Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fifteenth Trouble

The Westin, Wuchang River Beach
7.00 PM

Restoran yang dipilih Zhang Qiling adalah satu restoran mewah di Wuchang River Beach. Ketika mereka sampai di dalam, ternyata restoran itu adalah rumah steak yang bagus untuk duduk dan bersantai. Wu Xie tidak terlalu mengenal tempat itu. Tapi restoran ini luar biasa bagus. Pencahayaan agak redup, dan ada banyak kayu gelap, perabotan yang dipoles mengkilap dan sedikit nuansa barat pada dekorasinya. Dia bisa mendengar desis panggangan di dapur dan dengung ramah dari percakapan orang lain.

Seluruh tempat itu berbau surgawi. Dari aromanya saja sudah bisa dipastikan makanannya pasti lezat.

Zhang Qiling menyapa seorang staff supervisor dengan salah satu senyumnya yang simpatik dan menawan.
"Halo," katanya. "Aku punya reservasi untuk dua orang."

Staff itu mengambil namanya, melihat daftar yang dia miliki di papan klip, dan kemudian mengantar kedua tamu ke bilik yang relatif pribadi di belakang. Terlihat jelas itu sudah diatur untuk dua orang, dengan dua menu dan satu teko air es.

Wu Xie meluncur di satu sisi dan Zhang Qiling duduk di hadapannya. "Pelayan akan segera datang," kata staff supervisor.

"Terima kasih," Zhang Qiling menjawab.

Staff itu pergi, dan Zhang Qiling menoleh untuk tersenyum pada Wu Xie. Wu Xie tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan, jadi ia hanya balas menatap. Untungnya, mereka tidak dibiarkan sendiri dalam waktu lama.

Ketika pramusaji  tiba, dia ternyata seorang wanita cantik, langsing, dan menarik. Dia juga memiliki energi yang ceria dan empat kancing yang terlepas yang mungkin dimaksudkan agar mendapatkan tip yang banyak.

Wu Xie melirik Zhang Qiling untuk memeriksa apakah tuan tampan melihat ke arah kancing yang terbuka.

Ternyata tidak, Wu Xie bernafas lega.
Atau mungkin belum.

"Hai!" katanya begitu dia mencapai meja mereka. "Aku akan menjadi pelayanmu malam ini. Bisakah kita mulai dengan minuman untukmu ..."

"Oke, aku minta dua gelas lime honey, dua porsi steak dengan saus mozarella, kentang panggang, quesadilla, dan puding vanilla."

Setelah pelayan itu pergi, Wu Xie mencoba untuk mengajak bicara.  "Tempat ini sangat bagus," Ia memutar pandang terkagum-kagum.
Salah satu jendelanya menghadap langsung ke sungai Yangtze yang gemerlapan.

Zhang Qiling menyeringai. "Aku senang kau menyukainya. Apa kau pernah ke sini sebelumnya?"

"Tentu saja -- tidak," Wu Xie tersenyum masam.  "Tetapi restoran ini memiliki ulasan online yang sangat bagus."

Zhang Qiling menunduk menahan tawa.

Pelayan kembali ke meja mereka, meletakkan dua gelas.
"Aku akan segera kembali dengan makanannya," katanya pada Zhang Qiling.

"Oke."

Pelayan menghilang lagi, dan ketika Wu Xie kembali ke mata Zhang Qiling , dia memperhatikannya dari tepi gelas sementara dia menyesap minuman. Wu Xie tidak berpikir dia telah berpaling darinya sejak duduk.

Sikapnya membuat Wu Xie entah kenapa menjadi sedikit gugup. Dia benar-benar membutuhkan sesuatu untuk mencegah dirinya mengatakan hal bodoh.

WuXie mencondongkan tubuh ke depan. "Ada apa Xiao ge? Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Tidak," sahut Zhang Qiling sambil terkekeh saat melihat dengan serius.

Wu Xie melotot. "Lalu apa? Apakah alisku rontok?"

Zhang Qiling menggelengkan kepalanya. "Kau imut," dia mencoba meyakinkan.

Wu Xie menghela nafas jengkel, duduk dan melipat tangan bersilang. "Lalu kenapa kamu terus menatap?" ia memprotes. Mungkin itu sedikit tidak sopan, tetapi ia merasa sangat gugup dan ia tidak peduli.

Zhang Qiling mencondongkan tubuh ke depan. Dia meletakkan sikunya di atas meja dan menopang dagu dengan tangan terlipat. "Kau tampan," ulangnya.

Wu Xie bisa merasakan rona merah merambat di pipinya. Mulutnya terasa kering. Dia meraba-raba meja, mengambil minuman langsung meneguknya.

Wu Xie membutuhkan pengalih perhatian dengan cepat, dia memikirkan seseorang dan Zhang Qiling tampak cukup fokus mengamati wajahnya.

Aku memang lebih tampan dari Liu Sang, Wu Xie membatin kesal.

Zhang Qiling mengangkat alis. "Apa kau memikirkan sesuatu?"

Wu Xie menyipitkan mata padanya. "Tidak."

Zhang Qiling mencondongkan tubuh ke depan lebih jauh. "Tidak," katanya riang. "Aku di sini bersamamu," dia menunjukkan. Seolah-olah itu adalah alasan yang paling indah.

Wu Xie mendengus. "Saat kau kembali, perhatikan baik-baik dan evaluasi kembali rasa estetikamu. Kupikir, seleramu terhadap pria sangat buruk," Wu Xie setengah memprotes padanya. Dia berharap itu akan mengakhiri pembicaraan.

Zhang Qiling memiringkan kepalanya dan mempertimbangkan, agak bingung.

"Maksudmu?"

Wu Xie membuang muka ke jendela, dan baru akan membuka mulut saat pelayan  tiba dengan nampan bulat besar berisi piring yang diseimbangkan di satu tangan. 

Zhang Qiling memberi pelayan itu senyuman santai dan membantunya menurunkan nampannya, menerima hidangan dan mengaturnya di meja.  Ada stik mozzarella, irisan kentang panggang, potongan steak, quesadilla segitiga, puding, bahkan satu piring yang tampak mencurigakan seperti hanya berisi sayuran dan saus. Mereka mungkin akan memiliki sisa makanan. Wu Xie mungkin bisa membungkusnya.

Pelayan itu pergi lagi.

Wu Xie sedang merenungkan berapa banyak yang bisa ia makan. Saat ia melirik Zhang Qiling, tuan tampan kembali mengawasinya.

Wu Xie menggerakan jari di depan wajahnya.

"Lihat," katanya, "Kau menatapku seperti kau pikir aku lebih membangkitkan selera daripada makanan."

"Aku ingin memakanmu," Zhang Qiling tersenyum.

Wu Xie tidak tahu apa yang ia harapkan dari dia.  Orang lain pasti akan merasa malu, tersipu, berpaling dan tidak berani balas menatap. Tapi ia malah mengatakan sesuatu yang gila dan bodoh.

"Apakah kamu seorang kanibal?"

Mendengar ucapan Wu Xie, Zhang Qiling terkekeh pelan. Sementara pemuda di depannya mulai sibuk makan.

"Kau tahu, aku suka sekali makan waffle dengan eskrim vanilla, millefeuiless, french toast dengan lelehan keju yang banyak, cheesecake, juga tiramisu, semacam itulah. Aku tahu satu pattiserie besar dekat stasiun kereta. L'Amour. Moccacinnonya sangat enak."

"Oya? Kau ingin aku mengajakmu kesana?" goda Zhang Qiling.

"Tidak," Wu Xie melirik galak.
"Aku hanya memberitahumu, kalau-kalau kau tidak tahu."

"Akan kuingat baik-baik," Zhang Qiling tersenyum geli.

"Aku akan pesankan millefeuiless sekarang jika kau mau," ia menindaklanjuti.

Wu Xie mengangguk dengan mata berbinar.

"Cepat selesaikan makannya, aku ingin berjalan-jalan di tepi sungai. Pemandangan ke arah jembatan sangat menakjubkan, lebih nyaman melihatnya langsung dari luar.

"Kalau kau bersikeras," Zhang Qiling mengangguk setuju.

❤💛❤💛❤

Dari tempat mereka berdiri, keindahan Wuhan Yangtze Bridge yang bermandikan cahaya bisa dinikmati dengan leluasa. Terbentang sepanjang 1,6 kilometer, pada malam hari, jembatan itu terlihat menakjubkan.

Zhang Qiling menunjuk ke arah jembatan, berbisik diantara desir angin.
"Keren bukan?"

Wu Xie sudah sering menikmati keindahan seperti itu, terlebih untuk satu ikon kota Wuhan seperti Yangtze Bridge atau Yellow Crane Tower. Namun menikmati keindahan kota bersama seseorang yang memiliki tempat istimewa di hatinya, baru pertama kali ia lakukan. Ada sensasi yang berbeda, di samping Zhang Qiling, semua terlihat bercahaya.

"Yah, indah sekali," sahut Wu Xie.

A

ngin kembali menerbangkan rambut dan menggetarkan ujung blazer mereka. Dalam momen santai ini, Wu Xie ingin sekali menanyakan banyak hal pada Zhang Qiling, demikian pula sebaliknya. Walau pun Zhang Qiling mengatakan bahwa mereka memulai kembali sebagai teman, tetapi menjadi teman setelah merasa memiliki sebagai kekasih, ternyata lumayan canggung.

"Ehmm, Xiao ge--sebenarnya apa pekerjaanmu dan seperti apa kesibukanmu?" Wu Xie memikirkan kemungkinan untuk meminta bantuan pada Zhang Qiling dalam urusan mencari pekerjaan, setelah diingat kembali, ia menyadari bahwa tak pernah sekalipun Zhang Qiling membahas pekerjaan. Dia hanya menunjukkan bahwa ia seorang eksekutif muda, memiliki posisi penting, kaya, dan dermawan. Selebihnya tak ada yang diceritakan secara detail.

Mendengar pertanyaan Wu Xie, Zhang Qiling menunjuk ke satu gedung tinggi jauh di seberang sungai, arah tenggara.

"Kau lihat gedung itu?"

Wu Xie menyipitkan mata, "Farmosa Tower," ia menebak.

"Tepat sekali. Kantorku di sana, lantai dua sembilan dan tiga puluh. Zhang Corp, perusahaan retail."

"Oh, astaga.." Wu Xie menutup mulutnya, setengah membelalak.

"Kau CEO muda?"

Senyum masam terpatri di wajah Zhang Qiling. Dia memasukkan kedua tangan ke saku blazer, tatapannya masih terpaku ke menara Farmosa.

"Jangan terlalu terkesan. Pekerjaanku membosankan, kadang-kadang aku merasa sangat tertekan hingga rasanya ingin melompat saja dari lantai tiga puluh."

"Apa maksudmu??" Wu Xie nyaris memekik, "Kau ingin bunuh diri gara-gara pekerjaan?"

"Oh ayolah, aku baru dua puluh lima, tapi bebanku sudah sangat berat. Ini di luar kapasitas, syarafku bisa pecah."

Oh, jadi akibat tekanan pekerjaan, maka dia mencari hiburan dengan menjadi playboy, pikir Wu Xie.

Mengenaskan sekali, muda, tampan, kaya, tapi rentan stress.

"Tidak perlu terburu-buru mati. Kau belum menikah kan??"

Melihat ekspresi dramatis Wu Xie, Zhang Qiling mendecakkan lidah.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."

"Sepertinya aku harus minta maaf padamu," Wu Xie tertawa pelan, agak canggung.
"Kau bekerja keras dan nyaris tak mempunyai kehidupan sendiri, sementara aku mempermainkan kebaikan hatimu."

"Aku tidak memberimu komisi bukan?" Zhang Qiling tersenyum.
"Apa yang kuberikan padamu berupa hadiah, sebenarnya itu tidak seberapa."

Jantung Wu Xie terbanting di tempatnya, dia mendengus tertahan.

Tidak seberapa? Wajar saja ia memberikan sedan Lexus pada kekasihnya yang aneh itu.
Ah--siapa namanya?
Liu Sang. Ya itu. Nama yang aneh seaneh orangnya.

"Tapi yang jelas, aku memang tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi. Aku juga tidak pernah memikirkannya, tidak sampai aku bertemu denganmu," tatapan Zhang Qiling jatuh ke permukaan air.

Wu Xie menelan liur kasar.

Ha! Benarkah?

Pikirannya masih beriak tak berbeda dengan air sungai yang terbentang di depan. Wu Xie ingin sekali mematahkan penjelasan Zhang Qiling yang menyiratkan seolah dia bujangan tulen dan tidak pernah memiliki hubungan dengan siapapun. Tetapi ada secercah rasa khawatir bahwa itu akan menyulut perdebatan hingga pertengkaran bisa saja memercik, membakar kembali jalinan baru pertemanan yang susah payah mereka jalin kembali.

Jadi, diam adalah pilihan terbaik. Lagipula jika kencan semalam suntuk ini kelak berakhir, ia tidak yakin mereka bisa berhubungan kembali seperti sebelumnya. Bukankah Zhang Qiling sendiri yang mengatakan bahwa ini adalah kesempatan terakhir.

"Bagaimana denganmu?" Zhang Qiling mengusik kebisuannya.
"Kapan terakhir kali kau pacaran?"

Wu Xie membelalak, tidak mengantisipasi pertanyaan semacam itu. Dia memang tidak memiliki hal lain yang mungkin ingin diketahui Zhang Qiling. Tidak keluarga, mau pun karier. Dalam karier, dirinya jelas payah. Tapi membahas pacaran? Rasanya agak memalukan.

"Tidak perlu malu," Seolah-olah bisa membaca pikiran Wu Xie, Zhang Qiling kembali berkata, kali ini menoleh sepenuhnya.

"Ahh--Itu," Wu Xie terkekeh-kekeh.

"Katakan saja. Kita berteman bukan?"

Menentang tatapan si tuan tampan, Wu Xie berkata setelah menghimpun rasa percaya diri yang ada pada dirinya.

"Dua bulan lalu, di Yellow Crane Park, tempat kerjaku."

"Hahh??" Zhang Qiling ternganga.

"Kami bertemu, dan kupikir itu cinta sesaat," Wu Xie tertawa lagi, lebih canggung. Ada rasa malu, tidak nyaman, tapi tak tahan untuk tidak menceritakannya karena ia pikir kisah cintanya lucu.

"Siapa dia?" Zhang Qiling cemberut.

"Namanya Alen Fang. Seorang pelayan restoran. Keren, tampan, kukira aku telah menemukan seseorang."

"Pelayan?" Zhang Qiling memekik, seketika Wu Xie tersentak, dia menatap bingung khawatir Zhang Qiling bermasalah dengan pendengaran.

"Ya, pelayan!" ia menjawab lebih keras.

Menelan ludah kasar, Zhang Qiling berusaha mengendalikan reaksi berlebihannya.
"Lalu? Apa yang terjadi?"

Wu Xie maju beberapa langkah, menumpukkan siku pada balustrade besi. Mata indahnya memancarkan satu sisi nostalgia, Zhang Qiling mengikuti posisinya, menatap pemuda itu dengan rasa cemburu. Tapi ia berpura-pura menampilkan sikap tenang dan biasa.

"Tak ada yang terjadi. Aku sering sarapan dan makan siang di restoran tempatnya bekerja."

"Gratis?"

Wu Xie melirik galak, "Dengan tagihan."

Mata Zhang Qiling terbelalak, tanpa bisa ditahan, ia tertawa terbahak. Untuk pertama kalinya Wu Xie melihat tawa lebar sang tuan tampan. Melihat senyum lebar yang indah, barisan gigi putih rapi, dan mata yang berbinar, ia merasa bahagia hanya dengan melihatnya, bahkan jika tawa itu muncul untuk meremehkan dirinya.
Tidak apa-apa. Asal Zhang Qiling bisa tertawa seceria sekarang. Untuk seterusnya.

"Tapi dia membuatkanku makanan dengan penuh cinta di matanya," Wu Xie menjelaskan penuh nada bangga.

"Lalu apa masalahnya? Jika dia sebaik itu, mengapa kalian putus?" Zhang Qiling bertanya sebal.

"Hanya satu masalah," menghela nafas berat, Wu Xie memvoutkan bibirnya.

"Alen sangat bahagia karena kami bisa menghabiskan waktu bersama karena seharian ia bekerja sebagai pelayan, dan saat malam ia menjadi penjaga keamanan di sebuah klub malam. Dia terlalu tangguh, mandiri, dan kuat sampai ia lupa cara menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah bertemu denganku, dia tidak bisa berhenti menangis."

"....???..."

Wu Xie terkekeh lagi, "Mungkin dia punya gambaran apa yang akan terjadi dengan masa depan kami. Jadi setiap kali bertemu, dia tidak bisa bicara romantis karena sibuk menangis."

Zhang Qiling terbengong-bengong.

"Jadi karena itu kalian putus?"

"Haruskah aku jujur padamu?" kali ini ia menekan pegangan besi dengan telapak tangan. Matanya beralih dari keindahan  jembatan dan sungai, ke wajah Zhang Qiling.
"Karena dia lebih mendahulukan pelayan dari pada cintanya."

"Hah??"

Wu Xie tersenyum geli dan mulai bercerita, "Satu kali kami berkencan di taman dan melihat pasangan lain berciuman. Alen menunjukkan bahwa dia ingin menciumku, sebenarnya saat itu aku tidak keberatan. Entah bagaimana, mataku terpaku pada stand eskrim gelato yang menggiurkan. Jadi kukatakan bahwa setelah ciuman, aku ingin eskrim gelato vanilla."

"Kalian berciuman sambil makan eskrim?" sembur Zhang Qiling.

Wu Xie menggigit lidah, "Sama sekali tidak. Kau tahu? setelah mendengar itu, Alen mengeluarkan notes dari sakunya dan mencatat pesanan seperti seorang pelayan teladan, seolah aku tengah memesan. Lalu dia berlari ke stand eskrim, kembali dengan eskrim gelato vanilla."

"Benar-benar penuh pengabdian," nada suara Zhang Qiling mengejek.

"Masih belum selesai. Akhirnya, aku memakan eskrim dengan senang hati. Tapi setelah itu apa? Coba tebak, dia mengatakan semuanya empat dollar."

"Apa itu? Tagihannya?" tawa Zhang Qiling siap untuk pecah lagi.

Wu Xie mengerling sebal, mengangguk.

"Pelayan sialan," tawa ceria Zhang Qiling kembali memenuhi atmosfir diantara mereka. Kali ini Wu Xie ikut tertawa, menertawakan kekonyolannya sendiri.

"Jadi kalian batal berciuman bukan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja. Seolah-olah itu penting. Zhang Qiling tidak berusaha menutupi apapun. Sikap dan bicaranya santai dan bebas. Rupanya dia benar-benar bertekad untuk menjadi teman. Satu awal bagus untuk hubungan yang lebih dekat.

Wu Xie melirik malas, lantas menggeleng. Tapi tak ada penyesalan. Semua yang ia ceritakan sebenarnya tidak terlalu berkesan.

"Apa sebelum dengan Alen, kau pernah pacaran dengan yang lain?"

Kali ini keduanya mulai bergerak, berjalan beriringan di sepanjang beach walk. Desir angin kini menyapu dari arah samping. Mereka berbaur dengan beberapa pejalan kaki lainnya yang menikmati keindahan sungai dan ribuan lampu kota Wuhan.

"Ya, aku tidak ingat. Kupikir, itu cinta sesaat sama seperti dengan Alen, sejak dua tahun terakhir, aku tak pernah dekat dengan seseorang lebih dari dua bulan."

"Oh, astaga..  Melelahkan sekali, apa kau menikmati petualangan itu?"

Wu Xie menggeleng, menyeringai samar.
"Aku tidak tahu."

Zhang Qiling mengernyit heran, dia berhenti berjalan, memutar tubuh hingga menghadap Wu Xie. Ekspresinya  serius, satu sisi wajahnya disinari pantulan lampu di tiang-tiang yang berjajar. Wu Xie memandangnya penuh kekaguman yang terang-terangan, dan ia yakin bahwa ia tak pernah melihat seseorang dengan cara seperti ini.

"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu," Ia berbisik.

Wu Xie berkedip lambat-lambat.

"Apa kau memiliki masalah dengan komitmen?"

"Memangnya mengapa?" Wu Xie bertanya datar.

"Kukira itu masalahmu."

Wu Xie terdiam, mencoba menganalisis wajah si tuan tampan, dan mereka saling mencoba membaca pikiran masing-masing, sekali lagi.

Keheningan tetap ada. Zhang Qiling bisa melihat bahwa Wu Xie tampak sama bingungnya seperti biasanya. Dia menghela nafas dan menarik lembut wajah tirus Wu Xie ke telapak tangannya yang dingin. 

"Terkadang aku benci diriku sendiri yang terus memikirkanmu, tapi aku tidak pernah mau tahu apa yang membuat sikapmu seperti itu."

Dia meletakkan telapak tangannya di atas mulut Wu Xie menyentuh bibirnya dengan lembut.

"Apakah itu artinya tak ada yang menciummu selain aku?"

Wu Xie menatap mata pemuda di hadapannya, kedalaman mata mereka berkomunikasi.

"Mungkin. Entahlah, aku lupa," gumam Wu Xie. Dia mendesah sesaat, "Tapi aku tidak lupa, hanya denganmu lah aku merasa gugup."

Kehangatan terpancar dari sorot matanya dan jauh meresap ke dalam hati Zhang Qiling. Tiba-tiba si tuan tampan merasakan dorongan untuk menyatukan bibir mereka dan mengatakan pada Wu Xie betapa dia mencintainya.

Namun, kata-kata keluar dari bibir Wu Xie, sebelum ia mengungkapkan apapun. "Jangan katakan kau mencintaiku," ujar Wu Xie.
"Kita memulai dari awal sebagai teman, dan itu adalah alasan  untuk apa yang kita lakukan, dan mengapa kita di sini."

"Tetapi itu tidak ada salahnya bukan?" Zhang Qiling setengah memprotes.

Wajah Wu Xie melunak untuk beberapa saat. "Aku membohongimu sejak awal," ia mengingatkan asal dari kekecewaan Zhang Qiling pada hari kemarin.
"Dan aku cukup terkejut betapa mudahnya kau melupakan itu."

Zhang Qiling termenung sejenak,  "Aku sudah memaafkanmu."

"Tapi tidak akan mudah mengembalikan kepercayaanmu seperti semula," Wu Xie tersenyum masam.

"Kuakui itu, tapi kenapa kita tidak mencoba selama sebulan, seperti kau dan pelayan sialan itu?" tiba-tiba Zhang Qiling mengubah nada suaranya menjadi sangat santai dan ringan.

"Xiao ge, kau mengejekku!" diiringi dengusan kasar, Wu Xie mendorong tubuh Zhang Qiling, berjalan melewatinya.

"Tapi aku tidak akan membiarkanmu membayar sendiri."

"Terserah!"

"Hai, kau mau pergi kemana, Wu Xie?" Zhang Qiling tersenyum lebar, setengah berlari kecil dia menyusul Wu Xie.

"Aku tidak tahu, ayo kita lempar dadunya," Wu Xie menahan senyum, juga menahan debaran dalam dada.

Mereka berjalan beriringan, bergandengan tangan, entah bagaimana awalnya, dan bagaimana rasanya.

Sedikit candaan, sedikit rayuan, mungkin ini kegilaan.
Ataukah itu keajaiban?

Apapun itu, satu hal yang pasti. Zhang Qiling dan Wu Xie menginginkan malam ini bertahan sedikit lama.

Mau kemana lagi yaa mereka?

Don't Miss it

To be continued
Please vote and comment if you like this Pingxie
❤💛❤💛❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro