CHAPTER 31
Malam ini Hei Yanjing baru saja akan membelokkan taksinya menuju jalan pulang. Kehidupan malam di kota tidak ada matinya, dia bisa saja mendapatkan penumpang pada jam seperti sekarang di saat orang-orang terlelap tidur. Namun beberapa kelompok manusia lebih senang menghabiskan malam mereka di jalanan atau klub malam. Hei Yanjing mengabaikan beberapa penumpang ataupun panggilan telepon dari pelanggannya. Tapi satu panggilan yang tak biasa membuyarkan rencana cemerlangnya untuk pulang ke rumah, tidur dan mimpi indah.
Xiao Hua!
Suaranya yang gemetar dan ketakutan melahirkan kerutan ganas di alis si pria hitam dan ia pun tidak perlu berpikir dua kali untuk memutar kemudi. Sesuatu yang serius telah menimpanya, bahkan Hei Yanjing memiliki banyak bayangan buruk yang membuat kakinya tanpa sadar menginjak gas hingga ke permukaan jalan. Taksi itu menderu seperti bintang jatuh, seakan-akan rodanya melayang.
Dia tiba di apartemen Xiao Hua lebih cepat dari biasanya, melewati seorang satpam yang terkantuk-kantuk dan mengabaikan kamera pengawas. Tidak ada waktu mengkhawatirkan hal lain. Menyadari gentingnya situasi, dia menekan bel berulang kali lalu saat tidak mendapatkan respon, dia meminta nomor kombinasi kunci pintu lewat telepon.
Ketika Hei Yanjing menyerbu masuk, detektif yang sudah sangat kacau itu meringkuk di sudut sofa seperti anak kucing. Matanya berkilat waspada tapi cara dua lengannya memeluk lutut seperti tengah mencoba melindungi tubuhnya.
"Xiao Hua..." gumamnya.
Dia berjongkok di depan Xiao Hua, menyentuhkan telapak tangan pada bahunya. Dia tidak meminta detektif itu untuk berdiri, hanya mengawasinya dengan tenang sampai napas Xiao Hua yang terengah-engah perlahan menjadi normal.
Situasinya terbalik sekarang. Sentuhan di bahu dimaksudkan Hei Yanjing untuk memindai sedikit kilasan memori agar pemuda yang tengah kacau itu tidak perlu melalui kengerian yang sama hanya karena menceritakan apa yang telah dilihatnya. Namun tindakan itu membuat Hei Yanjing sangat terkejut dan geram sampai ia merasa sedikit menyesal karena harus memindai ingatan Xiao Hua.
"Keparat itu benar-benar gila." Suaranya kering dan dingin, terhuyung ke belakang sebelum ia kemudian bisa menyeimbangkan tubuhnya. Kerutan di pangkal alisnya semakin dalam, lalu ia memegang lengan Xiao Hua, membantunya untuk bangkit.
"Duduklah, jangan takut," ia berkata di sela nafas berat.
Hei Yanjing memberinya segelas air dingin, mengawasi detektif itu meneguknya dengan sedikit sisa-sisa rasa panik.
"Kali ini aku benar-benar khawatir." Hei Yanjing duduk di sampingnya. Menjalin sepuluh jemari, sekilas matanya melirik pintu kamar di mana Xiao Hua tidur dan melihat ilusi jahat itu. Dia merasa tidak perlu memeriksa karena yakin tak akan ada apa pun di sana. Bayangan itu tak akan muncul jika dia sengaja menunggu, bahkan hingga akhir zaman. Namun itu akan menghantui Xiao Hua di saat dia paling tidak menginginkannya.
"Xiao Hua, aku harus menghapuskan ilusi jahat itu dari ingatanmu. Semuanya. Tak akan ada lagi sosok psikopat itu dalam pikiranmu." Suaranya dibuat setenang mungkin, disusul helaan napas panjang.
"Semuanya?" Xiao Hua berhenti minum, menatapnya bingung. "Apakah kau tidak bisa menghancurkan hanya ilusi itu?"
Hei Yanjing menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak ada gunanya kau memiliki ingatan tentang penjahat seperti dia dalam pikiranmu, Xiao Hua."
Dia mengukir senyum kecil di sudut bibirnya dan melanjutkan, "Bukankah itu lebih baik dan menenangkan?"
"Jadi, kau akan menghapus ingatanku dalam rentang waktu sejak aku mengenal Huo Dofu hingga hari ini?"
Si pria hitam mengangguk.
"Apakah tidak apa-apa?" Xiao Hua merenung, menatap air dalam gelas. Hei Yanjing belum lama pulih sejak dia pingsan di jalanan. Menuntut pria itu untuk menolongnya terdengar sangat egois. Namun begitu, Xiao Hua tidak punya pilihan.
"Tenang saja. Aku bisa mengatasinya. Energiku tidak selemah itu."
"Kuharap kau tidak menghilangkan dirimu dalam ingatanku."
Kali ini Hei Yanjing terdiam. Guratan di wajahnya tampak muram.
"Kupikir itu yang terbaik," katanya dengan ironi yang lelah. "Aku dan Huo Dofu sama-sama mengacaukan sistem yang ada. Kami sama-sama penjahat yang tidak perlu dikenang."
"Benarkah?" balas Xiao Hua. Di matanya yang berurat merah tampak ekpresi memohon, putus asa dan bingung.
"Ya. Tapi mungkin saja kau bisa memimpikanku." Hei Yanjing memaksakan seulas senyum palsu.
Sangat mudah untuk berbicara. Bagaimana mengganti banyak kenangan yang hilang dengan mimpi?
Xiao Hua menggeleng lemah, meletakkan gelasnya, dan pria hitam itu menatapnya lagi. Itu bukan tatapan santai dan kosong dari seorang teman, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam, memberinya perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba. Dia langsung tahu ada sesuatu yang salah. Tangannya bergerak memegang tangan si pria hitam.
"Kau hanya perlu menghapus ilusi itu," dia menegaskan sekali lagi.
Hei Yanjing menggelengkan kepala, lalu berbalik dan menatapnya. Ekspresi bingung yang dia perlihatkan kini berubah jadi kemuraman yang nyata.
"Ini sulit," katanya perlahan, "hal yang paling sulit yang mungkin pernah kulakukan. Kau lihat, Huo Dofu seolah tidak mati, dia masih bersama kita. Aku memiliki kekuatan supranatural, oke. Tapi aku bukan dewa, Xiao Hua. Aku tak bisa memilah-milah. Jika kau ingin semua tentang Huo Dofu hilang dari ingatanmu, akan ada kenangan lain yang terhapuskan."
Ya Tuhan, pikirnya. Itulah yang selama ini dia takutkan. Xiao Hua akan melupakannya atau dia akan gila akibat ilusi jahat itu. Apa yang harus dia lakukan?
"Tidak..." Bibir Xiao Hua gemetar.
"Aku tidak ingin kehilangan ingatan tentangmu. Itu lebih buruk daripada memiliki kenangan menyedihkan. Setidaknya, aku masih bisa mengingatmu walaupun kita berjauhan."
Desahan putus asa dalam suara Xiao Hua membuat hatinya sakit. Dia harus melakukan apa saja untuk mengembalikan rasa tenang, kewarasan dan semangat dalam hidupnya.
Hei Yanjing merasa dirinya tertahan, tidak dapat bergerak, dan perasaan akan malapetaka yang akan datang, akan tragedi, menghampirinya. Seluruh dirinya merosot, seolah-olah, dalam sikap apatis, dan ia berpikir, 'Inilah akhirnya, tidak ada jalan keluar, tidak ada masa depan.'
"Maafkan aku, Xiao Hua..."
Pada akhirnya, menghapus ingatan bukan lagi terlihat seperti pertolongan, tapi satu penderitaan dalam bentuk lain. Xiao Hua termangu dalam beberapa detik yang panjang. Dia menampilkan wajah tak berdaya dan tersiksa ke mata gelap yang kuat dan sedih. Di wajah Hei Yanjing ia melihat kekuatan tapi juga melihat rasa sakit.
"Ti-dak..." Dia terbata-bata sekarang. Pikirannya menerima, tapi hatinya menolak. Sungguh dilema yang menyakitkan.
"Tidak, Hei Ye. Jangan lakukan ini..."
"Aku sangat menyesal," bisik Hei Yanjing.
Xiao Hua menggeleng kuat-kuat, menyesali keluhannya yang membuat Hei Yanjing datang. Dia merasa sangat lemah hingga membenci diri sendiri.
"Tidak!" Xiao Hua bangkit dari sofa, terhuyung sejenak karena rasa pusing menyerang kepalanya.
"Aku tidak bisa menerima bantuanmu jika harus kehilangan ingatanku tentangmu."
Dia akan melangkah menjauhi sofa tapi tangan Hei Yanjing menahannya, menggenggam jemarinya yang berkeringat dingin.
"Tidak ada cara lain," ia menyela tegas.
"Aku akan berjuang mengatasi semua kekacauan dalam pikiranku."
"Jangan keras kepala, Xiao Hua. Kau sendiri sudah melihat yang terburuk. Semakin kau terpapar ilusi gila itu, semakin besar kemungkinan kau bisa kehilangan kewarasanmu. Otakmu akan rusak secara permanen."
"Tapi---"
"Dengar..." Hei Yanjing tidak melepaskan pegangan tangannya saat dia ikut berdiri dan berhadapan dengan Xiao Hua.
"Jika takdir menghendaki, akan ada kesempatan bagi kau dan aku untuk menciptakan kenangan baru."
Masuk akal. Tapi bagaimana jika hidup tidak memberinya kesempatan itu.
"Tidak. Aku tidak setuju." Getaran dalam suara Xiao Hua benar-benar tak tertahankan. Dia merasa ketakutan merayapi setiap inchi tubuhnya.
"Mengapa?" tanya Hei Yanjing, "Aku bukan orang yang perlu kau kenang atau kau rindukan. Jika semuanya hilang, itu baik bagi ketenangan hidupmu."
Xiao Hua masih menghujamkan tatapan menentang. Tapi dia tidak sanggup berkata-kata.
"Aku janji, hidupmu akan lebih bahagia mulai esok hari." Hei Yanjing menatapnya dengan sedikit senyum. Ada kehangatan dalam suaranya, seperti dia telah berjuang untuk terlihat baik-baik saja. Bagaimanapun ini sulit baginya, Hei Yanjing tidak ingin terlihat lemah. Dia seorang jagoan dengan kekuatan supranatural, bukan?
Sepasang mata Xiao Hua mulai berkaca-kaca. Lagi-lagi dia menggeleng berulang-ulang.
"Tidak," gumamnya.
"Tidak...."
Diiringi tarikan napas berat dan senyum tipis yang kian memudar, Hei Yanjing meraih bahu Xiao Hua dengan kedua lengannya, menepuknya lembut. Khawatir detektif malang itu kedinginan, dia memeluknya lebih erat.
Hawa dingin yang familiar mengaliri tubuh Xiao Hua. Tanpa sadar dia menggigil. Masih tidak rela melepaskan kenangannya, dia menarik tubuhnya dan menatap wajah si pria hitam. Xiao Hua mengerjapkan matanya ; mereka perih dan seperti berkabut. Napasnya perlahan menjadi sesak saat ia merasakan kelumpuhan perlahan-lahan menderanya.
"Tidak..." Dia masih mengerang, memohon. Sebelum akhirnya tubuhnya jatuh dengan lelah ke bahu Hei Yanjing.
Kesadaran Xiao Hua hampir melayang saat dia merasakan kedua lengan pria itu membaringkannya hati-hati di sofa. Angin dingin yang menyelusup lewat jendela menyapu wajahnya yang pucat. Kesejukan yang meninggalkan jejak kesedihan. Bibirnya tampak bergerak, ingin mengatakan sesuatu. Namun dia sudah kehilangan energinya.
"Lupakan aku, Xiao Hua..."
Suara itu seakan-akan datang dari kejauhan, lalu sosok pria hitam semakin pudar dan hilang.
Tidak ... jangan biarkan aku melupakanmu...
Permohonan bisu teredam dalam ketidaksadaran. Dia berjuang mengangkat satu tangannya, menjangkau bayangan hitam itu. Tapi semua terlambat. Semua kenangan tentangnya telah sirna. Lenyap ditelan kegelapan.
Xiao Hua merasakan sudut matanya basah.
=====
Untuk sesaat, Hei Yanjing merasa telah menjelma jadi paranormal yang melakukan ritual pengusiran setan. Rasa gugup, cemas dan secercah kelegaan berdebur dalam dirinya seperti ombak lautan.
Dengan kemurungan yang belum juga meninggalkan wajahnya, si pria hitam berjalan gontai keluar dari lobi apartemen. Kembali ke taksi, dia berdiri sebentar menikmati sejuknya udara malam, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
Semuanya telah diselesaikan dengan sempurna. Xiao Hua akan kembali seperti sedia kala. Seorang petugas yang berapi-api dengan semangat membara. Hei Yanjing mengibaskan tangan pada asap di depan wajahnya, menghisap kembali, mendongak ke satu jendela gelap di mana Xiao Hua terbaring di sana dalam tidurnya yang tenang.
Fenomena ganjil telah dihilangkan, bersama dengan semua kenangan mereka yang singkat. Hei Yanjing telah menyalurkan banyak energinya demi melawan pengaruh buruk yang ditanamkan Huo Dofu. Ini tidak jauh berbeda dengan menghapus ingatan empat orang polisi di jalanan beberapa waktu lalu. Namun dia yakin bisa mengatasi kerentannya kali ini. Awalnya Hei Yanjing berpikir bahwa melupakan satu peristiwa merupakan hal sederhana dan tidak perlu ditangisi. Bahkan untuk kenangan pahit, hilang adalah anugerah. Ternyata malam ini, menghapus ingatan bisa jadi lebih rumit dari yang ia pikirkan.
Tak terasa, satu batang rokok telah habis menyisakan puntung yang dia jatuhkan ke tanah dan dihancurkan dengan alas sepatunya. Dia melirik jendela Xiao Hua sekali lagi lalu dengan lelah masuk ke dalam taksi, duduk dan menyalakan sebatang rokok lagi. Mulut dan hidungnya mengembuskan asap abu-abu kebiruan yang compang-camping sambil mengingat lagi apa yang telah dia lakukan dengan ponsel Xiao Hua. Diam-diam ia telah menghapus nomor kontaknya dalam ponsel Xiao Hua. Tanpa ingatan tentang dirinya, cepat atau lambat dia akan menghapus nomor itu. Hei Yanjing juga memeriksa apakah Xiao Hua masih menyimpan kartu namanya. Benda itu terselip dalam dompetnya yang segera dia ambil dan dibuang ke tong sampah.
Mulai malam ini ia hanyalah mimpi buruk yang melintas dalam tidur singkat sang detektif.
Hei Yanjing menghidupkan mesin, perlahan mengayun kemudi meninggalkan pelataran parkir lalu turun ke jalan raya. Setelah lima menit, gumpalan asap menjadi tabir yang mengganggu pandangan. Aroma pekatnya membuat dada Hei Yanjing sesak. Dia menurunkan kaca, melemparkan sisa rokok yang telah dia matikan keluar jendela. Anehnya, meskipun asap rokok telah hilang, dadanya masih terasa sesak. Mungkin ini disebabkan oleh hal lain. Entah apa.
Rasa sakit atas kehilangan?
Kerinduan yang membara?
Sepertinya dalam waktu dekat, dia harus pergi dari kota ini untuk menghindari kejaran Badan Intelijen, dan juga menghindari Xiao Hua demi kestabilan jiwanya.
Kakinya menekan gas lebih dalam. Nyaris sekuat tenaga. Dia berencana kembali ke kawasan Xishan untukmu menenangkan diri dan bermeditasi di sana.
Tiba-tiba selarik cahaya mengerjap di angkasa. Kilatan petir tanpa suara. Alam seperti ingin mentertawakan dirinya yang kacau. Selang beberapa menit, ribuan butir air jatuh dari langit.
Air hujan mendesis di jendela saat Hei Yanjing terus melarikan mobil di jalanan. Tirai pekat hujan menghalangi pandangan, itu berlaku bagi semua orang walaupun wiper sudah bergerak. Jadi dia tak perlu merasa bersalah sewaktu mobil meliuk-liuk, setengah tergelincir, atau terhuyung-huyung karena rem mendadak. Dia mengemudi dengan gelisah dan tegang, mencengkram roda kemudi tanpa sadar dengan telapak tangan mengeluarkan keringat dingin.
Mobil terus meluncur cepat di aspal basah, seharusnya ia terjebak di lampu merah sewaktu ia tidak memperhatikan dengan cermat. Untuk kesekian kali selama karier mengemudi, dia kehilangan kendali. Bunyi klakson kendaraan lain menjerit bersahutan.
Hal terakhir yang dia dengar adalah teriakan panik, derak benda keras beradu yang berubah menjadi gemuruh. Kilatan cahaya menembak wajahnya silih berganti seakan petir menyambar di langit tanpa henti. Dia masih bisa melihat kilas keperakan bahkan saat matanya terpejam. Gelap dan terang. Pikirannya terdistorsi. Guncangan hebat, benturan keras di kepala, mengirimkan gelombang rasa sakit dan kepingan ingatan yang beterbangan, serupa mozaik dengan gambar wajah-wajah yang berbeda. Dia bahkan tidak tahu apakah hari masih sore atau sudah malam. Semuanya kabur. Hei Yanjing merasa dirinya terhempas, tercebur ke lautan gelap, bayangan-bayangan bergetar, timbul tenggelam, suara-suara datang dari kejauhan.
Pertemuan yang sederhana dan penuh ketegangan di dalam taksi.
Mengapa begitu tergesa-gesa, Kapten Xie?
Kau mengenalku?
Senyuman sinis, komentar sarkastis, bir yang berbuih, satu acara makan malam sederhana di tepi danau.
Kau yang mengajak makan, kenapa aku yang harus bayar?
Kapten Xie berlari ke pelukannya dengan raut wajah ketakutan.
Dia datang! Dia ada di sini!
Tolong aku! Usir dia, keluarkan dia dari dalam kepalaku!
Senyuman malaikat dari satu wajah yang tak terlupakan.
Panggil aku Xiao Hua. Kedengarannya lebih akrab.
Kita bisa jadi sepasang...
Apa?
Partner!
Air hujan terus menetes tanpa henti bahkan saat mobilnya berhenti secara mengenaskan setelah membentur kendaraan lain, berputar brutal, membentur tiang lampu di tepi jalan lantas terguling dengan keempat roda ban menghadap langit.
Asap mengepul dari bagian mesin, dan pandangan Hei Yanjing mengabur. Entah karena lensa gelap, atau genangan air hujan. Dalam momen menegangkan di mana ia nyaris mendekap kegelapan, Hei Yanjing hanya berharap kacamata hitamnya tidak pecah.
Aaaa ... Poor Hei Ye!
Btw, teman-teman pembaca setia Heihua, masih stay tuned?
Ga nyangka akhirnya cerita ini sedikit lagi menuju ending.
Gimana kesan-kesan kalian baca cerita ini? Sedikit cringe mungkin, atau seru, boring, cape, gemes. Heheee...
Akan ada satu chapter lagi sebagai ending dan satu extra. Kalau ada request, dan juga ada ide cemerlang, bisa ditambah satu extra lagi. Jadi, liat nanti dech... 👀
Oke, see you soon, gaezz. 😍❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro