Twenty Second Trouble
Rain Love Scene
Ketika Wu Xie cukup dewasa untuk memahami bahwa sex adalah sesuatu yang tak terelakkan dalam satu hubungan serius, ia selalu berharap bahwa akan turun hujan pada hari ia melakukannya.
Dia pikir jika hujan turun pada hari ia melakukan tindakan itu, maka semua jejak yang tidak begitu menyenangkan yang tertinggal akan hanyut bersama dengan ingatan tentang aksi romantis di tempat tidur.
Dia bisa memandang tetesan air hujan dingin dengan lembut mengenai jendela saat tubuhnya yang kurus dan babak belur terbaring di tempat tidur.
Tapi saat ini musim panas dan hujan jarang sekali turun meski bukan tidak mungkin. Lagipula hari masih pagi dan mereka belum makan dengan benar. Terakhir, di mana mereka akan melakukannya. Tidak mungkin di rumah Pang Zhi karena ia khawatir si gendut akan mengintip, juga tidak mungkin di rumah Zhang Qiling karena ia takut orang tuanya akan berada di rumah. Wu Xie sangat tidak siap dengan segala macam tetek bengek perkenalan keluarga. Dan siapa yang tahu kalau Liu Sang tiba-tiba datang ke rumah Zhang Qiling dan menyatroni kamarnya.
Menggaruk tengkuknya canggung, Wu Xie tersenyum dan bertanya, "Kau sudah memikirkan tentang hal ini bukan? Apa kita akan menyewa hotel?"
Memasukkan dadu cinta yang kini terasa ajaib ke dalam sakunya, Zhang Qiling melirik Wu Xie yang nampak salah tingkah, "Hotel mana yang kau inginkan?"
Sepanjang hidupnya yang bebas dan ceria, Wu Xie jarang sekali menginap di hotel, apalagi yang super mewah dan harganya fantastis. Dia selalu berpikir bahwa kamarnya di lantai dua rumah Pang Zhi dengan balkon hangat menghadap pucuk bunga wisteria jauh lebih menyenangkan daripada hotel atau apartemen mewah. Tetapi kini ia harus memutuskan di mana mereka akan menghabiskan waktu bersama seharian atau mungkin beberapa hari di hotel berbintang.
Wu Xie melirik si tuan tampan dengan penampilannya yang selalu elegan dan berkelas. Bertanya-tanya apakah dirinya mulai sekarang harus belajar jadi orang kaya atau sebaliknya, Zhang Qiling yang belajar hidup sederhana.
Dia memilih yang pertama.
"Bagaimana dengan hotel Mercure?"
Hotel itu merupakan salah satu hotel termahal yang Wu Xie bisa pikirkan.
Bagi seseorang yang tengah menginginkan cinta Wu Xie, tidak ada harga yang terlalu mahal bagi Zhang Qiling. Dengan cepat ia mengangguk.
"Beres."
"Tapi--" Wu Xie mengatupkan bibir sekilas, lalu tersenyum tipis.
"Aku menunggu turun hujan."
?????
"Hujan???" Zhang Qiling melongo.
Wu Xie mengangguk dengan wajah naif sekaligus menjengkelkan.
"Aku ingin melakukannya sambil memandang hujan."
Astaga, kelamaan...
"Kau berbelit-belit!" dia memijit-mijit pangkal alisnya, tidak paham dengan kerumitan pikiran Wu Xie. Jadi, apa mulai sekarang dia harus memantau prakiraan cuaca hanya demi pengalaman bercinta yang pertama?
Lewat sudut matanya, Zhang Qiling melihat jauh di seberang sungai, langit tidak terlalu cerah. Mungkin di sisi bagian lain kota ini sedang mendung atau bahkan gerimis.
Jauh di langit tenggara.
Itu kawasan perbukitan di mana terdapat banyak rumah liburan musim panas atau pun villa villa mewah yang disewakan. Dia mengetahui dengan baik karena salah seorang temannya memiliki villa di sana. Mereka menyebut daerah itu sebagai White Rose Hill.
Benar!
Ide brilian!
"Aku akan mengajakmu ke daerah perbukitan." dia menatap Wu Xie penuh keyakinan. "Aku akan menyewa villa terbaik di sana. Pemandangannya sangat menakjubkan."
"Villa?"
Zhang Qiling mengangguk. Dengan tidak sabar ia menarik tangan Wu Xie.
"Butuh satu jam lebih untuk tiba di sana tanpa kemacetan dan bisa lebih lama pada siang hari. Ayo! Kita pergi sekarang.."
"Astaga, Xiao ge. Kau sungguh tidak sabaran.."
"Aku bisa jamin, kau akan melihat hujan di sana.." Zhang Qiling berjalan sambil tersenyum-senyum dengan tangan Wu Xie dalam genggamannya. Pemuda itu menurut patuh seperti anak baik, diam-diam menghargai usaha Zhang Qiling untuk memenuhi keinginan absurdnya tentang bercinta pada saat hujan.
❤💛❤💛❤
Perjalanan menuju White Rose adalah salah satu pengalaman indah bagi Wu Xie. Sepanjang jalan yang terbentang di samping kanal, ia disuguhi aliran air yang gemerlapan. Kanal itu menghubungkan danau Liangzi dengan danau lainnya, dan sejauh yang bisa ia bayangkan, pemandangan menakjubkan yang disebut-sebut oleh Zhang Qiling pasti adalah hamparan permukaan danau biru di kejauhan. Wu Xie sempat memiliki gagasan ingin memiliki satu villa di kawasan ini, tapi ia ragu apakah penghasilannya bisa memenuhi. Dia takut harus menabung mati-matian selama dua puluh tahun. Kemudian ia melirik tuan tampan yang tengah mengemudi dengan tatapan lurus dan bibir menyeringai misterius.
Tiba-tiba Wu Xie melihat bayangan villa impian di mata Xiao ge-nya. Diam-diam pemuda itu tertawa kecil.
"Ada apa?" Zhang Qiling melirik.
"Tidak ada. Aku hanya sedang berpikir apakah pemuda sederhana sepertiku cocok berada di tempat ini."
"Hmm kenapa tidak?"
"Yah, tentu semua orang bisa jika menyewa."
Seringai Zhang Qiling makin lebar, "Aku bisa membeli villa di sini dengan mudah. Jika kau inginkan."
"Ah, tidak -- tidak perlu terburu-buru."
Dada Wu Xie bagai digelitiki serangga. Dia tertawa kering, menduga-duga, mungkin di kehidupan sebelumnya ia pernah melakukan satu amal terpuji yang luar biasa, hingga sekarang ia merasa begitu beruntung bisa dicintai seseorang yang sehebat Zhang Qiling.
Mereka melewatkan satu jam makan siang di sebuah restoran hotpot di tepi kanal, kemudian melanjutkan perjalanan sebentar lagi. Zhang Qiling menelepon salah satu kawannya untuk menyewa villa miliknya di White Rose Hill. Biasanya orang-orang kaya itu menugaskan satu pelayan untuk menjaga villa, memegang kunci dan membersihkannya. Jadi bukan hal yang merepotkan untuk datang dan menginap di sana kapan saja.
Mobil itu memasuki jalanan naik berkelok-kelok diteduhi barisan pohon berdaun zamrud. Kemudian di depan sebuah pagar tinggi putih dirambati tanaman, Zhang Qiling menginjak rem secara tiba-tiba.
Burung-burung robin yang bertengger di dahan pepohonan sepanjang tepi jalan beterbangan serentak memperdengarkan bunyi gemerisik keras.
Suara gesekan ban mobil dengan permukaan aspal mengacaukan kedamaian burung-burung itu.
"Kenapa kau berhenti mendadak?!" sembur Wu Xie, matanya mendelik kesal.
Zhang Qiling terkekeh perlahan, menggerakkan dagu ke arah pagar.
"Kita sudah sampai.."
"Owh..." Wu Xie meringis.
Beberapa detik mereka saling berpandangan dengan ekspresi rumit. Lantas sama-sama tersenyum lebar. Wu Xie menggaruk-garuk tengkuknya sementara Zhang Qiling membuka pintu, melangkah turun untuk memeriksa villa itu, dan menemui penjaganya. Angin sejuk pada lewat tengah hari merupakan satu pertanda bagus lainnya. Zhang Qiling mendongak ketika angin menyapu wajahnya, di atas sana angkasa disaput awan kelabu tipis.
Sepertinya akan turun hujan, pemuda tampan elegan itu tersenyum.
Di dalam mobil, Wu Xie menyandarkan bahu ke jendela dan melihat langit yang sama.
Sepertinya akan turun hujan, dadanya berdegup kencang dan tidak beraturan bagaikan bunyi-bunyian perkusi.
Hujan yang indah, dia menelan liur, meremas jemarinya yang sedikit gemetar.
Setelah seorang penjaga membukakan pintu gerbang, Zhang Qiling memarkir mobilnya di halaman luas sebuah villa yang anggun, tidak terlalu megah tapi sangat indah dan artistik.
Dia keluar dari mobil dan membukakan pintu agar Wu Xie bisa melangkah keluar.
"White Roses Hill?" gumam Wu Xie kagum. Dia menghirup udara segar, menyapukan pandangan ke hamparan taman hijau berbunga-bunga.
"Yah, kau pernah kemari sebelumnya?" goda Zhang Qiling.
Untuk sesaat, Wu Xie melirik galak.
"Tentu saja tidak. Kau mengejekku," dengusnya sambil merengut.
"Kenapa hari ini kau terlihat gugup?" usik Zhang Qiling. Dia meraih tangan Wu Xie, mengajaknya masuk ke dalam villa. Keduanya meniti teras berkilau di lengkapi dengan susuran kayu yang digosok hingga licin.
"Kau gugup karena dadu itu?" tanya Zhang Qiling lagi.
"Lewat sini tuan," si penjaga yang merupakan seorang pria setengah baya menunjukkan satu pintu tinggi kecoklatan dan membuka kuncinya. Penjaga itu masuk lebih dulu diikuti kedua tamu. Mereka berjalan melintasi ruangan tamu dan menuju satu ruangan tengah lainnya yang sama luas dan indah.
"Aku senang kau mengajakku kemari. Aku hanya memikirkan apakah aku akan jadi top atau tidak," jawab Wu Xie, sedikit resah.
Astaga!
Wajah Zhang Qiling langsung memerah diperburuk dengan suara batuk si penjaga yang tidak biasa dengan kenaifan selevel Wu Xie.
"Jangan bicara yang bukan-bukan," Zhang Qiling menyikut pinggangnya.
"Kedengarannya mudah, tapi aku pasti akan repot."
"Tidak usah dipikirkan."
Zhang Qiling mengibaskan tangan.
"Berapa kamar yang tuan butuhkan?" si penjaga bertanya.
"Satu," Zhang Qiling bersuara.
"Baiklah."
"Kamar terbaik, dengan balkon dan pemandangan indah."
"Tentu, Tuan."
Penjaga itu mengantarkan mereka pada sebuah kamar di lantai dua yang luas dengan design klasik didominasi warna putih, hitam dan coklat, dengan wallpaper abstrak, kandelar kristal yang spektakuler, tempat tidur king size dengan sprei putih keemasan, serta jendela-jendela besar dilengkapi tirai yang juga berwarna coklat keemasan.
"Rasanya seperti masuk kamar di hotel-hotel Eropa," Wu Xie menggumam takjub.
"Di mana kau pernah melihatnya?" Zhang Qiling menuju satu jendela, membukanya sedikit.
"Dalam film."
Zhang Qiling tertawa samar.
"Xiao ge, aku tidak membawa baju ganti," protes Wu Xie. Dia melemparkan dirinya ke tempat tidur empuk selembut kapas dalam kamar seluas seratus lima puluh meter persegi di lantai dua villa.
"Aku membawa satu koper penuh baju ganti di bagasi. Akan kusuruh pelayan membawanya kemari," sahut Zhang Qiling.
"Kau sudah mempersiapkannya?" Wu Xie menatap curiga.
"Tidak. Itu hanya kebiasaanku, aku bisa pergi keluar kota kapan saja," Zhang Qiling tersenyum misterius.
Wu Xie memutar bola matanya.
"Jadi kau sering pergi keluar kota dan menginap bersama Liu Sang di mana saja?"
"Jangan sebut nama supir sialan itu!" Zhang Qiling merasa perutnya membengkak oleh rasa mual.
Dia paham Wu Xie pasti mengira dirinya dan Liu Sang sering melewati momen kebersamaan. Bagi Liu Sang itu mungkin anugerah, tapi bagi dirinya, semuanya jadi musibah.
Wu Xie berguling turun dari ranjang dan menuju jendela.
"Pemandangannya sangat menakjubkan," dia nyaris berseru.
Dibukanya jendela lebar-lebar sehingga angin dingin menyerbu masuk. Dia menggigil tanpa sadar.
"Cuaca agak dingin," dia menggertakan gigi. Lalu, dirasanya sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang.
"Aku akan pastikan kau tak akan kedinginan," bisik Zhang Qiling.
Wu Xie tertawa gugup.
"Yahh.. Bagaimana jika aku minta selimut tambahan."
"Kau akan mendapatkannya," pelukan itu semakin kencang.
Pandangan keduanya tertuju keluar jendela. Ke permukaan danau di kejauhan yang mulai berwarna indigo dengan bias-bias keperakan dari cahaya matahari yang memantul di atasnya.
Lama keduanya berpelukan dalam keheningan, hingga suara ketukan konstan terdengar dari atap.
Ribuan tetes air turun bersamaan membentuk tenunan transparan.
"Hujan," Zhang Qiling berbisik di telinga Wu Xie.
"Ya.." Wu Xie menatap hujan yang indah.
"Hujan..." ia berbalik menghadap Zhang Qiling, lantas keduanya tenggelam dalam ciuman yang dalam.
"Jangan takut," Zhang Qiling menarik ciumannya, lalu menarik tubuh Wu Xie ke dalam pelukannya. Mendekapnya kuat-kuat.
"Lagipula," dia berbisik di telinga Wu Xie. "Itu tak menakutkan seperti yang kau pikirkan."
Wu Xie merasa jantungnya kebat kebit tak karuan. Arus panas naik ke wajahnya, membuat rona merah menyebar.
Dengan penuh kelembutan Zhang Qiling berhasil menggiring kekasihnya membaringkan tubuh Wu Xie ke atas kasur.
Perlahan dia membuka kemejanya, dalam waktu singkat bertelanjang dada menampilkan bentuk tubuh seksi, sehalus dan sewarna salju.
Wu Xie menatap terkesiap. Sungguh palsu jika ada yang mengatakan tidak tergiur melihat tubuh telanjang Zhang Qiling. Bahu kekar dan nampak kuat, dada bidang halus menggairahkan. Leher jenjang dan wajah luar biasa tampan, pemuda itu nampak seperti dewa.
Zhang Qiling menempatkan tubuhnya sendiri berada di atas tubuh Wu Xie menahan badannya dengan kedua tangan dan menatap penuh gairah.
Wu Xie sangat gugup namun setengah tak sadar saat menahan leher Zhang Qiling yang berada di atasnya. Matanya terbuka dengan mulut menceracau.
"Kau -- akan melakukannya?" tangannya meraba kedua pipi Zhang Qiling dan mengelus-elus pipi mulus itu.
Zhang Qiling menahan nafas yang tiba-tiba memburu. Pandangan matanya sudah tertutup kabut nafsu. Melihat penampakan dibawahnya yang begitu menyulut gairah. Mata bening yang sayu, pipi pucat dengan sedikit merah merona. Bibir terbuka dan basah.
Tanpa bisa menahan diri lagi Zhang Qiling melumat bibir pink itu penuh gairah. Tubuhnya menekan Wu Xie dengan hasrat menggebu.
"Aakk.. Pelan! Xiao ge..!" Wu Xie menceracau ribut, menarik bibirnya dari ciuman panas Zhang Qiling.
"Eh, maaf.. " Zhang Qiling kebingungan untuk sesaat. Namun sedetik berikutnya kembali menghujani Wu Xie dengan ciuman.
Perlahan Wu Xie membalas ciuman itu dengan gairah yang sama. Kedua tangannya menahan kepala Zhang Qiling dan meremas rambutnya.
Nafasnya terengah nyaris megap-megap sementara Zhang Qiling melanjutkan aksinya dengan menelusuri leher jenjang kekasihnya.
Wu Xie mendesah dengan mata terpejam. Sementara tangannya semakin kuat menarik rambut Zhang Qiling ketika merasakan tubuhnya terasa agak dingin dan bibir panas itu menjelajahi dadanya. Ternyata Zhang Qiling dengan tidak sabar sudah membuka kancing kemeja Wu Xie dengan paksa.
Zhang Qiling kembali merayap ke atas. Menatap wajah yang teramat menawan dibawahnya. Nafas panasnya menyapu wajah Wu Xie.
"Apa kau mencintaiku?" tanyanya diantara deru nafas yang keras sementara beberapa helai rambut jatuh di kening dan pelipisnya.
"Mmm - sangat mencintaimu - " gumam Wu Xie.
"Kalau begitu kita akan melakukannya," senyum tipis Zhang Qiling terlihat mengancam.
Wu Xie melotot waswas.
"Hujannya sudah turun bukan?" desis Zhang Qiling penuh gairah.
"Ah ya, hu - hhmmppfftt -"
Zhang Qiling tidak sabar kembali melumat bibir pink itu dengan rakus. Tangannya mulai menarik baju mereka. Kedua tubuh itu berguling saling berbalas ciuman penuh gairah.
Lewat sudut matanya, Wu Xie melirik bagian bawah Zhang Qiling yang tegak dan bersemangat tanpa malu-malu.
"Hah? Ke-mana itu akan pergi?" ia menggumam panik.
Tiba-tiba Wu Xie memekik dan menjambak rambut Zhang Qiling.
"Aaa! Lebih lembut! Xiao ge! Lebih lembut!"
Tubuhnya mengejang dengan muka menderita. Cengkeramannya semakin kuat menarik rambut pemuda itu.
Zhang Qiling menggigit bibir antara sakit dan nafsu yang menggelora.
"Rileks! kau menyakiti kita berdua - " desisnya dengan suara memburu.
"Itu menyakitkan! Kau menyakitiku! Mmmm - Xiao ge sungguh kejam!"
Wu Xie makin kuat menjambak rambut Zhang Qiling dan mengguncangnya sementara matanya terpejam sangat rapat dengan erangan panjang.
Zhang Qiling kembali melumat bibir yang mengeluarkan desahan tak terkendali itu dengan penuh nafsu. Keduanya bergerak dengan nafas memburu dan peluh yang membanjiri tubuh.
Tanpa terasa Wu Xie menarik-narik rambut dan mencakar dengan kuat. Keduanya mendesis merasakan sakit dan nikmat secara bersamaan.
Hujan di luar jendela turun semakin deras, mengatasi suara-suara mesum dalam ruangan. Di saat terakhir, Zhang Qiling mengeluarkan desahan 'Ah' yang keras, lalu kedua tubuh itu pun lunglai dan terbaring lemas dengan keringat membasahi dan kepuasan yang terpancar dari wajah masing-masing.
"Hujannya sangat indah bukan?" gumam Zhang Qiling, mengelus sisi wajah Wu Xie yang lembab oleh keringat.
Wu Xie melayangkan pandang ke luar jendela, senyuman lembut dan kelelahan terwujud di wajah pucatnya.
"Yahh.."
Seketika ia jatuh tertidur dengan tubuh berasa remuk.
Uppss.. Akhirnya, setelah berbagai keribetan Wu Xie. 🏃🏃🏃
To be continued
Please vote for Pingxie❤💛
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro