Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 5

Zhang Zhehan meninggalkan meja bar sejenak lantas kembali dengan novel tebal bersampul hitam. Meletakkan benda itu tepat di depan Gong Jun, ia seakan-akan berusaha mengatakan lewat tatapan matanya 'mari kita review novel ini hingga tuntas'.

"Enam pembunuhan," Zhang Zhehan berkata, menunjuk novel sekilas.

"Bukan enam," Gong Jun meralat.
"Tapi lima pembunuhan."

Zhehan terpaku sesaat, seolah baru sadar dari sesuatu.

"Ah ya, lima pembunuhan. Semua korbannya adalah wanita. Menurutmu apa motif si pelaku?"

"Balas dendam," Gong Jun menjawab penuh percaya diri. "Aku sudah jelaskan dalam buku itu walaupun secara implisit."

"Balas dendam terhadap siapa?"

"Terhadap wanita pada umumnya. Jika kau benar-benar membaca novelku di situ tertulis bahwa para korban disiksa sebelum dibunuh. Selain itu, pelaku mencukur rambut semua korban. Untuk sampai hingga ke tahap itu apa lagi selain balas dendam dan kebencian?"

"Mungkin saja. Tapi motif yang sebenarnya tidak dijelaskan dalam novelmu. Dengar, aku sangat tertarik dengan psikologi, kita akan bicarakan tentang novelmu. Tapi mari kita bersulang terlebih dulu."

Zhehan menoleh pada Zhou Ye yang tengah mengamati satu lukisan di dinding.

"Nona Zhou ye, kenapa tidak bergabung dengan kami?"

"Aku sedang menikmati lukisan indah ini. Impressionist," Zhou Ye menyahut tanpa mengalihkan tatapan pada lukisan.

"Selera yang bagus bukan?" Zhehan menanggapi.

"Hmm, ini mengingatkanku pada lukisan di rumahmu, Jun. Sepertinya kau dan pemilik villa memiliki selera yang sama," Zhou Ye berkomentar lagi.

Gong Jun melirik sekilas tetapi tidak mengatakan apa pun. Di pihak lain, Zhehan tersenyum misterius.

"Kau benar, Nona. Kemarilah ... "

Begitu Zhou Ye menoleh, ia mendapati sinar mata Zhehan membidik tajam membuat gadis itu sedikit tegang. Dia berjalan mendekati meja bar. Zhehan menyerahkan satu gelas anggur yang segera diterima gadis itu.

"Anggur membuatmu jujur," ujar Zhang Zhehan.

"Cheers!"

Mereka mengangkat gelas anggur, masing-masing meneguknya hingga setengah.

"Mr. Jun, dari sisi psikologi ada kekurangan dalam novelmu. Motivasi si pembunuh tidak jelas." Zhehan meletakkan gelas di meja, gerakannya lambat dan tenang.

"Novelku thriller kriminal, bukan psikologis. Jelas motifnya balas dendam. Tak ada pembaca yang bermasalah dengan itu."

"Aku punya pendapat. Pembunuhan dalam novelmu didasarkan pada kisah nyata. Mungkin pembunuh seperti itu ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika motifnya balas dendam, kau harus membuatnya lebih jelas agar pembaca bisa lebih waspada."

"Penghinaan," Gong Jun menyela.

"Penghinaan dari wanita."

"Itu mungkin," sahut Zhehan, menyesuaikan letak kacamata.

"Tapi mungkin saja ada motif lain."

"Apa motif lain itu?" Gong Jun mulai tertarik, memberi perhatian lebih tanpa menepiskan kecurigaan. Zhehan memutar gelas anggurnya.

"Rasa penasaran. Keingintahuan. Sensasi," gumam Zhehan.
"Aku pernah membaca kasus pembunuhan berantai lima tahun lalu di surat kabar, kemudian membacanya lagi di novelmu. Menurut pemahamanku motifnya bukan balas dendam."

"Menurutku, rasa penasaran tidak cukup untuk bisa membuat pelaku membunuh seseorang," Gong Jun menyuarakan pendapat.
"Aku melakukan penelitian mendalam sebelum menulis novel ini. Sesuai dengan laporan forensik, korban mati karena kehabisan darah. Ada beberapa sayatan di tubuh mereka yang dibuat dengan bilah pisau. Itu menjelaskan si pelaku tidak hanya ingin membunuh, tetapi menyakiti mereka. Ada pula bekas tali di jasad korban. Itu membuktikan mereka diikat dan digantung, untuk mati perlahan-lahan dan menyakitkan. Kau pikir itu akibat rasa penasaran? Bukan. Itu kegilaan."

Gong Jun mengemukakan argumen panjang yang disambut lirikan santai dari Zhang Zhehan.

"Jadi menurutmu pembunuh itu orang gila?"

Gong Jun mengangguk. "Pastinya."

Zhehan mengalihkan tatapan pada Zhou Ye.

"Seseorang yang membunuh lima wanita dan mampu menghindari penangkapan polisi. Apakah itu orang gila?"

Zhou Ye menantang tatapan dingin Zhang Zhehan.

"Orang gila cerdas," Zhou Ye bergumam. "Psikopat."

Zhehan menumpukkan siku pada meja bar dan berkata pada Zhou Ye.
"Menurut hukum, orang itu harus diapakan?"

"Apa yang kita tahu soal keadaan yang mendorong seseorang untuk membunuh. Kita hanya bisa membayangkan kondisi pikiran mereka. Orang seperti ini harus dipelajari lebih dulu, dan pengetahuan itu bisa dipakai untuk menghukumnya."

"Namun di novel yang ditulis Mr. Jun, pembunuh itu akhirnya ditangkap polisi dan dihukum mati. Benar kan?"

Kini Gong Jun tergelitik untuk bicara. "Maksudku, orang-orang seperti itu harus disingkirkan dari masyarakat."

"Bagaimana caranya?"

"Dihukum mati."

Zhang Zhehan memfokuskan tatapan kosong pada cahaya lampu meja yang redup. "Kau seorang penulis. Imajinasinu agak liar. Itu masalahnya. Itu yang kurang aku suka dari novelmu. Semua hanya imajinasi."

Zhou Ye bereaksi lebih cepat bahkan sebelum Gong Jun membuka suara.
"Bagaimana bisa menulis novel tanpa imajinasi?"

Zhang Zhehan mundur dari meja bar, berjalan perlahan-lahan melintasi ruangan kemudian berdiri di dekat jendela. Membelakanginya.
Kilatan petir di luar mengirim cahaya berkedip-kedip dalam ruangan, menjadikan suasana begitu mencekam.

"Pengalaman," ujar Zhehan dalam nada rendah.
"Semua kreasi artistik lahir dari pengalaman."

Mengernyitkan kening, Zhou Ye berpura-pura tidak mengerti, atau dia takut untuk memahami kalimat itu lebih dalam.

"Jadi kau mengatakan, jika Gong Jun menulis tentang pembunuhan. Dia juga harus jadi pembunuh?"

Di luar dugaan, Zhehan mengangguk. Ekspresinya yang terlalu tenang cenderung menakutkan.
"Setidaknya dia harus memahami kondisi pikiran si pembunuh."

Tatapannya melayang pada Gong Jun, mencoba menyelami pikiran sang penulis. Untuk kesekian dan puluhan kali dalam semalam, Gong Jun membayangkan kembali wajah ini di dalam mimpi. Tapi tidak peduli seberapa banyak mereka saling berpandangan, keduanya belum bisa mendapatkan gambaran jelas dari masing-masing pribadi yang seakan-akan sama-sama menyimpan misteri.

"Mr. Jun, kau setuju atau tidak?" Ia menyeringai.

Gong Jun tersenyum cemas. "Aku menulis novel tentang kasus pembunuhan berantai yang pernah terjadi. Jadi, aku tak perlu membunuh siapa pun hanya demi satu ide cerita. Aku penulis, bukan pembunuh. Kenapa aku harus ikut pergi ke neraka bersama si pembunuh?"

Zhang Zhehan tidak beralih dari menatapnya, sorot mata yang seakan melahap segalanya. Pertahanan Gong Jun yang rapuh mulai retak.

"Mengapa tidak?" Zhehan bergumam.
"Itu akhir yang pantas dan sempurna, untuk selamanya."

"Aku tidak setuju." Gong Jun menelan liur. Tiba-tiba perasaan tegang mencengkeramnya.

"Itu untuk kepuasan, kukira. Sama seperti seorang penulis yang memuaskan rasa penasaran. Pembunuh pun begitu. Seperti seniman yang memahat mahakarya, seperti pematung yang memahat batu."

Tirai-tirai masih menggeletar oleh tiupan keras angin disertai hujan deras yang belum juga mengurangi intensitasnya. Di tengah cahaya redup, sang tuan rumah memandang kedua tamunya yang luar biasa dengan iringan senyum misterius. Menatap ke kedalaman mata indahnya, Gong Jun merasa tangan-tangan gaib keluar dan menarik rohnya hidup-hidup untuk tercebur ke dalam kolam yang gelap.
Ketiganya membisu, saling menduga, saling curiga. Sementara derai hujan mengatasi kesunyian yang mengerikan, saat itulah, tiba-tiba nyala lampu padam.

"Astaga!" Gong Jun dan Zhou Ye memekik tertahan, bersamaan.

Untuk sesaat, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Jun ... " suara Zhou Ye panik dan cemas.

"Aku membawa pemantik," Gong Jun menyahut, berharap suaranya yang tenang bisa menenangkan Zhou Ye.

Dia merogoh kantung celananya, mengambil pemantik, lantas menyalakannya. Mereka menemukan Zhang Zhehan masih berdiri di tempat semula.

"Di mana lilinnya?" tanya Gong Jun, mendesak. Keremangan menyembunyikan raut kejam di wajahnya.

"Kau tahu di mana," Zhehan menyeringai, bergumam penuh teka-teki. Jari-jari panjang Gong Jun gemetaran, sinar lembut dan lemah dari pemantik jatuh di wajah tampannya yang terpana.

Kembali, satu kilatan cahaya dari langit mengirim kilasan cahaya putih keperakan, menerangi ruangan dalam beberapa detik.

"Aku takut gelap," bisik Zhou Ye cemas.

Gong Jun menemukan penyangga lilin di atas rak pajang, sementara Zhehan menyalakan lilin-lilin besar yang memang tersedia di sisi lain dalam ruangan. Perapian masih menyala dan sinar yang terpancar dari api pembakaran cukup membantu penglihatan.

"Mungkin gangguan arus listrik, voltase anjlok, dan semacamnya," komentar Zhehan.

"Di mana sakelar utamanya?" tanya Zhou Ye. Kecemasannya tidak berkurang meskipun beberapa lilin menerangi ruangan.

Jawaban Zhang Zhehan di luar dugaan, "Aku tidak tahu," suaranya datar saja.

Zhou Ye terkesiap. "Bagaimana kau bisa tidak tahu?!"

Zhehan mundur dari lilin, menyamarkan dirinya lagi dalam sudut remang-remang.

"Siang hari aku punya pelayan dan ia mengurus serta mengerjakan segalanya."

Alasan yang masuk akal tapi itu belum cukup.

"Aku akan mencari senter, kita akan cari di mana letaknya," Zhehan menawarkan solusi.

Pria cantik itu menuju meja tulis, membongkar laci-laci hingga ia menemukan satu senter kecil. Dia menyalakannya, mengarahkan sinar senter pada wajah Gong Jun yang terpahat kaku. Keduanya bertatapan dalam keremangan merasakan dorongan misterius dalam diri masing-masing.

"Sakelar utamanya ada di rubanah," bibir Gong Jun akhirnya bergerak-gerak gugup di bawah tatapan gelap Zhang Zhehan.

"Di sini ada rubanah?" Zhou Ye menyela, lirikannya berubah ngeri.

"Jun, bagaimana kau bisa tahu itu?"

"Biasanya ... " Gong Jun menyahut, "Biasanya villa di kawasan ini memiliki rubanah. Sakelar utamanya ada di sana."

Zhehan masih melekatkan tatapan, menyeringai seram.

"Kau yakin, Jun?" gumam Zhou Ye.

"Mungkin."

"Baiklah. Kau tahu ada rubanah di sini. Dan aku juga tahu. Jadi, mari kita periksa ke sana."

Senyum Zhehan semakin membuat Gong Jun dan Zhou Ye merinding.

"Zhou Ye, kau tunggu di sini. Aku tak akan lama." Gong Jun menstabilkan suara, mencegah gadis itu membaca kegelisahan dalam dirinya.

Berbekal cahaya senter, dua pria berjalan melewati dapur, terus merayap ke satu sisi menuju pintu rubanah. Kegelapan memperlambat langkah mereka hingga sorot senter menangkap ganbaran sebuah pintu.

"Sepertinya itu pintu menuju rubanah," Zhehan bergumam berat mengundang seringai dari bibir Gong Jun. Dia melemparkan lirikan tajam dan mendesis pada pria cantik misterius yang merayap  di sampingnya.

"Mr. Zhang, kenapa bicaramu terdengar seperti kau bukan pemilik villa ini?"

Tak ada perubahan ekspresi di wajah Zhehan, bahkan riak samar di mata pun tak ada.

To be continued
Please vote and comment

Salam Langlangding 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro