di sana yang diselimuti kabut tipis. Puncak-puncak gedung tinggi sesekali menyembul di antara aliran kabut dan tirai hujan. Entah mengapa, Jun merasa sangat kesepian. Aroma tubuh Zhehan masih tertinggal dalam ruangan. Pemuda itu seharusnya belum lama pergi.

Apakah dia pergi membeli makan? Atau berbelanja? Tidak mungkin dia pergi jauh.

Jun bermonolog dalam hati, menatap semakin sendu pada kekosongan di langit kelabu. Dia merasakan dilema melilit jiwanya, saat ia mulai membiarkan senyuman Zhehan menyentuh hati dan emosi yang paling rentan. Mendapati ruangan kosong tanpa pemuda itu di sini, Jun sulit memahami apakah ia takut misinya akan gagal ataukah takut kehilangan Zhehan.

Detik jam dinding melahirkan ketukan monoton yang mencekam di hari yang suram. Jun berjuang mengibaskan lamunan yang berisi tentang Zhehan, dan mengeluarkan senyum pemuda cantik itu dari mimpi-mimpi sadarnya.

Dia membawa Zhehan kemari bukan untuk mengagumi, apalagi jatuh cinta. Dia harus mewujudkan tujuan utamanya yang berbalut kebencian yang pahit. Dia ingin segera menyelesaikan semua ini, dan membiarkan Zhehan menghadapi kenyataan. Akan tetapi ...

Jun menekankan dahinya ke permukaan kaca jendela, matanya terpejam. Sepercik kenangan lama tiba-tiba hadir kembali, indah, namun memedihkan hati.

Tiba-tiba pintu bergemeretak keras dan terbuka lebar.

"Jun ..."

Itu suara Zhehan.

Terkesiap, Gong Jun menarik wajah dari jendela, menoleh pada sosok pemuda cantik yang melangkah masuk dengan tergesa.

"Aku terkejut melihatmu pulang lebih awal." Zhehan menyapu rambut dan wajah yang basah, kemudian meletakkan tas belanjaan di atas meja.

"Ini di luar rencana," sahut Jun, mengusap wajahnya kasar, menghapus sesuatu yang tak ingin dilihat oleh Zhehan. Sayangnya, pemuda cantik itu sudah melihatnya lebih dulu, dengan mata indahnya yang tajam. Ya, Zhehan melihat dua tetes air bening nyaris menetes di wajah Jun, yang segera hilang dalam sekejap.

"Junjun, kau menangis?" gumamnya, tertegun.

Keping ingatan dalam benak Gong Jun seketika dikaburkan oleh sinar mata Zhehan yang tulus. Selama ini sikap tenang dan dewasanya seolah menyiratkan Zhehan untuk tidak pernah sedih dan menangis, meskipun hidupnya yang sempat berantakan baru saja dimulai lagi. Namun sekarang, justru dirinya yang terlihat rapuh di hadapan pemuda cantik itu.

"Ini, entahlah. Aku tidak tahu dari mana air mata menyebalkan ini datang," Gong Jun berkilah, diiringi kekehan serak.

Zhehan mengulurkan tangan, menyentuh pipi Gong Jun dengan ujung jemarinya yang halus, pucat dan terawat. "Aku tidak ingin melihat ini."
Dengan kukunya, ia menjentikkan bulir air mata yang masih tersisa.

"Kesedihan di matamu, itu merusak pemandangan indah." Senyumannya terkembang di ujung kalimat, membuat Gong Jun terpana. Dia mengangguk lesu dan berkata, "Aku hanya terlalu banyak berpikir."

Kegelisahan yang dia rasakan seakan menular hingga Zhehan pun bisa merasakannya. Pemuda cantik itu mendekat dan memeluknya, mengucapkan kata-kata penghiburan dan mencium pipinya yang lembab.

Mereka berpelukan dalam hening, sementara di luar jendela, butiran hujan masih terus menerpa.

"Katakan dengan jujur, apa yang membuatmu bersedih. Kau bilang kita sepasang kekasih, seharusnya kau berbagi semuanya denganku," akhirnya Zhehan memulai lagi percakapan.

Pikiran Gong Jun bekerja cepat dan ia menemukan rangkaian kata-kata romantis yang datang dari antah berantah, dari balik selubung hatinya yang suram. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut melihat apartemen kosong. Sangat terkejut sampai nyaris takut."

"Kau takut kesepian?"

Gong Jun menggeleng, lantas menarik wajahnya yang semula tenggelam di bahu Zhehan, menatap sepasang manik mata indah di hadapannya.
"Aku takut kau bisa menghilang kapan saja."

Keyakinan Zhehan yang sempat terhuyung-huyung setelah perjumpaan tak terduga dengan Li Daikun kini kembali kuat seperti hari sebelumnya. Bahkan di tengah fakta-fakta yang mengabur dalam ingatan.

"Itu tidak mungkin terjadi. Jun, aku tak akan meninggalkanmu tanpa kata."

"Jadi kau berniat mengucapkan selamat tinggal suatu hari nanti?" tanya Gong Jun nyaris terdengar ragu.

Ada suara gemuruh di atas kepala mereka, di angkasa, seperti deru mesin pesawat yang melintas, samar beradu dengan irama hujan. Dengan tatapan tajam penuh tanya, Zhehan balas memandang Gong Jun.
"Apa yang kau bicarakan?" gumamnya getir, tidak setuju atas keraguan dalam cara Gong Jun bicara, dan itu melukainya.
"Aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu, bahkan tidak juga pulang ke rumah orang tuaku."

"Kau yakin?"

Zhehan mengangguk. "Jangan khawatir."

Kali ini senyumnya terukir dan mengalihkan topik. Dilepaskannya pelukan pada Gong Jun, beralih pada tas belanjaannya.

"Nah, kau tahu apa yang sudah kubeli di supermarket?" ia berkata ringan, mulai membuka kantong besar yang ditaruhnya di atas meja.

"Aku bisa melihat banyak barang. Sepertinya kau akan memenuhi lemari es dan dapur dengan makanan," sahut Gong Jun, bergabung dengannya di meja makan.

"Tepat sekali, aku akan memasak untuk makan malam. Nah, apa yang kau suka?" Zhehan mengeluarkan sebutir apel dan mencari pisau untuk memotongnya.

"Kau tidak tahu apa yang kau suka?" nada suara Gong Jun terdengar menggoda, tidak sedatar biasanya. Akan tetapi pertanyaan sederhana itu menghentikan gerakan Zhehan untuk sesaat, dan benaknya mulai terusik lagi.

"Lebih tepatnya, tidak ingat," ia mencoba bersikap santai saat mengatakannya. Namun, saat bersamaan, benaknya berkecamuk dengan banyak pertanyaan, sebanyak butir air hujan di luar sana.

Mungkin aku tidak ingat, atau mungkin ... aku memang tidak tahu apa-apa sejak awal.

Dia menggoyangkan kepalanya, memotong apel dan menyuapkan sepotong ke dalam mulutnya.

"Katakan apa yang kau inginkan untuk makan malam?" tanyanya pada Gong Jun. Didapatinya pemuda itu tengah meneliti wajahnya dengan intens.

"Tumis ayam manis pedas, tofu dengan sayuran. Sederhana, bukan?" Gong Jun memalingkan wajahnya ke jendela, masih merasa tidak nyaman saat ia tertangkap basah memperhatikan Zhehan.

"Uh, aku harus menonton video masak, atau membuka buku masakan." Zhehan tertawa ringan, menyuapi kekasihnya dengan sepotong apel.

"Kita akan memasaknya bersama," sahut Gong Jun sambil menguyah.

Zhehan menoleh dengan raut gembira yang terpancar di wajahnya.
"Oh, itu ide yang bagus, Junjun."

🥀🥀🥀

Hujan mereda dan berhenti sepenuhnya menjelang malam. Zhehan mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat masakan dan memutar sebuah video di channel memasak dalam ponselnya. Dapur itu tidak terlalu luas, tapi setidaknya cukup bagi kedua pemuda untuk berdiri berdampingan dan hilir mudik menyiapkan segala sesuatunya.

"Ugh, ini mengerikan," cetus Zhehan panik sekaligus senang saat menghadapi minyak yang meletup-letup dalam wajan ketika dia memasukkan potongan sayuran.

"Payah sekali," komentar Jun dalam nada bercanda.

"Ini pengalaman baru untukku, sejujurnya ... di rumahku, semua dilakukan oleh pembantu."

"Aku tahu." Gong Jun merengut.

"Hai, jangan cemberut. Aku melakukannya untukmu sekarang, bukan?"

"Hmm, sebenarnya kau sering memasak untukku sebelum insiden itu." Kata-kata Gong Jun meskipun diucapkan dengan tenang tetapi ada ketegasan di dalamnya, seakan siapa pun yang mendengar tidak ada pilihan lain selain percaya.

Zhehan menghentikan gerakan mengaduk sayuran dan tofu untuk sesaat, teringat kembali pertemuan dengan Li Daikun dan percakapan mereka yang membingungkan.
Insiden? Insiden yang mana yang dibicarakan Gong Jun?

"Maksudmu, insiden jatuh dari tangga?" ia memastikan.

Gong Jun tidak langsung menjawab, melainkan mendekati Zhehan dari arah belakang, memeluk pinggangnya dengan hati-hati.

"Ya. Memangnya ada insiden apa lagi?" bisiknya di telinga Zhehan.

Zhehan menahan napas.

"Kuharap tidak ada selain itu." Zhehan merasakan darahnya mulai berdesir akibat pelukan Gong Jun.

"Jangan membicarakan hal-hal buruk, terlebih yang tak pernah terjadi. Itu membuatku cemas. Bahkan hanya sekedar jatuh dari tangga, mungkin terdengar sederhana. Akan tetapi, bagiku itu bencana besar. Aku bisa saja kehilanganmu." Helaan napas Gong Jun terdengar berat.

"Nah, aku masih hidup, bukan?" sahut Zhehan santai. "Tragisnya, aku kehilangan ingatanku."

"Setidaknya, kau tidak kehilangan aku."

Zhehan tersenyum. "Kau benar. Itu artinya aku masih beruntung. Tapi Jun ... " dia menggantung kalimatnya.

"Ah, sayurannya hampir gosong. Lekas tambahkan air," Gong Jun memperingatkan sambil melepas pelukannya pada pinggang Zhehan.

"Astaga!" yang ditegur lebih panik lagi dan segera mengambil air.

"Ah, untung saja. Itu karena kau menggodaku dengan pelukanmu," protesnya, meskipun ia sudah merasa lega karena bisa menyelamatkan masakan.

"Siapa suruh kau berdebar-debar?" Gong Jun menyeringai.

"Hai, nakal ... " desis Zhehan, tiba-tiba merasa sedikit malu.

"Ayo kita segera selesaikan ini. Kalau tidak, kita akan tidur dengan perut lapar."

"Oke!" sahut Zhehan penuh semangat, meskipun sebenarnya ia cukup kewalahan. Namun ia senang bisa melakukan sesuatu untuk Gong Jun dan menyelesaikannya.

Malam itu mereka makan dalam suasana tenang. Meskipun hujan telah berhenti, tapi di luar angin bertiup kencang. Menu masakan berkuah pedas sangat cocok disantap di malam yang dingin. Zhehan pun menyediakan teh lemon hangat untuk mereka berdua.

"Bagaimana rasanya?" ia sangat penasaran tentang bagaimana penilaian Gong Jun terhadap masakannya.

"Lumayan," katanya jujur.

"Artinya tidak terlalu memuaskan," ujar Zhehan.

"Jangan dipikirkan. Aku menyukainya. Itu sudah cukup, bukan?"

Untuk sesaat Zhehan ragu. Sorot mata Gong Jun nampak tertekan. Seakan cemas oleh perkataannya sendiri.
"Kau benar. Asal kau menyukainya, aku sudah senang."

Gong Jun menatap dengan perhatian penuh, lantas tersenyum sambil meneruskan makan hingga mereka menyelesaikan suapan terakhir.

"Jun, bagaimana kalau kita bicara berdua di balkon?" Zhehan menyuarakan keinginannya setelah selesai merapikan semua peralatan.

Gong Jun baru saja duduk di sofa ruang tengah. Menoleh pada si pemuda cantik yang kini meraih sehelai syal dan melilitkannya di leher.

"Bukankah anginnya cukup dingin?" Jun balas bertanya, nampak tidak setuju.

"Sejuk, dan kita membutuhkan udara segar setelah memasak dan makan." Zhehan bersikeras.

Mata gelap Gong Jun sekilas tampak kosong, tapi kemudian ia mengangguk setuju.

Sebenarnya, duduk berdua di balkon sambil menikmati pemandangan kerlip ribuan lampu kota di bawah sana hanyalah salah satu trik Zhehan untuk menciptakan suasana tenang dan juga suasana hati yang baik. Dia berniat menceritakan pertemuan yang membingungkan dengan teman lamanya yaitu Li Daikun, serta mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganggu benaknya setelah tadi sore di kafe.

Ketika keduanya duduk bersisian di kursi teras balkon, Zhehan mulai dengan mengomentari keindahan lautan cahaya yang tak henti ia kagumi. Namun di benak Gong Jun, suara kecil yang tidak diinginkan dari alam bawah sadarnya berbisik. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Zhehan padanya.

"Hanhan," bisiknya, saat Zhehan berhenti berkomentar tentang segala hal. "Bagaimana acara belanjamu tadi?" ia bertanya dengan hati-hati.

Suaranya lirih dan dingin, terdengar cukup serius untuk memulai satu topik yang sekilas nampak sederhana, tapi bisa jadi berakhir tidak nyaman.

"Menyenangkan," jawab Zhehan, mengernyit menangkap kecanggungan yang familiar dalam suara Gong Jun. Rasanya seperti dia menghadapi orang yang berbeda-beda setiap waktu.

"Kau tidak kesulitan beradaptasi kembali dengan lingkungan ini setelah ingatanmu hilang?"

"Kurasa bukan masalah besar. Yah, aku memang merasa seperti orang baru lagi. Namun seiring waktu, aku akan terbiasa."

"Kuharap kau tidak pergi keluar sembarangan." Peringatan itu datar saja, akan tetapi memancing rasa ingin tahu Zhehan.

"Kenapa?"

Gong Jun memalingkan wajah padanya. "Kau tahu bahwa kita menghindari orang tuamu."

Ada keheningan yang berat di tengah hembusan angin malam. Mata Zhehan beralih dari pemandangan kota pada angkasa malam tanpa bintang. Gelap. Seperti beberapa kepingan momen yang hilang dalam hidupnya.

"Jangan khawatir tentang itu. Tidak ada yang mengenaliku di sini, selain seorang teman lama yang tiba-tiba muncul di hadapanku."

"Siapa?" tanya Gong Jun, suaranya tergetar. Entah menggigil karena dingin, atau karena sesuatu yang lain.

"Li Daikun. Dia kawanku di fakultas kedokteran. Kau ingat?"

Tak ada jawaban. Gong Jun hanya membisu, menahan napas. Lalu untuk beberapa alasan, dia menoleh pada Zhehan dengan sorot mata waspada. Zhehan balas menatap, dan mereka mendapati diri masing-masing terkunci dalam tatapan satu sama lain.

"Aku tidak ingat." Gong Jun menggeleng.

"Tapi dia masih ingat dirimu."

"Kau menyebutkan tentang aku di hadapannya?"

Zhehan mengangguk. "Hanya untuk memastikan satu hal."

"Apa itu?"

"Yah, tentang peristiwa di masa lalu. Saat kita masih di bangku kuliah."

"Tidak ada gunanya mengungkit masa lalu." Suara Gong Jun tak tergoyahkan dan intens. "Lain kali tidak perlu banyak bicara pada orang yang kau jumpai di luar."

"Tapi dia temanku."

"Siapa pun itu, kita harus waspada. Aku hanya ingin kau aman."

Zhehan merasa mulutnya terbuka oleh rasa terkejut, dan ia tidak dapat menemukan sesuatu untuk dikatakan.

"Junjun ...," bisiknya, karena hanya itu yang dia bisa.

Ada senyum samar dan  pahit di bibir kekasihnya dan matanya berkilat oleh emosi yang tak terbaca. Seolah-olah dia terluka karena ceritanya.

"Dia tidak berbahaya. Bahkan ia menjelaskan beberapa hal," Zhehan meneruskan setelah beberapa lama.

"Jangan terlalu mudah percaya pada apa pun yang kau dengar," Gong Jun memperingatkan dengan nada lebih lunak, lantas ia mengulurkan tangan untuk menyentuh jemari Zhehan.

"Angin semakin dingin. Mari kita masuk dan istirahat."

Menyentuhkan ujung jari pada pipi halus Zhehan, pemuda itu bangkit dari kursi dan berlalu menuju pintu yang menembus ruang tengah. Meninggalkan Zhehan sendirian dalam terpaan angin malam.
Gong Jun benar, angin semakin dingin, menusuk tulang. Dan tanpa alasan yang jelas, Zhehan merasa tubuhnya menggigil. Entah mengapa ia melihat dan merasakan sikap dingin Gong Jun padanya. Selain itu Zhehan disergap kebingungan. Dia tidak tahu mana yang harus dipercaya. Kawannya, atau kekasihnya.

🥀🥀🥀

To be continued

Please vote and comment 💞

Salam Langlangding 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro