Twenty Seventh Trouble (End)
If you want the moon
Do not hide from the night
If you want a rose
Do not run from the thorns
If you want love
Do not hide from yourself
~~ Rumi ~~
❤💛❤💛❤
My Sweetheart
Wu Xie berdiri di jendela menatap angkasa malam hitam tanpa kerlip bintang. Bukan hanya sesuatu dalam dirinya, bahkan langit pun seakan sudah tidak sama. Dia tidak menyadari pergerakan mau pun suara sampai sentuhan tangan Wu Sangxing menyeretnya keluar dari kekosongan pikiran.
"Wu Xie," dengan lembut, Wu Sanxing membimbing bahu pemuda itu mengajaknya duduk berdampingan di sofa. Meskipun bingung, Wu Xie hanya mengikuti pergerakan sang paman. Saat itu, Wu Sangxing membawa sesuatu di tangannya. Selembar foto yang terlihat masih cemerlang walau pun mungkin kenangan dalam foto itu telah usang. Wu Sangxing memberikan foto itu pada Wu Xie yang menerimanya dengan sorot mata bingung. Dia menatap foto di tangannya. Itu menunjukkan satu bidikan manis dengan posisi mesra antara Wu Sangxing dengan kekasihnya, Chen Wenjin. Dalam foto itu senyum keduanya nampak cerah dan bahagia. Begitu manis hingga Wu Sangxing masih menyimpannya meski hubungan itu telah berakhir.
"Foto itu diambil pada saat paling bahagia dalam kehidupan kami," ujar Wu Sangxing, tenang.
"Kami sama-sama menekuni dunia arkeologi dan bekerja untuk pemerintah. Menikmati setiap penelitian dan perjalanan bisnis yang diperlukan."
Wu Xie menautkan alis, "Kenapa kau menunjukkan ini padaku?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu," sahut Wu Sangxing. Nadanya masih santai dan tenang, tapi Wu Xie memiliki firasat bahwa ini akan cukup serius. Dia menelan liur, kembali memandangi foto itu.
"Chen Wenjin dan aku jatuh cinta selama proses bekerja, dan itu terjadi dalam waktu singkat dan cepat. Kami, bisa dikatakan mabuk cinta," Wu Sangxing menjaga ekspresinya agar tetap datar namun matanya terlihat berbinar.
"Dan kami memutuskan dalam situasi mabuk cinta itu, bahwa kami harus menikah secepatnya. Ketika waktu yang ditentukan sudah di depan mata, tiba-tiba kami menyadari bahwa karier dan pekerjaan kami lebih penting daripada menghabiskan waktu bersama-sama."
Pada detik itu, Wu Sangxing bangkit dari sofa dan posisi mereka kini tertukar. Kali ini sang paman berdiri di jendela menatap gerimis.
"Sebenarnya, kami sama-sama memutuskan membatalkan pernikahan. Tetapi aku terlalu emosional waktu itu, aku masih berpikir bahwa dengan memaksakan diri berada di altar, akan membuat Chen Wenjin mengubah pikirannya. Tetapi dia lebih tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Jadi, peristiwa kegagalan pernikahan itu, bukan salahnya."
Wu Xie menahan nafas, tiba-tiba menjadi gelisah.
"Hari itu, sebenarnya bisa saja dihindari karena sehari sebelumnya Chen Wenjin sudah memberitahuku. Pada akhirnya, kami dengan senang hati berpisah. Kami sama-sama berjanji tidak akan bekerja dalam satu tim lagi dan juga tidak melanjutkan hubungan. Aku memintanya tidak mengungkit hal ini pada siapapun, aku juga tidak menceritakan semua detailnya padamu karena aku tak ingin kau tahu kebenarannya."
Gerimis makin deras di luar jendela, dan Wu Sangxing meneruskan cerita lamanya, mengalir seperti air hujan.
"Hari itu Chen Wenjin tidak datang ke pernikahan karena memang seharusnya dia tidak datang. Akulah yang memaksakan diri, dengan keras kepala menunggunya. Aku sangat mencintainya, karena itulah aku menipu diri sendiri. Aku membiarkan diriku terlihat menyedihkan."
Wu Sangxing menghela nafas panjang, tidak menyadari reaksi Wu Xie yang nyaris sesak nafas di belakangnya.
"Takdir memang aneh dan sulit ditebak. Aku tidak pernah menduga bahwa kau mengalami hal memalukan yang sama. Wu Xie, sebenarnya Ah Ning sempat menyampaikan keraguannya padaku tentang gagasan menikah denganmu. Dia beralasan bahwa kau sangat labil dan juga tidak memiliki masa depan cerah. Tapi aku meyakinkannya, aku tidak menduga bahwa gadis itu benar-benar tidak datang di hari pernikahan. Aku tidak mengatakan padamu karena aku tak ingin kau terluka dengan terus mengungkit peristiwa menyebalkan itu. Aku tahu kau sedih dan patah hati. Kukira, dengan aku tetap melajang dan hanya mencurahkan cinta dan perhatianku padamu, kau tak akan merasakan trauma, dan juga tak akan mengasihaniku.."
Wu Sangxing memutar tubuh lambat-lambat, kembali berjalan mendekati Wu Xie dan duduk di sampingnya.
"Tapi ternyata aku salah... " ia menyentuh punggung tangan Wu Xie yang mulai dingin.
"Dan Zhang Qiling membuatku menyadari hal ini. Dengar Wu Xie, cinta datang dan pergi begitu saja, dan aku tahu dia tulus mencintaimu. Kesempatan tidak selalu mengetuk pintu yang sama, jika kau tidak menerimanya sekarang, kau akan menjalani hidup dengan kebohonganmu sendiri."
Dengan tangan sedikit gemetar, Wu Xie menaruh foto itu di atas meja, tak berani menatap mata sang paman, dia memandang hujan melalui jendela, dan gerimis turun pula di wajahnya. Wu Sangxing mengulurkan jemari, menghapus air mata Wu Xie.
"Hidup ini tidak terlalu lama, tapi tidak terlalu singkat untuk menjalaninya tanpa cinta. Kau berbagi segalanya denganku tapi menyembunyikan apa yang seharusnya kau bagikan," ia berkata lagi, menghibur hati ponakannya yang tengah galau.
"Kau telah membuktikan padaku. Mungkin kau terlihat kuat dan ceria di luar tapi hatimu rapuh," Wu Sangxing tersenyum tipis.
Menghapus perlahan sepasang mata basahnya, Wu Xie memberanikan diri menatap sang paman.
"Maafkan aku paman. Kupikir, dengan menemanimu sendirian, aku bisa membuktikan bahwa aku menyayangimu.."
"Anak bodoh," Wu Sangxing tersenyum miring meraih bahu Wu Xie ke dalam pelukannya.
"Aku juga menyayangimu. Karena itulah aku ingin melihatmu bahagia."
Setelah berpelukan singkat, Wu Sangxing mengambil satu lipatan kertas lagi dari saku dan menyerahkannya pada Wu Xie.
"Ini dari Zhang Qiling. Dia tidak mengirimkan pesan lewat ponsel karena ia takut kau tidak mau membacanya. Jadi ia menitipkan ini padaku untuk memastikan pesan ini sampai padamu."
Wu Xie menerima kertas itu dengan gugup. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya bergetar dan rasa itu muncul kembali di atas pecahan-pecahan harapannya yang sempat memudar.
"Pikirkan baik-baik," Wu Sangxing menepuk lembut tangan Wu Xie, lantas ia bangkit dari sofa, meninggalkan Wu Xie sendirian untuk memberinya waktu membaca pesan itu.
Tulisannya sangat bagus, Wu Xie menatap kertas berisikan tulisan tangan Zhang Qiling. Dia membacanya dengan hati disesaki kegelisahan hingga membuat sekujur tubuhnya menegang.
Wu Xie, sebelum aku mengatakan sesuatu, aku tahu aku harus minta maaf terlebih dulu padamu. Tapi, hanya kata maaf saja akan terlalu mudah. Jadi aku akan pergi ke Beijing, menjauh dari orang yang paling kucintai di dunia ini. Ini adalah hukuman yang harus kujalani.
Sebelum aku pergi, aku akan mencoba Moccacinno di L'Amour dekat stasiun kereta. Seseorang memberitahuku bahwa Moccacinno di sana sangat enak.
Salam
Zhang Qiling
❤💛❤💛❤
Hujan telah berhenti sebelum dini hari namun pagi itu jalanan dan halaman berumput masih basah, menyisakan tetesan embun dingin. Wu Xie melesat dari pintu rumah sang paman, di waktu sepagi ini, dia sudah menyegarkan diri dan berpakaian rapi kemudian melompat keluar ke halaman.
Surat itu telah menggugah hatinya dan ia tahu kemana harus pergi. Nyaris berlari kecil, Wu Xie melintasi halaman, menyusuri trotoar dan menyetop taksi yang berlalu lalang di jalan raya.
Dia melompat masuk ke dalam satu taksi yang berhenti, menghempaskan diri ke kursi penumpang.
"Pattiserie L'Amour, stasiun kereta api," ia berteriak pada si supir yang tersentak oleh suaranya.
Tanpa banyak kata, supir taksi mengemudi dengan kecepatan sedang. Jalanan belum macet meskipun sudah ramai oleh denyut kehidupan. Pagi masih segar dan waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh.
Tidak akan terlambat! Tidak akan terlambat! Aku pasti masih bisa berjumpa dengan Xiao ge..
Wu Xie meyakinkan dan berjanji pada diri sendiri. Tidak ada yang menghalanginya saat ini. Tidak ada lagi keraguan. Zhang Qiling hanya miliknya. Kemarin, hari ini mau pun nanti. Dan itu tidak akan berubah lagi hanya karena satu kekhawatiran dan sikapnya yang seperti pecundang.
Tetapi, karena ia tidak bisa membohongi diri sendiri secara meyakinkan, Wu Xie harus terus memeriksa jam tangannya. Taksi ini seharusnya bisa lebih cepat lagi. Dia menggertakkan gigi.
Apa supir ini belum minum kopi?
"Pak, lebih cepat!" ia berkata.
Supir taksi hanya melirik malas.
Ketika Wu Xie duduk menunggu salah satu dari tiga lampu lalu lintas di kota berubah menjadi hijau, dia mengintip ke kanan - tanpa sengaja, menatap satu taman dengan kolam air mancur di tengahnya tempat ia dan Zhang Qiling pernah berjalan-jalan dan mengobrol berdua.
Memori Wu Xie tersentak. Menggulung surut ke belakang, bertanya-tanya apakah dia dan Zhang Qiling akan bisa merangkai momen manis itu lagi. Apakah pernyataan cintanya kali ini masih berlaku.
Dalam rentang tiga puluh menit yang seolah terasa bertahun-tahun, akhirnya taksi tiba di depan pattiserie L'Amour yang mulai ramai oleh pengunjung yang ingin minum kopi dan sarapan menu French toast yang menjadi andalan mereka.
Setelah membayar ongkos taksi yang ia rasa kelewat mahal, Wu Xie melompat turun dan berlari memasuki pattiserie besar yang nyaris seluruh pintu dan dindingnya terdiri dari kaca.
Aroma vanilla, keju dan coklat dominan menyergap hidungnya, membuat perutnya yang belum sarapan semakin meronta. Namun bukan itu tujuan utamanya datang kemari. Dia memutar pandang ke sekeliling, nafasnya masih memburu dan matanya nyaris berkaca-kaca karena khawatir tidak menemukan seseorang yang ia cari.
Wu Xie tidak melihatnya di mana pun. Memejamkan mata frustasi, ia berhenti dekat satu meja yang masih kosong, beberapa detik berlalu, saat ia membuka mata lagi, dia menemukan sosok itu, duduk menyendiri di meja sudut di tepi jendela, dari kejauhan, balas menatap padanya.
Xiao ge!
Tidak masuk akal saat dia menatap seperti itu. Wu Xie merasa kelegaan memenuhi dada, rasanya seperti pemenang hadiah utama yang sangat beruntung.
Tatapan mereka terkunci sejenak, mata gelap Zhang Qiling begitu dalam sehingga Wu Xie membayangkan bisa melihat ke dalam jiwanya.
"Xiao ge!"
Dia berjalan tergesa-gesa menuju ke meja Zhang Qiling. Sang tuan tampan hanya menatapnya, dia terlihat sangat rapi dan sepertinya memang siap untuk pergi. Secangkir Moccacinno sudah tersaji di meja.
Wu Xie langsung menarik kursi di seberang meja dan duduk berhadapan.
"Kau tahu! Menemuimu itu mahal!" ia berkata keras, penuh tuntutan, tapi matanya siap untuk meneteskan bulir-bulir air mata.
"Aku harus membayar ongkos taksi hingga kemari, kau belum membelikan aku sebuah mobil yang kau janjikan."
Zhang Qiling, "....??#@!?#??!"
"Apa yang kau lihat?" Wu Xie masih meneruskan sikapnya yang kacau.
"Kau pernah bilang akan selalu membantuku jika aku ada masalah dan akan menyelesaikannya. Sekarang aku sedang dalam masalah dan kau melarikan diri seperti penjajah yang kalah."
"Wu Xie..." gumam Zhang Qiling, ia melirik ke kanan kiri, memastikan tak ada yang terganggu dengan suara dan sikap merajuk Wu Xie.
"Xiao ge, kita sudah bertemu dan kau terlanjur mengubah hidupku. Pertama-tama kau mendekatiku, lalu kau jatuh cinta dan membuatku kebingungan. Dan sekarang, kau pergi seperti seorang pahlawan, kau membuatku mengejarmu dan terlihat seperti --- seperti pemuda nakal," ia mengatupkan bibirnya, menggosok mata untuk membatalkan air mata memalukan yang nyaris tumpah.
Zhang Qiling terjebak kebingungan untuk beberapa saat. Tidak tahu apakah harus tersenyum lebar atau terharu lebih dulu. Dia memandangi Wu Xie yang tertunduk malu di depannya setelah melontarkan serentetan omong kosong.
"Wu Xie, aku tidak ingin menyusahkanmu lagi.." ia berkata lembut.
Wu Xie menggeleng, perlahan mengangkat wajahnya.
"Ini bukan kau. Akulah yang menyusahkan diriku sendiri," ia mengakui dengan agak malu.
"Namun berkat kau, aku harus menghadapi kenyataan. Aku selalu bersembunyi darimu dan dari diriku sendiri.."
Mendengar kejujuran dalam suara Wu Xie, Zhang Qiling tersenyum tipis, hatinya dialiri arus hangat yang menenangkan. Tapi di satu sisi, Wu Xie tiba-tiba mulai meneteskan air mata lagi.
Zhang Qiling terbengong-bengong.
"Kenapa kau menangis?" ia meraih cangkir kopi, menyerahkan pada Wu Xie untuk meminumnya perlahan. Wu Xie meneguk Moccacinno di dalamnya, kasar, tergesa dan seolah tanpa rasa.
Dia menaruh cangkir dengan keras dan berkata, "Karena kau akan pergi!"
Zhang Qiling terpana.
"Oohh.." ia menggumam.
"Hidupku takkan pernah sama tanpa dirimu. Ketika kau bersamaku, aku merasa hidup.." Wu Xie menarik beberapa lembar tissue dari kotaknya dan menghapus air mata lalu membersitkan hidung dengan keras, membuat beberapa pengunjung menoleh padanya dengan raut gusar.
Zhang Qiling mengurut pangkal alisnya sejenak, kemudian Wu Xie berkata lagi dengan lebih serius yang membuat Zhang Qiling terkesima.
"Aku mencintaimu, Xiao ge. Tolong jangan pergi... Aku akan sendirian, dan hidup ini terlalu kejam untuk dilewati seorang diri."
Untuk beberapa lama Zhang Qiling tidak bisa berkata-kata, hanya senyuman merekah di wajahnya, menunjukkan apa yang terlintas di hati dan pikirannya.
"Jika aku meninggalkanmu sendirian, maka aku juga akan sendirian," ia akhirnya berhasil memikirkan sesuatu untuk dikatakan.
"Kau mengerti sekarang?" masih tersenyum, Zhang Qiling mengambil sesuatu dari saku jasnya. Sebuah kotak cincin yang indah. Dia membukanya dan menyingkap isi dari kotak itu yang menakjubkan.
"Cincin ini dari designer Cartier, terbuat dari emas putih 18 karat. Salah satu dari Love Collection. Ada 88 berlian pave set yang melingkarinya. Berat cincin ini 3.0 dwt, dengan lebar 4.75 milimeter. Dijual di cabang resmi Massapequa Park, New York," Zhang Qiling mengumumkan dengan khidmat.
Wu Xie mengerjap-ngerjap tak percaya, dia tidak pernah terbiasa dengan gaya mewah sang tuan tampan meski pun sekian lama bersama.
"Kukira itu cukup mengganti biaya taksiku barusan," ia menggumam, masih berusaha menahan kesedihan dan rasa haru.
Zhang Qiling kembali bengong sesaat kemudian tertawa. Dia bangkit berdiri, meraih lengan Wu Xie untuk memintanya ikut berdiri, dia mengulurkan kotak cincin tak ternilai harganya ke depan wajah Wu Xie.
"Jadi, maukah kau menikah denganku?" kali ini, walau sudah tahu jawabannya, Zhang Qiling masih bertanya.
Wu Xie tersenyum lebar dan mengangguk.
Zhang Qiling memasang cincin itu di jari Wu Xie, lalu keduanya berpelukan erat. Awalnya hanya berpelukan, namun tanpa sadar, entah siapa yang memulai, keduanya mulai berciuman, lembut dan mesra.
Wu Xie mencoba untuk memahami, melalui selaput air mata yang membutakan, fakta nyata bahwa orang yang luar biasa ini adalah benar-benar miliknya sekarang. Mata hitam Zhang Qiling terlihat seperti akan meneteskan air mata juga. Dia menundukkan kepalanya ke arahnya,
terus mencium dengan lembut, penuh cinta. Mereka lupa kerumunan, tempat, waktu, alasan ... hanya mengingat bahwa mereka saling mencintai dan menginginkan.
Ciuman itu harus berakhir ketika ada suara berdehem di antara pengunjung. Akhirnya, keduanya menarik diri dan sama-sama tersenyum geli, Wu Xie melirik ke samping dan menyaksikan seorang pria tua menumpahkan kopi tanpa sengaja gara-gara menonton pertunjukan ciuman mereka.
"Sempurna," bisik Zhang Qiling, mengulum senyum.
"Sekarang apa?" Wu Xie balas berbisik, keduanya masih berdiri berhadapan dengan lengan Zhang Qiling mengusap punggungnya.
"Kau pura-pura tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Zhang Qiling.
"Oh, jadi kau benar-benar akan pergi ke Beijing?" Wu Xie balas bertanya, murung.
"Siapa yang mengatakan aku akan pergi sekarang?" Zhang Qiling menghela nafas.
"Kau, dalam suratmu."
"Aku memang akan pergi, tapi itu beberapa hari lagi dan hanya untuk menghadiri rapat penting."
"Apa? Kau membohongiku?" Wu Xie melepaskan diri dari tubuh tinggi itu dan menatap bingung.
"Kau juga membohongiku dulu," sahut Zhang Qiling, menyeringai.
"Astaga..."
Mengumandangkan tawa lembut, Zhang Qiling kembali melingkarkan lengan ke bahu Wu Xie.
"Ayo, kita pergi dari sini. Kita akan mencari tempat yang aman untuk bermesraan."
Wu Xie menutup wajah, dengan patuh mengimbangi langkah Zhang Qiling seperti seorang istri yang baik.
Beberapa pasang mata mengawasi sepasang kekasih itu hingga berlalu keluar. Matahari sudah mulai hangat, dan jalanan telah mengering. Beberapa pasang merpati mengepakkan sayap, menyingkir dari pucuk-pucuk pohon dan puncak tiang di tepian jalan.
Zhang Qiling dan Wu Xie melintasi pelataran L'Amour menuju satu mobil sedan Mercedes Maybatch hitam.
"Xiao ge, kapan kau akan membelikan aku mobil baru?" tanya Wu Xie di sela deru kendaraan di jalan raya.
"Kapan pun. Ngomong-ngomong, mobil apa yang kau inginkan?"
"Aku tidak paham. Tapi yang sekarang kau pakai pun boleh," Wu Xie terkekeh, wajahnya menghangat oleh rasa malu dan senang.
Zhang Qiling tertawa kecil.
"Semuanya milikmu."
"Benarkah?"
"Hmm!"
"Ah, lupakan tentang mobil. Kau bahkan tidak membelikan aku sarapan," suara Wu Xie mengomel lagi.
"Jangan khawatir, aku akan membelikanmu restoran."
Percakapan mereka semakin samar ketika keduanya masuk ke dalam mobil. Mercedes hitam itu keluar ke jalanan dengan iringan kepak sayap merpati, melaju semakin jauh dan jauh, menuju dunia mereka. Dunia kebahagiaan.
Satu malam berjalan-jalan di kota, telah mengubah hidup mereka selamanya.
Zhang Qiling dan Wu Xie tersenyum, menatap jalan terang yang terbentang, bersiap menyambut seperti apa hidup mereka di masa depan.
Wu Xie, akhirnya kau mengerti bahwa kisah cinta kita adalah yang paling manis...
❤💛❤💛❤💛❤
Baby, finally you'll know
Our love so sweet...
Bonus Song (Pingxie klip)
Title : A Date So Sweet
Singer : 183 Club
Hai Pingxie Readers,
Terima kasih udah mampir, baca dan vote di story ini. Semoga kalian semua suka. See you in next Pingxie story.
Love ❤💛
Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro