Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 11

Dalam tidurku, aku melihat lagi semuanya. Seperti sebuah layar yang memutar film. Satu keping ingatan melayang-layang di alam bawah sadarku, membawaku pada satu masa yang jauh, yang pernah terlewatkan, dan sangat berpengaruh besar. Serangkaian adegan mengerikan yang menyesakkan dada.

Malam itu akan menjadi malam berhujan seperti biasa dan selalu berkepanjangan. Aku sendiri dalam mobil sewaktu ibuku melangkah keluar dalam cuaca buruk, mengembangkan payung hitam dan bergegas menuju sebuah rumah yang tersaput kabut sekitar beberapa meter dari tepi jalan perbukitan yang suram dan sepi.

Kutatap sosoknya yang berlalu menembus kabut. Aku tidak tahu siapa yang ingin dia temui dan untuk alasan apa. Kuawasi sekelilingku, hanya ada pohon-pohon raksasa berjajar di jalan yang lebar dan hitam, pohon-pohon berbonggol dan gelap, lebat dan kuno

Entah berapa lama aku diam di mobil. Aku mulai kedinginan. Kaca berembun membuatku semakin merasa terkurung dalam ruang tertutup yang gelap.

Aku benci hujan yang begitu dekat di atas kepalaku. Betapa lebih buruknya perasaanku ketika hujan, dan mobil itu lembab dan dingin, tidak ada apa-apa selain kesuraman yang menyedihkan dan wajahku sendiri  mati yang membayang di kaca spion. Kilatan cahaya menyambar di langit, mencekik pikiranku, membuatku bingung dan ketakutan.

Tak ada bayangan ibuku, kemudian aku memutuskan untuk turun dan menyusulnya. Urusan apa yang membuat ibu tak bisa membawaku ke dalam sana serta melupakanku dalam mobil gelap di bawah hujan deras.

Rumah itu indah, namun angker dan menyendiri. Pintunya terbuka sedikit, bergerak-gerak oleh terpaan angin. Kujejakkan sepatuku yang berlumpur, sementara tubuhku menggigil akibat guyuran hujan. Aku melongokkan kepala ke dalam ruangan utama yang suram, hanya ada pendar cahaya lemah dari ruang tengah yang lebih luas menjorok ke dalam. Bibirku gemetar menahan dingin, bergerak untuk memanggil. Tetapi sebelum suaraku lolos dari tenggorokan, satu jeritan perempuan melayang di udara malam. Menyayat keheningan rumah, seiring gemuruh petir menggelegar.

Aku melompat mundur beberapa langkah ke belakang. Tidak tahu hal buruk apa yang terjadi di dalam sana. Rasa ingin tahu membunuh keraguanku. Setidaknya aku bisa merasa lega bahwa itu bukan suara ibuku. Tetapi suara wanita lain. Apakah dia teman yang ingin ibu temui?

Kuberanikan diri mengintip ke ruangan tengah dari balik dinding, dan kelegaanku berubah menjadi banjir teror. Satu adegan yang akan tercetak seumur hidup di kepalaku.

Darah...

Aku melihat jejak darah di lantai, mengalir dari luka seseorang. Ibuku menyeret tubuh wanita lain. Mungkin mereka terlibat dendam, atau hanya pertengkaran biasa. Itu --

Ilustrasi yang mengerikan, tetapi satu sudut dalam kedalaman jiwaku yang gelap dan tak terjangkau, adegan itu terlihat keren. Menginspirasi.

Apakah ini mimpi?

Guntur berderak sekali lagi, menghancurkan mimpi menjadi ilusi. Satu pencerahan merayap dalam jiwaku yang rapuh, menyerap dalam ingatanku, dalam setiap filamen syarafku.

Aku menyaksikan adegan pembunuhan.

Itu pun ibu yang selalu bersikap baik dan menyayangiku. Apa pun alasannya. Sebutannya tetap seorang pembunuh. Wanita-- mengapa begitu banyak wajah yang mereka miliki? Hingga terkadang tak ada yang bisa mengenalinya dengan benar.

Semua yang terjadi malam ini begitu membingungkan, mengerikan, sekaligus -- menggairahkan.

📖📖📖

Zhang Zhehan terseret dari mimpi buruknya oleh dering alarm yang memekakkan telinga. Matanya terbuka lebar, nyalang, kejam. Seakan bergelora, siap membunuh siapapun yang mengganggu tidurnya.

Tidur yang gelisah. Mimpi buruk yang sama. Yang menghantuinya selama sepuluh tahun terakhir. Dia memaksakan diri untuk bangun, menggerakkan pinggang rampingnya, menyentuh lantai dengan telapak kaki.

Dia termenung.

Bukan mimpi yang baru. Tetapi dihantui adegan yang datang dari lembaran hidup yang telah lama berlalu, dengan kesadaran bahwa ada seseorang yang berkaitan dengan mimpi itu di rumah ini, mengirimkan sensasi ngeri dan juga cemas yang aneh.

Dia menggoyangkan kepala keras-keras, berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air paling dingin. Berusaha mengembalikan kesegaran dan fokus, memperbaiki kerusakan dalam otaknya. Seolah-olah itu bisa.

Sewaktu Zhehan duduk di meja makan, angin pagi terus bertiup dari jendela Prancis yang terbuka, membelai pipinya dan angin itu berbisik terlalu meyakinkan bahwa semuanya akan beres.  Zhehan bisa mendengar langkah kaki menapaki lantai perlahan-lahan. Gong Jun hampir sepenuh pulih sekarang dan ia bisa beraktivitas tanpa terganggu rasa sakit akibat luka tembak.

"Selamat pagi," Zhehan menyapa dengan suaranya agak serak pagi ini.

"Bagaimana tidurmu?" Gong Jun mengerling sekilas sebelum menarik kursi dan duduk menghadap jendela.

"Tidak terlalu baik."

"Wajah pucatmu menjelaskanya. Apa yang terjadi? Apa hantu salah seorang korbanmu datang ke kamar dan menarik kakimu hingga terguling ke lantai?" Gong Jun melanjutkan dengan nada ringan tapi ejekannya serius.

Zhehan tertawa dingin, "Aku tidak percaya hal takhayul semacam itu. Akan lebih masuk akal jika kau yang masuk ke kamarku dan menarik selimutku, kemudian kau akan--"

"Tidak mungkin," Gong Jun menyela, wajahnya seketika menghangat di tengah tamparan angin dingin.

"Kau hanya belum menginginkannya. Kau harus tahu bahwa selain membunuh wanita di luaran, aku bisa membuat pria sekarat di ranjang."

"Berhenti mengoceh," Gong Jun memasang wajah heran dan jengkel sekaligus. Tatapannya galak, tetapi saat melihat senyum Zhehan, keinginan untuk marah surut dengan cepat.

Keduanya bisa mendengar paman Han beraktivitas di dapur membuat adonan segar untuk roti gulung panas yang mereka makan di pagi hari, dibuat keemasan dengan meneteskan mentega. Mungkin bisa ditambah krim vanilla dan keju leleh.

Gong Jun masih tidak percaya meski pun sudah berhari-hari dia menginap di mansion ini. Semuanya di sini menipunya, udara, cahaya lembut dan kehangatan palsu di mata angker Zhehan.  Bahkan pukulan panci dan wajan di dapur mulai bekerja ajaib, dan hatinya, yang terbebani selama ini, mulai terasa lebih ringan. 

Mungkin ini sudah jalan hidupnya sebagai penulis dengan imajinasi liar, bahwa suatu saat dia terjebak dalam imajinasi yang entah bagaimana caranya, menjadi kenyataan.

Dan lebih dari apa pun yang dikatakan Zhehan, atau apa pun yang tersirat dari matanya yang berbinar, dia pikir psikopat itu lebih mirip mawar yang mekar, membuatnya pusing karena manisnya dan aromanya yang luar biasa.

Dua cangkir kopi datang menawarkan rasa santai bahkan hanya dari aroma uapnya. Gong Jun melihat keluar jendela pada batang-batang pohon sekitar satu meter tingginya dengan daun-daun hijau pucat dan kuncup merah muda yang tidak memimpikan akan mekar di musim gugur.

"Magnolia," kata Zhehan, mengikuti pandangan matanya. "Sayang sekali mereka tidak mekar sekarang, tetapi itu tidak akan terlalu lama. Musim gugur kadang singkat. Satu hal yang harus kau ingat, jangan pernah menghirup bunga magnolia, atau menyentuhnya, jika kau melakukannya, bunga itu akan layu dan mati."  Dia menatap Gong Jun dengan tatapan menggoda sehingga yang diajak bicara tidak tahu apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

Gong Jun mengangkat bahu, kemudian minatnya beralih pada sepiring roti gulung di atas piring lebar yang dibawakan paman Han ke meja makan.

"Ini lebih cocok untuk dicium dan disentuh," gumam Gong Jun, tiba-tiba sangat lapar.

Mereka sarapan dalam diam, sesekali saling mencuri pandang. Pagi ini, terlepas dari cuaca berawan, Gong Jun menangkap aura suram dalam wajah Zhehan. Bukan gelap seperti kengerian yang biasa dipancarkan pria psikopat yang bersikap seolah normal, melainkan lebih mirip bayangan kelabu kesedihan.

Murung. Ya. Itu kata yang tepat untuk menjelaskan. Pria cantik itu murung. Gong Jun menemukan dorongan untuk bertanya bagaimana perasaan si pembunuh, dan apakah psikopat semacam dia masih layak untuk simpatinya. Dia berkali-kali menelan kata-katanya sendiri dan memilih meneruskan makan dalam diam.

"Mr. Jun," Zhehan meletakkan cangkir kopi, mulai berbicara lagi.

"Hm?"

"Kita sudah beberapa hari tinggal bersama. Mungkin kita bisa jadi teman."

"Tidak ada yang berteman dengan seorang psikopat," sahut Gong Jun dari tepi cangkir.

"Kecuali dia siap untuk mati kapan saja."

Zhehan kehilangan tawa merendahkan yang biasa ia tunjukkan jika melihat Gong Jun mengomel atau kesal. Nampaknya dia benar-benar memikirkan sesuatu dengam serius.

"Oke. Mungkin kau butuh waktu. Kau masih dendam karena reputasimu hancur akibat perbuatanku. Selain itu, kau masuk daftar pencarian orang. Aku bisa mengerti itu."

Gong Jun mendengus.

"Tetapi, setidaknya kita bisa memulai dari panggilan. Bolehkah aku memanggilmu Junjun? Kedengarannya sangat manis," Zhehan berkata dengan cahaya cemerlang melintas di matanya.

Gong Jun terkesiap. Ngeri, geli, namun terasa hangat, ia benci perasaan ini. Tapi tidak bisa dipungkiri.

"Kenapa harus seakrab itu?" Gong Jun terbatuk untuk menyembunyikan apa yang ia rasakan, cerminan dari kecemasannya sendiri.

"Kupikir, ada satu benang merah mengikat kita. Maksudku, ada satu peristiwa di masa lalu yang membuat kau dan aku terhubung. Sebenarnya, kau tidak tahu sama sekali tentang aku, begitu pun sebaliknya. Kau menyebutku psikopat, tapi kau tidak pernah ingin tahu apa yang membuatku menjadi psikopat."

"Aku tidak peduli itu. Kupikir bukan urusanku."

"Saat kau tahu peristiwa apa yang menghubungkan kita, kau pasti akan peduli. Mau atau tidak mau."

Gong Jun terusik, dia menatap pria cantik itu, bertanya curiga, "Apa kau tidak bisa tidur semalam karena memikirkan peristiwa itu?"

Di luar dugaan Zhehan mengangguk.

"Menurutmu, apakah seorang psikopat dilahirkan ataukah dibentuk?" Ia melontarkan pertanyaan berteka-teki.

Gong Jun menggeleng, ragu-ragu akan pemikirannya sendiri. Sejujurnya, dia bukan seorang ahli mau pun peneliti tingkah laku manusia.

"Bisa keduanya. Bagaimana denganmu? Apa kau dilahirkan atau dibentuk?"

"Keduanya," Zhehan merenung.

"Bagaimana bisa? Katakan dengan jelas. Apa mimpi burukmu semalam dan apa hubungannya denganku."

"Mimpi buruk itu selalu menghantuiku. Itu berasal dari peristiwa traumatis masa kecil. Kupikir, sejak saat itulah jiwaku mulai tidak stabil. Aku merasakan gejolak emosi yang saling tumpang tindih. Satu malam sepuluh tahun lalu, tanpa sengaja aku menyaksikan satu peristiwa pembunuhan.." suaranya semakin dalam dan pahit, jelas sekali Zhehan terpengaruh.

"Be--benarkah?"

"Kuharap ketika kau mendengar ceritaku, kau bisa pergi tidur pada malam hari dan memahamiku."

Gong Jun tidak percaya itu karena ia tidak mau percaya pada seorang kriminal. Namun dia cukup ingin mendengar kisah bagaimana peristiwa mengerikan itu membuat jiwa seorang anak terguncang dan mungkin saja mati, kemudian melahirkan sosok yang baru pada akhirnya. Seorang pembunuh.

"Katakan, bagaimana kejadiannya?"

"Usiaku baru dua belas tahun saat satu malam di bulan Oktober yang basah diguyur hujan deras, ibu membawaku dalam mobilnya yang dikemudikan dengan kesal menuju satu villa di kawasan perbukitan Rose Hills. Dia mengatakan akan menemui seorang kawan untuk urusan penting. Malam itu, aku menunggu di dalam mobil saat ibu mungkin berdebat dan bertengkar dengan kawannya. Aku tidak tahu ada masalah apa. Orang dewasa kadang sulit dan egois, jadi aku tidak berminat."

Gong Jun menunggu dengan sabar saat Zhehan menjeda.

"Aku menunggu di bawah deras hujan yang aku benci tetapi ibu tak juga kembali. Kemudian aku memutuskan masuk ke dalam villa dan di sanalah aku menyaksikan ibu membunuh seseorang. Dia terlihat panik dan ketakutan melihat darah berceceran. Aku melihat ia menyeret mayat korban untuk menyembunyikannya. Aku sangat ketakutan. Rasa takut yang aneh dan nyaris membuatku kehilangan kewarasan. Aku berlari, berharap bisa melupakan semuanya dan menganggap itu hanya mimpi."

"Aku menangis malam itu.  Aku membasahi bantalku dengan air mata yang tercurah untuk seorang ibu yang kuanggap baik dan kucintai sehingga menyakitkan untuk mengingat kembali hari-hari ketika ia masih selembut peri dan kehidupan rumah kami sempurna. Aku menangis untuk semua hal baik yang telah dia lakukan untukku saat itu, dan yang terpenting, untuk semua cinta yang telah dia berikan dengan murah hati kepadaku. Sayangnya, aku juga kehilangan rasa cinta dan kepercayaan. Aku membenci ibu sejak saat peristiwa mengerikan itu. Hari-hari buruk kulalui merenggut masa-masa yang seharusnya indah. Aku berjanji akan membuat wanita itu merasakan kesedihan dan kehancuran yang lebih menyakitkan, dan satu-satunya cara untuk membuatnya sakit adalah kehancuran diriku yang tak pernah ia sadari. Jadi, aku mulai menyakiti wanita, dan puncaknya, membunuh mereka secara acak. Aku menjadi gila, dan dalam kegilaan itu aku merasa puas, kubayangkan ibu terkejut sangat hebat mengetahui putranya menjadi seorang pembunuh seperti dirinya. Bagaimana menurutmu? Tindakan balas dendam yang cukup klise, bukan?"

Gong Jun merinding hingga tanpa sadar jemarinya bergetar di tepi cangkir.

"Apa yang terjadi pada ibumu setelah mengetahui perbuatanmu?"

"Seperti yang kuharapkan. Dia sangat shock hingga mengalami serangan jantung dan tewas. Kematian yang terlalu cepat dan mudah, menurutku. Tapi takdir masih bertindak baik padanya. Setelah itu, masa remajaku menjadi sulit dan kesepian. Aku memiliki banyak uang warisan, dan paman Han sebagai pengurus rumah dan satu-satunya temanku. Imajinasiku menjadi liar, dan aku menemukan dorongan untuk membunuh semakin kuat. Semakin aku mengingat ibu dan hasil dari perbuatannya, aku semakin membencinya dan setiap kali aku membunuh satu wanita, aku merasa sudah membunuh ibuku lagi."

Wajah Zhehan tertunduk, menyembunyikan sorot matanya hingga Gong Jun tak bisa membacanya. Mungkin memang dia tak ingin terlihat lemah.

"Lantas, apa hubungan kisahmu denganku?" tanya Gong Jun, ia tidak tahu apakah harus jijik, ngeri atau simpati.

"Aku baru mengetahuinya setelah kau mencuri kisahku dan menuangkannya ke dalam novelmu. Aku menyelidik latar belakang dan semua informasi tentangmu, termasuk villa milikmu di perbukitan. Saat itulah deja vu memerangkapku. Aku semakin terobsesi denganmu, kemudian semua mencapai puncaknya, aku melihat jawaban dari semua rasa tertarikku padamu. Itu lebih pada semacam simpati,  juga dendam, dan penyesalan. Wanita yang menjadi korban pembunuhan yang kusaksikan malam itu, di villa yang sama, wanita itu adalah ibumu..."

To be continued

Another truth unfold

Please vote and comment❤️

Salam Langlangding 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro