Twenty Third Trouble
Another day in paradise
Matahari pagi menyelusup lewat jendela, jatuh di helaian selimut lembut keemasan yang menutupi dua tubuh telanjang di bawahnya.
Wu Xie terjaga lebih dulu. Dia kesulitan untuk bangun dan turun dari tempat tidur. Telinganya seolah bisa mendengar derak tulang rusuk dan pinggangnya yang serasa remuk.
Dia duduk di tepi ranjang, berkedip-kedip cepat, malang baginya ketika penglihatannya mulai jernih yang pertama ia lihat adalah dadu cinta di atas meja.
Dadu sialan! Aku bisa mati enak kalau terus begini..
Wu Xie bersungut-sungut, merayap perlahan menuju kamar mandi. Ini sudah hari ketiga mereka menginap di villa dan Zhang Qiling selalu saja mengajaknya bercinta secara menggebu-gebu. Bahkan jika hari tidak hujan. Dadu itu tidak berlaku lagi, dan Wu Xie ingin sekali melempar benda itu ke tengah sungai.
Selesai mandi, dia mengacak-acak pakaian Zhang Qiling kemudian memilih satu helai kemeja putih longgar dengan celana casual hitam. Kemudian ia turun ke dapur untuk meminta si penjaga membuatkan dua cangkir kopi. Tak lama kemudian, dua cangkir kopi pesanannya sudah siap dan ia membawanya ke kamar.
"Selamat pagi.."
Wu Xie menoleh pada Zhang Qiling yang ternyata sudah bangun, menyandarkan kepala pada lipatan kedua tangannya. Selimut menutupi hanya sampai ke dada sehingga separuh tubuh telanjangnya tersingkap.
"Bajuku lebih baik daripada bajumu," ia berkomentar ringan, mengulum senyum.
"Kurasa kau harus menyimpannya."
Wu Xie tersenyum sarkastis, "Terima kasih."
Pemuda itu membawa dua cangkir kopi dari atas meja bundar berwarna putih di sudut kamar. Duduk di tepi tempat tidur, Wu Xie menyerahkan satu cangkir pada Zhang Qiling yang menerimanya dengan senyuman.
"Sungguh berbakti," ia berguman senang. Belum pernah selama dua puluh enam tahun hidupnya dia merasa bahagia seperti seorang tuan muda yang sesungguhnya.
"Jangan mimpi kalau aku akan menjadi pasangan yang baik," tukas Wu Xie, menyesap kopinya.
"Istri yang baik," Zhang Qiling mengkoreksi dibalas delikan Wu Xie.
"Berjanjilah padaku kau tak akan mengajakku menikah," ia berkata dari balik cangkir kopinya dan meneruskan.
"Kita bisa seperti ini selamanya. Tak ada ketegangan, tak ada drama. Cukup hanya dengan menghadiri pernikahan orang lain."
Zhang Qiling meneguk kopi sedikit setelah memperbaiki posisi duduknya.
"Jika aku memaksa. Apa yang akan terjadi padaku?" ia mengerling, hanya bermaksud menggoda, tapi di pihak lain Wu Xie langsung melotot tajam. Dia berhenti meneguk kopi dan meringis.
"Xiao ge, itu pilihan terburuk."
Zhang Qiling memaksakan sebuah senyuman dan berusaha setuju. Dia tidak ingin merusak suasana pagi yang penuh keceriaan di bawah kehangatan musim panas yang indah.
"Kita mencintai kehidupan, bukan begitu?" Wu Xie meletakkan cangkir kopi di atas meja kemudian menuju jendela dan membukanya. Udara hangat dan semilir angin menghembus masuk, beberapa helai bunga dandelion berputar ringan di luar jendela.
"Tapi aku lebih mencintaimu, Wu Xie," ujar Zhang Qiling.
Pemuda yang berdiri di jendela tidak menyahut. Dengan mata berbinar menatap keindahan pemandangan, jauh melintasi halaman, adalah hamparan danau biru yang gemerlapan. Burung-burung robin terbang beriringan di atas pohon seperti sepasang kekasih.
Wu Xie mengulurkan tangan keluar jendela di mana beberapa helai daun gugur hinggap atau hanya menyentuh lembut tepi jemari. Dia tersenyum lebar, merasa bebas dan bahagia. Menjalani cinta tanpa komitmen, ibarat kisah cinta tanpa drama.
Dia tidak tahu, bahwa seperti helaian daun yang jatuh mendarat di telapak tangan, cinta dengan segala masalah, akhirnya akan tetap datang dengan caranya.
"Aku sempat berpikir akan mengenalkanmu pada paman Wu Sangxing," Wu Xie berkata, memutar bahunya kembali menjauhi jendela.
"Wow, aku tersanjung."
"Yah, setidaknya dia berhak tahu siapa yang tengah dekat denganku. Tapi aku masih ragu, jangan senang dulu."
"Apa ini tanda bahwa kau memikirkan hubungan yang lebih serius?"
"Aku sudah serius Xiao ge, bahkan sudah terpenjara di villa ini selama tiga hari. Apalagi yang kau harapkan?" ia merengut.
"Baiklah, aku tidak akan terburu-buru," Zhang Qiling mengulurkan cangkir kopinya pada Wu Xie untuk disimpan di meja sementara dia beringsut turun dari tempat tidur. Dia mandi dan menyegarkan diri selama lima belas menit kemudian mereka turun untuk sarapan yang telah disiapkan pria penjaga villa.
Pada tengah hari, mereka menghabiskan waktu dengan berenang di kolam renang pribadi di halaman samping villa dan memesan makan siang dari restoran. Jam demi jam berlalu menyenangkan membuat mereka ingin sekali terjebak dalam waktu yang tak bergerak.
Setelah waktu menjelang sore, Zhang Qiling mengajak Wu Xie kembali naik ke kamarnya dan itu menimbulkan firasat buruk di hati Wu Xie.
Dan benar saja. Begitu berada di dalam kamar, Zhang Qiling langsung memeluknya.
"Apa kau tidak lelah, Xiao ge?" gumam Wu Xie.
Zhang Qiling tersenyum dan menyenangkan dirinya sendiri dengan mencium lehernya. "Tidak. Harus ada yang mengimbangi cara bercintamu yang sangat lembut dan malas."
Wu Xie menelan liur. Terlalu banyak yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini. Terlalu banyak, terlalu cepat. Pelukan dan ciuman Zhang Qiling semakin intens dan panas. Dia mulai merasakan rangsangan lagi.
Otot-ototnya kembali tegang. "Kau membuatku sesak, Xiao ge."
Zhang Qiling menempatkan tangannya di pinggang Wu Xie, dia membalikkannya ke arahnya.
"Kau pernah menemukan sesuatu, seperti sebuah musik, yang terus berputar di benakmu-bahkan ketika kau tengah tertidur?"
Tangannya meluncur ke atas, ibu jarinya menyapu sisi wajah pucat Wu Xie. Darah mulai berenang di kepalanya.
"Musik?"
"Ya, eranganmu seperti musik bagiku."
Astaga, cabul--
"Itulah masalahmu, Xiao ge."
"Wajahmu terus saja bermain-main di kepalaku. Aku bisa gila."
Matanya sejajar dengan mata Wu Xie, dan begitu dekat dia melihat bahwa ada garis coklat samar dan menarik di sekitar pupilnya.
"Mungkin aku harus melakukan sesuatu."
Dia mencondongkan tubuh lebih dekat, dan ketika dia menegang, ia memuaskan diri dengan gigitan ringan dan cepat di bibir Wu Xie. "Kita selalu punya waktu luang untuk melakukan apa yang seharusnya di lakukan."
Dia mengangkat tangan untuk menyentuhkan jarinya di pipi Wu Xie. Dia punya cara khusus untuk memandangnya, penuh kelembutan dan emosi melankolis lainnya. Wu Xie menyadari, tatapan lurus dan tak tergoyahkan yang membuatnya merasa defensif, protektif, dan lemas sekaligus.
"Aku tidak tahu apa maksudmu."
"Kau gugup, Wu Xie. Kupikir kau sudah mulai terbiasa."
Aliran darah mulai memanas telah menyebar melalui dirinya dan mengeras menjadi kehendak yang tak tertahankan. Dia menarik wajah Wu Xie dan mereka kembali berciuman penuh semangat.
Keduanya bergulingan di ranjang dengan tubuh polos telanjang. Suara-suara menggema dalam kamar diiringi aroma bercinta yang memenuhi udara.
Sepanjang sisa sore itu mereka bercinta sepuasnya hingga Wu Xie nyaris pingsan. Kemudian pada malam hari mereka duduk di taman dan memanggang steak dibantu oleh si penjaga, lengkap dengan anggur, aneka buah-buahan dan cake.
"Aku akan mencari satu apartemen untuk kita tinggal bersama," Zhang Qiling berkata ketika mereka tengah menyantap steaknya.
"Bagiku tidak masalah jika kita tidak tinggal bersama," sahut Wu Xie masih dengan gayanya yang sederhana dan logis, "Aku tidak memiliki dana cadangan untuk itu."
"Mulai sekarang kau tidak perlu memikirkan soal uang," Zhang Qiling merengut, merasa Wu Xie meragukan kemampuan dan ketulusannya.
"Aku tahu itu," Wu Xie tertawa kecil, merasa senang dan lega.
"Mulai sekarang ucapkan selamat tinggal pada rumah Pang Zhi."
"Ah, aku akan merindukannya," Wu Xie tertawa lagi.
❤💛❤💛❤
Dua pekan kemudian
Wu Xie bisa mengatakan bahwa hari ini adalah hari yang agak penting. Hari ini akan menjadi kencan resmi pertamanya dan Zhang Qiling, hubungan tidak resmi -- atau apalah. Dia agak gugup tentang semuanya. Gagasan mengajaknya menemui paman Wu Sangxing awalnya terdengar brilian tapi ia agak gugup sekarang.
Zhang Qiling tidak tahu ke mana mereka akan pergi atau apa yang akan mereka lakukan dan Wu Xie menolak untuk memberi tahunya. Dia sedikit kecewa, tapi ia berharap yang terbaik.
Di luar, udara cukup hangat dan langit di atas kepala tertutup awan tipis seperti helaian kapas.
"Jadi, maukah kau memberitahuku kemana kita akan pergi sekarang?" tanya Zhang Qiling pada Wu Xie saat mereka memarkir mobil di halaman luas berumput dan diteduhi banyak pepohonan.
Wu Xie menatapnya dengan tatapan serius. "Tidak. Sudah kubilang aku tidak akan memberitahumu, ini kejutan. jadi berhentilah bertanya."
"Terserah," Zhang Qiling memutar mata.
"Hmmm."
Mereka berjalan melintasi halaman, berdiri di depan sebuah pintu kayu berukir bercat putih dan knob logam keemasan. Pot-pot hias dengan sulur-sulur anggrek menjuntai tergantung di pinggir pintu dan di pilar rumah.
Wu Xie memijit bel dan dengan cepat pintu terbuka, nampak seolah si empunya rumah memang sedang menunggu kedatangan mereka.
"Hallo paman," Wu Xie meringis sambil melambaikan tangan.
Seorang pria berusia di akhir empat puluhan dengan setelan resmi berwarna hitam berdiri di hadapan mereka.
"Jadi kamu pasti Zhang Qiling."
Wu Sangxing memberi pandangan menilai saat dia berdiri di ambang pintu. Tidak ada yang bisa menyalahkan Zhang Qiling karena tiba-tiba ia terbengong-bengong.
Bibir Wu Sangxing mengerucut dan tatapan menyelidiknya cerdas benar-benar luar biasa.
"Eh yaa.. " kata Zhang Qiling sambil mengangguk.
"Wu Sangxing," paman Wu Xie itu memperkenalkan dirinya, mencondongkan tubuh ke depan untuk menjabat tangan Zhang Qiling.
"Senang berjumpa denganmu."
Suara Zhang Qiling tenang dan sehalus biasanya, tapi ada rasa hangat di pipinya dan jari-jari tangannya mengepal.
"Kamu tampak terlalu muda untuk seorang CEO perusahaan," kata Wu Sangxing memeriksa lebih jauh.
"Aku terpaksa melakukannya," jawab Zhang Qiling. "Tapi aku cukup dewasa untuk bercinta."
Uhukk!
Wu Xie tidak menduga ucapan sevulgar itu akan terlontar dari tuan tampan yang terhormat. Dia melirik galak pada Zhang Qiling.
Mata Wu Sangxing melirik ke arah ponakannya dan dia mengangkat satu alisnya seolah mengatakan 'pemuda ini nampak sedikit berbahaya untukmu'
Dalam benak Wu Xie kenangan di villa selama tiga hari tiba-tiba kembali melintas. Dia mengerjap-ngerjapkan mata dengan ganas dan menahan nafas.
Tuhan, itu sangat mengerikan.
Zhang Qiling tidak percaya Wu Xie benar-benar bersikeras bahwa dia harus bertemu Wu Sangxing sebelum mereka akan menghabiskan hari-hari bersama di apartemen baru. Tak peduli fakta bahwa mereka menghabiskan cukup banyak waktu berduaan sejak dua pekan lalu, tidak ada yang benar-benar berubah kecuali sekarang mereka memiliki kesempatan bermesraan lebih banyak.
"Kalau begitu, mari kita makan siang." kata Wu Sangxing sambil menunjuk ke arah meja makan. "Aku harap kau tidak keberatan dengan makanan Italia."
"Tidak," kata Zhang Qiling cepat. "Tidak sama sekali."
"Tentu saja, kau terbiasa makan makanan Italia setiap hari," bisik Wu Xie pada Zhang Qiling saat mereka berjalan masuk ke dalam rumah dan menuju meja makan.
"Aku lebih suka mie pangsit," gumam Wu Xie lagi.
Zhang Qiling tidak menggubris komentar rewel Wu Xie. Dia lebih tertarik mengamati seluruh rumah yang sangat elegan dengan nuansa putih dan coklat tua. Jambangan kristal di atas grand piano berisikan bunga hydrangea biru muda dan beberapa mawar putih. Sofa putih dengan meja kaca dan kaki-kaki coklat tua, lukisan-lukisan replika karya pelukis terkenal, dan banyak perabotan antik.
Zhang Qiling duduk di samping Wu Xie sementara Wu Sangxing duduk di ujung meja. Ada sepiring ravioli, dan spageti yang tersebar di atas meja bersama dengan stik roti dan beberapa eclair berlapis cokelat.
Mata Wu Xie berbinar-binar dan ingin sekali membawa pulang makanan yang bertebaran di meja.
"Silakan," perilaku Wu Sangxing yang menyenangkan sejauh ini tidak mengecewakan.
"Kuharap kalian menyukai ini," ia kembali berbasa-basi kemudian melirik Zhang Qiling.
"Dan kuharap kau juga akan menjaga anak gadisku."
Pipi Wu Xie langsung memerah karena malu.
Sembarangan! Dia bukan perempuan.
Wu Sangxing sepertinya tidak berpikir ada yang salah dengan apa yang baru saja dia katakan. Dia tampak senang santai saat dia menyiapkan makan siangnya sendiri.
"Ini bukan tugas yang mudah," kata Zhang Qiling geli. "Aku tidak tahu apakah Wu Xie serius atau tidak. Tapi aku harap begitu."
"Bagus, bagus."
Wu Xie menghela nafas, menyendok makanannya, merasa malu dan canggung. Untuk pertama kalinya dia mengenalkan seseorang pada sang paman, ada kegelisahan yang aneh menyelinap dalam hatinya.
Wu Xie terus melirik Zhang Qiling dari sudut mata saat dia makan, berharap dia tidak terlalu serius memikirkan tentang masa depan hubungan mereka yang masih dini.
"Jadi, katakan padaku, Tn. Zhang" kata Wu Sangxing, menyeka mulutnya dengan serbet. "Apakah kau menikmati pekerjaanmu?"
"Tidak terlalu," jawab Zhang Qiling. "Tapi aku harus tetap sibuk dengan bisnis perusahaan dan bekerja hampir sepanjang waktu."
"Kau tidak memiliki waktu luang?" Wu Sangxing mengulangi dengan datar.
"Keluarganya memiliki perusahaan retail," potong Wu Xie.
"Masa depan cerah bukan?"
Astaga, bocah ini.. Sejak kapan jadi materialistis, batin Wu Sangxing.
"Benar, benar," kata Zhang Qiling menyeringai.
"Lalu bagaimana bisnisnya?"
"Baik," kata Zhang Qiling. Dia menjaga suaranya tetap datar dan sopan. Tetapi Wu Xie cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa dia tidak nyaman dengan masalah pekerjaan. "Usaha ini sudah ada sejak tahun 1980-an, jadi relatif terkenal."
Wu Sangxing tampak terkejut mendengarnya, "Oh, benarkah? Sangat mengesankan."
Wu Xie menggaruk dagu, meringis namun tetap diam.
Makan siang berjalan lancar dan setelah selesai Wu Sangxing memperlihatkan persetujuannya.
"Yah, kuharap kalian berdua bersenang-senang," katanya kepada mereka dengan senyum.
"Jaga diri kalian baik-baik."
Wu Sangxing memberi jabat tangan pada Zhang Qiling seakan pemuda itu baru saja memenangkan lotere. Mereka berbicara lagi selama lima belas menit kemudian Wu Xie menyeret Zhang Qiling keluar dari rumah pamannya.
"Ya Tuhan, aku sangat gugup," desis Wu Xie. "Aku tahu pamanku baik tapi kadang mengerikan, tapi aku tidak menyangka dia menyukaimu dengan cepat."
Keduanya berjalan melintasi halaman dan masuk ke dalam mobil.
"Jangan sampai paman menyuruku menikah denganmu."
Zhang Qiling menatapnya tertegun selama setengah menit sebelum dia tertawa terbahak-bahak.
Wu Xie hanya menatapnya.
"Sejujurnya," dia berkata. "Aku mengharapkan yang seperti itu. Pamanmu adalah tokoh penting di departemen pemerintahan. Tentu saja dia punya sikap. Tidak seenaknya sepertimu."
Wu Xie mendengus keras, mengusap wajah dengan tangan. "Tetap saja. Paman tidak perlu terlalu baik padamu, dia bisa saja memperlakukanmu sedikit lebih galak."
"Yah, itu karena aku pacar yang baik. Betulkan?"
Wu Xie memutar bola mata.
Mobil mulai melaju ke jalanan ramai, kali ini memandang kemegahan bangunan di sepanjang jalan kota, mau pun keindahan apartemen dengan taman-tamannya, membuat Wu Xie merasa bahagia dan optimis. Tanpa malu dia bertanya, "Kau sudah menemukan apartemen baru untuk kita?"
Zhang Qiling mengangguk.
"Apartemen dengan pemandangan terbaik di kawasan The Westin, kau bisa menikmati pemandangan sungai setiap saat dari ketinggian. Bagaimana?"
Wu Xie nyaris terlonjak karena gembira, tidak menyangka bahwa impiannya akan menjadi nyata dalam waktu dekat.
❤💛❤💛❤
Hari ini tanggal 9 Juli dan Zhang Qiling ingat ini adalah hari ulang tahunnya. Sebenarnya dia sama sekali tidak mengharap kejutan apapun dari Wu Xie karena dia paham cara pikir pemuda itu yang bebas dan tidak ingin terlibat dalam hal-hal remeh seperti merayakan ulang tahun pasangan. Tetapi ada pesta kecil di kantor yang dikoordinir beberapa orang staffnya. Zhang Qiling teringat pada Wu Xie sepanjang pesta dan merasa bersalah karena belum pernah menunjukkan kekasihnya itu di depan staff dan bawahannya. Mungkin suatu waktu dia harus mengajak Wu Xie ke kantor.
Tetapi Zhang Qiling keliru dalam masalah ini.
Pada hari istimewa itu, Wu Xie kebingungan harus berbuat apa. Dia tidak pernah mempedulikan hal-hal semacam ini sebelumnya. Jadi dia memutuskan untuk membelikan kekasihnya sebuah mantel kulit mahal dari salah satu merk favorit Zhang Qiling.
Malamnya sepulang kerja, saat keduanya duduk santai di apartemen mereka yang indah, dia menyerahkan hadiah yang telah dikemas dalam kotak dan dibungkus kertas warna biru.
"Selamat ulang tahun, Xiao ge.."
"Hadiah yang manis," Zhang Qiling terkejut menerima mantel kulit dengan leher bulu yang asli. Tentu saja hadiah ini indah, tapi ia lebih terkesan oleh kepribadian manis dan penuh perhatian dari pemuda yang telah mencuri hatinya.
"Kuharap kau tidak menghabiskan seluruh gajimu hanya untuk membeli hadiah ini."
Dengan malu-malu Wu Xie menjawab.
"Nyaris. Tapi tidak seluruhnya. Kau ingat jam tangan pemberian paman yang selalu kupakai dulu?"
"Ya."
"Sebenarnya, jam tangan itu cukup mahal. Aku menjualnya untuk membeli mantel itu."
Zhang Qiling tidak bisa mempercayainya. Air mata mengalir ke pipi ketika ia memeluk tubuh Wu Xie.
Hatinya tergugah. Pikirannya kembali menghitung karunia yang telah ia terima. Salah satu karunia terbesar adalah pemberian yang keluar dari hati. Mantel itu mungkin hanya satu dari koleksi pakaian mahal yang ia miliki, tetapi ia tidak akan pernah melupakan cinta tanpa kata yang diberikan melalui pemberian yang sangat berharga, tanpa pamrih, dari seseorang yang tidak terlupakan.
Lagi-lagi dia memikirkan alangkah baiknya jika ia bisa mengikat Wu Xie di sisinya dalam satu ikatan yang jauh lebih kuat dan untuk selamanya.
Gagasan itu membuatnya takut. Dia takut Wu Xie tidak akan bersedia.
Jadi ikut bingung 😣
To be continued
Please vote and comment
❤💛❤💛❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro