CHAPTER 14
Xiao Hua memejamkan mata dan menghela napas. Sekali lagi mempertanyakan dirinya. Apa sebenarnya yang tengah dia lakukan?Menghabiskan waktu yang berharga di sini, hanya berdua dengan seorang bajingan, membicarakan hal-hal absurd.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan tentang pria hitam itu," katanya. Merasa tak perlu lagi bertanya mengapa Huo Dofu bisa mengetahui tentang Hei Yanjing.
"Benarkah?" Seringai lagi, kali ini sedikit goyah. Tampaknya membicarakan Hei Yanjing membuat bajingan ini kurang nyaman. Tapi dengan satu atau alasan lain yang tak diketahui Xiao Hua, dia terpaksa harus membicarakannya.
"Dia hanya temanku. Sebenarnya bahkan kami tidak terlalu dekat."
"Itu bagus untukmu." Tatapan Huo Dofu semakin menyelidik, mengirimkan sensasi merinding pada Xiao Hua untuk kesekian kali.
"Namun kau harus tetap waspada. Dia seorang pria yang sulit dibaca."
"Maksudmu?"
"Dia misterius."
"Kalian pernah bertemu sebelumnya?"
Huo Dofu menggeleng. Tampak sedikit kesal. "Sama sekali tidak. Aku hanya merasakan aura yang mengancam. Selebihnya gelap."
"Kita tidak bertemu untuk membicarakan temanku. Mengenai pelaku pembunuhan gaun putih, bisakah kau setidaknya melukis satu sketsa untukku?" Xiao Hua khawatir kehabisan waktu hingga ia memutuskan mendesak Huo Dofu.
Percikan aneh berkelebat di mata sang psikopat. Tiba-tiba setengah bangun dari posisinya dan mencondongkan wajah ke arah lawan bicaranya, membuat kepala Xiao Hua sedikit tersentak ke belakang. Itu adalah gerakan reflek karena pembatas kaca tebal seharusnya menjadi satu-satunya perlindungan.
"Tidak ada tawar menawar, Detektif. Kau bahkan tidak menepati kata-katamu sendiri. Dan kini kau bernegosiasi seakan-akan kau punya kuasa."
Xiao Hua menggesek-gesek lantai dengan alas sepatunya, dicengkeram rasa cemas. Diawasinya pria itu hingga ia perlahan kembali duduk tenang.
"Aku akan datang lagi besok," ujar Xiao Hua, menyeka setitik keringat di pelipisnya. "Jika kau sudah siap, kau bisa menyebutkan satu nama padaku."
"Ah, wajahmu pucat, Detektif. Kau pasti lumayan takut melihat reaksiku. Aku rasa aku sedang depresi," Huo Dofu seketika melunak, menatap Xiao Hua dengan pandangan lembut.
"Tentu saja aku akan membantu sesuai kesepakatan. Sayangnya, kemungkinan aku tidak bisa menyebutkan nama."
"Cukup petunjuk penting dan sketsa wajah dan aku akan membuktikan bahwa bajingan itu bersalah. Dia akan mendapatkan hukuman."
Huo Dofu tampak tak tertarik dengan kobaran semangat Xiao Hua yang tercermin dalam kata-katanya. Kepalanya menggeleng lemah.
"Itu mungkin akan memakan waktu lama. Ada banyak peluang baginya untuk lolos dari jeratanmu. Aku cenderung memilih cara lain."
"Apa itu?"
Huo Dofu memperagakan pistol menembak kepala.
"Keadilan di tempat. Bunuh dia!"
Suaranya tidak keras, tapi efeknya cukup berbahaya bagi Xiao Hua yang rentan. Keduanya saling memandang, menyelidiki kedalaman jiwa masing-masing lewat sorot mata. Kata-kata yang diucapkan Huo Dofu persis sama dengan apa yang dipikirkannya. Yang tidak bisa dilakukan Xiao Hua karena terikat aturan dan juga sisa-sisa rasa kemanusiaan.
"Aku tidak bisa melakukannya. Jika polisi melenyapkan nyawa, apa bedanya dengan bajingan itu?" Akhirnya dia menyuarakan pendapatnya.
"Kekejaman biasanya menang," tatapan Huo Dofu menjadi skeptis, lantas ia menampilkan seringai khasnya.
"Kau memiliki sisi kejam dan gelap dalam dirimu. Untungnya, kau mengarahkannya dengan baik untuk melenyapkan penjahat. Tapi jiwa pembunuh tetaplah pembunuh. Aku tebak, kau pernah mencoba melenyapkan nyawa juga, bukan? Jauh sebelum insiden penembakan preman jalanan."
Setiap kali seseorang mengungkit masalah itu, Xiao Hua merasa sakit kepala. Hanya saja dia masih sedikit bingung terkait ucapan Huo Dofu barusan. "Kupikir kau salah. Aku tidak pernah melakukan itu."
"Jangan mengelak, Detektif."
"Aku tidak---"
"Izinkan kupegang lagi tanganmu."
Mulut Xiao Hua terbuka otomatis. Kemudian mengendalikan diri dengan cepat. Sentuhan psikopat itu membuatnya merinding dan benci. Anehnya dia seakan tak berdaya untuk menolak. Dia hanya termangu, mengulurkan tangan kanannya yang pucat dan dingin, membiarkan pria menakutkan itu memegangnya beberapa lama.
Dia melihat ekspresi Huo Dofu kosong untuk sejenak. Mengernyitkan kening dengan ganas. Lalu ada percikan di matanya. Percikan lagi. Kemarahan, kekesalan, rasa terkejut. Kemudian dengan gerakan yang tiba-tiba dia melepaskan pegangan tangannya.
"Ini mengejutkanku, Detektif," dia mendesis. Sulit mengartikan emosi yang terkandung dalam suaranya. Tapi jelas ada keheranan dalam raut wajahnya. Seperti seseorang yang tengah berjuang memahami sesuatu tapi gagal. Gerak-geriknya tampak tidak nyaman.
"Apa yang kau temukan dalam diriku?" tanya Xiao Hua pelan dan tajam.
"Banyak kepahitan. Perjuangan keras untuk menjadi petugas handal. Ada banyak emosi, semangat, gairah, dan pencapaian. Ada banyak perkelahian dan bekas luka. Tapi ... " Huo Dofu menjeda, mengawasi Xiao Hua seakan dia mahluk luar angkasa yang tersesat.
"Ada bayangan hitam. Kekosongan. Lembar kenangan yang hilang. Aneh sekali. Katakan padaku, apa kau memiliki kekuatan supernatural yang kau sembunyikan?"
Menarik tangannya dengan cepat, Xiao Hua menatap tajam dan berbisik dengan bibir gemetar, "Omong kosong ....!"
*****
Karena tidak banyak hal yang harus dibicarakan lagi, Xiao Hua meninggalkan Penjara Pusat dengan membawa kembali file kasus dan barang bukti. Ketika dia berjalan melewati jalur semula, ia termenung begitu dalam hingga tidak sadar bahwa ia telah tiba di depan taksi si pria hitam. Saat itu hari sudah sore. Dia bisa melihat pantulan cahaya keemasan dari matahari di permukaan lensa kacamata hitam Hei Yanjing.
"Sudah selesai?" Hei Yanjing menyembulkan kepala lewat kaca kemudi. Menunggu selama hampir satu jam, dia pasti sempat ketiduran, demikian dugaan Xiao Hua sambil berjuang mengembalikan fokusnya.
"Kukira kau sudah pergi," katanya lesu.
"Tidak mungkin. Aku teman yang selalu setia, dengan senang hati selalu muncul dalam pandanganmu."
Xiao Hua tidak berminat untuk berdebat. Dia masuk ke dalam taksi, duduk menyandarkan punggung yang lemas ke sandaran kursi penumpang.
"Ini aneh. Kau terlihat kehilangan semangat. Apa yang dilakukan penjahat itu padamu?"
Memeluk tas di pangkuannya, Xiao Hua malah memejamkan mata, bukannya menjawab pertanyaan Hei Yanjing.
"Sudahlah, Hei Ye. Aku lelah," dia berkata setengah menit kemudian ketika mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Langit barat digenangi warna merah sewaktu mereka melenggang bebas di jalanan panjang bebas hambatan.
"Itu jelas terlihat. Wajahmu pucat seperti sudah mengalami hal-hal yang mengejutkan, atau merasakan kesakitan. Kau baik-baik saja, bukan?"
Kekhawatiran Hei Yanjing tidak mempengaruhi benak Xiao Hua yang masih menggemakan kata-kata peringatan dari Huo Dofu tentang pria hitam ini.
"Ya. Aku baik-baik saja. Tidak perlu terlalu khawatir padaku."
Hei Yanjing tersenyum miring. "Aku bebas melakukannya. Kau tidak bisa melarangku."
"Aku bukan siapa-siapamu."
"Aku temanmu."
Mengeratkan pegangan pada kemudi, Hei Yanjing bersikeras.
"Bersikaplah biasa saja. Perhatianmu membuatku tidak nyaman."
Kalimat terakhir melahirkan ekspresi mendung dalam wajah Hei Yanjing. Dia terlihat sedikit cemberut, tapi kemudian hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Terserah," katanya.
Xiao Hua membuka mata, meliriknya sekilas lalu kembali terpejam. Dia menangkap nada kecewa dalam suaranya, hanya ia terlalu malas untuk menanggapi Hei Yanjing untuk saat ini. Dia harus beristirahat, mempersiapkan diri esok hari untuk menemui Huo Dofu lagi.
Seharusnya perjalanan pulang tidak memakan waktu lama. Namun ada kemacetan di beberapa titik, jam-jam sibuk di mana para pekerja memenuhi jalanan untuk pulang ke rumah. Xiao Hua sempat terlelap. Dia merasakan keanehan dengan fisiknya. Biasanya dia tidak mudah lelah, sanggup melakukan olahraga selama dua jam di gym. Sangat fit untuk berlari keliling lapangan sepuluh putaran atau melakukan scot jump seratus kali. Dia juga memiliki kewaspadaan yang tajam hingga tidak mudah tertidur di sembarangan tempat. Saat ini semuanya tiba-tiba sirna, serasa seperti reputasi hampa.
"Xiao Hua ... " panggilan lembut Hei Yanjing samar-samar menyentuh telinganya. Alis Xiao Hua berkerut, dia belum membuka mata, serasa masih terjebak dalam kegelapan yang sulit disingkirkan.
"Kita sudah sampai."
Suara itu lagi. Disusul satu sentuhan di punggung tangan. Seketika Xiao Hua terjaga. Dia masih duduk di samping Hei Yanjing, dalam taksi yang sudah berhenti. Lewat kaca depan ia bisa mengenali bangunan di depan mereka dengan sangat baik. Hei Yanjing mengantarkan dia hingga ke depan apartemen. Kedua tangannya masih memeluk tas berisi barang bukti, sangat khawatir itu akan diambil seseorang. Detik berikutnya ia bereaksi atas sentuhan tangan Hei Yanjing. Tengkuknya menjadi sedikit dingin dan jantungnya berdebar kencang. Hampir seketika, ia menarik tangannya.
"Astaga, aku ketiduran," dia setengah menggerutu.
Di sampingnya, Hei Yanjing tersenyum.
"Sepertinya ketiduran di mobil orang lain merupakan kesalahan memalukan bagimu."
"Aku tak pernah melakukannya." Xiao Hua menggosok mata, lantas meniup udara dengan kesal.
"Itu hal yang wajar."
"Seharusnya tidak. Ini sedikit memalukan."
"Mungkin karena kau terlalu lelah, atau ... " Hei Yanjing menjeda dengan gaya sok misterius.
"Atau apa?" Lirikan sinis Xiao Hua setajam pisau yang mengenainya. Tapi Hei Yanjing hanya semakin tersenyum lebar.
"Terlalu nyaman berada di dekatku."
Sialan ...
Xiao Hua hanya menghela napas panjang. Kemudian dia membuka sabuk pengaman bersiap untuk turun.
"Terima kasih telah mengantarku pulang," dia berusaha terdengar tulus saat mengucapkannya.
"Tidak perlu sungkan. Tapi tunggu!" Hei Yanjing menahannya untuk langsung turun.
"Ada apa?"
"Ini sudah pukul tujuh. Bagaimana kalau kita makan malam?"
Sepanjang sisa sore, Xiao Hua disibukkan dengan pikiran kasus dan barang bukti. Dia melupakan soal makan. Selain sibuk, sebenarnya dia sempat kehilangan selera setelah pertemuan dengan Huo Dofu. Dia membayangkan duduk di rumah, minum teh hangat dan beristirahat.
"Aku tidak lapar," nadanya meminta maaf walaupun ekspresi wajahnya datar.
"Tapi kau belum makan dan minum apa pun sejak tadi siang. Bahkan kau tidak makan di restoran."
"Aku tahu. Tapi aku hanya ingin tidur sejenak di rumah. Maaf tidak bisa menemanimu makan."
Dia melangkah keluar dari taksi, tak bisa dicegah lagi.
"Aku tak akan memaafkanmu," ujar Hei Yanjing.
Xiao Hua tidak peduli. Memegang tasnya erat-erat, dia berjalan menjauh dari taksi setelah melambai sekilas.
"Xiao Hua, setidaknya beritahu aku di lantai berapa kau tinggal?" Hei Yanjing mengintip dari kaca kemudi.
Dengan malas, Xiao Hua menunjukkan satu jendela di lantai atas sana. Tanpa menjelaskan lebih detail dia bergegas meninggalkan taksi dan memasuki lobi.
"Ada yang aneh dengan sikapnya," gumam Hei Yanjing, mengelus dagu sambil menatap lekat sosoknya yang lenyap di pintu utama.
"Bajingan itu benar-benar memanipulasinya."
*****
Ruangan gelap menyambut Xiao Hua ketika dia membuka pintu unitnya. Meraba dinding, ia menekan saklar hingga ruangan terang benderang. Dia menutup pintu, memastikan Hei Yanjing sudah pergi dengan mengintip ke bawah lewat jendela. Helaan napasnya terdengar berat. Hal pertama yang dia lakukan bukan menyegarkan diri ke kamar mandi melainkan menelepon Jiang Han.
"Aku sudah selesai dengan barang bukti," dia berkata. Salah satu tangannya masih terpaku pada tepi jendela, mengawasi bagaimana taksi Hei Yanjing bergerak menjauh.
"Kupikir kau bisa mengambil ke tempatku sekarang," ia melanjutkan.
"Baik, Kapten. Kebetulan aku sedang berada di luar." Suara Jiang Han berbaur dengan suara latar belakang. Sepertinya dia memang tengah berada di jalanan.
"Minum-minum sampai mabuk, heh?" sindir Xiao Hua.
"Mana ada. Aku sangat bersih."
"Omong kosong. Cepat kemari, aku menunggumu untuk mengambil kembali gaun ini sebelum terlambat."
"Oke! Aku jalan sekarang. Ngomong-ngomong, kau sudah makan?"
Xiao Hua melirik meja. Tak ada apa pun di sana, dan ia ingat tak ada apa pun di dapur selain ramen instan. Dia telah menolak tawaran Hei Yanjing beberapa saat lalu, kemudian berpikir lagi bahwa ia mungkin akan kesulitan tidur jika lapar melanda di tengah malam.
"Belum."
"Mau kubawakan dimsum? Aku sedang berbaik hati sekarang."
"Oke. Tapi aku tidak bisa makan bersamamu. Kurasa aku butuh istirahat sendirian."
"Tak apa. Aku akan tiba sekitar dua puluh menit lagi."
Selesai bicara dengan Jiang Han, ia duduk meluruskan kaki di sofa. Minun beberapa teguk air mineral yang tersedia di meja. Kemudian Xiao Hua menghubungi seseorang lagi. Dia adalah montir yang mengurus mobilnya tadi siang. Xiao Hua memastikan bahwa besok pagi mobilnya harus sudah siap karena ia akan menggunakannya.
Dia meregangkan seluruh otot persendian, berniat untuk ke kamar mandi. Selama sepuluh menit menyegarkan diri di bawah pancuran, dia merasa lebih baik. Dia berdiri dengan separuh telanjang. Hanya mengenakan celana panjang kasual untuk sehari-hari, dia berdiri di depan cermin besar yang terpasang di dinding kamar. Rambut basahnya belum disisir, dan ia mengawasi pantulan bayangan dirinya di cermin. Tubuhnya selalu tampak menarik dan proporsional. Latihan dan olahraga mempertahankan bentuknya yang bagus. Kulitnya putih pucat dan licin, tapi ia melihat beberapa garis abu kehijauan di beberapa tempat. Dia sudah sering mengamatinya sejak setahun terakhir. Bekas luka sayatan di mana-mana, dan ada juga bekas cambukan di punggung. Itu pun sudah samar, sesamar ingatannya akan penyebab dari bekas luka-luka ini.
Tangannya bergerak, menelusuri satu bekas luka di perut bagian kanan, memanjang ke pinggang. Sampai detik ini dia masih belum bisa mengingat jelas, mengapa bekas luka-luka itu ada di tubuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro