Fifth Trouble
You're the moon and I'm the stars
Accompanying you to speak your heartbeat
Witnessing the arrival of our love
❤💛❤
Dua Jam Sebelumnya
Zhang Qiling berdiri di depan cermin panjang lantai yang disandarkan ke dinding di kamar tidurnya dan dengan canggung merapikan kemeja katun hitam yang ia kenakan.
Kemeja ini cukup sederhana, demikian juga jeansnya. rambut hitamnya terlihat cukup rapi, dan cermin mengatakan bahwa ia sangat tampan, tapi Zhang Qiling masih gugup.
Dia hanya punya beberapa menit lagi sebelum taksi yang ia telepon akan tiba di lantai bawah dan rasanya dia akan muntah karena gugup dan tidak sabar. Membayangkan banyak hal yang mungkin terjadi dalam satu malam.
Zhang Qiling menghela napas berat dan meraih hoodie hitam dari kursi, menyelinapkan tubuh ke dalamnya. Setelah memastikan bahwa dompet dan ponsel tersimpan dengan hati-hati di saku jaket, dia meninggalkan kamar, membanting pintu hingga tertutup di belakang.
Berjalan menyusuri lorong menuju pintu utama, dia mendengar suara seseorang berbicara dengan cara norak dan mengalir dalam bentuk ocehan.
Itu pasti Liu Sang, pikir Zhang Qiling jengkel.
Pemuda berkacamata itu sedang bersandar ke dinding di ruang duduk, jaketnya dilempar ke sofa, ponsel berada di genggamannya saat dia mengobrol dengan seseorang. Entah apa yang dibicarakan tapi tidak diragukan lagi adalah panggilan tidak penting dan bergosip.
Liu Sang mendongak ketika Zhang Qiling berjalan melewati ruang tamu keluar dan mengejutkan Qiling dengan mengatakan, "Baiklah, aku akan meneleponmu nanti. Xiao ge bersiap-siap untuk pergi jadi aku harus mengantarnya."
Zhang Qiling menoleh dengan alis berkerut.
"Apa yang kamu lakukan di rumah, kenapa tidak pulang?" ia bertanya pada Liu Sang sambil mengambil segelas wine dan menyesapnya.
"Tadinya aku akan pulang sekarang, tapi sepertinya kau ingin pergi keluar. Bukankah sudah tugasku untuk mengantar, menemanimu kemanapun kau pergi layaknya pendamping setia??" Liu Sang menyeringai, dengan sudut matanya Zhang Qiling melihat ekspresi penuh minat Liu Sang dan seketika ia bergidik.
"Aku ingin pergi sendiri," kalimatnya tegas dan tidak tergoyahkan.
"Dan jangan menguntitku!"
Dia memutar bahu, mengangkat telunjuknya pada Liu Sang padahal pemuda itu sudah membuka mulutnya, berniat mengajukan bantahan. Akhirnya Liu Sang diam dengan wajah merengut.
"Apakah kamu yakin ingin pergi sendiri malam ini?" dia akhirnya bertanya, alisnya yang gelap menyatu dalam ekspresi penasaran.
"Iya," ucap Zhang Qiling cepat.
Dia bahkan tidak perlu memikirkannya sebelum melontarkan jawaban. Tidak diragukan lagi bahwa dia benar-benar tidak yakin dengan semua yang terjadi dan ia rasakan akhir-akhir ini, tetapi ia yakin bahwa ia akan pergi ke Huanyu Road.
Ada pikiran kecil yang mengganggu di belakang kepalanya yang membuatnya bertanya-tanya berapa banyak kemungkinan si pemuda buta akan muncul malam ini.
Tetapi Zhang Qiling benar-benar tidak ingin memikirkannya. Dia akan tetap kesana meskipun hanya akan melihat bayangan.
"Sebenarnya ada acara apa? Kau bahkan berpenampilan seperti mahasiswa kalangan menengah," dari balik kaca mata, Liu Sang menembakkan lirikan sinis tapi penasaran.
"Bukan urusanmu."
"Hisss..."
Gemeretak benturan gigi terdengar dari mulut Liu Sang menandakan kekesalannya. Dia hanya menatap frustasi pada punggung Zhang Qiling.
Pemuda tinggi berjaket hoodi itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan berjalan menuju pintu.
Zhang Qiling melewati penjaga pintu dan masuk ke taksi yang relatif bagus di jalan depan rumahnya. Dia menghela napas lega begitu pintu taksi menutup. Akhirnya seperti hal-hal menjadi kenyataan baginya.
"Ke mana?" pria di depan bertanya dengan aksen yang kasar.
"Apartemen Huanyu," kata Zhang Qiling setenang mungkin.
Si supir mengernyit, "Dimana itu?"
Zhang Qiling terkejut sesaat, segera meralat alamat palsu yang ditulis Pang Zhi di media sosial.
"Maksudku Lianyu Road, kemudian belok ke perumahan Huanyu."
Si supir tidak bertanya lagi.
Telapak tangannya mulai lengket karena keringat dan suaranya sedikit gemetar karena suatu alasan yang aneh. Mudah-mudahan dia tidak akan gugup atau apa pun begitu ia sampai di sana.
Perjalanan ke Huanyu road itu sepi. Zhang Qiling menghabiskan sebagian besar waktumengintip ke luar jendela taksi yang sedikit kotor ke lampu-lampu kota yang berkilauan, mencoba mengalihkan perhatian dari apa yang ia pikirkan. Beberapa lama kemudian taksi itu berhenti di tepi jalan Lianyu Road.
Zhang Qiling dengan cepat memberi supir itu dua puluh dollar tanpa menanyakan berapa ongkosnya dan turun dari mobil, berjalan cepat berbelok ke Huanyu Road yang lebih kecil dan semakin menyempit.
Angin sepoi-sepoi bertiup di sekitar tubuhnya dan Zhang Qiling merasakan hawa hangat mengalir di balik hoodie tebal yang ia kenakan.
Tiba-tiba dia melihatnya. Sosok itu tidak terlalu familiar, terlebih dari kejauhan. Tapi tubuh tinggi kurus semampai yang berjalan lunglai itu mengirimkan debaran aneh ke hatinya. Apakah dia Wu Xie?
Ya -- itu pasti dia. Tetapi kenapa dia berjalan sendiri malam-malam begini. Bukannya dia buta? Kenapa Pang Zhi tidak mengawalnya?
Zhang Qiling berhenti sejenak, terpancang kaku di tempat. Dihadapkan langsung pada tujuan, pikirannya sibuk menyortir alasan dan memikirkan trik agar mereka bisa berkenalan lebih dekat.
Saat otaknya tidak bisa bekerja sama, ia menoleh lagi pada sosok Wu Xie yang makin menjauh. Dari sudut gelap, sosok pria tinggi berjaket kulit hitam tiba-tiba muncul dan mengikuti si pemuda kurus itu.
Rasa curiga menyeruak dalam diri Zhang Qiling.
Astaga, mungkin pemuda itu butuh bantuan.
Zhang Qiling melompat sekitar satu kaki di udara dan menjejak liar dengan ujung telapak ketika mendengar suara pekikan samar. Suaranya sangat ketakutan, panik dan terdengar serak, begitu dalam hingga seperti menggema dari suatu ruang kosong, memanggil jauh ke dalam jiwanya agar segera datang menolong.
Demikianlah.
Akhirnya Zhang Qiling benar-benar bisa berjumpa lagi dengan pemuda buta yang menarik hati.
Wu Xie.
❤💛❤💛❤💛❤
"Bagaimana? Kau sulit sekali menjawab. Mau mampir atau tidak?" suara Wu Xie menyeret alur pikiran Zhang Qiling yang terhanyut pesona.
Seperti perasaan yang didapatkan setelah disiram air es dingin dan hanya beberapa detik rasanya seperti membeku di salju atau semacamnya, itulah perasaan yang dirasakan Zhang Qiling saat menatap wajah tampan Wu Xie, berusaha menembus lensa kacamata hitam, ingin memandang sepasang mata tak terduga dari pemuda menawan yang baru saja mengumumkan undangan seakan itu umpama lampu hijau baginya.
Tentu saja, sebagai seorang pemuda berpendidikan dan bermartabat, reaksi pertama Zhang Qiling adalah tersenyum walaupun kaku.
Dalam hati ia ingin segera setuju dan menghambur ke dalam rumah tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak melakukan hal itu. Seolah-olah yang bisa ia lakukan hanyalah bersandar ke belakang dan menatap Wu Xie dengan ekspresi terpesona di wajahnya, membeku di tempat.
"Ehmm..!!!" Wu Xie kembali bersuara.
"Eh...iya, oke," Zhang Qiling tergagap, giginya mulai bergemeletuk di udara malam. "Aku tidak mengganggumu, kan?"
Wu Xie tertawa kecil, seolah apa yang baru saja dikatakan Zhang Qiling adalah hal lucu yang pernah dia dengar. Faktanya, Wu Xie merasa geli menyaksikan ekspresi si tuan tampan dalam mengagumi dirinya.
Pemuda ini terlihat kerepotan menghadapi pesonaku,
Memenuhi batinnya dengan kebanggaan semu, Wu Xie tersenyum sekali lagi dan berbalik. Dia mengisyaratkan Zhang Qiling untuk mengikutinya masuk dan secara bersamaan memegang knob pintu.
Pegangan logam itu dingin di telapak tangannya, tapi sesuatu yang lain datang menghangatkan. Rupanya Zhang Qiling tidak sabar ingin membantu membuka pintu, dan saat tangan mereka bersentuhan, otomatis ia menarik kembali tangannya.
"Maaf..." ia berbisik, agak malu.
Wu Xie menyeringai, "Tak apa."
Pintu terbuka dan keduanya melangkah masuk ke satu ruang tamu berukuran sedang dengan satu set meja sofa minimalis dan wallpaper motif abstrak hitam putih.
Tidak banyak dekorasi seperti umumnya rumah yang hanya dihuni dua orang pemuda single.
Setidaknya Zhang Qiling mengharapkan Wu Xie masih single.
"Silahkan duduk."
Masih pura-pura buta, Wu Xie merayap menuju dapur.
"Mari kita mengobrol sambil minum teh. Banyak yang harus kita bicarakan," Wu Xie berkata dari arah dapur.
Dengan wajah takjub, Zhang Qiling menjatuhkan diri ke sofa dan menyilangkan tangan erat-erat di dada, masih menatap lembut ke arah dimana sosok Wu Xie menghilang.
Lima menit kemudian Wu Xie kembali ke meja dengan teko teh dan dua cangkir kecil. Tangannya sedikit gemetar saat dia meletakkan cangkir kami dan dia masih terlihat sangat canggung. Zhang Qiling diam-diam merasa kasihan atas kondisi penglihatan Wu Xie.
"Tidak perlu heran, Pang Zhi selalu menyediakan teko berisi teh dan cangkir di dapur. Jadi jangan berpikir kalau aku bersusah payah demi kamu," ujar Wu Xie, dia duduk di seberang Zhang Qiling.
"Terima kasih," Zhang Qiling menyahut, tersenyum sehangat mungkin.
Wu Xie terus melirik ke arah tuan tampan dengan sembunyi-sembunyi dan tak ada seorang pun bisa menyalahkan dia untuk yang satu ini.
Zhang Qiling tampak jauh lebih tampan dalam cahaya yang lebih terang. Rambut hitamnya bagai langit malam tampak mengilap dan wajahnya putih bersinar sementara matanya berkelip gembira.
"Tuan Zhang, bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di saat yang tepat. Apa ini hanya kebetulan?"
Tangan Zhang Qiling yang terulur untuk mengambil cangkir terhenti di udara. Dia menelan liur.
"Ya, ini hanya kebetulan."
Wu Xie menahan senyum menangkap kegugupan samar dari jawaban tamunya.
"Jika terjadi sekali itu namanya kebetulan, terjadi dua kali itu kebetulan yang disengaja."
"Tapi aku senang jika dengan kebetulan ini aku bisa menolongmu. Aku agak terkejut, mengapa kau begitu berani berkeliaran sendirian di malam hari, itu pun tanpa membawa tongkatmu."
Giliran Wu Xie yang kebingungan sekarang.
"Sebenarnya aku baru pulang dari rumah pamanku. Dan ya -- sepertinya aku meninggalkan tongkatku di sana. Jika kau heran karena aku pulang malam, jangan terlalu khawatir tentang itu. Siang dan malam sama-sama gelap buatku," Wu Xie melancarkan siasat agar Zhang Qiling berempati padanya dan tidak banyak bertanya. Sejujurnya, dia agak panik jika ketahuan berakting.
Tetapi trik murahan itu rupanya berhasil. Zhang Qiling menatapnya sendu, membuat perut Wu Xie serasa dipenuhi kupu-kupu saking menahan geli.
Lama si tuan tampan itu memandang, mendadak dia mengernyit bingung saat melihat Wu Xie mengenakan jam tangan.
"Jam tanganmu bagus, kupikir kau tidak membutuhkannya," gumam Zhang Qiling.
Darah Wu Xie serasa berhenti mengalir, dengan kecepatan tinggi, otaknya berputar mencari alasan.
"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku mengenakan jam tangan dan apakah aku bisa mengetahui waktu dengan memakainya. Sejujurnya, aku orang buta baru, jam tangan ini sudah lama menemaniku dan aku terbiasa memakainya. Ini hadiah ulang tahun istimewa dari pamanku, jadi aku tak ingin melepaskannya meskipun aku tak bisa melihatnya," senyum pahit terukir di bibir tipis Wu Xie.
"Manis sekali, kau orang yang menghargai kenangan. Apa kau selalu memperlakukan sebuah hadiah dengan istimewa?"
"Tentu saja. Kau lihat kacamata hitam yang kupakai? Pang Zhi bilang kau memberikan ini untukku," Wu Xie kembali mengoceh mencari simpati dan perhatian.
Ada rona hangat menyergap wajah si tuan tampan, disertai pipi dan daun telinga yang memerah perlahan-lahan. Dia menatap lekat wajah Wu Xie, menyadari bahwa kacamata itu memang hadiah darinya. Rasa bangga menyelinap dalam dadanya.
"Kau menyukai hadiah dariku?"
"Sangat."
Dadanya berdesir lagi.
"Jika aku memberimu hadiah jam tangan baru, apakah kau akan menyingkirkan pemberian pamanmu?" rasa tidak sabar menggiring Zhang Qiling pada sikap tak tahu malu. Dia benar-benar ingin menyenangkan pemuda ini.
Wu Xie tertawa kecil walau pun sebenarnya ingin terbahak-bahak.
"Tergantung. Sekeren apa jam tangan itu dan siapa yang memberinya, mungkin jika lebih baik, aku akan memikirkan untuk menyimpan pemberian pamanku. Lagipula, jam ini sudah lama dan aku tidak memiliki gantinya."
Selesai bicara, Wu Xie menggigit bibir keras-keras agar tidak kebablasan mengeluarkan tawa.
Mungkin karena mengagumi dari awal berjumpa, Zhang Qiling tidak menangkap ekspresi tidak wajar yang diperlihatkan Wu Xie. Alih-alih curiga, benaknya malah menyortir beberapa merk jam tangan Limited Edition favoritnya.
Keheningan sesaat membuat keduanya canggung, Wu Xie berkata pelan dan sopan, "Kau tidak minum tehnya?"
Zhang Qiling terperanjat, "Ah ya, tentu."
Ia meraih gelas berisi teh di atas meja dan menghirupnya.
"Di mana temanmu Pang Zhi?"
Wu Xie memiringkan kepala, berlagak berpikir.
"Mungkin masih di coffeeshop, sebentar lagi dia akan pulang. Bisnis sedang sepi akhir-akhir ini, siapa yang tahu kafenya sebentar lagi bangkrut."
"Kuharap tidak terjadi. Aku -- mungkin lain kali aku ingin menghabiskan waktu di coffeeshop temanmu, sesekali," Zhang Qiling meremas jemarinya, kemudian melekatkan pandang lagi pada Wu Xie, mengira tindakannya akan aman karena pemuda itu buta.
"Ide bagus," tawa merdu Wu Xie berkumandang lagi menyentuh telinga. Dia ingin tertawa lebih lama lagi namun sesaat merasa tidak karuan ketika tamu tampan itu terus menerus menatapnya.
Sialan, kenapa aku jadi gugup?
Menyentuh tenggorokan, Wu Xie berdehem beberapa kali. Saat itu Zhang Qiling sadar mungkin pemuda itu ingin beristirahat. Jadi walaupun berat hati, dia merasa sudah waktunya pulang. Tujuannya datang kemari sudah terpenuhi dan seharusnya ia merasa cukup tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih dalam waktu singkat.
Menepis rasa malu untuk ke sekian kalinya, Zhang Qiling berkata pelan.
"Sudah malam. Sepertinya aku harus pulang. Lain kali, mungkin aku akan berkunjung ke coffeshop Pang Zhi."
"Boleh saja. Jika kau kesana, kabari saja aku. Barangkali aku bisa menemanimu, itu pun jika kau tak keberatan."
Jantung si tuan tampan mulai berdebar tak karuan, dia menatap dengan mata cemerlang oleh kegembiraan.
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu nomor ponselmu?" suaranya agak tersendat sekarang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
"Tentu. Tapi, di mana ya ponselku?" Wu Xie mengambil tas ransel di sofa dan meraba-raba ke dalamnya. Dia menarik satu ponsel android dan menyerahkannya kepada Zhang Qiling.
"Ini ponselku. Silakan kau masukkan sendiri nomornya ke ponselmu, demikian juga sebaliknya."
Layar ponsel itu gelap. Dengan bingung, Zhang Qiling menerima ponsel lantas mengamatinya. Dia bergumam ragu-ragu, "Tapi, ponselmu mati."
"Oya?" Wu Xie baru teringat bahwa ponselnya kehabisan daya sejak sore tadi. Tapi tentu saja dia tidak akan mengatakan hal yang sebenarnya.
Senyumnya memang manis dan innoncent, tapi lebih banyak siasat yang mengalir dalam kepalanya lebih dari dugaan siapapun.
"Mungkin ponselnya rusak," ia menyahut sendu.
"Sudah waktunya diganti. Maaf tuan Zhang, mungkin untuk sementara kau tidak bisa memiliki nomorku sampai aku membeli ponsel baru."
Zhang Qiling mendesah kecewa. Tanpa bisa ditahan, ia berkata ringan.
"Ponsel apa yang kau inginkan?"
Wu Xie pura-pura tercengang, tetapi dalam hati dia bersorak.
Yesss!!!
Zhang Qiling ini sungguh seorang dermawan!
To Be Continued
Bagaimana kisah konyol ini akan bergulir?
Please vote for Zhang Qiling and Wu Xie ❤💛😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro